BERPIKIR DAN BERIMAN
1 Raja-Raja 22 , 21 Juni 2024
Kalau Anda mendengarkan khotbah di Gereja pada akhir dari setiap pernyataan seringkali si pengkhotbah minta konfirmasi dengan meminta saudara berkata “Amin”. Beberapa diantara Anda berespon “Amin”, kadang-kadang Anda ucapkan tanpa berpikir. Hal ini terjadi mungkin karena si pengkhotbah adalah pengkhotbah idola Anda, atau karena hampir semua jemaat juga menjawab “Amin”, atau karena pernyataan si pengkhotbah memang sesuai dengan yang Anda harapkan. Kadang juga ada pengkhotbah yang meminta Anda tepuk tangan, atas pernyataannya. Tentu semua ini sah-sah saja, karena tujuan khotbah adalah memasukkan ke dalam pikiran Anda sebuah nilai kebenaran yang baru atau mengingatkan kembali sebuah nilai kebenaran lama. Namun pernahkah Anda meragukan pernyataan si pengkhotbah ? Sebenarnya proses berpikir yang benar adalah “meragukan setiap kebenaran”.
Setiap penemuan yang baru adalah hasil proses berpikir yang tidak mainstream. Contoh, ketika Copernicus menyatakan teori bahwa bumi bulat, ini hasil meragukan pernyataan umum bahwa bumi adalah datar, juga ketika Galileo yang menyatakan bahwa Bumi mengelilingi Matahari dan bukan sebaliknya, ini terjadi juga karena ia meragukan kebenaran mainstream (kebenaran yang diakui banyak orang).
Didalam dunia yang modern, khususnya dunia pendidikan seharusnya mempunyai pendapat yang berbeda adalah hal yang wajar, bukan tabu. Itu sebabnya sebuah dialog atau diskusi atau bahkan perdebatan dalam membahas sebuah topik (kebenaran) adalah cara yang wajar dan beradab. Melalui sebuah diskusi akan dibiasakan seorang berpikir dan menyampaikan pendapatnya dan juga menerima cara berpikir yang berbeda. Tentu saja setiap kebenaran yang disampaikan harus berdasarkan argumentasi yang bisa dipahami atau logis.
Persoalan besarnya adalah banyak orang menganggap bahwa “berpikir logis adalah lawan dari beriman”, artinya seringkali orang beranggapan bahwa membahas kebenaran iman jangan pakai logika berpikir. Apakah ini benar ? Ya memang di dalam satu keadaan kita tidak bisa menganalisa Tuhan secara sempurna dengan logika otak kita yang adalah ciptaanNya. Namun karena Tuhan menciptakan otak yang adalah pusat pikiran dan kehendak kita, maka sudah seharusnya Tuhan juga ingin kita memakai otak kita sebagai alat mengerti akan kebesaranNya dan kedaulatanNya, apakah itu melalui alam semesta dan melalui sejarah manusia yang adalah ciptaanNya. Itu sebabnya semakin seorang mempelajari alam maka semakin ia percaya pasti ada Seorang Pencipta semesta alam.
Itu sebabnya seorang ilmuwan yang sekaliber Einstein berkata, “Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh, dan agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta”. Kalimat ini mengandung pesan berimanlah dengan tidak buta tapi dengan berpikir, tetapi berpikirlah dengan imajinasi yaitu percaya sebelum hal itu terjadi, atau percaya pada keadaan yang secara logika mainstream belum dipahami. Maka Anda akan menjadi “penerobos” yang mampu melahirkan penemuan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Anda setuju ? (DD)
Questions :
1. Apa bahaya dari beriman tanpa menyertakan logika yang dapat dipahami ?
2. Mengapa juga kita harus menjadi seorang yang mampu percaya kepada hal yang ada di luar mainstream ?
Values :
Sang Raja mengajarkan kepada muridNya untuk masuk kepada dimensi yang tidak terbatas, baik secara spiritual ataupun secara material.
“Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat (Ibrani 11:3)”
Kesadaran yang baru hanya dapat terjadi ketika kita percaya kepada nilai baru yang sebelumnya tidak kita pahami.
Menatap Sekeliling |