H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Minggu, 04 September 2011

BUDAYA


ADAT MELAYU TENTANG PELESTARIAN HUTAN
OLEH : Wan Syaifuddin

Baru bertunas janganlah dipetik,
Baru sepulau tak terkajang,
Berkerat rotan berpatah arang,
Besar kayu, besar dahannya.
            Masyarakat melayu sumatera timur adalah beragama islam. Mereka sangat memperhatikan lingkungan, alam, dan pemeliharannya. Pengejawantahan dari syariat islamlah adat dan Hukum melayu mewujudkan norma-norma yang mengisyaratkan bahwa hutan hanya dirambah jika sangat perlu. Misalnya untuk pembuatan dusun dan huma serta untuk pembuatan perahu. Selain itu, hutan juga boleh disentuh dan direbahkan manakala diperuntukkan kepada alat musik dan ramuan obat.
            Berdasarkan norma-norma adat melayu itu, maka perilaku terhadap alam lingkungan diawasi dengan pepatah adat yang berbunyi :
Kalau tak ada laut hampalah perut,
Bila tiada hutan binasalah badan,
Kalau binasa hutan yang lebat,
Rusak lembaga hilanglah adat.
            Secara filosopis makna dari pepatah adat tersebut menyatakan bahwa manakala lingkungan tidak terjaga atau terbiar, maka rusalkah kehidupan manusia di atas bumi. Oleh karena itu, nilai yang diutarakan oleh pepatah tersebut menyatakan adanya hubungan dan ikatan yang kuat antara seseorang dengan keselamatan diri, masyarakat, dan kehidupannya sehari-hari dengan perilaku pelestarian hutan.
            Selain itu berates petuah melayu yang memperlihatkan keseimbangan alam lingkungan dengan manusia melayu. Keseimbangan ini agar jangan masyarakat merusak alamnya. Diantaranya disebutkan :
“Tanda orang memegang amanah
Pantang merusak hutan dan tanah
Tanda ingat ke hari tua, laut dijaga bumi dipelihara
Tanda ingat adat lembaga, laut dikungkung hutan dijaga
Siapa sadar dirinya Khalifah, terhadap alam tiada menyalah”
“Beramu tak merusak kayu
Berotan tak merusak hutan
Bergetah tak merusak rimba
Berumah tak merusak tanah
Berkebun tak merusak dusun
Berkampung tak merusak gunung
Berladang tak merusak padang”
            Mengapresiasi secara sederhana segala petuah diatas, jelas menunjukkan bahwa adanya tanggung jawab kepada setiap manusia Melayu ke atas segala kerusakan dan pemeliharaan hutan. Tidak hanya itu, segala kias dan pepatah tersebut juga menyatakan pelestarian dan sikap manusia Melayu terhadap alam berkaitan erat dengan iman dan eksistensi dirinya diharibaan Allah SWT. Sekaligus menyatakan segala petuah tersebut sebagai manifestasi bahwa budaya Melayu bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah.
TANDA DAN ISTILAH
            Tidak hanya pepatah dan petuah diatas, para sultan, petua kampong, penghulu adat juga membuat alat untuk menegaskan lagi kepedulian masyarakat terhadap hutan. Hal ini juga menyahuti gerak dan kedudukan hutan dalam kehidupan manusia Melayu. Maka, dalam berbagai kondifikasi hokum dikeluarkanlah Tanda dan Istilah oleh para sultan kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Tanda dan istilah larangan di hutan rimba tersebut jika dilanggar akan dikenakan hukuman oleh kerapatan adatnya.
            Di kerajaan / negeri Serdang ada bermacam-macam tanda dan istilah larangan di hutan rimba, antara lain :
-      Kait-kait, yaitu tanda yang mengijinkan untuk mengambil bidang tertentu di hutan yang akan ditebas. Sultan mengistiharkan pada setiap satu kait hutan ditebas berarti luasnya satu gantang benih padi ditanam. Barulah hutan ditebas luasnya harus bersesuaian dengan kait-kait. Luasnya paling luas lebih kurang satu depa empat persegi. Hal ini tujuannya agar tidak mengganggu gerak pertumbuhannya.
-      Tanda salib yaitu tanda  batas kait yang diberikan kepada seseorang untuk menebas hutan. Lamanya penebasan hutan hanya bila tanda itu telah lapuk, yaitu lebih kurang empat bulan saja.
-      Tanda kali yaitu tanda larang untuk belantik, ranjau, dan lain-lain yang diperkenankan dengan izin penguasa. Salah satunya dibuat disetiap penjuru tempat yang berbahaya itu, dan pada antaranya dibuat juga tanda seperti itu. Tanda-tanda ini semuanya bertujuan untuk menjaga perkembangan dan pelestarian hutan yang ada di suatu wilayah.
-      Bulan-bulan (0) yaitu tanda larangan yang diperuntukkan untuk pohon-pohon di hutan agar jangan diambil orang. Tanda ini ditambah lagi tebasan di sekeliling pohon-pohon itu kira-kira satu depa.
-      Lambai-lambai yaitu tanda yang dibuat oleh penguasa kerajaan di setiap penjuru hutan larangan.kemudian didirikan salib serta direntang lambai-lambai itu yang terbuat dari daun kelapa muda atau daun yang lainnya diikat dengan tali.
-      Pulang-pulang rota yaitu tanda yang dibuat oleh kerajaan jika ada sarang lebah di pohon itu. Haruan yakni tanda agar jangan diganggu.
-      Pinah-pinahan inilah tanda larangan untuk membuat lubuk. Lubuk yang dibangun dibuat jagung yang digantungkan  yang disebut pinah-pinahan.
Walaupun tanda dan istilah tersebut bermanfaat terhadap pelestarian hutan, tetapi sejak tahun 1871 banyak sekali dihapuskan. Hal ini dilakukan sejak tidak berlakunya system beraja atau kerajaan di Sumatera timur. Tanda dan istilah yang dihapus diantaranya Barang larangan yaitu tanda bahwa setiap orang berburu gajah jantan atau badak, maka harus dengan seijin raja, Tapak lawang yaitu bahwa tanah yang dipungut melalui penghulu kampong kepada penduduk pendatang dimana mereka minta izin membuka sebidang tanah untuk berladang padi, Pancong alas yaitu tanda bahwa hasil yang dipungut penghulu kampong dari orang pendatang mendapat izin mengumpulkan hasil-hasil hutan cukainya ialah 10 % dari nilai hasil yang diambil.
PENUTUP
            Kesemua norma-norma adat yang menjadi peraturan yang bersifat konvensional di atas diawasi oleh para sultan, penghulu adat, dan para petua kampong di kerajaan Melayu. Tidak hanya itu para sultan juga dalam membuat setiap istilah dan tanda terlebih dahulu mengkodifisikannya secara tertulis kepada pemerintah Hindia Belanda “Jacht Verurdening” di Sumatera Timur.
            Maknanya peranan setiap lapisan masyarakat digerakkan dan difungsikan dalam menegakkan norma-norma yang bersifat melestarikan hutan. Apalagi peranan penguasa sangat diperankan. Penghulu adat dan para petua kampong, manakala sultan sebagai penguasa berprilaku merusak hutan, tidak segan-segan mengingat akan ikrar penguasa Melayu “Raja zalim Raja disanggah, Raja arif raja disembah”. Sikap perilaku ada Melayu terhadap hutan lebih tergambar secara jelas dalam pepatah adat Melayu yang menyatakan :
“Patah rantingnya minum airnya
Nenek moyang kita yang empunya”
“Sehelai akar punting
Sebatang kayu rebah
Sebingkah tanah terbalik
Negeri yang empunya
Pinang nan gaya nyiur yang saka
Jerat yang panjang
Nenek moyang kami yang empunya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar