H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Kamis, 06 September 2012

Peranan eceng gondok


Eceng Gondok (Eichormia crassipes)
Eceng gondok merupakan tanaman gulma di wilayah perairan yang hidup terapung pada air yang dalam atau mengembangkan perakaran di dalam lumpur pada air yang dangkal (Pasaribu dan Sahwalita, 2008). Eceng gondok berkembangbiak dengan sangat cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat melipat ganda dalam waktu 7-10 hari. Eceng gondok merupakan tanaman asli Brazil yang didatangkan ke Indonesia tahun 1894 untuk melengkapi koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor. Tanaman ini telah menyebar ke seluruh perairan yang ada baik waduk, rawa, maupun sungai di perairan Jawa, Sumatera, Kalimantan dan di daerah  lainnya (Suprapti, 2000).
 Hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Utara di Danau Toba (2003) melaporkan bahwa satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu berkembang seluas 1 ha, atau dalam waktu 1 tahun mampu menutup area seluas 7 ha. Heyne (1987) menyatakan bahwa dalam waktu 6 bulan pertumbuhan eceng gondok pada areal 1 ha dapat mencapai bobot basah sebesar 125 ton.
Menurut Sastroutomo (1977), eceng gondok tiap tahunya berbunga dan setelah 20 hari terjadi penyerbukan, buah masak, lepas dan pecah kemudian biji masuk ke dalam air. Eceng gondok merupakan gulma lingkungan perairan dan merupakan jenis tumbuhan agresif. Tanaman ini bukan tanaman asli daerah indonesia yang mampu menguasai vegetasi alami dan menghambat jenis-jenis asli bahkan memusnahkan.
Penyebaran tanaman ini dengan cepat telah menimbulkan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan yaitu menutupi jalannya air, mempengaruhi transportasi air untuk pertanian dan pariwisata, menutupi danau dan sungai, menurunkan oksigen yang terlarut (dissolved oxygen) pada badan air dan menurunkan produksi perairan (Ding et al., 2000). Keberadaan eceng gondok sebagai gulma yang sulit diberantas menimbulkan berbagai masalah bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain di belahan dunia yang sejak lama mendapatkan permasalahan baik sosial, ekonomi maupun lingkungan oleh keberadaan eceng gondok (Kurniawan, 2002).
Menurut Zerrudo dkk (1979), tangkai daun (petioules) eceng gondok mengandung 34,6% fiber berdasarkan berat kering oven, dengan panjang fiber rata-rata 1,53 mm dan berdinding tipis, mengandung sedikit lignin, holoseluosa, pentosa yang tinggi  tetapi mengandung sedikit silika, ekstraktif cukup larut dalam alkohol – benzena tetapi larut banyak dalam NaOH 1%.
Menurut Gopal dan Sharma (1981), eceng gondok mengandung 11,3% lignin, 13,3% pentosan, 26,9% - 50% selulosa dan hanya 0,018% pati. Kadar selulosa dilaporkan ditemukan dalam jumlah yang besar yaitu 26,1%; 32%; 42% dan 40-50%. Selulosa yang dihasilkan sebaik kapas dengan karakteristik serat sebagai berikut : panjang 1,53 mm, lebar 0,023 mm, tebal dinding sel 3,5 µm dengan kadar abu yang tinggi.
Banyak peneliti melaporkan bahwa eceng gondok dapat menyerap zat pencemar dalam air dan dapat dimanfaatkan untuk mengurangi beban pencemaran lingkungan. tercatat bahwa dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam Cd, Hg dan Ni sebesar 1,35 mg/g; 1,77 mg/g dan 1,16 mg/g bila logam itu berada dalam keadaan tidak tercampur dan menyerap Cd 1,23 mg/g, 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain dalam  air (Aningsih, 1991).
            Salah satu upaya yang cukup prospektif untuk menanggulangi gulma eceng gondok di kawasan perairan danau adalah dengan memanfaatkan tanaman eceng gondok untuk kerajinan kertas seni. Eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas karena mengandung serat/selulosa (Joedodibroto, 1983). Pulp eceng gondok yang dihasilkan berwarna coklat namun dapat diputihkan dengan proses pemutihan (bleaching). Pulp juga dapat menyerap zat pewarna yang diberikan dengan cukup baik, sehingga berbagai variasi warna kertas dapat dihasilkan melalui proses ini.
Kandungan selulosa Cross and Bevan eceng gondok sebesar 64,51% dari berat total (Joedodibroto, 1983) memungkinkan eceng gondok dapat dipakai sebagai bahan baku pembuatan papan partikel. Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan papan partikel merupakan salah satu alternatif manfaat yang memberikan nilai tambah eceng gondok bagi masyarakat. Dengan bertambahnya cara pemanfaatan eceng gondok maka populasinya diharapkan dapat dikontrol, sehingga permasalahan yang timbul sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya dapat diatasi (Saputra dan Prasetyo, 2005)
Keberadaan eceng gondok sebagai bahan berlignoselulosa sama halnya dengan kayu memungkinkan untuk dijadikan bahan baku industri hasil hutan seperti untuk pulp, kertas dan juga untuk bahan baku pembuatan papan komposit. Berdasarkan hasil analisis sifat fisis papan komposit yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa secara umum masih memungkinkan untuk menggunakan, flake eceng gondok sampai taraf 30%, kecuali untuk sifat pengembangan tebal penggunaan flake eceng gondok pada  layered composite board optimum sampai taraf 20%, sedangkan penggunaan tipe lapisan permukaan tergantung tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan hasil analisis sifat mekanis papan komposit yang dihasilkan, didapat nilai optimum penggunaan flake eceng gondok untuk sifat MOE dan MOR adalah 10% bagi non layered composite board dan 30% bagi layered composite board. Sedangkan untuk sifat pegang sekrup dan internal bond penggunaan flake eceng gondok sampai 30% secara teknis masih diperbolehkan. Peruntukan papan komposit sebagai bahan konstruksi, penggunaan flake eceng gondok tidak boleh melebihi 10% untuk not layered composite board, sedangkan untuk layered composite board, penggunaan flake eceng gondok sampai taraf 30% secara teknis masih diperbolehkan. Peruntukan papan komposit sebagai bahan non konstruksi seperti untuk furniture, siding dan plafon, penggunaan flake eceng gondok sampai taraf 30% masih memungkinkan secara teknis untuk semua tipe lapisan permukaan, kecuali untuk penggunaan yang kurang toleran terhadap pengembangan tebal yang besar, penggunanan flake eceng gondok untuk  composite board tidak boleh melebihi taraf 20%. Untuk mendapatkan informasi yang cukup mengenai aspek teknis pembuatan papan komposit modifikasi berbahan baku campuran, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh ketebalan anyaman sayatan bambu tali, penggunaan perekat jenis lain, dan atau penggunaan anyaman sayatan kulit bambu terhadap sifat fisis-mekanis papan komposit (Kurniawan dan  Ahmad, 2009)
topi natal imut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar