H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Jumat, 03 Februari 2012

Hama Oxyopes Javanus


BIOLOGI HAMA LABA-LABA BERMATA JALANG
(OXYOPES JAVANUS)

PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Di antara hewan arthropoda, yang mempunyai kebiasaan memangsa serangga antara lain adalah dari kelas Arachnida dan kelas Hexapoda (serangga) sendiri. Pada kelas Arachnida, dua ordo diketahui berperan penting sebagai predator serangga, yaitu ordo Aranea (laba-laba, semua spesies) dan ordo Acarina (tungau, terutama dari famili Phytoseiidae). Anggota-anggota dari kelas arachinida yang bersifat predator terdapat pada ordo Aranea (laba-laba) yang banyak dijumpai di agroekosistem dan berperan penting dalam pengendalian alami serangga hama adalah Araneidae, Lyniphiidae, Lycosidae, Oxyopidae, Salticidae, dan Thomisidae (Susilo, 2007).
Serangga predator atau sering pula disebut parasit merupakan serangga yang bermanfaat bagi para petani, karena berupa musuh atau pemakan serangga ekonomi. Laba-laba, atau disebut juga labah-labah, adalah sejenis hewan berbuku-buku (arthropoda) dengan dua segmen tubuh, empat pasang kaki, tak bersayap dan tak memiliki mulut pengunyah. Semua jenis laba-laba digolongkan ke dalam ordo Araneae; dan bersama dengan kalajengking, ketonggeng, tungau —semuanya berkaki delapan— dimasukkan ke dalam kelas Arachnida. Bidang studi mengenai laba-laba disebut arachnologi (Pracaya, 2007).
Mata pada laba-laba umumnya merupakan mata tunggal (mata berlensa tunggal), dan bukan mata majemuk seperti pada serangga. Kebanyakan laba-laba memiliki penglihatan yang tidak begitu baik, tidak dapat membedakan warna, atau hanya sensitif pada gelap dan terang. Laba-laba penghuni gua bahkan ada yang buta. Perkecualiannya terdapat pada beberapa jenis laba-laba pemburu yang mempunyai penglihatan tajam dan bagus, termasuk dalam mengenali warna. Tidak semua laba-laba membuat jaring untuk menangkap mangsa, akan tetapi semuanya mampu menghasilkan benang sutera yakni helaian serat protein yang tipis namun kuat dari kelenjar (disebut spinneret) yang terletak di bagian belakang tubuhnya. Serat sutera ini amat berguna untuk membantu pergerakan laba-laba, berayun dari satu tempat ke tempat lain, menjerat mangsa, membuat kantung telur, melindungi lubang sarang, dan lain-lain (DepartemenTanah, 2009).

Tujuan Penulisan
            Tujuan dari pemberitahuan melalui blog adalah untuk mengetahui biologi hama laba-laba bermata jalang (Oxyopes javanus) dan mengetahui prinsip pengendalian hayati dalam pertanian menggunakan laba-laba dalam mengendalikan kutu daun. 






TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Hama
1. Kutu Daun (Coccus viridis GR)
Coccus viridis GR adalah kutu hijau perusak tanaman kopi dan tanaman lainnya. Kutu yang kecil ini berbentuk lonjong dan simetris, yang telah dewasanya ukuran panjang tubuhnya antara 4-5 mm, berwarna coklat agak kehitam-hitaman. Pada tingkat kedewasaannya ini induk atau betinanya akan meletakkan telurnya pada daun muda, yang rata-rata dapat diproduksinya sekitar ratusan butir sepanjang siklus hidupnya, setelah telur itu menetas maka induk betinanya itu segera akan mati. Adapun sistematika kutu daun adalah :
Kingdom         : Animalia
Filum               : Arthropoda
Kelas               : Insecta
Famili              : Coccidae
Genus              : Coccus
Spesies            : Coccus viridis (Kartasapoetra, 1990).
2. Laba-laba bermata jalang
Kingdom         : Animalia
Filum               : Arthropoda
Kelas               : Insecta
Ordo                : Aranea
Famili              : Arachnida
Genus              : Oxyopes
Spesies            : Oxyopes javanus Thorell
Anatomi laba-laba bermata jalang :
(1) empat pasang kaki
(2) cephalothorax
(3) opisthosoma
Tak seperti serangga yang memiliki tiga bagian tubuh, laba-laba hanya memiliki dua. Segmen bagian depan disebut cephalothorax atau prosoma, yang sebetulnya merupakan gabungan dari kepala dan dada (thorax). Sedangkan segmen bagian belakang disebut abdomen (perut) atau opisthosoma. Antara cephalothorax dan abdomen terdapat penghubung tipis yang dinamai pedicle atau pedicellus (DepartemenTanah, 2009).
Pada cephalothorax melekat empat pasang kaki, dan satu sampai empat pasang mata. Selain sepasang rahang bertaring besar (disebut chelicera), terdapat pula sepasang atau beberapa alat bantu mulut serupa tangan yang disebut pedipalpus. Pada beberapa jenis laba-laba, pedipalpus pada hewan jantan dewasa membesar dan berubah fungsi sebagai alat bantu dalam perkawinan. Laba-laba tidak memiliki mulut atau gigi untuk mengunyah. Sebagai gantinya, mulut laba-laba berupa alat pengisap untuk menyedot cairan tubuh mangsanya. Laba-laba ini merupakan laba-laba aktif yang memburu mangsanya. Jenis mangsanya wereng batang coklat, wereng hijau, wereng punggung putih (8 ekor/hari), wereng zigzag, lalat padi, dan kutu daun. Laba-Iaba ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: ukuran 7 - 10 mm, pada tungkai terdapat duri-duri yang panjang dengan mata berbentuk segi enam. Rentang hidup 150 hari dengan jumlah telur yang dihasilkan 350/betina (Nurnasari, 2009).

GEJALA SERANGAN
Kutu-kutu daun sering membahayakan tanaman kopi, karena kutu-kutu ini selain menyerang dan merusak pucuk juga merusak daun yang masih muda, pertumbuhan daun menjadi terhambat atau layu dan selanjut kering atau mati. Laba-laba bermata jalang ini sangat menguntungkan karena dia merupakan suatu predator bukan hama serangga yang merugikan. Oxyopes javanus Thorell merupakan  predator yang  mempunyai potensi untuk mengendalikan hama pengisap polong kedelai dan memakan kutu-kutu daun yang merugikan. Oxyopes javanus adalah musuh alami jenis laba-laba predator generalis, yang keberadaannya mendominasi 33, 60 % pada ekosistem kedelai (Wayan dan Rauf, 2000). Hasil penelitian pendahuluan diperoleh bahwa O. javanus  mampu memangsa 9 jenis hama utama pada tanaman kedelai.   Sebagai predator O. javanus berpotensi sebagai pengendali alami, jika berperan dalam pengatur dan pengendali hama pada tingkat kepadatan yang optimal. Laju pemangsaan  predator dipengaruhi oleh preferensi predator terhadap mangsanya, kualitas mangsa dan kepadatan mangsa (Karmawati dan Balfas, 2008).

PENGENDALIAN
Strategi dan rekomendasi pengendalian hama serangga pada kondisi lapangan sebagai berikut:
  1. Eradikasi sumber inokulum. Diupayakan 5 hari sebelum semai lahan sudah terbebas dari sumber inokulum.
  2. Waktu tanam yang tepat. Waktu tanam yang tepat dapat ditentukan dengan mengetahui fluktuasi bulanan kerapatan populasi wereng hijau dan kutu daun.
  3. Konservasi musuh alami (pemangsa) dan pengendalian hayati yakni diberi mulsa sebagai tempat berlindung musuh alami, terutama pemangsa.
  4. Monitoring ancaman di pesemaian. Pemantauan hama serangga di pesemaian dilakukan dengan jaring serangga sebanyak 10 ayunan untuk mengevaluasi kerapatan populasi hama serangga.
  5. Monitoring ancaman saat tanaman muda. 
  6. Pengendalian dengan insektisida kimiawi.
  7. Perbaikan pola tanam. Pada jangka menengah dan jangka panjang usahakan menanam palawija diantara musim tanam padi atau tanam palawija di pematang sebagai tempat berlindung musuh alami (Susilo, 2007)



PERMASALAHAN
Intensitas gangguan hama pada suatu daerah pertanian sepanjang tahun sangat dipengaruhi oleh iklim dan unsur-unsurnya (sinar matahari, curah hujan, kelembapan, pH, dan lain-lain). Karena pengaruh unsur-unsur iklim tersebut hama yang bersifat endemis pada suatu daerah biasanya dapat mereda dan menurun populasinya atau sebaliknya dapat eksplosif dengan populasinya yang meningkat karena keadaan alam dapat merosotkan lingkungan hidup atau memperbaiki lingkungan hidup bagi hama-hama tersebut (Kartasapoetra, 1990).
Serangan hama dapat mengakibatkan kerusakan yang cukup merugikan. Untuk itulah diperlukan upaya pengendalian dan kontrol terhadap tanaman sehingga dapat mengurangi risiko kerusakan yang lebih parah. Usaha pengendalian serangan hama yang kerap dilakukan adalah melalui pemberian insektisida. Namun, penggunaan insektisida secara berlebihan akan berdampak terhadap keseimbangan ekosistem. Misalnya, hama menjadi lebih kebal. Artinya, penggunaan bahan kimia secara berlebihan bukan tidak mungkin menyebabkan populasi hama maupun penyakitnya akan semakin bertambah. Selain itu, musuh alami dari hama yang berada di lahan pertanian maupun perkebunan juga akan ikut mati, bahkan terancam punah (Susilo, 2007).
                                            

PEMBAHASAN
Perilaku  waktu memburu dan menangani mangsa menentukan bentuk dan respon fungsional predator O. javanus terhadap mangsanya. Laju pencarian mangsa (a) pada 3 jenis hama pengisap polong meningkat pada tingkat kepadatan populasi mangsa yang berbeda hingga mencapai titik populasi jenuh, kemudian laju pencarian mangsa akan menurun kendati tingkat kepadatan populasi mangsa dinaikkan (Gambar 4a). Diduga kenaikan laju pemangsaan tersebut sangat berhubungan dengan ketertarikan predator untuk mengenal dan memburu mangsanya,  dimana preferensi predator akan menentukan laju pencarian mangsa.
                                         
            Perilaku yang ditunjukkan O. javanus  dalam menangani ke tiga jenis mangsa mengalami penurunan (Gambar 4b). Predator apabila menangani mangsa pada kepadatan populasi yang rendah membutuhkan waktu yang cukup panjang, tetapi jika kepadatan populasi mangsa tinggi  waktu untuk menangani tiap individu mangsa relatif pendek.  Sehingga komulatif waktu yang diperoleh dapat diasumsikan dengan jumlah pemangsaan  maksimum predator yaitu dengan menghitung nilai  ¼. Pada kepadatan  populasi mangsa tinggi, O. javanus cenderung kurang maksimal dalam menangani mangsanya, sehingga waktunya yang dipakai dalam menangani mangsa juga kecil.  Semakin  kecil nilai Th semakin banyak mangsa yang terbunuh.  Perilaku yang demikian menunujukan bahwa O. javanus  mempunyai  sifat efisiensi sebagai predator. Asumsi  tersebut dapat digunakan untuk memprediksikan, bahwa waktu yang dibutuhkan predator untuk menangani mangsanya sangat berhubungan dengan daya mangsa predator. Untuk meningkatkan reproduksi dan perkembangannya, O.javanus berusaha untuk membunuh mangsa lebih banyak.  Kemampuan memangsa predator dapat diindikasikan dengan waktu penanganan mangsanya  (Windriyanti, dkk, 2009).

O. javanus sebagai predator mempunyai potensi sebagai pengendali alami, oleh karenanya perlu dilakukan pelestarian agar tidak terjadi kepunahan. Perlu dilakukan penelitian preferensi tiap stadia instar nimfa predator O. javanus terhadap hama pengisap polong, bertujuan untuk melengkapi informasi data yang akan diperlukan pada analisis agroekosistem kedelai sebagai pertimbangan pengambilan keputusan pengendalian.

 

Tetap untuk Melestarikan Lingkungan !!! ^^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar