Tanaman teh (Camellia sinensis ) merupakan
salah satu jenis tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia, terutama di
daerah dataran tinggi. Tanaman teh tersebut, sebagaimana tanaman lainnya, tidak
luput dari serangan hama. Jenis hama utama yang menyerang tanaman teh antara
lain dari golongan tungau. Beberapa spesies tungau yang telah diketahui banyak
menyerang perkebunan-perkebunan teh di Indonesia adalah Acaphylla theae,
Polypagotarsonemus latus, Calacarus carinatus dan Brevipalpus
phoenicis (Anonim, 1992).
Di Jawa dan Sumatera, tungau jingga (Brevipalpus
phoenicis) merupakan tungau hama tanaman teh yang sangat
merugikan. Tingkat kerugian ekonomi tersebut dicapai apabila dalam setiap daun
teh berisi 24 tahap telur, larva, nimfa dan dewasa B. phoenicis.
Kerugian yang ditimbulkan meliputi kerusakan areal perkebunan hingga sekitar
50% dan menurunnya pertumbuhan pucuk daun teh yang mencapai 30%. Di Kenya,
tungau jingga bahkan dikatakan sebagai tungau hama utama tanaman teh yang
menimbulkan kerugian yang sangat besar (Schuster and Murphy, 1991).
Besarnya tingkat kerugian produk teh dapat menjadi
lebih meningkat apabila perkebunan teh hanya mengandalkan penggunaan berbagai
jenis pestisida dalam upayanya mengendalikan berbagai jenis jamur, serangga dan
tungau. Dampak penggunaan pestisida meliputi dampaknya terhadap produk teh itu
sendiri serta lingkungan. Kontaminasi pestisida dalam dosis tinggi akan
menurunkan kualitas produk teh dan kualitas tanah, air dan berbagai komoditas
disekitarnya, baik komoditas yang dikonsumsi setempat maupun komoditas eksport
selain the (Widayat, 1989).
Telah dikemukakan bahwa penggunaan pestisida
berdampak terhadap produk teh dan lingkungannya. Selain itu, pestisida yang
telah lama dipergunakan oleh perkebunan teh dapat mempengaruhi hubungan alamiah
mangsa-pemangsa. Pada umumnya, kemampuan mentoleransi pestisida dan tingkat
resurjensi tungau hama termasuk tungau jingga (mangsa), sangat tinggi (McMurtry
dan Croft, 1997). Sebaliknya, A. deleoni yang merupakan predator
tungau jingga, sangat rentan terhadap berbagai pestisida yang diaplikasikan. Mortalitas
yang besar pada A. deleoni menyebabkan pengendalian hayati alamiahnya
terganggu dan menurun drastis. Akibatnya, pada suatu saat tertentu, populasi
tungau jingga akan sangat meningkat (resurjensi), sedangkan populasi tungau
predatornya, A. deleoni sangat rendah (McMurtry and
Croft, 1997).
Tungau predator A. deleoni
berpotensi besar sebagai tungau predator bagi tungau B. phoenicis.
Dikemukakan keduanya bahwa tungau predator A. deleoni lebih banyak
memilih tahap telur dari tungau hama B. phoenicis dibandingkan tahap
hidup tungau hama lainnya, dengan rata-rata 5 butir telur selama 24 jam.
Meskipun demikian, tahap larva tungau hama menjadi pilihan predasi ke 2 dengan
rata-rata predasi mencapai 3 individu, sedangkan tahap nimfa dan
dewasa juga dipredasi dengan rata-rata masing-masing mencapai 2 dan 1 individu
selama 24 jam (Evans and Till.1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar