H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Sabtu, 22 Oktober 2011

Relasi Kebakaran


HUBUNGAN OKSIGEN TERHADAP NYALA API

A. Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir ini penjarahan hutan atau penebangan liar di kawasan hutan makin marak terjadi dimana-mana seakan-akan tidak terkendali. Ancaman kerusakan hutan ini jelas akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa besarnya karena adanya efek domino dari hilangnya hutan, terutama pada kawasan-kawasan yang mempunyai nilai fungsi ekologis dan biodiversitas besar. Badan Planologi Departemen  Kehutanan melalui citra satelit menunjukkan luas lahan yang masih berhutan atau  yang masih ditutupi pepohonan di Pulau Jawa tahun 1999/2000 hanya tinggal  empat persen saja.  Kawasan ini sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran  sungai (DAS). Akibat dari kejadian ini tidak saja hilangnya suatu kawasan  hutan yang tadinya dapat mendukung kehidupan manusia dalam berbagai  aspek misal kebutuhan akan air, oksigen, kenyamanan  (iklim mikro),  keindahan (wisata), penghasilan (hasil hutan non kayu dan kayu), penyerapan carbon (carbon sink), pangan dan obat-obatan akan tetapi juga hilanglah biodiversity titipan generasi mendatang (Departemen Kehutanan, 1995).
Saat ini di dunia internasional telah berkembang trend baru melalui perdagangan karbon (CO2). Perdagangan karbon diawali dengan disepakatinya Kyoto Protocol bahwa Negara-negara penghasil emisi karbon harus menurunkan tingkat emisinya dengan menerapkan teknologi tinggi dan juga menyalurkan dana kepada negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk mampu menyerap emisi karbon secara alami misalnya melalui vegetasi (hutan). Indonesia dengan luas hutan tersebar ketiga di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui carbon sink. Hal ini bisa terjadi jika hutan yang ada dijaga kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan hutan (degraded land). Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak (degraded forest) dengan cara penghutanan kembali (reforestasi) (Departemen Kehutanan, 1995).
Hutan Pinus di Indonesia sebagai salah satu hutan tanaman yang memiliki nilai ekonomi strategis dan persebarannya yang cukup luas saat ini diandalkan sebagai penghasil produk hasil hutan non kayu melalui produksi getahnya. Nilai ekonomi hutan Pinus dianggap masih rendah apabila hanya dihitung dari nilai getah dan kayunya saja, sudah saatnya dilakukan upaya penghitungan manfaat hutan sebagai penyedia jasa lingkungan yang diharapkan mampu memberikan nilai ekonomi lebih tinggi dengan mengetahui berbagai kemampuannya dalam menyediakan sumberdaya air, penyerap karbon, penghasil oksigen, jasa wisata alam, satwa, biodiversitas dan sebagainya (Davis dan Kruman, 1959).
Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya pengamatan mengenai  “Hubungan Oksigen Terhadap Nyala Api”.

Kebakaran Hutan

Hutan dan lahan merupakan sumber daya alam yang sangat potensial untuk dimanfaatkan bagi pembangunan Nasional. Kendati demikian terhadap hutan dan lahan sering terjadi ancaman dan gangguan sehingga menghambat upaya-upaya pelestariannya. Salah satu bentuk ancaman dan gangguan tersebut adalah kebakaran hutan dan lahan (Davis dan Kruman, 1959).
Kebakaran hutan dan lahan mempunyai dampak buruk terhadap tumbuhan/tanaman, sosial ekonomi dan lingkungan hidup, sehingga kebakaran hutan dan lahannya bukan saja berakibat buruk terhadap hutan dan lahannya sendiri, tetapi lebih jauh akan mengakibatkan terganggunya proses pembangunan (Departemen Kehutanan, 1995).
Sementara ini kebakaran hutan dan lahan masih dianggap sebagai suatu musibah/bencana alam seperti halnya gempa bumi dan angin topan, padahal kebakaran hutan dan lahan berbeda dengan kejadian-kejadian bencana alam tersebut. Kebakaran hutan dan lahan dapat dicegah/dikendalikan, karena kita telah mengetahui bahwa apabila musim kemarau atau daerah rawan kebakaran tidak diadakan pencegahan sudah dapat dipastikan akan terjadi kebakaran hutan/lahan (Evans,1982).
Berdasarkan hal tersebut di atas, sudah saatnya pengendalian kebakaran hutan dan lahan ditangani secara terencana, menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan. Dengan kata lain, bahwa pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak hanya tertuju pada pemadaman saat kebakaran hutan musim kemarau, tetapi hal-hal lain yang bersifat pencegahan harus direncanakan dan dilakukan berkelanjutan baik pada musim kemarau maupun pada musim penghujan (Sulthoni, 1999).
Faktor-faktor terjadinya suatu kebakaran hutan dan lahan adalah karena adanya unsur panas, bahan bakar dan udara/oksigen. Ketiga unsur ini dapat digambarkan dalam bentuk segitiga api. Pada prinsipnya, pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah menghilangkan salah satu atau lebih dari unsur tersebut (Suratmo, 1980).
Penyebaran api bergantung kepada bahan bakar dan cuaca. Bahan bakar berat seperti log, tonggak dan cabang-cabang kayu dalam keadaan kering bisa terbakar, meski lambat tetapi menghasilkan panas yang tinggi. Bahan bakar ringan seperti rumput dan resam kering, daun-daun pinus dan serasah, mudah terbakar dan cepat menyebar, yang selanjutnya dapat menyebabkan kebakaran hutan/lahan yang besar (Rusmantoro, 2003).
Unsur-unsur cuaca yang penting dalam kebakaran hutan dan lahan adalah angin, kelembaban dan suhu. Angin yang bertiup kencang meningkatkan pasokan udara sehingga mempercepat penyebaran api. Pada kasus kebakaran besar, angin bersifat simultan. Semakin besar kebakaran, tiupan angin semakin kencang akibat perpindahan massa udara padat di sekitar kebakaran ke ruang udara renggang di tempat kebakaran (Dodi, 1998).


Gambar 1. Hubungan Yang Menyebabkan Kebakaran

Kadar air/kelembaban bahan bakar juga penting untuk dipertimbangkan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pada keadaan normal, api menyala perlahan pada malam hari karena kelembaban udara diserap oleh bahan bakar. Udara yang lebih kering pada siang hari dapat menyebabkan kebakaran yang cepat. Oleh sebab itu, secara teknis pada malam hari akan lebih mudah mengendalikan kebakaran hutan/lahan daripada siang hari. Namun demikian tidak lantas berarti, bahwa pengendalian kebakaran secara serius tidak dilakukan pada siang hari. Kenyataannya karena berbagai pertimbangan, kebakaran lebih banyak ditanggulangi pada siang hari. Suhu udara juga mempengaruhi para pemadam kebakaran, dalam keadaan udara yang panas, daya tahan dan kemampuan kerja pemadam kebakaran menurun (Departemen Kehutanan, 1995).

Faktor-Faktor Yang  Mempengaruhi Perilaku Api
1. Bahan bakar
Secara umum bahan bakar dapat dibagi menjadi tiga bagian menurut tingkatan atau susunan secara vertikal.
a. Bahan Bakar Atas
Semua bahan bakar hijau (hidup) dan mati yang terdapat di kanopi hutan, meliputi cabang ranting dan mahkota pohon serta semak belukar yang tinggi.
b. Bahan Bakar Permukaan
Semua bahan yang dapat terbakar di atau dekar permuaan tanah, meliputi daun-daun kering, rumput, batang, ranting belukar dan bahan organik yang terdapat di lantai hutan atau permukaan tanah.
c. Bahan Bakar Bawah
Semua bahan yang dapat terbakar yang terdapat di bawah permukaan tanah, meliputi bonggol akar, batubara, akar-akar tanaman dan pembusukan  bahan-bahan kayu lainnya (Suratmo, 1980).
Sedangkan menurut sifat dan penyebarannya  bahan bakar dapat dibedakan menjadi  beberapa golongan sebagai berikut:
a. Bahan Bakar Ringan
Bahan bakar ringan adalah bahan bakar yang mudah terbakar seperti rumput, daun atau serasah dan tanaman muda. Bahan bakar ringan biasanya akan mudah terbakar dan akan cepat padam.
b. Bahan Bakar Berat
Bahan bakar berat adalah bahan bakar yang terdiri dari batang kayu yang rebah, tunggul, sisa-sisa tanaman yang akan sulit terbakar dan akan sulit dipadamkan bila telah terbakar.
c. Bahan Bakar Merata
Mencakup bahan bakar yang terdistribusikan secara kontinyu pada suatu areal. Termasuk dalam katagori ini, adalah daerah-daerah yang memiliki suatu jaringan bahan bakar dan saling berhubungan satu sama lain sehingga terbuka jalan bagi penyeberangan api.
d. Bahan Bakar Tidak Merata
Meliputi semua bahan bakar yang terdistribusikan secara tidak merata pada suatu areal. Hambatan atau rintangan tertentu yang ada, misalnya berupa  gunung batu, Kolam atau danau, jalan, sungai atau tanaman yang sulit terbakar.
e. Bahan Bakar Yang Sangat Rapat        
Meliputi tanaman pada areal dimana tanaman yang ada penyebaranya sangat rapat serhingga dimungkinkan  api dapat merambat ketas melalui dahan dan ranting yang saling berhubungan (Suratmo, 1980).

2. Temperatur Udara
Temperatur udara tergantung dari intensitas panas/penyinaran matahari. Daerah-daerah dengan temperatur tinggi akan menyebabkan cepat mengeringnya bahan bakar, dan memudahkan terjadinya kebakaran (Suratmo, 1980).

3. Curah Hujan
Daerah dengan curah hujan tinggi  berpengaruh terhadap kelembaban  dan kadar air bahan bakar. Bila kelembaban  dan kadar air tinggi, bahan bakar sulit terbakar (Suratmo, 1980).

4. Kelembaban Nisbi
Kelembaban nisbi atau kelembaban uadara di dalam hutan sangat berpengaruh terhadap mudah tidaknya bahan bakar yang ada untuk mengering, yang berarti mudah tidaknya terjadi kebakaran (Suratmo, 1980).

5. Angin
Angin merupakan faktor pemacu dalam tingkah laku api. Angin mempercepat pengeringan bahan bakar, memperbesar ketersedian oksigen sehingga api berkobar dan merambat dengan cepat. Disamping itu angin dapat menerbangkan bara api yang dapat menimbulkan api loncat, dan terjadinya kebakaran baru (Rizaldi, 2003).

6. Topografi
Bentuk permukaan tanah sangat penting untuk mengontrol suatu kebakaran. Bukit dan lereng lebih sulit dibanding dengan lahan datar, semua mempengaruhi bagimana kebakaran terjadi dan bagaimana cara memadamkannya. Ada beberapa hal pengaruh kemiringan terhadap kebakaran (Rizaldi, 2003).

7. Kemiringan  atau kelerengan
Pada lahan yang miring nyala api akan mendekati bahan bakar yang ada di atasnya  dan akan bergerak lebih cepat dibanding lahan yang datar. Tanaman akan menjadi panas sebelum api menyentuhnya, dan akan lebih mudah untuk  terbakar. Pada kelerengan yang terjal akan lebih cepat api menyebar dan akan lebih sulit untuk dikontrol. Dalam membuat sekat bakar untuk di atas lereng harus lebih lebar dibanding jika membuat di bawah lereng (Rizaldi, 2003).
Aspek adalah posisi kemiringan terhadap arah datangnya sinar matahari. Lahan miring yang langsung menghadap matahari, akan lebih cepat terjadi  panas  dan mengalami proses pengeringan bahan bakar, sebaliknya pada bagian lain bahan bakar relatif lebih dingin, sehingga apabila terjadi kebakaran pada  lereng yang menghadap matahari atau sebalah timur akan lebih cepat jika kebakaran terjadi pada lereng bagian barat (Rizaldi, 2003).
Pembakaran pada dasarnya merupakan reaksi oksidasi yang cepat dari suatu bahan. Dibanding dengan proses oksidasi yang lain misalnya penguraian, pembakaran berlangsung jauh lebih cepat. Untuk setiap proses kebakaran, faktor-faktor bahan baker, oksigen (udara) dan panas merupakan prasyarat yang harus ada dalam kondisi dan perbandingan yang tepat. Reaksi kimiawi proses kebakaran yang melibatkan ketiga komponen tersebut dapat digambarkan seperti pada persamaan reaksi sebagai berikut :


                                      =(CH2O)n + O2                           n CO2 + n H2O (anorganik)

       
Kebakaran hutan pada dasarnya merupakan penyalaan bahan-bahan organik kering yang ada didalam hutan, namun demikian tipe kebakaran yang terjadi sangat bervariasi. Jumlah, kondisi dan penyebaran bahan-bahan yang potensial dapat terbakar, kondisi cuaca, topografi, sangat menentukan tipe kebakaran dan akibat kerusakan yang terjadi (Rusmantoro, 2003). 


METODE PERLAKUAN

B. Alat dan Bahan
Alat
Alat yang digunakan adalah :
1.      Gelas dengan volume yang berbeda-beda (320 ml, 280 ml, 200 ml)
2.      Stopwatch, untuk mencatat waktu
3.      Alat tulis, untuk mencatat data

Bahan
Bahan yang digunakan adalah :
1.      Lilin, sebagai bahan yang akan diuji
2.      Korek api, sebagai bahan baker


C. Prosedur
            Adapun prosedur yang harus dilakukan adalah :
1.      Diukur volume masing-masing gelas kecil, sedang, dan besar
2.      Dinyalakan lilin dengan ukuran yang sama, panjang, dan lebarnya
3.      Ditutup lilin dengan gelas kecil, sedang, dan besar
4.      Dicatat lama nyala api menyala hingga padam
5.      Dilakukan lagi hingga 3 kali ulangan
6.      Dibuat tabel hubungan volume O2 dan lamanya api
Volume
Ulangan
Lama Waktu
Keterangan





Kesimpulan :
            Perlakuan kali ini berjudul “Hubungan Oksigen Terhadap Nyala Api”. Dalam perlakuan ini dapat dibuktikan bahwa Oksigen juga sangat mempengaruhi kebakaran atau nyala api, dengan semakin sedikitnya Oksigen maka nyala api lama-kelamaan akan padam dan akhirnya mati. Semakin besar suatu wadah penutup maka semakin banyak pula mengandung Oksigen sehingga nyala padamnya lebih lama (Rusmantoro, 2003).
            Dari perlakuan didapat data yang diperoleh adalah  Pada gelas dengan volume 320 ml lama waktu menyala selama tiga kali perulangan adalah 10.2”, 7.8”, dan 10” ; Pada gelas dengan volume 280 ml lama waktu menyala selama tiga kali perulangan adalah 2.6”, 3.7”, dan 3.3” ; Pada gelas dengan volume 200 ml lama waktu menyala selama tiga kali perulangan adalah 2.0”, 1.9”, dan 2.3”. Hal ini menandakan bahwa semakin besar volume suatu gelas maka semakin tinggi pula kandungan Oksigennya dan akan semakin lama api menyala daripada ukuran gelas yang lebih kecil, dan juga sebaliknya.
            Hal ini sesuai dengan pernyataan Rusmantoro, 2003 yang menyatakan bahwa Pembakaran pada dasarnya merupakan reaksi oksidasi yang cepat dari suatu bahan. Dibanding dengan proses oksidasi yang lain misalnya penguraian, pembakaran berlangsung jauh lebih cepat. Untuk setiap proses kebakaran, faktor-faktor bahan bakar, oksigen (udara) dan panas merupakan prasyarat yang harus ada dalam kondisi dan perbandingan yang tepat.
            Dari data yang didapat dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa kebakaran dalam hutan dapat terjadi bila sedikitnya tersedia tiga komponen yaitu bahan bakar yang potensial, oksigen atau udara, dan penyalaan api. Seluruh komponen penyusun hutan pada dasarnya dapat merupakan bahan bakar untuk kebakaran hutan. Potensi komponen tersebut sebagai bahan bakar, baik sendiri atau secara kumulatif, ditentukan oleh jumlah, kondisi terutama kadar airnya dan penyebaran luas hutan.
            Oksigen atau udara pada umumnya tersedia dalam kondisi berlimpah pada bagian hutan diatas permukaan tanah, misalnya didalam lapisan tajuk, lapisan batang dan lapisan tumbuhan bawah. Didalam serasah yang tidak padat juga terdapat udara yang cukup banyak. Bila kondisi oksigen atau udara yang melimpah pada saat kebakaran hutan terjadi, maka kebakaran akan disertai nyala api besar. Sebaliknya bila ketersediaan oksigen atau udara terbatas, maka kebakaran hutan tidak menimbulkan nyala api, misalnya kebakaran gambut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar