PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sebagian besar hutan alam di Indonesia
termasuk dalam hutan tropika basah.
Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan tropika basah sebagai ekosistem spesifik, yang hanya dapat berdiri
mantap dengan keterkaitan antara
komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara komponen penyusun ini memungkinkan bentuk
struktur hutan tertentu yang dapat
memberikan fungsi tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas biologis yang tinggi, siklus hidrologis yang
memadai dan lain-lain. Secara de facto
tipe hutan ini memiliki kesuburan tanah yang sangat rendah, tanah tersusun oleh
partikel lempung yang bermuatan negatif rendah seperti kaolinite dan
illite. Kondisi tanah asam ini
memungkinkan besi dan almunium menjadi aktif di
samping kadar silikanya memang cukup tinggi, sehingga melengkapi
keunikan hutan ini. Namun dengan
pengembangan struktur yang mantap terbentuklah
salah satu fungsi yang menjadi andalan utamanya yaitu ”siklus hara
tertutup” (closed nutrient cycling) dan keterkaitan komponen tersebut, sehingga
mampu mengatasi berbagai
kendala/keunikan tipe hutan ini (Kuswanda dan Mukhtar, 2008).
Di dalam kanopi iklim mikro berbeda
dengan keadaan sekitarnya; cahaya lebih
sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan
temperatur lebih rendah. Pohon-pohon kecil berkembang dalam naungan
pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di
dalam lingkungan pohon-pohon dengan
iklim mikro dari kanopi berkembang juga
tumbuhan yang lain seperti pemanjat, epifit, tumbuhan pencekik, parasit
dan saprofit.
Pohon-pohon dan banyak tumbuhan lain
berakar menyerap unsur hara dan air pada
tanah. Daun-daun yang gugur, ranting, cabang, dan bagian lain yang tersedia menjadi makanan untuk sejumlah inang
hewan invertebrata, seperti rayap juga
untuk jamur dan bakteri. Unsur hara dikembalikan ke tanah lewat pembusukan dari bagian yang gugur dan dengan
pencucian daun-daun oleh air hujan. Ini
merupakan ciri hutan hujan tropis persediaan unsur hara total sebagian besar terdapat dalam tumbuhan; secara relatif
kecil disimpan dalam tanah (Withmore,
1975).
Stratifikasi kanopi merupakan salah
satu konsep tertua dalam ekologi hutan tropis. Konsep ini telah
dikembangkan sejak permulaan abad ke-19,
namun masih menjadi perdebatan. Beberapa peneliti menyatakan adanya strata pada
kanopi hutan, namun peneliti lain tidak menemukannya. Penyebab utama kerancuan
ini adalah subyektivitas definisi dan metode yang digunakan. Istilah
stratifikasi digunakan untuk tiga perbedaan yang saling terkait, yaitu:
stratifikasi vertikal biomassa,
stratifikasi vertikal kanopi, dan stratifikasi vertikal spesies. Stratifikasi boleh
jadi ada berdasarkan salah satu definisi, tetapi tidak ada berdasarkan definisi
lainnya. Misalnya, biomassa dapat saja terstratifikasi, tetapi kanopi tidak
dapat ditentukan stratifikasinya, atau kanopi spesies yang sama terletak pada
strata yang berbeda (Baker dan Wilson,
2000).
Konsep stratifikasi tetap merupakan
alat yang sangat berguna untuk mengkaji distribusi vertikal tumbuhan dan hewan.
Metode tertua dan paling banyak digunakan untuk mengkaji
stratifikasi/arsitektur kanopi adalah diagram profil hutan secara vertikal dan
horizontal. Teknik ini pertama kali diterapkan oleh Watt (1924) pada hutan
temperate, Davis dan Richards (1933)
adalah orang pertama yang menerapkannya pada hutan tropis.
TINJAUAN PUSTAKA
Struktur vegetasi tumbuhan, seperti
tinggi, biomassa, serta heterogenitas vertikal dan horizontal, merupakan faktor
penting yang mempengaruhi perpindahan aliran materi dan energi, serta
keanekaragaman ekosistem. Kanopi/tajuk hutan merupakan faktor pembatas bagi
kehidupan tumbuhan, karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan.
Keberhasilan pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung karakter/penampakan
anak pohon. Variasi ketersediaan cahaya dan perbedaan kemampuan antar spesies
anak pohon dalam memanfaatkannya dapat mempengaruhi komposisi dan struktur
vegetasi hutan. Perbedaan kemampuan antara spesies anakan pohon dalam
menoleransi naungan mempengaruhi dinamika hutan. Pada kondisi cahaya rendah,
perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon muda dapat menyebabkan perbedaan
mortalitas yang besar, sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya (Pacala
dkk., 1996).
Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, biasanya dengan
panjang 40-70 m dan lebar 10 m, tergantung densitas pohon. Ditentukan posisi
setiap pohon, digambar arsitekturnya berdasarkan skala tertentu, diukur tinggi,
diameter setinggi dada, tinggi cabang pertama, serta dilakukan pemetaan
proyeksi kanopi ke tanah. Profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi
pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada tidaknya strata
hutan secara visual dan kualitatif . Dalam kasus tertentu, histogram kelas
ketinggian atau biomassa dibuat sebagai pelengkap diagram profil hutan (Ashton
dan Hall, 1992).
Stratifikasi
hutan hujan tropika dapat dibedakan menjadi 5 lapisan, yaitu :
- Lapisan A (lapisan pohon-pohon yang tertinggi atau emergent),
- lapisan B dan C (lapisan pohon-pohon yang berada dibawahnya atau yang berukuran sedang),
- lapisan D (lapisan semak dan belukar) dan
- lapisan E (merupakan lantai hutan).
Struktur suatu masyarakat tumbuhan pada hutan
hujan tropika basah dapat dilihat dari gambaran umum stratifikasi pohon-pohon
perdu dan herba tanah. Struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu:
- Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi.
- Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain.
- Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.(Kartawinata,1984).
Hutan
hujan tropika terkenal karena pelapisannya, ini berarti bahwa populasi campuran
di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara kontinu.
Tampaknya pelapisan vertikal komunitas hutan itu mempunyai sebaran populasi
hewan yang hidup dalam hutan itu. Sering terdapat suatu atau beberapa populasi
yang dalam kehidupan dan pencarian makanannya (Whitmore,1975).
Suatu stratum pohon dapat membentuk suatu
kanopi yang kontinu atau diskontinu. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya
tajuk-tajuk yang saling bersentuhan secara lateral. Istilah kanopi adakalanya
sinonim dengan stratum. Kanopi berart i suatu lapisan yang s edikit banyak
kontinu dari tajuk-tajuk pohon yang tingginya mendekati sama, misalnya
permukaan yang tertutup. Atap dari hutan kadangkala juga disebut kanopi. Di
dalam hutan hujan, permukaan ini dapat dibentuk oleh tajuk-tajuk dari stratum
yang paling tinggi saja.
Hutan hujan tropika terkenal karena
pelapisannya. Ini berarti bahwa populasi campuran di dalamnya disusun pada arah
vertikal dengan jarak teratur secara tak sinambung. Meskipun ada beberapa
keragaman yang perlu diperhatikan kemudian, hutan itu secara khas menampikan
tiga lapisan pohon. Lapisan pohon ini dan lapisan lainnya yang terdiri dari
belukar serta tumbuhan terna diuraikan sebagai berikut :
1. Lapis
paling atas (tingkat A) terdiri dari pepohonan setinggi 30-45 m. pepohonan yang
muncuk keluar ini mencuat tinggi di atas sudur hutan, bertajuk lebar, dan
ummnya terxebar sedemikan rupa sehingga tidak saling bersentuhan membentuk
lapisan yang bersinambung. Bentuk khas tajuknya sering dipakai untuk mengenali
spesies itu dalam suatu wilayah. Pepohonan yang mencuat itu sering berakar agak
dangkal dan berbanir.
2. Lapis
pepohonan kedua (tingkat B) di bawah yang mencuat tadi, ada kalanya disebut
juga sebagai tingkat atas, terdiri dari pepohonan yang tumbuh sampai ketinggian
sekitar 18-27 m. pepohonan in tumbuh lebih berdekatan dan cenderun membentuk
sudur yagn bersinambung. Tajuk sering membulat atau memanjang dan tidak selebar
seperti pada pohon yang mencuat.
3. Lapis
pepohonan ketiga (tingkat C), yang juga dinamakan tingkat bawah, terdiri dari
pepohonan yang tumbuh sampai ketinggian sekitar 8-14 m. pepohonan di sini
sering mempunyai bentuk yang agak beraneka tetapi cenderung membentuk lapisan
yang rapat, terutama di tempat yang lapisan keduanya tidak demikian.
4. Selain
dari lapis pepohonan tersebut, terdapat lapis belukar yang terdiri dari spesies
dengan ketinggian yang kebanyakan kurang dari 10 m. tampaknya terdapat dua
bentuk belukar : yang mempunyai percabangan dekat tanah dan karenanya tak
mempunyai sumbu utama; dan yang menyerupai pohon kecil karena mempunyai sumbu
utama yang jelas, yang sering dinamakan pohon kecil dan mencakup pohon muda
dari spesies pohon yang lebih besar.
5.
Yang terakhir, yaitu terdapat lapis terna yang
terdiri dari tumbuhan yang lebih kecil yang merupakan kecambah pepohonan yang
lebih besar dari lapisan yang lebih atas, atau spesies terna
(Ewusie, 1990).
Menurut Halle et al. (1978), pohon-pohon yang terdapat
di dalam hutan hujan tropika berdasarkan arsitektur, dan dimensi pohonnya
digolongkan menjadi tiga kategori pohon, yaitu:
1.
Pohon masa depan (trees of the future), yaitu
pohon yang masih muda dan mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang di
masa datang, pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan (lapisan B
dan C).
2.
Pohon masa kini (trees of the present), yaitu
pohon yang saat ini sudah tumbuh dan berkembang secara penuh dan merupakan
pohon yang paling dominan (lapisan A).
3.
Pohon masa lampau (trees of the past), yaitu
pohon-pohon yang sudah tua dan mulai mengalami kerusakan dan akan mati.
(Onrizal,
2008).
METODOLOGI
Bahan dan Alat
Adapun bahan yang digunakan adalah
komunitas hutan mangrove, berfungsi sebagai lokasi pengamatan.
Adapun alat yang digunakan adalah:
1. Kompas,
berfungsi sebagai alat penunjuk arah.
2. Meteran
20 m, berfungsi sebagai alat untuk menentukan luas areal pengamatan.
3. Phiband,
berfungsi sebagai alat untuk mengukur diameter pohon.
4. Walking
stick, berfungsi sebagai alat untuk menentukan tinggi pohon.
5. Tali
rafia, berfungsi sebagai alat untuk menentukan batasan areal pengamatan.
6. Galah/pacak,
berfungsi sebagai alat untuk mengambil sampel untuk identifikasi yang tidak
dapat dijangkau dengan tangan.
7. Golok
atau parang, berfungsi sebagai alat untuk membersihkan jalur rintisan dari
semak belukar.
8. Kertas
milimeter, berfungsi sebagai tempat menggambarkan diagram profil arsitektur
pohon.
9. Alat
tulis, berfungsi sebagai alat untuk menuliskan data hasil pengamatan.
Prosedur Kerja
1. Ditentukan
secara pruposive sampling komunitas hutan berdasarkan keterwakilan ekosistem
hutan mangrove yang akan dipelajari sebagai petak contoh pengamatan profil.
2. Dibuat
petak contoh berbentuk jalur dengan arah tegak lurus kontur (gradien perubahan
tempat tumbuh) dengan ukuran lebar 10 m dan panjang 60 m, ukuran petak contoh
dapat berubah tergantung pada kondisi hutan.
3. Dianggap
lebar jalur (10 m) sebagai sumbu Y dan panjang jalur (60 m) sebagai sumbu X.
4. Diberi
nomor semua tiang/pohon yang berdiameter > 5 cm yang ada di petak
contoh tersebut.
5. Dicatat
nama jenis pohon dan ukur posisi masing-masing pohon terhadap titik koordinat X
dan Y.
6. Diukur
diameter batang pohon setinggi dada, tinggi total, dan tinggi bebas cabang,
serta gambar bentuk percabangan dan bentuk tajuk.
7. Diukur
proyeksi (penutupan) tajuk terhadap permukaan tanah dari sisi kanan, kiri,
depan, dan belakang terhadap pohon.
8. Digambar
bentuk profil vertikal dan horizontal (penutupan tajuk) pada kertas milimeter
dengan skala yang memadai.
Pembahasan
Pembuatan diagram profil arsitektur pohon membutuhkan
data-data seperti diameter, tinggi total, tinggi bebas cabang, koordinat (X,Y),
serta proyeksi tajuk. Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan
plot, digambar arsitekturnya dengan
skala 1:100. Ditentukan posisi X dan diameter setinggi dada di sumbu X
pada setiap pohon, Kemudian tinggi bebas cabang dan tinggi total di sumbu Z.
Untuk proyeksi tajuk yaitu, ditempatkan pohon sesuai koodinat X di sumbu X dan
koordinat Y disumbu Y, kemudian dilakukan proyeksi tajuk ke arah depan,
belakang, kiri, dan kanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ashton dan Hall
(1992) yang menyatakan diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot,
tergantung densitas pohon. Ditentukan posisi setiap pohon, digambar arsitekturnya
berdasarkan skala tertentu, diukur tinggi, diameter setinggi dada, tinggi
cabang pertama, serta dilakukan pemetaan proyeksi kanopi ke tanah. Profil hutan
menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung
dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan kualitatif. Dalam kasus
tertentu, histogram kelas ketinggian atau biomassa dibuat sebagai pelengkap
diagram profil hutan.
Pohon
dominan merupakan pohon yang paling tinggi di suatu populai pohon bakau. Dari
hasil pengukuran tinggi pohon di Hutan mangrove bagus ,ketinggian pohon 4,9 m
(3,5m≤t<5m)merupakan pohon yang dominan di populasi bakau tersebut.
Sedangkan yang kodominan ketinggiannya 3 sampai 2,9m (2m≤t<3,5m). Pohon
dominan merupakan pohon masa depan dan pohon kodominan merupakan pohon masa kini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Halle
et al. (1978) dalam Onrizal (2008) yang menyatakan bahwa pohon-pohon
yang terdapat di dalam hutan hujan tropika berdasarkan arsitektur, dan dimensi
pohonnya digolongkan menjadi tiga kategori pohon, yaitu:
1.
Pohon masa depan (trees of the future), yaitu
pohon yang masih muda dan mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang di
masa datang, pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan (lapisan B
dan C).
2.
Pohon masa kini (trees of the present), yaitu
pohon yang saat ini sudah tumbuh dan berkembang secara penuh dan merupakan
pohon yang paling dominan (lapisan A).
3.
Pohon masa lampau (trees of the past), yaitu
pohon-pohon yang sudah tua dan mulai mengalami kerusakan dan akan mati.
Hutan mangrove terganggu (rusak)
tidak dapat dikatakan bahwa pohon tersebut merupakan pohon dominan ataupun
pohon kodominan karena dalam populasinya hanya terdapat satu pohon di situ.
Namun pohon tersebut dapat dikatakan pohon masa lampau, karena hutan tersebut
merupakan hutan yang sudah rusak akibat ulah manusia dan yang tersisa adalah
pohon tersebut dan perdu. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Halle et al. (1978) dalam Onrizal (2008) yang
menyatakan bahwa pohon-pohon yang terdapat di dalam hutan hujan tropika
berdasarkan arsitektur, dan dimensi pohonnya
adalah Pohon masa lampau (trees of the past), yaitu
pohon-pohon yang sudah tua dan mulai mengalami kerusakan dan akan mati.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Penutupan tajuk pada hutan mangrove bagus lebih rapat
karena vegetasi pohon yang terdapat di hutan tersebut sangat banyak.
2.
Penutupan tajuk pada hutan mangrove terganggu sangat
terbuka karena vegetasi pohon yang terdapat di hutan tersebut hanya 1 atau
sangat jarang.
3. Pada
hutan bagus terdapat individu dan jenis pohon masa depan dan pohon masa kini.
4. Pada
hutan mangrove rusak terdapat individu dan jenis pohon masa lampau.
5. Diameter
setinggi dada pada hutan mangrove adalah d≥5cm sedangkan diameter setinggi dada
pada hutan alam adalah d≥20cm.
DAFTAR PUSTAKA
Ashton, P.S., and
P. Hall. 1992. Comparisons of structure among mixed dipterocarp forests of
north-western Borneo. Journal of Ecology.
Baker, P.J. and
J.S. Wilson. 2000. A quantitative technique for the identification of canopy
stratifikasi in tropical and temperate forests. Forest Ecology and Management.
Ewusie, J. Y. 1990. Ekologi Tropika.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kartawinata, K.1984.Pengantar
Ekologi.Remaja Rosdakarya.Bandung.
Kuswanda, W. dan
A.S. Mukhtar. 2008. Kondisi Vegetasi dan Strategi Perlindungan Zona Inti di
Taman Nasional Batang Gadis.Sumatera Utara.
Onrizal. 2008.
Petunjuk Praktikum Ekologi Hutan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Pacala, S.W., C.D.
Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and E.Ribbens, 1996. Forest models
defined by field measurements II. Estimation, error analysis, and dynamics.
Ecology Monograph.
Whitmore, T.C. 1985. Tropical Rain
Forests of the Far East. Oxford:
Clarendon.
artikelnya sangat bermanfaat dan menunjang penyelesaian tugas saya.
BalasHapus