PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MENUJU PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN SECARA LESTARI
LATAR BELAKANG dan KONSEP
Prinsip kelestarian bermakna (secara sederhana) ‘bagaimana
bisa memaksimalkan pemanfaatan hutan, tetapi generasi mendatang dapat
mewarisinya paling tidak sama dengan yang dituntut generasi saat ini’.
Mencermati pemahaman kelestarian tersebut, kelestarian
aspek sosial pada dasarnya merupakan kesinambungan manfaat yang bisa diperoleh
manusia atau kelompok manusia terutama masyarakat lokal, bila ada keterjaminan
kesinambungan eksistensi sumberdaya untuk dapat memproduksi secara
terus-menerus dalam konteks fungsi hutan apapun. Hal ini berarti bahwa aspek
sosial (memperkuat modal
manusia) menjadi bagian
integral dari komponen kelestarian.
Masyarakat
yang berdaya à MASYARAKAT yang memiliki kapasitas dalam menetapkan
prioritas dan pengendalian atas sumberdaya hutan yang sangat penting bagi upaya
untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Sumodiningrat (1997 ), keberdayaan
masyarakat à unsur – unsur yang memungkinkan suatu
masyarakat bertahan hidup dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri
dan mencapai tujuan hidup. Dengan keberdayaan tinggi, masyarakat tidak saja
akan mampu mempertahankan hak-haknya (termasuk dalam pengambilan keputusan),
terutama dalam berhubungan dengan pihak luas (misalnya pemerintah ataupun pihak
pengusaha besar).
Dari keseluruhan unsur-unsur dimaksud, yang perlu
digaris bawahi adalah makna daripada ‘masyarakat yang kuat’, yang dalam hal ini
tidak hanya dapat dilihat dari sisi perekonomian semata. Akan tetapi kriteria
‘kuat’ harus dipahami dalam konteks yang lebih mendasar yaitu masyarakat yang
memiliki ‘posisi tawar’ (bargaining power position)
Dalam bidang kehutanan pihak masyarakat lokal yang hingga saat ini dalam
kenyataannya dari sisi kapasitas tawar ( bargaining power ) – akibat
keterbatasan fiansial, pendidikan dan wawasan adalah yang paling lemah, maka
kapasitas ini harus ditingkatkan. Konsepsi inilah yang secara luas dikenal
dengan upaya pemberdayaan masyarakat ( empowering local community ).
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat lokal sekitar hutan amatlah penting
adanya suatu kalaborasi antar berbagai pihak. Hal ini mengingat tidak saja
cukup luasnya distribusi kelompok sasaran dibandingkan dengan keterbatasan
sumberdaya yang dimiliki pemerintah, tetapi juga spesifikasi tantangan yang
harus diselesaikan tidak terlepas dari spesifikasi ekologi dan sosio-kultural
lokal yang cukup beragam antara satu tempat dengan tempat lainnya. Dengan kata
lain, peran pihak swasta (dalam hal ini terutama penguasa perkayuan) dan
organisasi non-pemerintah (non govermental organization; atau Lembaga
Swadaya Masyarakat/LSM).
Dalam rangka bekerjasama dengan pemerintah akan sangat membantu proses
pemberdayaan. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa pemberdayaan secara
kolaboratif (cillaborative empowerment) berbeda dengan upaya perbaikan
masyarakat secara kalaboratif (collaborative betterment). Pada upaya ‘betterment’
proses dimulai dari luar masyarakat, dan selanjutnya masyarakat hanya
dilibatkan dalam proses yang didesaian dan dikontrol oleh pihak-pihak yang
lebih besar. Sedangkan pemberdayaan, dimulai dalam masyarakat dan selanjutnya
dibawah keluar keinstitusi publik (dalam hal Instansi Kehutanan), pihak swasta
(perusahaan) dan lembaga-lembaga lainnya (lihat Himmelman, 1994).
Whitmore (1998), bahwa pemberdayaan pada dasarnya bukan sesuatu yang
dilakukan suatu pihak ‘untuk’ (for) atau ‘terhadap’ (to) pihak
lainya. Akan tetapi pemberdayaan adalah aktivitas reflekstif (reflextive
activity), yaitu proses yang hanya dapat diawali dan dipertahankan pihak
bersangkutan yang menginginkan kapasitas (power) atau penentuan nasib
sendiri (self determination). Berbagai pihak lainnya hanya membantu dan
bekerjasama dalam proses pemberdayaan ini dengan cara menciptkan iklim (climate),
hubungan (a relationship), sumber daya (resources) dan prosedur (proceduralmeans) yang
memungkinkam masyarakat mengembangkan kehidupannya.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL DALAM MENUNJANG PENGELOLAAN
HUTAN LESTARI
Pemberdayaan
masyarakat lokal sangat relevan dalam upaya lestarikan sumberdaya hutan yang
sangat penting bagi modal dasar pembangunan termasuk dalam rangka menunjang
proses otonomi daerah, atas pertimbangan :
1.
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33, telah menegaskan
kepentingan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk hutan untuk sebesar-besarnya
(yang dalam pengertian penulis juga terkandung makna ‘sebenar-benarnya’)
kemakmuran rakyat;
2.
Bila ditinjau dari skala prioritas, Kawasan hutan
meliputi lebih dari 75% wilayah teritorial Indonesia, maka seharusnya
masyarakat si sekitar kawasan hutan itulah yang ‘paling berhak’ dan sekligus
menjadi indikator ketercapaian ‘kemakmuran’ dimaksud;
3.
Selama tiga dasawarsa pembangunan ekonomi termasuk
di sektor kehutanan, justru masyarakat di sekitar kawasan hutan paling sedikit
merasakan ‘tetesan kemakmuran’ yang diambil dari sumberdaya di lingkungannya;
4.
Terkait dengan butir 3) kelompok masyarakat tersebut
juga paling banyak berkorban, dari kehilangan ‘kedaulatannya atas sumberdaya
hutan’ hingga tuding-tudingan (secara terang-terangan atau terselubung) bahwa
mereka berandil paling besar terhadap kerusakan hutan sebagai sumber kemakmuran
tersebut.
Disamping itu
beberapa hal penting yang terkait dengan upaya kita semua guna melestarikan
fungsi dan manfaat sumberdaya hutan, meliputi alasan-alasan sebagai berikut :
1. Laju degradasi
sumberdaya hutan yang demikian pesat (menurut catatan terakhir di Indonesia 1,5
juta hektar/tahun) dan juga tidak seimbang dengan upaya rehabilitasinya dalam
kurun waktu tiga dasawarsa terakhir, bukanlah permasalahan teknis melainkan
juga akibat ketersatasan dana dan tenaga yang dimiliki oleh pihak pemerintah
dibandingkan dengan lingkup dan sasaran yang harus ditangani;
2. Salah satu
‘kunci keberhasilan’ upaya pelestarian sumberdaya hutan adalah memeransertakan
para pihak (stakeholders) dan dalam hal ini yang paling potensial
ditinjau dari sisi jumlah, akses dan kepentingan (dalam arti ketergantungan
kehidupan dan penghidupan) yang dimilikinya adalah masyarakat lokal di sekitar
hutan;
3. Masyarakat
lokal, khususnya masyarakat tradisional bedasarkan berbagai penelitian tebukti
memiliki ‘kearifan’ pengelolaan hutan secara lestari (local genius atau traditional
knowledge), meskipun dibeberapa tempat ‘pengucilan’ mereka terhadap
‘sumberdaya hutan’ yang cukup lama secara langsung ataupun tidak langsung telah
menyebabakan ‘erosi kapasitas dan bahakan kepercayaan’ kepada kelembagaan
yangdimilikinya;
Oleh karenanya
dalam rangka pembangunan kehutanan pemberdayaan masyarakat lokal tidaklah cukup
hanya meliputi kondisi-kondisi sebagaimana yang diprogramkan oleh pihak
departemen sebagai berikut (lihat SK Dirjen PH No. 36/1998) : Meningkatnya
pendapatan, tumbuhnya ekonomi masyarakat pedesaan yang berwawasan lingkungan;
Tersedianya sarana dan prasarana sosial ekonomi; Meningkatnya kesadaran dan
perilaku positif dalam pengelolaan SDA, khususnya sumberdaya hutan. Akan tetapi
pemberdayaan masyarakat lokal harus pula didukung dan/atau meliputi (Sardjono,
2000) :
1.
Kepastian Kawasan, adalah hal utama yang
harus diberikan sebagai ‘titik awal’ atau ‘pintu masuk’ (starting atau
entry-point) bagi kegiatan-kegiatan selanjutnya. Selama ini, termasuk bagi
kelompok masyarakat yang telah lebih dulu hadir di suatu lokasi daripada
pegusaha hutan, hak memiliki/ menguasai/ mengusahakan hutan/ hasil hutan/ lahan
hutan tidak terakui secara ‘defacto’ dilapangan. Oleh karenanya pemberian
kesempatan pengelolaan hutan kepada masyarakat (a.l. melalui HPH
Kemasyarakatan) harus berdasarkan pada
upaya pengembalian kedaulatan dimaksud ‘langkah demi langkah’
2.
Kepastian Kewenangnan, adalah seharusnya
mengandung makna yang lebih luas daripada sekedar kewenangan ‘mengusahakan
hasil hutan (termasuk hasil kayu) dan jasa hutan’ tetapi bagaimana sistem
pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Dengan demikian sebagai contoh pemolaan
‘koperasi’ sebagai satu-satunya/standar untuk partisipasi masyarakat sekitar
hutan, tanpa menghargai kebhinekaan ‘kelembagaan’ lokal sudah tumbuh dan
berfungsi baik secara turun-temurun (a.l. institusi adat, hak-hak perorangan dalam
komunal, dll) dipertimbgangkan beresiko memperpanjang ‘masa suram’ masyarakat
sekitar hutan;
3.
Kepastian Keuntungan, adalah langkah terakhir
yang menjadi tujuan daripada pembangunan kehutanan. Masyarakat sekitar kawasan
hutan yang selama ini serasa sebagai ‘tamu dirumah sendiri’ dipertimbangkan
pelu memperoleh kompensasi, yang bilamana perlu lebih dari sekedar ‘kontrak
pekerjaan’ akan tetapi pada ‘kondisi yang mungkin menurut banyak pihak aka
dinilai ekstrim’, yaitu pemberian keuntungan ‘saham kosong’ yang wajar untuk
membangun desa dan masyarakat mereka. Keuntungan tersebut sebagai ‘hak’ akan
dikelola oleh dan dengan cara atau kebutuhan mereka sendiri.
UPAYA KONKRIT MENUJU KEBERDAYAAN
MASYARAKAT DI SEKITAR SUMBERDAYA HUTAN
Menyimak uraian panjang
terdahulu perlu kiranya disampaikan usulan konkrit yang
dapat dilakukan dalam rangka pembangunan program pemberdayaan masyarakat lokal
di sekitar hutan. Dalam hal ini lingkup program perlu dibagi atas empat
kelompok besar, yaitu : aspek tenurial, aspek sumberdaya manusia, aspek
kelembagaan, aspek perekonomian. Adapun uraian lengkapnya sebagai berikut :
1.
Aspek
Tenurial :
·
Melaksanakan
dan mengakomodir hasil pemetaan batas dan sumberdaya alam desa secara
partisipatif dalam kerangka pengembangan Rencana Tata Ruang Kabupaten;
·
Menetapkan
dan menghormati kawasan-kawasan adat pada peta kawasan desa partisipatif sesuai
dengan kesepakatan antara pihak yang
berwenang (dalam hal ini kabupaten) dengan lembaga-lembaga adat;
·
Memberikan
kesempatan dan kepastian akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan atas
areal-areal hutan negara yang emnjadi sumber kehidupan dan penghidupan
masyaakat sesuai dengan fungsi hutan yang ditetapkan dan kesepakatan para pihak
(khususnya pada areal yang telah terbebani hak dalam rangka penyusunan pola
pengelolaan).
2. Aspek Sumberdaya Manusia :
·
Memberikan
kesempatan yang ‘lebih luas’ dalam menuntut pendidikan formal kepada generasi
muda melalui pemberian ‘bea siswa’, khususnya dari dana-dana yang berasal dari
pemanfaatan sumberdaya hutan setempat;
·
Menawarkan
kesempatan yang banyak kepada masyarakat lokal untuk dapat ikut serta dalam
kegiatan-kegiatan pelatihan dan forum-forum diskusi yang terkait dengan
pengelolaan sumberdaya hutan;
·
Melaksanakan
secara intensif program-program pelatihan/ penyulkuhan dilapangan, terutama
kepada kelompok perempuan dan anak-anak, manganai kelestarian lingkungan dan
pengelolaan sumberdaya hutan.
3. Aspek Kelembagaan :
·
Memperkuat
dan menyempurnakan eksisting indtitusi lokal (srutktur dan fungsi) baik yang
bersifat formal (kelembagaan desa) atau informal (kelembagaan adat), khususnya
dalam kaitannya dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pemanfaatan
sumberdaya hutan;
·
Mengembangkan jaringan komunikasi dan kerja antar
desa (demacam lembaga antar desa), dalam upaya mencegah dan mengatasi konflik
sumberdaya yang sangat mungkin terjadi;
·
Mendorong keiukutsertaan lembaga lokal dalam proses
penyusunan kebijakan/peraturan yang terkait dengan perlindungan lingkungan dan
pemanfaatan sumberdaya hutan;
·
Mendampingi kelembagaan lokal khususnya Kelompok
Swadaya Masyarakat (self-reliance groups) untuk tahu dan mampu menyusun
usulan-usulan (proposal) kegiatan tekait dengan pengelolaan sumberdaya hutan
kepada sumber-sumber pedanaan (funding agecies)
4. Aspek Perekonomian
·
Memprioritaskan
alokasi dana yang berasal dari sumberdaya hutan bagi sebesar-besarnya
pembangunan (dalam arti luas : fisik/non fisisk) masyarakat lokal dan/pedesaan
sekitar hutan (priorotas utama pada kebutuhan pokok yang termasuk ‘first
floor’ yaitu pangan, kesehatan dan pendidikan);
·
Mengembangkan
proses-proses pembangunan secara partisipatif a.l. penetapan tata guna lahan
desa dan perencanaan pembangunan secara partisipatif;
·
Menggali
dan mengembangkan bentuk-bentuk perekonomian masyarakat berbasis hutan (produk
dan jasa), tidak terkecuali memikirkan sistem pengelolaan pascapanen,
pemasaran, dan (bilamana mungkin) hak paten atas teknologi/produk yang
dimilikinya;
·
Menganalisis
kemungkinan pengembangan kesempatan kerja bagi masyarakat lokal dan pola
kemitraan (vertikal, horisontal, pendampingan) antara masyarakat lokal dengan
pengusaha hutan skala besar, khususnya yang mengusakan sumberdaya alam
sekitarnya;
·
Mengembangkan atau menyempurnakan lembaga-lembaga
peekonomian lokal (termasuk koperasi) yang sesiau dengan sosial budaya setempat.
Catatan
penting yang perlu disampaikan, bahwa pemberdayaan masyarakat menyangkut
kelompok sasaran yang dinamis perkembangannya, jauh lebih dinamis daripada
perkembangan SDA itu sendiri. Apalagi dalam kondisi sosial dewasa ini yang
penuh dengan ‘tuntutan atas hak’ seiring dengan era reformasi, kesempatan untuk
memehami ‘kebutuhan’ memerlukan waktu. Oleh karenanya apapun bentuk kegiatan
pemberdayaan masyarakat sudah saatnya merubah orientasi ‘proyek’ (yang bersifat
sesaat, parsial, ‘top –down’ dan berorientasi pada target) menuju
‘program’ (yang lebih panjang, komprehensif, partisipatif dan menekankan pada
proses).
Catatan
lainnya dalam kaitannya denga otonomi daerah, desentralisasi (decentralization)
politik, administratif, dan fiskal dari pemerintah kedaerah khususnya
menyangkut sumberdaya hutan hanya akan bermakna bilamana diikuti dengan
pemberdayaan institusi lokal di tingkat ‘akar rumput’ (grassroot level)
dalam arti devolusi (devolution. Bila ini tidak dilakukan kekhawatiran
akan perpindahan orientasi ‘sentralistik
dari pusat ke propinsi/ kabupaten/ kota akan terjadi.
Bila
konsisi diatas dapat dipenuhi, maka harapan kita semua untuk memberdayakan
masyarakat lokal dalam pelestarian sumberdaya hutan yang berdimensi luas
berpeluang besar akan terwujud, dan ini berarti tuntutan atas komitmen golbal (ecolabeling)
dapat terpenuhi.
Pada hal pola-pola kemitraan seperti itu
diharapkan berpotensi sebagai alternatif penyelesaian permasalahan konflik
lahan yang terjadi saat ini di bidang kehutanan, terutama antara perusahaan dan
masyarakat lokal (lihat SFMP/GTZ, 2000).
·
Proses
diawali dalam masyarakat dan dibantu dengan pengorganisasian masyarakat (momunity
organizing); Diskusi – diskusi awal dititik beratkan pada asumsi (assumption)
dan nilai-nilai (value);
·
Identifikasi
permasalahan masyarakat, meliputi: analisis kecenderungan berdasarkan data (data
based trend analysisi) dan contoh-contoh narasi dari masyarkaat lokal.
Seluruh cerita dari masyarakat diberi kredibilitas yang sama dalam menetapan
priode penanganannya;
·
Prioritas-prioritas
masyarakat terefleksi dalam kolaborasi. Organisasi masyarakat (cimmunity-based
organizations) memilih wakil-wakilnya untuk bernegosiasi dalam kolaborasi
dengan organisasi – organisasi publik, swasta dan organisasi nir-laba strategis
di lur masyarakat yang terindentifikasih;
·
Negosiasi
dengan lembaga-lembaga dan organisasi luar tersebut menghasilkan persetujuan (agreements)
yang akan dilaksanakan secara kolaboratif dengan tujuan yang ditetapkan
oleh masyarakat, dan dalam proses – proses serta administrasi pemerintahan,
dimana kekuatan (power) terbagi secara merataantara masyarakat dan pihak
luar;
·
Struktur
pemerintahan dan administrasi termasuk di dalamnya badan pengambil kebijakan (a
policy board), panitia eksekutif (an executive committee), kelompok
aksi yang akan melaksanakan rencana (action groups for implementing plans) dan
staf yang disetujui oleh masyarakat untuk membantu kolaborasi;
·
Sasaran
(goals) dilaksanakan melalui rencana aksi yang didukung secara penuh
oleh masyarakat lokal dan wakil-wakil dari institusi-institusi publik, swasta
serta organisasi nir-laba dari luar;
·
Kesepakatan
untuk penilaian (assesment) dan evaluasi (evaluation) dalam
lingkungan publik memberikan kesempatan bagi organisasi masyarkaat lokal untuk
memantau kemajuan lolaborasi;
·
Terakhir
tapi sangat penting adalah adanya kontrol masyarakat terhadap sumberdaya yang
dibutuhkan bagi kelangsungan upaya-upaya yang dilakukan setelah masa
kolaraborasi berakhir.
Keterangan Kriteria Posisi Masyarakat:
Sangat lemah : Masyarakat tidak bisa mempengaruhi /
memantau penyediaan jasa. Pola merupakan bantuan hibah atau bantuan atas
kredit. Tidak ada program pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) maupun
penyediaan jalur informasi yang resmi. Tidak ada hubungan produktif, hanya
hubungan antar majikan dan karyawan. Kolompok masyarakat da usaha masyarkaat
tidak diperkuat secara aktif. Bantuan dari perusahaan bersifat perorangan.
Lemah : Dalam suatu hubungan produktif, ada cara objektif untuk menentukan
harga penampungan komoditi, namun masyarakat belum mampu memantau praktek
pelaksanaan yang monopolistik dari sisi penampungan bahan baku serta penyediaan
jasa (termasuk kredit, pembangunan fisik, informasi/penyuluhan teknis).
Kegiatan penguatan kelompok secara tidak konsisten dilakukan oleh instansi
pemerintah.
Kelompok
sering hanya tani, hubungan usaha dengan perusahaan bersifat perorangan.
Menengah : Kelompok usaha masih dihambat dalam pengawasan penentuan harga
penampungan komoditi, tetapi lebih bebas mencari pembeli lain, karena
penyediaan jasa dipisahkan dari penampungan bahan baku. Penyuluhan teknis dan
penguatan kelompok usaha secara lebih intensif dilaksanakan. Kelompok sudah
dibentuk (badan kerja sama antara kelompok), tetapi belum berbadan hukum; atau
koperasi baru dibentuk, tetapi belum mandiri. Hubungan dengan perusahaan masih
bersifat perorangan.
Kuat : Kelompok usaha sudah menguasai pengetahuan
teknis yang aktual. Mereka secara tersendiri mendapatkan informasi dan memantau
pasar serta penentuan harga. Oleh karena itu bisa berunding dengan perusaha
dari suatu posisi yang kuat. Kelompok usaha (koperasi) yang merupakan badan
hukum dibentuk setelah pengembangan kelompok dan rekayasa sosial telah
diutamakan secara konsistens dan sistematis dalam jangka panjang. Hubungan usaha
dengan perusahaan bersifat pengelompokan.
By : Bahan Kuliah Sosial Penyuluhan Kehutanan 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar