HUBUNGAN OKSIGEN TERHADAP NYALA API
A. Latar Belakang
Beberapa
tahun terakhir ini penjarahan hutan atau penebangan liar di kawasan hutan makin
marak terjadi dimana-mana seakan-akan tidak terkendali. Ancaman kerusakan hutan
ini jelas akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa besarnya karena
adanya efek domino dari hilangnya hutan, terutama pada kawasan-kawasan yang
mempunyai nilai fungsi ekologis dan biodiversitas besar. Badan Planologi
Departemen Kehutanan melalui citra
satelit menunjukkan luas lahan yang masih berhutan atau yang masih ditutupi pepohonan di Pulau Jawa
tahun 1999/2000 hanya tinggal empat
persen saja. Kawasan ini sebagian besar
merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS). Akibat dari kejadian ini tidak
saja hilangnya suatu kawasan hutan yang
tadinya dapat mendukung kehidupan manusia dalam berbagai aspek misal kebutuhan akan air, oksigen,
kenyamanan (iklim mikro), keindahan (wisata), penghasilan (hasil hutan
non kayu dan kayu), penyerapan carbon (carbon sink), pangan dan obat-obatan
akan tetapi juga hilanglah biodiversity titipan generasi mendatang (Departemen
Kehutanan, 1995).
Saat
ini di dunia internasional telah berkembang trend baru melalui perdagangan
karbon (CO2). Perdagangan karbon diawali dengan disepakatinya Kyoto Protocol
bahwa Negara-negara penghasil emisi karbon harus menurunkan tingkat emisinya
dengan menerapkan teknologi tinggi dan juga menyalurkan dana kepada
negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk mampu menyerap emisi
karbon secara alami misalnya melalui vegetasi (hutan). Indonesia dengan luas
hutan tersebar ketiga di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi
dunia melalui carbon sink. Hal ini bisa terjadi jika hutan yang ada dijaga
kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan hutan
(degraded land). Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak (degraded
forest) dengan cara penghutanan kembali (reforestasi) (Departemen Kehutanan,
1995).
Hutan
Pinus di Indonesia sebagai salah satu hutan tanaman yang memiliki nilai ekonomi
strategis dan persebarannya yang cukup luas saat ini diandalkan sebagai
penghasil produk hasil hutan non kayu melalui produksi getahnya. Nilai ekonomi
hutan Pinus dianggap masih rendah apabila hanya dihitung dari nilai getah dan
kayunya saja, sudah saatnya dilakukan upaya penghitungan manfaat hutan sebagai
penyedia jasa lingkungan yang diharapkan mampu memberikan nilai ekonomi lebih
tinggi dengan mengetahui berbagai kemampuannya dalam menyediakan sumberdaya
air, penyerap karbon, penghasil oksigen, jasa wisata alam, satwa, biodiversitas
dan sebagainya (Davis dan Kruman, 1959).
Hal
inilah yang melatarbelakangi dilakukannya pengamatan mengenai “Hubungan Oksigen Terhadap
Nyala Api”.
Kebakaran Hutan
Hutan
dan lahan merupakan sumber daya alam yang sangat potensial untuk dimanfaatkan
bagi pembangunan Nasional. Kendati demikian terhadap hutan dan lahan sering
terjadi ancaman dan gangguan sehingga menghambat upaya-upaya pelestariannya.
Salah satu bentuk ancaman dan gangguan tersebut adalah kebakaran hutan dan
lahan (Davis dan Kruman, 1959).
Kebakaran
hutan dan lahan mempunyai dampak buruk terhadap tumbuhan/tanaman, sosial
ekonomi dan lingkungan hidup, sehingga kebakaran hutan dan lahannya bukan saja
berakibat buruk terhadap hutan dan lahannya sendiri, tetapi lebih jauh akan
mengakibatkan terganggunya proses pembangunan (Departemen Kehutanan, 1995).
Sementara
ini kebakaran hutan dan lahan masih dianggap sebagai suatu musibah/bencana alam
seperti halnya gempa bumi dan angin topan, padahal kebakaran hutan dan lahan
berbeda dengan kejadian-kejadian bencana alam tersebut. Kebakaran hutan dan
lahan dapat dicegah/dikendalikan, karena kita telah mengetahui bahwa apabila
musim kemarau atau daerah rawan kebakaran tidak diadakan pencegahan sudah dapat
dipastikan akan terjadi kebakaran hutan/lahan (Evans,1982).
Berdasarkan
hal tersebut di atas, sudah saatnya pengendalian kebakaran hutan dan lahan
ditangani secara terencana, menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan. Dengan kata
lain, bahwa pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak hanya tertuju pada
pemadaman saat kebakaran hutan musim kemarau, tetapi hal-hal lain yang bersifat
pencegahan harus direncanakan dan dilakukan berkelanjutan baik pada musim
kemarau maupun pada musim penghujan (Sulthoni, 1999).
Faktor-faktor
terjadinya suatu kebakaran hutan dan lahan adalah karena adanya unsur panas,
bahan bakar dan udara/oksigen. Ketiga unsur ini dapat digambarkan dalam bentuk
segitiga api. Pada prinsipnya, pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah
menghilangkan salah satu atau lebih dari unsur tersebut (Suratmo, 1980).
Penyebaran
api bergantung kepada bahan bakar dan cuaca. Bahan bakar berat seperti log,
tonggak dan cabang-cabang kayu dalam keadaan kering bisa terbakar, meski lambat
tetapi menghasilkan panas yang tinggi. Bahan bakar ringan seperti rumput dan
resam kering, daun-daun pinus dan serasah, mudah terbakar dan cepat menyebar,
yang selanjutnya dapat menyebabkan kebakaran hutan/lahan yang besar
(Rusmantoro, 2003).
Unsur-unsur
cuaca yang penting dalam kebakaran hutan dan lahan adalah angin, kelembaban dan
suhu. Angin yang bertiup kencang meningkatkan pasokan udara sehingga
mempercepat penyebaran api. Pada kasus kebakaran besar, angin bersifat
simultan. Semakin besar kebakaran, tiupan angin semakin kencang akibat
perpindahan massa udara padat di sekitar kebakaran ke ruang udara renggang di
tempat kebakaran (Dodi, 1998).
Gambar 1. Hubungan Yang Menyebabkan Kebakaran |
Kadar
air/kelembaban bahan bakar juga penting untuk dipertimbangkan dalam
pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pada keadaan normal, api menyala
perlahan pada malam hari karena kelembaban udara diserap oleh bahan bakar.
Udara yang lebih kering pada siang hari dapat menyebabkan kebakaran yang cepat.
Oleh sebab itu, secara teknis pada malam hari akan lebih mudah mengendalikan
kebakaran hutan/lahan daripada siang hari. Namun demikian tidak lantas berarti,
bahwa pengendalian kebakaran secara serius tidak dilakukan pada siang hari.
Kenyataannya karena berbagai pertimbangan, kebakaran lebih banyak ditanggulangi
pada siang hari. Suhu udara juga mempengaruhi para pemadam kebakaran, dalam
keadaan udara yang panas, daya tahan dan kemampuan kerja pemadam kebakaran
menurun (Departemen Kehutanan, 1995).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Api
1.
Bahan bakar
Secara
umum bahan bakar dapat dibagi menjadi tiga bagian menurut tingkatan atau
susunan secara vertikal.
a.
Bahan Bakar Atas
Semua
bahan bakar hijau (hidup) dan mati yang terdapat di kanopi hutan, meliputi
cabang ranting dan mahkota pohon serta semak belukar yang tinggi.
b.
Bahan Bakar Permukaan
Semua
bahan yang dapat terbakar di atau dekar permuaan tanah, meliputi daun-daun
kering, rumput, batang, ranting belukar dan bahan organik yang terdapat di
lantai hutan atau permukaan tanah.
c.
Bahan Bakar Bawah
Semua
bahan yang dapat terbakar yang terdapat di bawah permukaan tanah, meliputi
bonggol akar, batubara, akar-akar tanaman dan pembusukan bahan-bahan kayu lainnya (Suratmo, 1980).
Sedangkan
menurut sifat dan penyebarannya bahan
bakar dapat dibedakan menjadi beberapa
golongan sebagai berikut:
a.
Bahan Bakar Ringan
Bahan
bakar ringan adalah bahan bakar yang mudah terbakar seperti rumput, daun atau
serasah dan tanaman muda. Bahan bakar ringan biasanya akan mudah terbakar dan
akan cepat padam.
b.
Bahan Bakar Berat
Bahan
bakar berat adalah bahan bakar yang terdiri dari batang kayu yang rebah,
tunggul, sisa-sisa tanaman yang akan sulit terbakar dan akan sulit dipadamkan
bila telah terbakar.
c.
Bahan Bakar Merata
Mencakup
bahan bakar yang terdistribusikan secara kontinyu pada suatu areal. Termasuk
dalam katagori ini, adalah daerah-daerah yang memiliki suatu jaringan bahan
bakar dan saling berhubungan satu sama lain sehingga terbuka jalan bagi
penyeberangan api.
d.
Bahan Bakar Tidak Merata
Meliputi
semua bahan bakar yang terdistribusikan secara tidak merata pada suatu areal.
Hambatan atau rintangan tertentu yang ada, misalnya berupa gunung batu, Kolam atau danau, jalan, sungai
atau tanaman yang sulit terbakar.
e.
Bahan Bakar Yang Sangat Rapat
Meliputi
tanaman pada areal dimana tanaman yang ada penyebaranya sangat rapat serhingga
dimungkinkan api dapat merambat ketas
melalui dahan dan ranting yang saling berhubungan (Suratmo, 1980).
2.
Temperatur Udara
Temperatur
udara tergantung dari intensitas panas/penyinaran matahari. Daerah-daerah
dengan temperatur tinggi akan menyebabkan cepat mengeringnya bahan bakar, dan
memudahkan terjadinya kebakaran (Suratmo, 1980).
3. Curah Hujan
Daerah
dengan curah hujan tinggi berpengaruh
terhadap kelembaban dan kadar air bahan
bakar. Bila kelembaban dan kadar air
tinggi, bahan bakar sulit terbakar (Suratmo, 1980).
4. Kelembaban Nisbi
Kelembaban
nisbi atau kelembaban uadara di dalam hutan sangat berpengaruh terhadap mudah
tidaknya bahan bakar yang ada untuk mengering, yang berarti mudah tidaknya
terjadi kebakaran (Suratmo, 1980).
5. Angin
Angin
merupakan faktor pemacu dalam tingkah laku api. Angin mempercepat pengeringan
bahan bakar, memperbesar ketersedian oksigen sehingga api berkobar dan merambat
dengan cepat. Disamping itu angin dapat menerbangkan bara api yang dapat menimbulkan
api loncat, dan terjadinya kebakaran baru (Rizaldi, 2003).
6. Topografi
Bentuk
permukaan tanah sangat penting untuk mengontrol suatu kebakaran. Bukit dan
lereng lebih sulit dibanding dengan lahan datar, semua mempengaruhi bagimana
kebakaran terjadi dan bagaimana cara memadamkannya. Ada beberapa hal pengaruh
kemiringan terhadap kebakaran (Rizaldi, 2003).
7. Kemiringan atau kelerengan
Pada
lahan yang miring nyala api akan mendekati bahan bakar yang ada di atasnya dan akan bergerak lebih cepat dibanding lahan
yang datar. Tanaman akan menjadi panas sebelum api menyentuhnya, dan akan lebih
mudah untuk terbakar. Pada kelerengan
yang terjal akan lebih cepat api menyebar dan akan lebih sulit untuk dikontrol.
Dalam membuat sekat bakar untuk di atas lereng harus lebih lebar dibanding jika
membuat di bawah lereng (Rizaldi, 2003).
Aspek
adalah posisi kemiringan terhadap arah datangnya sinar matahari. Lahan miring
yang langsung menghadap matahari, akan lebih cepat terjadi panas
dan mengalami proses pengeringan bahan bakar, sebaliknya pada bagian
lain bahan bakar relatif lebih dingin, sehingga apabila terjadi kebakaran
pada lereng yang menghadap matahari atau
sebalah timur akan lebih cepat jika kebakaran terjadi pada lereng bagian barat
(Rizaldi, 2003).
Pembakaran
pada dasarnya merupakan reaksi oksidasi yang cepat dari suatu bahan. Dibanding
dengan proses oksidasi yang lain misalnya penguraian, pembakaran berlangsung
jauh lebih cepat. Untuk setiap proses kebakaran, faktor-faktor bahan baker,
oksigen (udara) dan panas merupakan prasyarat yang harus ada dalam kondisi dan
perbandingan yang tepat. Reaksi kimiawi proses kebakaran yang melibatkan ketiga
komponen tersebut dapat digambarkan seperti pada persamaan reaksi sebagai
berikut :
=(CH2O)n + O2 n CO2 + n H2O
(anorganik)
Kebakaran hutan pada dasarnya merupakan
penyalaan bahan-bahan organik kering yang ada didalam hutan, namun demikian
tipe kebakaran yang terjadi sangat bervariasi. Jumlah, kondisi dan penyebaran
bahan-bahan yang potensial dapat terbakar, kondisi cuaca, topografi, sangat
menentukan tipe kebakaran dan akibat kerusakan yang terjadi (Rusmantoro, 2003).
METODE PERLAKUAN
B. Alat dan Bahan
Alat
Alat
yang digunakan adalah :
1.
Gelas dengan volume yang berbeda-beda
(320 ml, 280 ml, 200 ml)
2.
Stopwatch, untuk mencatat waktu
3.
Alat tulis, untuk mencatat data
Bahan
Bahan
yang digunakan adalah :
1.
Lilin, sebagai bahan yang akan diuji
2.
Korek api, sebagai bahan baker
C. Prosedur
Adapun prosedur yang harus dilakukan
adalah :
1.
Diukur volume masing-masing gelas kecil,
sedang, dan besar
2.
Dinyalakan lilin dengan ukuran yang
sama, panjang, dan lebarnya
3.
Ditutup lilin dengan gelas kecil,
sedang, dan besar
4.
Dicatat lama nyala api menyala hingga
padam
5.
Dilakukan lagi hingga 3 kali ulangan
6.
Dibuat tabel hubungan volume O2
dan lamanya api
Volume
|
Ulangan
|
Lama Waktu
|
Keterangan
|
|
|
|
|
Kesimpulan :
Perlakuan kali ini berjudul
“Hubungan Oksigen Terhadap Nyala Api”. Dalam perlakuan ini dapat dibuktikan
bahwa Oksigen juga sangat mempengaruhi kebakaran atau nyala api, dengan semakin
sedikitnya Oksigen maka nyala api lama-kelamaan akan padam dan akhirnya mati.
Semakin besar suatu wadah penutup maka semakin banyak pula mengandung Oksigen
sehingga nyala padamnya lebih lama (Rusmantoro, 2003).
Dari perlakuan didapat data yang
diperoleh adalah Pada gelas dengan
volume 320 ml lama waktu menyala selama tiga kali perulangan adalah 10.2”,
7.8”, dan 10” ; Pada gelas dengan volume 280 ml lama waktu menyala selama tiga
kali perulangan adalah 2.6”, 3.7”, dan 3.3” ; Pada gelas dengan volume 200 ml
lama waktu menyala selama tiga kali perulangan adalah 2.0”, 1.9”, dan 2.3”. Hal
ini menandakan bahwa semakin besar volume suatu gelas maka semakin tinggi pula
kandungan Oksigennya dan akan semakin lama api menyala daripada ukuran gelas
yang lebih kecil, dan juga sebaliknya.
Hal ini sesuai dengan pernyataan
Rusmantoro, 2003 yang menyatakan bahwa Pembakaran pada dasarnya merupakan
reaksi oksidasi yang cepat dari suatu bahan. Dibanding dengan proses oksidasi
yang lain misalnya penguraian, pembakaran berlangsung jauh lebih cepat. Untuk
setiap proses kebakaran, faktor-faktor bahan bakar, oksigen (udara) dan panas
merupakan prasyarat yang harus ada dalam kondisi dan perbandingan yang tepat.
Dari data yang didapat dari hasil
percobaan dapat disimpulkan bahwa kebakaran dalam hutan dapat terjadi bila
sedikitnya tersedia tiga komponen yaitu bahan bakar yang potensial, oksigen
atau udara, dan penyalaan api. Seluruh komponen penyusun hutan pada dasarnya
dapat merupakan bahan bakar untuk kebakaran hutan. Potensi komponen tersebut
sebagai bahan bakar, baik sendiri atau secara kumulatif, ditentukan oleh
jumlah, kondisi terutama kadar airnya dan penyebaran luas hutan.
Oksigen atau udara pada umumnya
tersedia dalam kondisi berlimpah pada bagian hutan diatas permukaan tanah,
misalnya didalam lapisan tajuk, lapisan batang dan lapisan tumbuhan bawah.
Didalam serasah yang tidak padat juga terdapat udara yang cukup banyak. Bila
kondisi oksigen atau udara yang melimpah pada saat kebakaran hutan terjadi,
maka kebakaran akan disertai nyala api besar. Sebaliknya bila ketersediaan
oksigen atau udara terbatas, maka kebakaran hutan tidak menimbulkan nyala api,
misalnya kebakaran gambut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar