*Saat mati sudah tidak menakutkan lagi*
Tulisan ini dikutip dari media sosial Risang Rimbatmaja
“Orangnya tidak takut mati. Sudah saya bilang kalau berhenti minum obat nanti penyakitnya akan tambah parah dan bisa mati tapi tetap tidak mau minum obat. Katanya dia sudah siap mati. Bagaimana ini?”
Kematian biasanya dapat menjadi faktor yang memotivasi pasien TB RO untuk berobat. Namun, seorang pendamping bingung menghadapi pasien TB RO yang ternyata tidak mempan dengan pesan kematian. Bagaimana memahami ini? Apa pula jalan keluarnya?
Kematian umumnya dipandang sebagai hal menakutkan, makanya intervensi yang memanfaatkan variabel perceived risk sering memanfaatkannya. Untuk memotivasi orang, pesan perceived risk mesti distel di tingkat maksimal, artinya yang paling menakutkan. Pertanyannya kemudian adalah apakah dengan menyampaikan risiko kematian berarti sudah mentok?
Rasanya, belum mentok. Kita masih bisa buat urutan sebagai berikut:
1. Mematikan
2. Mematikan secara menyakitkan
3. Mematikak secara perlahan dan menyakitkan
4. Mematikan secara perlahan, menyakitkan, dan memalukan
5. Mematikan secara perlahan, menyakitkan, memalukan dan sengsara di dunia berikutnya (karena menularkan ke orang lain)
5. Mematikan secara perlahan, menyakitkan, memalukan, sengsara di dunia berikutnya, dan membunuh orang lain
Dan daftarnya bisa berlanjut….
Namanya perceived risk atau risiko yang dipersepsikan pasien. Yang ada dalam benak ahli belum tentu sama dengan yang ada dibenak pasien. Yang penting bagi komunikator adalah yang ada dalam benak pasien.
Contohnya, kalau pasien TB RO tidak gentar dengan mati tapi dia sangat menyayangi ibunya (sehingga dia tak mau ibunya sengsara karena penyakitnya), maka pesan perceived risk mesti dikaitkan dengan keselamatan ibunya.
Sebagai komunikator, tugas pendamping dan nakes adalah mencari pesan perceived risk yang tepat, yang menakutkan, dan memotivasi pasien minum obat.
Bogor, 18 Januari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar