TANO BATAK (3), GENERASI MARRAGAM-RAGAM
Oleh Nestor Rico Tambun
Suatu kali, A.E. Manihuruk, jenderal yang cukup lama dipercaya Presiden Soeharto menjadi Kepala BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara), dalam satu rapat dengar pendapat di DPR, dikritik salah seorang anggota DPR menganut sukuisme, karena mengangkat orang Batak jadi pegawai negeri dari seluruh daerah.
Dengan santai, dengan logat Bataknya yang kental, Pak Manihuruk menjawab yang isinya kurang lebih begini:
Jadi pegawai negeri itu syaratnya banyak. Jadi guru, syaratnya ini, ini, ini. Jadi suster di rumah sakit, harus ada ini, ini, ini. BAKN memproses pengangkatan pegawai berdasarkan pengajuan dan syarat-syarat itu. Kalau kurang, disuruh lengkapi. Semua sama. Seluruh Indonesia begitu.
Jadi, bapak ibu anggota dewan yang terhormat, kami tidak bisa mengangkat pegawai yang berkasnya tidak diajukan dan syarat-syaratnya tidak lengkap. Jadi, kalau yang mengajukan berkas dan syaratnya lengkap dari Semarang, dari Palembang, dari Jayapura, dari Kupang, atau Samarinda itu orang Batak, ya saya nggak tahu. Coba bapak ibu anggota dewan yang terhormat periksa, kenapa orang yang minta diangkat jadi guru dan pegawai pemerintah daerah dari Papua itu orang-orang Batak?
Anggota dewan itu terdiam. Seorang anggota dewan lain nyeletuk sambil tersenyum, “Pak Manihuruk dilawan….”
Kisah ini diceritakan seorang teman wartawan, orang Batak, yang meliput dengar pendapat itu. Tapi itulah salah satu gambaran keistimewaan orang Batak. Pegawai negeri orang Batak itu ada dimana-mana. Itulah hasil orang-orang tua yang berjuang menyekolahkan anaknya itu.
Akhir tahun 60-an – awal 70-an, standar pendidikan putra-putri Tano Batak itu sudah SLTA: SMA, STM, SMEA, SPG, SPK. Di banyak daerah masih banyak orang tak lulus SD, bahkan buta huruf. Mereka-mereka ini pergi ke berbagai daerah di Indonesia, pergi sendiri atau ikut saudara, dan melamar jadi PNS dari sana. Pada masuk, karena sedikit saingan.
Orang Batak bukan etnis besar, tapi karena begitu tersebar, mereka terlihat sebagai suku yang "a truly special". Pergilah ke segala perguruan tinggi, pergilah ke segala kantor, dari di Sumatera, di Jawa, di Kalimantan, hingga pedalaman Papua. Di sana akan menemukan orang-orang bermarga. Jadi guru, jadi polisi, tentara, dokter, paramedis, pegawai pemda. Itu diluar yang kerja di perusahaan-perusahaan swasta, atau buka usaha.
Itu yang jalur sekolah. Seperti kita tahu, orang Batak juga "panombang" ulung. Di setiap daerah bukaan baru, pasti banyak orang Batak. Wilayah Riau kini sudah mirip tano Batak kedua. Dimana-mana kebun sawit orang Batak. Dari yang kecil hingga besar banget. Banyak yang jadi miliuner. Begitu pula di Jambi, dan daerah lain. Dari tempat panombangan inilah mereka menyekolahkan anak.
Nah, sekarang apa yang bisa diharapkan Tano Batak dari putra-putrinya yang tersebar di Nusantara ini? Bagaimana mereka ini memandang dan memperlakukan bonapasogit?
Kita harus realis. Orang-orang rantau yang merasakan hidup di kampung, dulu ikut bekerja keras dan hidup pahit bersama orangtua, umumnya masih ada rasa keterikatan dengan kampung, terutama kalau orangtua masih hidup. Sesekali mereka pulang untuk pesta, atau membawa anak-anaknya liburan.
Itu yang saya sebut di bagian awal tulisan ini. Kecintaan orang Batak pada kampungnya lebih personal, pada orangtua, pada keluarganya. Ya, mungkin kangen kampungnya, kangen lagu-lagu, makanan, dan sebagainya. Tapi tidak mencintai total, karena sadar kehidupannya sudah ada di tempat lain. Dia dan anak-anaknya tak mungkin Kembali.
Berbeda, misalnya, dengan orang-orang dari banyak daerah di Gunung Kidul, Kulon Progo, atau Bantul, yang dulu termasuk miskin karena sering kekeringan, yang contoh kemiskinannya saya ceritakan di awal cerita ini.
Kemiskinan membuat orang-orang dari daerah ini juga pergi ke kota, jadi tukang bakso, tukang jamu, jadi pembantu, atau pekerjaan lain, bahkan jadi TKI di luar negeri. Sering malah orangtua yang merantau, bapak jadi tukang bakso, atau ibu jadi bakul jamu, tapi anak-anak tinggal/sekolah di kampung.
Tiap bulan mereka mengirim uang ke kampung. Kantor-kantor bank-bank di daerah itu pasti tahu besar jumlah besar uang yang mengalir tiap bulan dari kota dan dari luar negeri ke daerah itu.
Di kota mereka hidup di kontrakan seadanya. Sukses bagi mereka adalah kalau bisa membangun atau memperbaiki rumah, atau membeli sawah di kampung. Kalau Lebaran, mereka ramai-ramai pulang. Pemerintah daerah menyambut mereka bak pahlawan. Daerah itu kini terlihat maju dan makmur, dari uang yang dicari di kota dan di luar negeri.
Batak tidak seperti itu. Kalau sukses di Bandung, ya bikin rumah di Bandung. Kalau perlu kawin dengan orang Bandung, nanti dikasih marga. Sukses di Pontianak, ya bikin rumah di Pontianak. Ya, kadang memperbaiki atau membangun rumah untuk orangtua di kampung. Tapi kalau orangtua sudah tiada, rumah itu sering jadi kosong.
Batak generasi anak-anak mereka lebih jauh lagi. Mungkin kenangan dan pemahaman mereka tentang orang Batak dan Tano Batak hanya sebatas ompungnya. Betapa tercengangnya kita melihat anak-anak muda Batak di kota-kota saat ini. Masih muda-muda, pintar-pintar. Banyak sekali, di segala bidang. Ya, karena umumnya keluarga Batak sangat mengejar pendidikan.
Suatu ketika, dalam pertemuan non-formal aktifis penyandang disabilitas, di sebuah café kopi, di Tebet, saya bertemu dengan seorang boru Sirait. Cantik, tidak kelihatan boru Batak. Umurnya baru 26 tahun, S2 dari Inggris, kerja di Bappenas, menangani bidang MDGs (pembangunan berkelanjutan) kalau tak salah, yang juga menyangkut disabilitas.
Saya tanya, boru Sirait dari mana? Dari Sirait Holbung. Saya kaget. Eh, kita satu kampung dong. Sirait Holbung itu nggak sampai satu kilometer dari Lumbanlobu. Itoan itu santai saja. Oya? Sudah lupa, karena hanya waktu kecil dulu pernah dibawa orangtuanya pulang ke sana.
Nah, kita harus realis menghadapi yang seperti ini. Kita sekarang sama-sama Batak. Tapi sebenarnya tidak sama lagi. Mungkin hanya kelihatan sama kalau ada pesta. Tapi dalam mindset kehidupan dan budaya, dalam memandang Tano Batak sebagai “bonapasogit”, mungkin sudah berbeda-beda.
Sebenarnya, yang diharap mempersatukan adalah budaya. Bahwa kita suku bangsa yang tua, dengan budaya yang sangat lengkap dan khas. Ada marga-marga, dengan huta-hutanya, ada rumus kehidupan Dalihan Na Tolu, ada rumah Batak, ada gondang, ada tortor, ada ulos, ada yang lain-lain.
Tapi semua akar-akar budaya itu kini kan mulai punah, termasuk di bonapasogit. Kini tak ada lagi yang bisa membangun rumah Batak. Sudah punah pande rumah dan panggorga. Kini kita manortor bukan dengan gondang. Sudah hampir habis pande gonsi. Kini kita manortor bukan dengan ulos Batak asli. Partonun ulos Batak asli tinggal beberapa gelintir.
Kini kita telah menjadi Batak yang marragam-ragam. Masih Batak. Masih ber-Dalihan Na Tolu. Tapi mungkin nilai-nilai Habatahon yang dianut orang Batak sekarang tidak sama lagi. Sudah dipengaruhi pandangan hidup lain, dipengaruhi sekte-sekte agama, dipengaruhi gaya kehidupan politik, dan macam-macam.
Tidak mengingkari ada juga orang Batak yang berbuat dengan niat ikut membangun daerah dan menolong orang di daerahnya. Tapi umumnya untuk kejayaan pribadi. Best practise perbuatan anak rantau untuk Tano Batak, mungkin Yayasan (SMA) Soposurung, yang merekrut anak-anak muda pintar, mendidik, sehingga semua masuk perguruan tinggi negeri terkemuka.
Lulusan SMA Soposurung kini ada dimana-mana, dan keren-keren. Tapi, apakah mereka ingin kembali dan mengabdi ke Tano Batak? Ya, saya kira mengutamakan karirnya. Agak pahit, tapi itu nyata. Tano Batak miskin karena membiayai anak-anak. Daerah lain, mengirim dan membawa yang ia dapat pulang ke daerah. Orang Minang juga banyak begitu.
Kita tahu, masyarakat pasti berubah. Kemana arah perubahan itu, tergantung masyarakat itu sendiri. Itu sudah rumus Ilmu Sosiologi.
Kayaknya, orang Batak, harus merumuskan ulang budayanya. Tano Batak harus memformat ulang kehidupan budaya yang baik. Jangan terlalu mengharapkan para Batak rantau, yang mungkin kebanyakan hanya sok heppot dan gittal. Pikiran dan cara pandangnya sudah beda. Cintanya sudah di lain negeri...