IMAJINASI SERBARUPA
Oleh : Iwan Kurniawan
Lewat pendekatan kultural, para seniman mengurai persoalan
tentang dunia imajinatif yang penuh kritik, protes, dan perlawanan melalui
simbol.
PINTU masuk gedung utama Galeri Nasional, Jakarta, disulap
menjadi pintu yang seakan keramat. Untuk masuk ke dalamnya, pengunjung akan
melewati sebuah candi, yang pada zaman dahulu, bahkan hingga kini, merupakan
sebuah tempat suci bagi umat Hindu.
Kekeramatan pintu itu merupakan sebuah proses kreativitas
seniman dalam menunjukkan keragaman budaya yang ada di tanah air. Ada sebuah
nuansa saat kita memasuki lembaran sejarah masa lalu yang tergambar jelas.
Kendati terlihat
sebagai sebuah hiasan pintu masuk, sesungguhnya candi itu merupakan karya
komunitas perahu art connection, Yogyakarta, berjudul Tample of Love yang
dipamerkan pada pameran seni rupa Nusantara bertajuk Mera Amuk.
Replika tersebut merupakan buah karya enam perupa. Mereka
ialah angka industriyana, Andi Ramdani, Didik Wahyu Setiawan, Iqro Ahmad
Ibrahim, Sulis Gianto Sugito, dan Wisnu Aji Putu.
Replika candi atau gapura Bajang ratu itu diperkirakan
dibangun pada abad ke-14 dan diyakini menjadi salah satu gapura terbesar pada
zaman keemasan Majapahit. Dulunya, gapura Bajang Ratu berfungsi sebagai pintu
masuk bangunan suci dalam memperingati wafatnya Jayanegara yang dalam kitab
Negarakertagama disebut “kembali ke dunia wisnu”.
Selain replika
tersebut, pameran Mera Amuk menampilkan 114 karya seniman lainnya hasil
pemilihan dari 25 provinsi. Ada instalansi, video art, hingga lukisan yang
begitu memikat mata pengunjung.
Tumbal (150 x 200 cm) karya Andy Wahono juga penuh nilai
magis. Dia mengingatkan kita akan dunia sihir. Misalnya seorang perempuan
sedang berada di tengah pusara. Objek gajah dengan gading yang panjang seakan
siap menyantap sang gadis itu.
Sebagai penambah ornamen untuk mendapatkan sudut pandang
serba kematian, dia menambah kerangka manusia tengkorak. “ini seolah ada sebuah
ritus yang baru saja berlangsung secara tragis,” ujar Andy, pertengahan pekan
ini.
SIMBOL
Kendati menghadirkan nuansa yang jarang ditampilkan seniman
kontemporer, Ugy Sugiarto menghadirkan Beauty Ailing (197 x 197 cm ). Pada
lukisan itu hanya ada satu objek perempuan. Dia sedang duduk. Tangannya
menggemgam di lutut. Namun, ada corak dalam lukisan yang begitu khas. Sang
perempuan telanjang itu sedang terbalut lumuran lumpur.
Ugy seakan menghadirkan lumpur sebagai bentuk protes.
Perempuan acap kali dilecehkan dan dijadikan sebagai obyek untuk memuaskan hawa
nafsu. Penggunaan nama Tionghoa juga memberikan sebuah stigma, perempuan
Tionghoa sering menjadi objek di sekitar kehidupan kita.
Terlepas dari itu, kecantikan Ailing yang disuguhkan menunjukkan
teknik lukis yang membuat semuanya tampak lebih menarik perhatian. Sebuah
ketelanjangan yang tak berdosa.
Sebagai kritikan, Andre Busrianto menghadirkan karya bukan
penggongong kiblat konstitusi (300 x 240 cm). Dalam karya itu terdapat sederet tokoh
sastrawan seperti Chairil Anwar. Namun, pada panel lainnya dia menghadirkan
tiga ekor anjing seakan sedang menginjak sajadah.
Tak hanya itu, maraknya kasus korupsi di negeri ini juga
menjadikan Mulya Gunarso menghadirkan karya U (180 x 200 cm). Karya itu
menampilkan setumpuk onggokan sampah. Dibawahnya ada dua ekor tikus yang seakan
terpisah dari tumpukan sampah itu.
Seekor tikus sedang menaiki botol mineral dan satunya
sedang terperangkap di dalam kaleng bekas. Mulyo ingin menunjukkan para koruptor
pasti tertangkap, koruptor pun akan dijebloskan ke penjara.
Terlepas dari karya-karya tadi, sederet seniman lainnya
juga menghadirkan karya yang cukup khas, sebut saja Ubed Mashonef (NTT),
Hendrik B (papua), Alfres D Pantolondo (Sulawesi Utara), hingga Endeng Mursalin
(Sulawesi Tengah).
Kurator Asikin Hasan mengatakan pameran tersebut mencoba
menyoal persoalan mendasar dari fungsi seni rupa. Selain sebagai ekspresi
pribadi, seni rupa juga menjadi fungsi sosial tentang kemanusiaan. “semua tema
penuh kritik, protes dan perlawanan melalui simbol. Persoalan ini sangat cocok
karena relevan dengan kondisi politik menuju 2015,” papar Asikin.
Sumber : Koran Kompas edisi
Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar