BONTEAN
Sebagai Kampung Raja, maka Huta Pagar Batu dahulu
ramai dikunjungi tamu dari luar wilayah kerajaan, termasuk Saudara Raja Lontung
yang datang dari tempat lain, seperti Onan Runggu, Nainggolan, Palipi, Lumban
Julu, Parapat, dll., dengan menggunakan perahu naga atau solu bolon.
Untuk itu Raja Lontung menyiapkan sebuah dermaga
sebagai tempat berlabuh bagi perahu naga para tamu kerajaan, yang disebut
Hasahatan. Pemberian nama Hasahatan
ialah bahwa semua tamu kerajaan yang datang dengan perahu naga harus sampai di
dermaga tersebut, tidak boleh di tempat lain. (Hasahatan berarti tempat
sampai atau berlabuh atau tempat tujuan.)
Di Dermaga Hasahatan ini dipersiapkan beberapa tiang
pengikat perahu naga agar tidak dibawa ombak atau angin selagi tamu menghadap
Sang Raja. Tiang penambat perahu naga ini terbuat dari batu utuh yang diberi
ukiran pahat. Tiang-tiang ini dipantek ke dalam tanah bagaikan tiang pancang
sehingga berdiri tegak dan disusun berbaris. Tinggi tiang yang muncul di atas
permukaan tanah sekarang ini adalah 1,5 m. Tiang batu penambat perahu naga
inilah yang disebut bontean, atau
tiang tambatan perahu naga.
Sekarang tiang batu tambatan perahu ini sudah
berada di daratan. Hal ini menjadi salah satu petunjuk bahwa permukaan air
Danau Toba sudah jauh menurun dibandingkan dengan ratusan tahun silam. Dahulu
tiang batu ini ada beberapa buah, tetapi jumlahnya semakin lama semakin
berkurang. Konon, ada pihak-pihak tertentu yang mengambil untung dari penjualan
tiang batu ini.
Dermaga
Hasahatan dan Bontean ini begitu terkenal sebagai pelabuhan utama di kawasan
Danau Toba pada saat itu, sehingga lahir umpasa
yang berbunyi: “Sahat-sahat ni solu,
sahat ma tu Bontean; Leleng hita mangolu, sai sahat ma tu panggabean.”
LIANG MARLANGKOP
Huta Pagar Batu dilengkapi juga dengan liang atau
gua batu yang belum diketahui seberapa dalam. Gua ini diberi nama Liang
Marlangkop (terjemahan: Gua Tertutup).
Ada kemungkinan bahwa gua atau liang ini menjadi antisipasi tempat
persembunyian bagi keluarga raja dan rakyatnya apabila ada serangan dari
kerajaan lain, karena pada masa itu sering terjadi perang perebutan wilayah
kerajaan. Hal itulah yang terjadi pada masa penjajahan Belanda. Karena Belanda
tidak mengetahui keberadaan gua / liang batu ini, maka mereka sangat kesulitan
untuk menaklukkan Raja Lontung. Bahkan kekuatan tentara Raja Lontung bagaikan
kekuatan tentara siluman bagi Belanda, karena mereka bisa muncul tiba-tiba dan
hilang tiba-tiba tidak diketahui kemana rimbanya. Ternyata, mereka menggunakan
gua tersebut sebagai tempat persembunyian.
Apabila kita kaitkan dengan legenda Sipaleonggang
di Ronggur Nihuta, konon gua batu ini tembus ke Sipaleonggang. Tetapi menurut
warga setempat, gua ini tembus sampai ke Tanjungan yang jaraknya lebih dari 3
km, sehingga dahulu lorong gua ini
digunakan sebagai jalan pintas untuk melakukan kunjungan antara keluarga dari
Lontung ke Tanjungan ke Palipi dan sebaliknya.
Gua / liang ini berada lebih kurang 15 m di atas bontean dengan batu yang berlapis dan
bertumpuk satu sama lain dengan rapi. Karenanya, gua atau liang ini benar-benar
menjadi salah satu objek wisata yang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut
karena mampu memberi nilai tambah yang sangat tinggi bagi kepariwisataan.
LOSUNG RANTE
LOSUNG RANTE adalah sebuah lesung batu berukuran 2
x 1,65 x 1,2 m berbentuk segiempat tak beraturan terletak di Huta Pagar Batu,
Desa Pardomuan, Lontung, Simanindo.
Dahulu pertarungan
antar kampung atau kerajaan sangat sering terjadi, terutama karena perebutan
wilayah kerajaan. Pertarungan tersebut sering dilakukan dengan menggunakan
kekuatan magis, atau tanding kesaktian. Demikian juga dengan Kerajaan Lontung.
Salah satu bukti
terjadinya pertarungan dengan kekuatan magis adalah adanya sebuah lesung yang
diikat dengan rantai besi. Konon, lesung ini diterbangkan musuh ke Huta Pagar
Batu. Dengan kekuatan magis dari Raja Lontung, lesung batu itu tidak sampai
menimpa perkampungan melainkan jatuh sekitar 20 m di pojok Huta Pagar Batu Lontung.
Menurut narasumber, Bapak A. Rusmi Situmorang,
lesung batu ini dulunya sering bergerak-gerak, bahkan bisa terbang sendiri
sehingga terkadang mengganggu perahu atau kapal yang melintasi daerah Lontung
serta merusak tanaman petani seperti layaknya piring terbang. Tetapi lesung batu ini kembali lagi ke tempatnya
semula.
Karena lesung batu ini sudah sangat meresahkan
warga, maka marga Situmorang memberikan rantai untuk mengikat lesung tersebut
agar tidak bisa bergerak lagi dan
mengganggu. Itulah sebabnya lesung ini disebut Losung Rante. Sejak diikat rantai, lesung ini tidak bisa terbang
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar