H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Rabu, 19 Juni 2013

Pengamatan Satwa


LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN SISTEMATIKA HEWAN
PENGAMATAN SATWA MAMALIA


OLEH :
Rohana Simanjuntak

1.1 Latar Belakang

Pada suatu kehidupan sering  terjadi komunitas dapat dengan mudah diamati dan seringkali perubahan itu berupa pergantian satu komunitas oleh komunitas lain. Dapat kita lihat misalnya pada sebidang kebun jagung yang setelah panen ditinggalkan dan tidak ditanami lagi. Disitu akan bermunculan berbagai jenis tumbuhan gulma yang membentuk komunitas. Apabila lahan itu dibiarkan cukup lama, dalam komunitas yang terbentuk dari waktu ke waktu akan terjadi pergantian komposisi jenis (Resosoedarmo,1990).

Sebagian besar komunitas biotik disekitar kita, maka akan terkesan oleh tumbuhan oleh tumbuhan dan hewan yang dapat kita lihat dengan mata bugil, seperti tumbuhan yang ada di sekitar kita. Secara berangsur-angsur penanaman diperluas kearah barat, kedaerah-daerah yang semakin kering. Kemudian pada tahun 1930 terjadilah kekeringan yang hebat, suatu kejadian yang khas dipadang rumput. Dengan hilangnya lapisan rumput dan musnahnya tanaman pertanian oleh kekeringan, angin meniup tanah sehingga terjadi angin debu yang hebat dan akhirnya terbentuklah daerah tandus (Sastrodinoto, 1980).

Proses perubahan dalam komunitas yang berlangsung menuju ke satu arah secara teratur disebut suksesi. Suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem. Proses suksesi berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimaks. Dikatakan bahwa dalam tingkat klimaks ini komunitas telah mencapai homeostatis. Ini dapat diartikan bahwa komunitas sudah dapat mempertahankan kestabilan internalnya sebagai akibat dari tanggap (respon) yang terkoordinasi dari komponen-komponennya terhadap setiap kondisi atau rangsangan yang cenderung mengganggu kondisi atau fungsi normal komunitas. Jadi bila suatu komunitas telah mencapai klimaks, perubahan yang searah tidak terjadi lagi ( Resosoedarmo,1990).


1.2 Permasalahan

Di dalam kehidupan yang kita alami sering terjadi kesenjangan-kesenjangan dalam beradaptasi terhadap lingkungan, hal ini disebabkan karena kerusakan yang menyebabkan timbulnya individu-individu baru yang berbeda maupun hampir sama dengan tumbuhan yang sebelumnya.
1.3 Tujuan Percobaan

Adapun tujuan dari percobaaan ini adalah :
- Untuk mengetahui jumlah spesies yang tumbuh pada suksesi
- Untuk mengetahui jenis spesies
- Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi suksesi

1.4. Hipotesa

Perubahan-perubahan yang sering terjadi di dalam lingkungan dalam jangka waktu yang singkat, dikarenakan bila komunitas itu telah mengalami kerusakan/gangguan, baik yang disengaja maupun karena faktor alam itu sendiri..

1.5. Manfaat

Adapun manfaat percobaan ini adalah untuk mengetahui perlakuan yang mengakibatkan terjadinya suksesi, seperti penggundulan, migrasi kompetisi dan lain- lain dan untuk mengetahui tahap- tahap suksesi tumbuhan.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.  Pendahuluan Suksesi

Perubahan langsung dalam komposisi komunitas dan asosiasi biologis serta sifat-sifat ekosistem lingkungan yang disebut suksesi. Suksesi primer terjadi pada tempat-tempat yang baru terbentuk, misalnya abu vulkanik yang belum mempengaruhi biotik apapun. Suksesi sekunder terjadi kepada saat ekosistem mengalami gangguan atau kerusakan, misalnya karena pembakaran, tetapi komposisi biotik yang sudah ada sebelumnya mempengaruhi penyebab proses. Suksesi disebut autotrofik, bila jaring-jaring makanan bergantung pada organism fotosintetik, misalnya hutan yang terbentuk setelah terjadi kebkaran atau bekas tanah yang sebelumnya sudah ada tanamannya. Suksesi Heterotrofik jaring-jaring makanan bergantung pada pembentukkan bahan-bahan organik, misalnya dalam pencemaran suatu harus oleh limbah organik atau dalam balok-balok yang lapuk. Dapat ditambahkan dalam susesi  klasifikasi ini, suatu pengenaan suksesi allogenik lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan-prubahan dalam variabel-variabel lingkungan ekstrinsik daripada keberadaan organisme-organisme. Sebagai contoh hutan dataran rendah yang terendam karena naiknya air tanah. Sebaliknya suksesi autogenik, disebabkan oleh  mereka dari variable-variabel lingkungan instrinsik. Vegetasi yang terdapat di alam kebanyakan komunitas hutan mempunyai suatu pola yang jelas. Di dalam komunitas hutan, daun-daun, cabang-cabang dan bagian lain dari bermacam- macam pohon, semak dan lain-lain tumbuhan membentuk beberapa lapisan. Masing-masing lapisan memiliki produsen, konsumen dan makhluk pembusuk lain yang khas. Mikroklimat tiap lapisan pun berlainan. Hal ini dapat dipahami karena cahaya, angin, dan hujan yang diterima lapisan ini juga berbeda. Selain dari lapisan tumbuhan, permukaan tanah hutan juga merupakan tempat hidup. Pada permukaan tanah hutan terdapat daun-daun, ranting- ranting dan kayu yang membusuk. Zona-zona ini memiliki organisme yang khas, demikian juga organisme yang ditemukan diperbatasan. Jumlah dan banyaknya spesies sering kali lebih besar dalam suatu ekoton daripada komunitas tetangganya. Disini terdapat suatu komunitas yang terdiri dari mikroorganisme, lumut dan paku- pakuan. Juga terdapat bermacam-macam kumbang, kutu daun, belalang dan mungkin ular ( Sastrodinoto, 1980).

2.2. Jenis-Jenis Suksesi
2.2.1 Suksesi Primer

      Suksesi primer terjadi bila komunitas asal terganggu. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya komunitas asal tersebut secara total sehingga di tempat komunitas asal terbentuk habitat baru. Gangguan ini dapat terjadi secara alami, misalnya tanah longsor, letusan gunung berapi, endapan Lumpur yang baru di muara sungai, dan endapan pasir di pantai. Gangguan dapat pula karena perbuatan manusia misalnya penambangan timah, batubara, dan minyak bumi. Contoh yang terdapat di Indonesia adalah terbentuknya suksesi di Gunung Krakatau yang pernah meletus pada tahun 1883. Di daerah bekas letusan gunung Krakatau mula-mula muncul pioner berupa lumut kerak (liken) serta tumbuhan lumut yang tahan terhadap penyinaran matahari dan kekeringan. Tumbuhan perintis itu mulai mengadakan pelapukan pada daerah permukaan lahan, sehingga terbentuk tanah sederhana. Bila tumbuhan perintis mati maka akan mengundang datangnya pengurai. Zat yang terbentuk karma aktivitas penguraian bercampur dengan hasil pelapukan lahan membentuk tanah yang lebih kompleks susunannya. Dengan adanya tanah ini, biji yang datang dari luar daerah dapat tumbuh dengan subur. Kemudian rumput yang tahan kekeringan tumbuh. Bersamaan dengan itu tumbuhan herba pun tumbuh menggantikan tanaman pioner dengan menaunginya. Kondisi demikian tidak menjadikan pioner subur tapi sebaliknya. Sementara itu, rumput dan belukar dengan akarnya yang kuat terns mengadakan pelapukan lahan.Bagian tumbuhan yang mati diuraikan oleh jamur sehingga keadaan tanah menjadi lebih tebal. Kemudian semak tumbuh. Tumbuhan semak menaungi rumput dan belukar maka terjadilah kompetisi. Lama kelamaan semak menjadi dominan kemudian pohon mendesak tumbuhan belukar sehingga terbentuklah hutan. Saat itulah ekosistem disebut mencapai kesetimbangan atau dikatakan ekosistem mencapai klimaks, yakni perubahan yang terjadi sangat kecil sehingga tidak banyak mengubah ekosistem itu. Pada masa awal dapat saja komunitas yang terbentuk tersusun oleh tumbuhan terna seperti badotan, rumput pahit, rumput teki, dan sebagainya. Tetapi beberapa tahun kemudian di tempat yang sama, yang terlihat adalah komunitas yang sebagian besar tersusun oleh tumbuhan perdu dan pohon seperti kirinyu, senduduk, laban, dan sebagainya, atau dapat pula hanya terdiri atas alang-alang. Bila tidak terjadi gangguan apa pun selama proses tersebut berjalan akan terlihat bahwa perubahan itu berlangsung ke satu arah (Irwan, 1992).

2.2.2 Suksesi Sekunder

Suksesi sekunder terjadi bila suatu komunitas mengalami gangguan, balk secara alami maupun buatan. Gangguan tersebut tidak merusak total tempat tumbuh organisme sehingga dalam komunitas tersebut substrat lama dan kehidupan masih ada. Contohnya, gangguan alami misalnya banjir, gelombang taut, kebakaran, angin kencang, dan gangguan buatan seperti penebangan hutan dan pembakaran padang rumput dengan sengaja. Contoh komunitas yang menimbulkan suksesi di Indonesia antara lain tegalan-tegalan, padang alang-alang, belukar bekas ladang, dan kebun karet yang ditinggalkan tak terurus( Ewusie, J. Y. 1990).


2.3. Kerusakan Pada Populasi Tumbuhan

Bossman (1932) mengamati di Afrika bagian selatan bahwa kebakaran menyebabkan kerusakan pada padang rumput hanya di daerah dengan curah hujan kurang dari 750 mm setahun. Di Australia, Burbidge (1943) melaporkan bahwa Triodia pungens biasanya mati oleh kebakaran didaerah pedalaman, tetapi tidak demikian disepanjang pantai. Sejumlah corak yang khas pada spesies tertentu juga menentukan tingkat kerusakan akibat kebakaran pada spesies itu. Salah satu diantaranya ialah keadaan fenologi spesies itu. Aldous (1943) menyatakan bahwa pada umumnya kalau daun baru tumbuhan tahunan mencapai ukuran penuh, maka bagian terpenting dari persediaan makanannya sudah terhisap dari organ bawah tanah, sehingga kebakaran yang merusak daun pada tahap ini paling merusak tu,buhan itu. Robocker dan Miller (1995) mengamati bahwa ketika kebakaran melanda penanaman campuran spesies rumput di Wisconsin, maka spesies yang memulai pertumbuhannya dini menjadi rusak, sedangkan yang tumbuhnya lambat tidak rusak. Pada padang rumput tengah benua di Afrika Utara sering tampak bahwa Poa pratensis yang genusnya berasal dari daerah utara dan memulai pertumbuhannya dini, secara selektif dirusak oleh api. Bentuk pertumbuhan merupakan cirri lain pada tumbuhan yang dapat mengurangi parahnya kerusakan oleh kebakaran dan spesies dengan bentuk pertumbuhan berlainan mungkin mengalami kerusakan berbeda pula oleh pembakaran yang sama. Blaisdell (1953) megamati di Idaho bagian timur bahwa rerumputan berakar rizoma dan rerumputan stepa semusim dirangsang oleh pembakaran, sedangkan kebakaran yang sama itu juga merusak tumbuhan setengah perdu daerah itu. Begitu pula, di Sabana Brazil bagian tengah, Rachid-Edward (1996) mengamati bahwa banyak spesies rumput dan tumbuhan ternalain terhindar dari kerusakan oleh kebakaran yang sering terjadi karena dedaunan mati membentuk peindung disekeliling kuncup yang tahan dari musim ke musim.(Yanney.1990).


Wilayah pesisir dan lautan, ditinjau dari berbagai macam peruntukkannya, merupakan wilayah yang sangat produktif. Tingginya produktivitas primer (seperti estruaria, hutan bakau, padang lamun, dan terumbu karang) di wilayah pesisir, memungkinkan tingginya produktivitas sekunder (ikan dan hewan-hewan laut lainnya). Sehingga wilayah ini mampu menyumbang devisa yang tiak sedikit. Namun dibalik potensi devisa tersebut, aktivitas-aktivitas yang ada, dalam rangka memamfaatkan potensi yang terkandung di wilayah pesisir sering kali tumpang tindih. Sehingga tidak jarang pemamfaatan sumber daya tersebut justru menurunkan atau merusakkan potensi yang ada. Sebagai contoh, adanya limbah buangan, baik dari pemukiman maupun aktivitas industry walaupun limbah ini mungkin tidak mempengaruhi tumbuhan atau hewan penyusun ekosisitem pesisir di atas, namun kemungkinan ia akan mempengaruhi biota penyusun lainnya. Logam berat misalnya, mungkin tidak berpengaruh terhadap kehidupan tumbuhan bakau (mangrove), akan tetap sangat berbahaya bagi kehidupan ikan dan udang-udangnya (crustaceae) yang hidup di hutan tersebut (Bryan,1997). Setiap organism pendukung di subsistem ekosisitem pesisir mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang spesifik. Organisme yang tahan bahan pencemar akan tetap survive, sedangkan yang tidak tahan akan punah. Disamping itu perubahan atau penurunan kualitas lingkungan fisik, kimia, air, seperti salinitas, suhu air, level penetrasi cahaya, nutrient, di wilayah pesisir akan menurunkan produktivitas ekosistem pesisir tersebut. Berkaitan dengan dasar pemikiran tersebut, dengan melihat aktivitas yang ada di daerah pesisir dan lautan serta kondisi subsistem pesisir, maka ha inni dapat dipakai sebagai petunjuk pengelolaan lingkungan di wilayah pesisir(Supriharyono, 2000).


2.4. Tipe-Tipe Seleksi

Meskipun kita cenderung menganggap bahwa seleksi alam adalah suau proses pemindahan populasi dari suatu tingkat rata-rata konstitusi genetic tertentu ketingkat yang lain Mather (1953). Menunjukkan bahwa seleksi direksional hanyalah salah satu dari tiga cara dimana lingkungan memberikan pengaruh pada struktur genetik suatu populasi. Seleksi direksional mengubah rata-rata fenotif suatu popuasi dalam jangka waktu tertentu.Seleksi stabilitasi menurunkan variasi dalam populasi, namun rata-ratanya  tidak berubah, sebaliknya seleksi disruptif mengingkatkan variasi populasi tanpa mengubah juga rata-ratanya.Peningkatan variasi tersebut berakibat meningkatnya variabilitas populasi atau dapat menyebabkan pecahnya suatu populasi menjadi dua atau lebih subpopulasi yang berbeda.(Mcnaughton & Wolf,1990).


Kita akan mengetahuidengan baik kemungkinan terjadinya proses seleksi alam dengan memperhatikan kasus tentang sebuah Negara yang mengalami sedikit perubahan cuaca.Semisalnya, sejumlah besar penduduknya hampir semuanya akanmengalami perubahan itu seketika, dan beberapa spesies mungkin akan mati.Dari apa yang telah kita lihat mengenai cara yang rumit dan mendalam yang dipakai para penduduk setiap Negara untuk saling terikat bersama, kita bisa berkesimpulan bahwa perubahan proporsi jumlah penduduk, yang tidak tergantung pada perubahan cuaca itu sendiri, akan sangat mempengaruhi yang lain. Maka perlu diingat, Tumbuhan perintis itu mulai mengadakan pelapukan pada daerah permukaan lahan, sehingga terbentuk tanah sederhana. Bila tumbuhan perintis mati maka akan mengundang datangnya pengurai. Zat yang terbentuk karma aktivitas penguraian bercampur dengan hasil pelapukan lahan membentuk tanah yang lebih kompleks susunannya. Dengan adanya tanah ini, biji yang datang dari luar daerah dapat tumbuh dengan subur. Kemudian rumput yang tahan kekeringan tumbuh. Seleksi alam akan mengubah struktur dari yang muda dalam hubungannya dengan induknya dan struktur dari yang tua dalam kaitannya dengan yang muda. Pada binatang yang hidup berkelompok, seleksi alam akan menyesuaikan struktur setiap individu demi kepentingan seluruh masyarakatnya, apabila masyarakat tersebut diuntungkan oleh perubahan yang dipilih. Apa yang tidak dapat dilakukan oleh seleksi alam adalah mengubah struktur suatu spesies tanpa menberikan keuntungan apapun pada spesies itu. Tumbuhan perintis itu mulai mengadakan pelapukan pada daerah permukaan lahan, sehingga terbentuk tanah sederhana. Bila tumbuhan perintis mati maka akan mengundang datangnya pengurai. Zat yang terbentuk karma aktivitas penguraian bercampur dengan hasil pelapukan lahan membentuk tanah yang lebih kompleks susunannya. Dengan adanya tanah ini, biji yang datang dari luar daerah dapat tumbuh dengan subur. Kemudian rumput yang tahan kekeringan tumbuh(Thompson.W.R. 2002).

BAHAN DAN METODE



3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum suksesi tumbuhan ini dilaksanakan pada hari sabtu tanggal 29 Agustus 2009  pada pukul 14.00 WIB yang bertempat di Laboratorium Ekologi Umum Biologi FMIPA USU Medan.


3.2.  Alat dan Bahan

Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah cangkul, meteran, pacak, parang, alat tulis, tali rafiah,label gantung, buku catatan data, kantung plastik, buku identifikasi tumbuhan, gunting.

3.3. Metode Kerja
3.3.1. Di Lapangan

Ditentukan petak areal pengamatan dan dibuat petak dengan ukuran 5x5m. kemudian petak lahan 5x5m dibagi menjadi 5 jalur (1x5m) dimana jalur III sebagai kontrol. Lalu pada tiap jalur dibuat plot-plot kecil dengan ukuran 1x1m (jumlah plot 25) dan catat jumlah dan jenis yang ada. Dibersihkan lahan pengamatan dengan menggunakan cangkul dari rumput-rumputan dan tanaman yang hidup di dalamnya. Setelah satu minggu amati jenis tumbuhan yang tumbuh pada masing-masing petak 1x1m. Dicatat jumlah dan jenis tumbuhannya. Diamati petak percobaan 1x1m setiap minggu selama 4 minggu. Dicatat perubahan komposisi tumbuhan tersebut dan dibandingkan hasil pengamatan setiap minggu dengan plot kontrol.


3.3.2. Di Laboratorium

Jenis rumput-rumputan dan tanaman yang didapat di lapangan kemudian dibawa dilaboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi serta dihitung berapa jumlah populasi awal tiap plot 1x1m.

                                                       KESIM PULAN DAN SARAN


5.1    Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari praktikum suksesi tumbuhan ialah:
a.       Proses suksesi dari percobaan yang dilakukan masih dalam tahapan-n  dari tahapan suksesi yang sederhana yaitu pada tahapan-tahapan-tahapan penggundulan, migrasi dan eksesi.
b.      Terdapat pertumbuhan spesies yang berbeda dari setiap minggu
c.       Spesies yang ditemukan pada minggu pertama, kedua, dan ketiga yaitu:
Nephrolepis sp, Branchiaria sp, Spilantes paniculata, Lhylantes niruri, Micraniia micrantha, Borreria laevis, Desmonium sp, Borreria latifolia,
Euphatorium sp, dan adiantum sp.


5.2    Saran

Adapun saran dari praktikum suksesi tumbuhan:
a.       Harus lebih teliiti dan cermat
b.      Praktikan harus memahami prosedur percobaan dan membawa alat perlengkapan praktikum
c.   Praktikan harus menjaga kekompakan satu dengan yang lainnya.



DAFTAR PUSTAKA

Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung: ITB. Hal: 47-82

Irwan, Z. O.1990. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem, Komunitas, Dan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara. Hal: 85-90

Mcnaughton & Wolf.1990. Ekologi Umum. Edisi 2.Yogyakarta:UGM-Press. Hal: 95,        665-667

Resosoedarmo, R. S.1989. Pengantar Ekologi. PT.Remaja Rosdakarya: Bandung.
Hal: 69-74
Sastrodinoto,S.1980. Biologi Umum II. Jakarta: PT. Gramedia. Hal: 52-57

Supriharyono.2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah       Pesisir Tropis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal: 9-10

Thompson,W.R.2002. Charles Darwin The Origin Of Species. Yogyakarta: U Press.       Hal: 91



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar