Lima September tahun lalu, saya mengajukan surat pengunduran diri sebagai ASN sekaligus sebagai direktur, itu adalah percobaan kedua setelah 2 tahun sebelumnya tidak mendapatkan persetujuan atasan langsung. Permohonan tersebut disambut baik atasan langsung saya yang baru dengan menandatangani persetujuan pengunduran diri saya.
.
Hari itu saya lega, selama hampir 20 tahun bekerja sebagai ASN rasanya sudah cukup melelahkan.
.
Eh, sepuluh hari kemudian, pimpinan tertinggi memanggil saya, dan dengan nada cukup keras menolak mentah-mentah surat pengunduran diri saya. Jika saya tetap mundur, artinya saya dianggap mangkir dan dilakukan pemberhentian dengan tidak hormat.
.
Saya ingin keluar dengan baik-baik sebagaimana masuk PNS dulu dengan baik-baik, karena begitulah etika profesional. Akhirnya, atas bujukan dan permintaan pribadi seseorang yang sangat saya hormati, saya memilih untuk membatalkan atau menunda rencana tersebut dan setuju dipindahkan ke unit yang tingkat kesibukan dan risikonya lebih rendah sambil fokus kuliah estiga.
.
Jika boleh jujur, saya sering merasa tidak cocok menjadi pejabat di pemerintah. Aneh saja rasanya harus berulang kali mengikuti kegiatan seremoni yang banyak diantaranya menurut pendapat pribadi saya tidak bermanfaat. Saya tidak mahir senyum formal sambil mengangguk-angguk di depan banyak orang, apalagi mendapat privelege yang memang menyenangkan tapi tidak dibutuhkan.
.
Tapi bukan itu yang membuat saya memutuskan mengajukan resign tahun lalu. Murni karena jenuh saja. Meski jenuh, karena sekarang saya masih di birokrasi, tak sedikitpun saya berniat menurunkan kinerja saya untuk memberikan yang terbaik di tempat saya bekerja. Lha, kita dibayar untuk itu.
.
Risiko menjadi pejabat pemerintah itu sama besarnya dengan profesi pembalap. Banyak nge-gas bisa mati, kebanyakan rem tanpa kontrol bisa celaka. Salah atau benar lajur yang dipilih, tetap akan di-bully. Benar tak pernah dipuji, salah dicaci maki. Orang-orang bilang itu konsekuensi. Terima saja.
.
Gaji seorang direktur dengan risiko menengah hingga tinggi di pemerintahan (mayoritas kementerian/lembaga) itu hanya setara gaji asisten manajer di sebuah pabrik otomotif. Buat saya lebih dari cukup, tapi tak pernah cukup bagi orang yang serakah.
.
Jika banyak pakar hukum menilai bahwa persoalan korupsi di pemerintahan itu semata karena mental korup dan serakah, menurut saya sebagian pernyataan itu benar. Mungkin setengahnya saja yang benar. Sisanya, adalah karena sistem pertanggungjawaban keuangan dan pengadaan di birokrasi yang penuh jebakan, model tahun anggaran yang memaksa birokrat 'ugal-ugalan' di akhir tahun, politik birokrasi, dan inkompetensi.
.
Faktor terakhir tadi (inkompetensi) baik dari birokrat karir maupun birokrat politisi menyumbang kerusakan terbesar di birokrasi. Bukan karena birokrat yang ditempatkan tidak pintar atau cerdas, bukan juga karena jahat, tapi penempatan yang tidak sesuai kompetensi dan kapasitas, pengabaian meritrokasi, mengakibatkan mesin birokrasi sering ngadat, jalan ditempat, bahkan bisa keluar jalur. Bayangkan kereta api yang disetir oleh seorang kusir.
.
Faktor eksternal yang tak kalah mengerikan adalah criminal justice system (CJS) kita yang acakadut. Siapapun yang dibidik bersalah, peluang lepasnya nyaris nol. Mempidanakan birokrat adalah tropi untuk jenjang karir penegak hukum. Semakin tinggi jabatan birokrat yang dipidanakan, semakin tinggi nilai tropi yang dimenangkan.
.
Tom Lembong pernah menuliskannya, bahwa ada persoalan fundamental atas CJS kita. Ia menulis setelah pengalamannya berada di tahanan dan bertemu para narapidana lain yang sebetulnya tak layak dipidana.
.
Reformasi total sistem di birokrasi bukan lagi sebuah urgensi, tapi emergensi. Sama prioritasnya dengan mereformasi CJS kita.
.
Saya kadang berpikir, jangan-jangan kita lebih senang melihat birokrat yang diproses hukum tanpa peduli akar masalahnya?
.
Jika iya, kegagalan sistemik dalam pengelolaan negara akan terus terjadi. Birokrasi hanya akan terus diisi politisi dan birokrat tak kompeten, lalu terjerembab permasalahan hukum, lalu diganti birokrat dan politisi lainnya, lalu terjerembab lagi, dan seterusnya sampai beneran terjadi lebaran monyet.
-Teguh Arifiyadi-
https://www.facebook.com/share/1JsaGyiaf6/





















