Menyimak Guru Kepenulisan Kita
Oleh : Kasnadi
Jika Anda pembaca sastra yang baik tentu kenal nama Budi
Darma. Sosok menarik dalam dunia sastra Indonesia ini, banyak menulis novel,
cerpen, dan juga esai. Keteladanannya dalam tradisi kepenulisan membulatkan
niat Wahyudi Iswanto menulis biografinya. Disamping itu seorang Joko Pitono
juga mengumpulkan pemikiran Budi Darma dalam judul bahasa, sastra dan Budi
Darma (2007). Pengarang kelahiran rembang (Jawa Tengah) ini satu-satunya Doctor
Of Philosophy dari Amerika Serikat dengan spesialis penulisan kreatif sastra.
Akhirnya, tidak salahlah jika ia dijadikan guru kepenulisan di Indonesia.
Sebagai pengarang, Budi Darma tidak dapat meninggalkan
konsep kejujuran. Menulis harus menanamkan kejujuran. Menurut Budi Darma,
kehidupan ini sudah aneh, sudah ganjil, sudah lucu, sudah unik, sudah menarik.
Seandainya kehidupan ini ditulis dengan jujur memang sudah menarik. Tak heran
jika dia melahirkan karya-karya yang mengangkat tema tentang kehidupan manusia
baik secara individual maupun secara sosial yang ganjil macam kesendirian,
keterasingan, kekejaman, keanehan, dan keganjilan.
Dari kejujurannya itulah, Budi Darma mempunyai tradisi unik
dalam kepengarangannya. Salah satu pengakuannya, menulis baginya adalah kerja
bawah sadar dengan keterbiusannya. Menulis baginya tidak dapat berjalan dengan
baik apabila dia tidak terbius. Keterbiusan inilah penurut pengakuannya dia
menjadi pengarang karena takdir, maka kalau tidak menulis dia berdosa. Sehingga
kalau ia tidak menulis berarti berkhianat terhadap garis hidupnya. Menulis menurut
dia adalah panggilan hidup. Tanpa menulis kehidupannya seperti kosong dan tak
berguna.
Meski takdir yang menyeret dia menjadi penulis, bukan
berarti menulis tanpa perjuangan. Bagi dia mengarang merupakan pekerjaan tanpa
ujungpemberhentian. Bagai tokoh Sisipus dalam mitologi Yunani, ia mendorong
batu kepuncak bukit dan setelah sampai
puncak bukit, batu itu terlempar ke bawah lagi dan Sisipus tak bosan-bosannya
mendorong batu itu ke puncak bukit lagi. Ini sesuai dengan kata pengarang yang
diidolakan Budi Darma, yakni William Faulkner. Dia berkata bahwa “Kita semua
gagal dalam mencapai impian kita mengenai karya yang sempurna, karena itu kita
rata-rata berada pada kegagalan indah untuk mengerjakan sesuatu yang tidak
mungkin terjangkau”. Konsep tersebut melahirkan etos menulis dan menulis tanpa
titik henti karena belum dan tak pernah sampai final.
Menulis merupakan kerja keras untuk menciptakan tradisi.
Tetapi perlu diingat bahwa tradisi yang diharapkan adalah tradisi yang
dilahirkan dari kecermelangan otak. Oleh karena itu, Budi Darma memegang konsep
kepenulisan yang selalu mengandalkan otak. Ini terlihat dalam esai-esainya yang
berjudul terkumpul dalam buku solilokui. Misalnya, “mula-mula adalah Otak”,
“Menulis Sungguh-Sungguh dan Menulis Pura-Pura”, “Pemberontak dan Pandai
Mendadak”, “Perihal Gendon dan Kawan-Kawannya”. Dalam lontaran-lontaran pikiran
dalam esainya itu nampak jelas bahwa kehebatan seseorang tidak ditentukan oleh
penampilan luar (performance), tetapi pemikiran yang dihasilkan oleh otaknya.
Seandainya ada orang hebat kebetulan cara hidupnya nyentrik, kehebatan dia
bukanlah dari kenyentrikannya, tetapi sekali lagi karena kecemerlangan otaknya.
Dari sinilah akan terbukti seseorang menjadi penulis sungguh-sungguh atau
penulis pura-pura, yang berhak menguji adalah zaman. Mereka yang tergolong
dalam penulis sungguh-sungguh tentu mempunyai nafas panjang, sedangkan mereka
yang menjadi penulis pura-pura akan bernafas pendek.
Hal ini
membelajarkan kepada kita bahwa menulis jangan membuat jengah, menulis harus
mengikuti perkembangan zaman, menulis harus belajar. Jangan berhenti setelah
melahirkan sebuah tulisan. Bahkan anggap saja tulisan yang baru kita selesaikan
adalah tulisan yang paling jelek. Dan kita merasa tertantang untuk menulis yang
lebih baik. Bagi penulis pemula jangan gampang membusungkan dada jika selesai
menulis sebuah karya, tetapi harus belajar dan terus belajar. Dan memang
penulis adalah pemikir, sehingga seorang penulis tidak dapat menulis tanpa
bersinggungan dengan pemikiran.
Sebagai seorang penulis yang matang, ia paham betul dengan
falsafah ilmu padi, konon semakin tua semakin merunduk (jika padi itu tumbuh
normal). Kerendahdirian itu akan melahirkan kepasrahan terhadap Tuhan. Dan
kenyataan inilah pada hakikatnya merupakan pengejawantahan kematangan jiwa
seseorang dalam menghayati kehidupan inilah yang patut kita teladani sebagai
manusia penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar