Eceng Gondok (Eichormia crassipes)
Eceng gondok merupakan tanaman gulma di wilayah perairan yang hidup
terapung pada air yang dalam atau mengembangkan perakaran di dalam lumpur pada
air yang dangkal (Pasaribu dan Sahwalita, 2008). Eceng gondok berkembangbiak
dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan
dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dalam waktu 7-10 hari. Eceng gondok
merupakan tanaman asli Brazil yang didatangkan ke Indonesia tahun 1894 untuk
melengkapi koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor. Tanaman ini telah menyebar ke
seluruh perairan yang ada baik waduk, rawa, maupun sungai di perairan Jawa,
Sumatera, Kalimantan dan di daerah lainnya
(Suprapti, 2000).
Hasil penelitian Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba (2003) melaporkan
bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 ha,
atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7 ha. Heyne (1987)
menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng gondok pada areal 1 ha
dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton.
Menurut Sastroutomo (1977), eceng gondok tiap tahunya berbunga dan
setelah 20 hari terjadi penyerbukan, buah masak, lepas dan pecah kemudian biji
masuk ke dalam air. Eceng gondok merupakan gulma lingkungan perairan dan
merupakan jenis tumbuhan agresif. Tanaman ini bukan tanaman asli daerah
indonesia yang mampu menguasai vegetasi alami dan menghambat jenis-jenis asli
bahkan memusnahkan.
Penyebaran tanaman ini dengan cepat telah menimbulkan kerugian ekonomi,
sosial dan lingkungan yaitu menutupi jalannya air, mempengaruhi transportasi
air untuk pertanian dan pariwisata, menutupi danau dan sungai, menurunkan oksigen yang terlarut
(dissolved oxygen) pada badan air dan menurunkan produksi perairan (Ding et al., 2000). Keberadaan eceng gondok
sebagai gulma yang sulit diberantas menimbulkan berbagai masalah bukan hanya di
Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain di belahan dunia yang sejak lama
mendapatkan permasalahan baik sosial, ekonomi maupun lingkungan oleh keberadaan
eceng gondok (Kurniawan, 2002).
Menurut Zerrudo dkk (1979), tangkai daun (petioules) eceng gondok
mengandung 34,6% fiber berdasarkan berat kering oven, dengan panjang fiber
rata-rata 1,53 mm dan berdinding tipis, mengandung sedikit lignin, holoseluosa,
pentosa yang tinggi tetapi mengandung
sedikit silika, ekstraktif cukup larut dalam alkohol – benzena tetapi larut
banyak dalam NaOH 1%.
Menurut Gopal dan Sharma (1981), eceng gondok mengandung 11,3% lignin,
13,3% pentosan, 26,9% - 50% selulosa dan hanya 0,018% pati. Kadar selulosa dilaporkan ditemukan
dalam jumlah yang besar yaitu 26,1%; 32%; 42% dan 40-50%. Selulosa yang
dihasilkan sebaik kapas dengan karakteristik serat sebagai berikut : panjang
1,53 mm, lebar 0,023 mm, tebal dinding sel 3,5 µm dengan kadar abu yang tinggi.
Banyak peneliti melaporkan bahwa eceng gondok dapat menyerap zat
pencemar dalam air dan dapat dimanfaatkan untuk mengurangi beban pencemaran
lingkungan. tercatat bahwa dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam
Cd, Hg dan Ni sebesar 1,35 mg/g; 1,77 mg/g dan 1,16 mg/g bila logam itu berada
dalam keadaan tidak tercampur dan menyerap Cd 1,23 mg/g, 1,88 mg/g dan Ni 0,35
mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan
logam lain dalam air (Aningsih, 1991).
Salah
satu upaya yang cukup prospektif untuk menanggulangi gulma eceng gondok di
kawasan perairan danau adalah dengan memanfaatkan tanaman eceng gondok untuk
kerajinan kertas seni. Eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
kertas karena mengandung serat/selulosa (Joedodibroto, 1983). Pulp eceng gondok yang dihasilkan berwarna
coklat namun dapat diputihkan dengan proses pemutihan (bleaching). Pulp juga dapat menyerap zat pewarna yang
diberikan dengan cukup baik, sehingga berbagai variasi warna kertas dapat
dihasilkan melalui proses ini.
Kandungan selulosa Cross
and Bevan eceng gondok sebesar 64,51% dari berat total (Joedodibroto, 1983)
memungkinkan eceng gondok dapat dipakai sebagai bahan baku pembuatan papan
partikel. Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan papan partikel
merupakan salah satu alternatif manfaat yang memberikan nilai tambah eceng
gondok bagi masyarakat. Dengan bertambahnya cara pemanfaatan eceng gondok maka
populasinya diharapkan dapat dikontrol, sehingga permasalahan yang timbul
sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya dapat diatasi (Saputra dan Prasetyo,
2005)
Keberadaan eceng gondok sebagai bahan
berlignoselulosa sama halnya dengan kayu memungkinkan untuk dijadikan bahan
baku industri hasil hutan seperti untuk pulp, kertas dan juga untuk bahan baku
pembuatan papan komposit. Berdasarkan hasil analisis sifat
fisis papan komposit yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa secara umum masih
memungkinkan untuk menggunakan, flake eceng gondok sampai
taraf 30%, kecuali untuk sifat pengembangan tebal penggunaan flake eceng gondok pada layered composite
board optimum sampai taraf 20%, sedangkan penggunaan tipe lapisan
permukaan tergantung tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan hasil analisis
sifat mekanis papan komposit yang dihasilkan, didapat nilai optimum penggunaan flake
eceng gondok untuk sifat MOE dan MOR adalah 10% bagi non layered composite board
dan 30% bagi layered composite board. Sedangkan untuk sifat pegang sekrup dan
internal bond penggunaan flake eceng gondok sampai
30% secara teknis masih diperbolehkan. Peruntukan papan komposit sebagai bahan
konstruksi, penggunaan flake eceng gondok tidak boleh melebihi 10% untuk not layered composite board, sedangkan untuk layered composite board,
penggunaan flake eceng gondok sampai taraf 30% secara teknis masih
diperbolehkan. Peruntukan papan komposit sebagai bahan non konstruksi seperti
untuk furniture, siding dan plafon, penggunaan flake eceng gondok sampai
taraf 30% masih memungkinkan secara teknis untuk semua tipe lapisan permukaan,
kecuali untuk penggunaan yang kurang toleran terhadap pengembangan tebal yang
besar, penggunanan flake eceng gondok untuk composite board tidak boleh melebihi taraf 20%.
Untuk mendapatkan informasi yang cukup mengenai aspek teknis pembuatan papan
komposit modifikasi berbahan baku campuran, perlu dilakukan
penelitian lanjutan mengenai pengaruh ketebalan anyaman sayatan bambu tali,
penggunaan perekat jenis lain, dan atau penggunaan anyaman sayatan kulit bambu
terhadap sifat fisis-mekanis papan komposit (Kurniawan dan Ahmad, 2009)
topi natal imut |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar