H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Selasa, 18 Oktober 2011

RIMBAWAN SOSIAL...LESTARI


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MENUJU PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN SECARA LESTARI


LATAR BELAKANG dan KONSEP

Prinsip kelestarian bermakna (secara sederhana) ‘bagaimana bisa memaksimalkan pemanfaatan hutan, tetapi generasi mendatang dapat mewarisinya paling tidak sama dengan yang dituntut generasi saat ini’.

Mencermati pemahaman kelestarian tersebut, kelestarian aspek sosial pada dasarnya merupakan kesinambungan manfaat yang bisa diperoleh manusia atau kelompok manusia terutama masyarakat lokal, bila ada keterjaminan kesinambungan eksistensi sumberdaya untuk dapat memproduksi secara terus-menerus dalam konteks fungsi hutan apapun. Hal ini berarti bahwa aspek sosial (memperkuat modal manusia) menjadi bagian integral dari komponen kelestarian.

               Masyarakat yang berdaya à MASYARAKAT  yang memiliki kapasitas dalam menetapkan prioritas dan pengendalian atas sumberdaya hutan yang sangat penting bagi upaya untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Sumodiningrat (1997 ),  keberdayaan masyarakat à unsur – unsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan hidup dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai tujuan hidup. Dengan keberdayaan tinggi, masyarakat tidak saja akan mampu mempertahankan hak-haknya (termasuk dalam pengambilan keputusan), terutama dalam berhubungan dengan pihak luas (misalnya pemerintah ataupun pihak pengusaha besar).

Dari keseluruhan unsur-unsur dimaksud, yang perlu digaris bawahi adalah makna daripada ‘masyarakat yang kuat’, yang dalam hal ini tidak hanya dapat dilihat dari sisi perekonomian semata. Akan tetapi kriteria ‘kuat’ harus dipahami dalam konteks yang lebih mendasar yaitu masyarakat yang memiliki ‘posisi tawar’ (bargaining power position)

Dalam bidang kehutanan pihak masyarakat lokal yang hingga saat ini dalam kenyataannya dari sisi kapasitas tawar ( bargaining power ) – akibat keterbatasan fiansial, pendidikan dan wawasan adalah yang paling lemah, maka kapasitas ini harus ditingkatkan. Konsepsi inilah yang secara luas dikenal dengan upaya pemberdayaan masyarakat ( empowering local community ).

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat lokal sekitar hutan amatlah penting adanya suatu kalaborasi antar berbagai pihak. Hal ini mengingat tidak saja cukup luasnya distribusi kelompok sasaran dibandingkan dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki pemerintah, tetapi juga spesifikasi tantangan yang harus diselesaikan tidak terlepas dari spesifikasi ekologi dan sosio-kultural lokal yang cukup beragam antara satu tempat dengan tempat lainnya. Dengan kata lain, peran pihak swasta (dalam hal ini terutama penguasa perkayuan) dan organisasi non-pemerintah (non govermental organization; atau Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM).

Dalam rangka bekerjasama dengan pemerintah akan sangat membantu proses pemberdayaan. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa pemberdayaan secara kolaboratif (cillaborative empowerment) berbeda dengan upaya perbaikan masyarakat secara kalaboratif (collaborative betterment). Pada upaya ‘betterment’ proses dimulai dari luar masyarakat, dan selanjutnya masyarakat hanya dilibatkan dalam proses yang didesaian dan dikontrol oleh pihak-pihak yang lebih besar. Sedangkan pemberdayaan, dimulai dalam masyarakat dan selanjutnya dibawah keluar keinstitusi publik (dalam hal Instansi Kehutanan), pihak swasta (perusahaan) dan lembaga-lembaga lainnya (lihat Himmelman, 1994).

Whitmore (1998), bahwa pemberdayaan pada dasarnya bukan sesuatu yang dilakukan suatu pihak ‘untuk’ (for) atau ‘terhadap’ (to) pihak lainya. Akan tetapi pemberdayaan adalah aktivitas reflekstif (reflextive activity), yaitu proses yang hanya dapat diawali dan dipertahankan pihak bersangkutan yang menginginkan kapasitas (power) atau penentuan nasib sendiri (self determination). Berbagai pihak lainnya hanya membantu dan bekerjasama dalam proses pemberdayaan ini dengan cara menciptkan iklim (climate), hubungan (a relationship), sumber daya (resources)  dan prosedur (proceduralmeans) yang memungkinkam masyarakat mengembangkan kehidupannya.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL DALAM MENUNJANG PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

Pemberdayaan masyarakat lokal sangat relevan dalam upaya lestarikan sumberdaya hutan yang sangat penting bagi modal dasar pembangunan termasuk dalam rangka menunjang proses otonomi daerah, atas pertimbangan :

1.      Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33, telah menegaskan kepentingan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk hutan untuk sebesar-besarnya (yang dalam pengertian penulis juga terkandung makna ‘sebenar-benarnya’) kemakmuran rakyat;
2.      Bila ditinjau dari skala prioritas, Kawasan hutan meliputi lebih dari 75% wilayah teritorial Indonesia, maka seharusnya masyarakat si sekitar kawasan hutan itulah yang ‘paling berhak’ dan sekligus menjadi indikator ketercapaian ‘kemakmuran’ dimaksud;
3.      Selama tiga dasawarsa pembangunan ekonomi termasuk di sektor kehutanan, justru masyarakat di sekitar kawasan hutan paling sedikit merasakan ‘tetesan kemakmuran’ yang diambil dari sumberdaya di lingkungannya;
4.      Terkait dengan butir 3) kelompok masyarakat tersebut juga paling banyak berkorban, dari kehilangan ‘kedaulatannya atas sumberdaya hutan’ hingga tuding-tudingan (secara terang-terangan atau terselubung) bahwa mereka berandil paling besar terhadap kerusakan hutan sebagai sumber kemakmuran tersebut.

Disamping itu beberapa hal penting yang terkait dengan upaya kita semua guna melestarikan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan, meliputi alasan-alasan sebagai berikut :
1.  Laju degradasi sumberdaya hutan yang demikian pesat (menurut catatan terakhir di Indonesia 1,5 juta hektar/tahun) dan juga tidak seimbang dengan upaya rehabilitasinya dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir, bukanlah permasalahan teknis melainkan juga akibat ketersatasan dana dan tenaga yang dimiliki oleh pihak pemerintah dibandingkan dengan lingkup dan sasaran yang harus ditangani;
2.  Salah satu ‘kunci keberhasilan’ upaya pelestarian sumberdaya hutan adalah memeransertakan para pihak (stakeholders) dan dalam hal ini yang paling potensial ditinjau dari sisi jumlah, akses dan kepentingan (dalam arti ketergantungan kehidupan dan penghidupan) yang dimilikinya adalah masyarakat lokal di sekitar hutan;
3.  Masyarakat lokal, khususnya masyarakat tradisional bedasarkan berbagai penelitian tebukti memiliki ‘kearifan’ pengelolaan hutan secara lestari (local genius atau traditional knowledge), meskipun dibeberapa tempat ‘pengucilan’ mereka terhadap ‘sumberdaya hutan’ yang cukup lama secara langsung ataupun tidak langsung telah menyebabakan ‘erosi kapasitas dan bahakan kepercayaan’ kepada kelembagaan yangdimilikinya;

Oleh karenanya dalam rangka pembangunan kehutanan pemberdayaan masyarakat lokal tidaklah cukup hanya meliputi kondisi-kondisi sebagaimana yang diprogramkan oleh pihak departemen sebagai berikut (lihat SK Dirjen PH No. 36/1998) : Meningkatnya pendapatan, tumbuhnya ekonomi masyarakat pedesaan yang berwawasan lingkungan; Tersedianya sarana dan prasarana sosial ekonomi; Meningkatnya kesadaran dan perilaku positif dalam pengelolaan SDA, khususnya sumberdaya hutan. Akan tetapi pemberdayaan masyarakat lokal harus pula didukung dan/atau meliputi (Sardjono, 2000) :

1.      Kepastian Kawasan, adalah hal utama yang harus diberikan sebagai ‘titik awal’ atau ‘pintu masuk’ (starting atau entry-point) bagi kegiatan-kegiatan selanjutnya. Selama ini, termasuk bagi kelompok masyarakat yang telah lebih dulu hadir di suatu lokasi daripada pegusaha hutan, hak memiliki/ menguasai/ mengusahakan hutan/ hasil hutan/ lahan hutan tidak terakui secara ‘defacto’ dilapangan. Oleh karenanya pemberian kesempatan pengelolaan hutan kepada masyarakat (a.l. melalui HPH Kemasyarakatan) harus berdasarkan pada  upaya pengembalian kedaulatan dimaksud ‘langkah demi langkah’

2.      Kepastian Kewenangnan, adalah seharusnya mengandung makna yang lebih luas daripada sekedar kewenangan ‘mengusahakan hasil hutan (termasuk hasil kayu) dan jasa hutan’ tetapi bagaimana sistem pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Dengan demikian sebagai contoh pemolaan ‘koperasi’ sebagai satu-satunya/standar untuk partisipasi masyarakat sekitar hutan, tanpa menghargai kebhinekaan ‘kelembagaan’ lokal sudah tumbuh dan berfungsi baik secara turun-temurun (a.l. institusi adat, hak-hak perorangan dalam komunal, dll) dipertimbgangkan beresiko memperpanjang ‘masa suram’ masyarakat sekitar hutan;

3.      Kepastian Keuntungan, adalah langkah terakhir yang menjadi tujuan daripada pembangunan kehutanan. Masyarakat sekitar kawasan hutan yang selama ini serasa sebagai ‘tamu dirumah sendiri’ dipertimbangkan pelu memperoleh kompensasi, yang bilamana perlu lebih dari sekedar ‘kontrak pekerjaan’ akan tetapi pada ‘kondisi yang mungkin menurut banyak pihak aka dinilai ekstrim’, yaitu pemberian keuntungan ‘saham kosong’ yang wajar untuk membangun desa dan masyarakat mereka. Keuntungan tersebut sebagai ‘hak’ akan dikelola oleh dan dengan cara atau kebutuhan mereka sendiri.

UPAYA KONKRIT MENUJU KEBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR SUMBERDAYA HUTAN
Menyimak uraian panjang terdahulu perlu kiranya disampaikan usulan konkrit yang dapat dilakukan dalam rangka pembangunan program pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar hutan. Dalam hal ini lingkup program perlu dibagi atas empat kelompok besar, yaitu : aspek tenurial, aspek sumberdaya manusia, aspek kelembagaan, aspek perekonomian. Adapun uraian lengkapnya sebagai berikut :

1.      Aspek Tenurial :
·         Melaksanakan dan mengakomodir hasil pemetaan batas dan sumberdaya alam desa secara partisipatif dalam kerangka pengembangan Rencana Tata Ruang Kabupaten;
·         Menetapkan dan menghormati kawasan-kawasan adat pada peta kawasan desa partisipatif sesuai dengan  kesepakatan antara pihak yang berwenang (dalam hal ini kabupaten) dengan lembaga-lembaga adat;
·         Memberikan kesempatan dan kepastian akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan atas areal-areal hutan negara yang emnjadi sumber kehidupan dan penghidupan masyaakat sesuai dengan fungsi hutan yang ditetapkan dan kesepakatan para pihak (khususnya pada areal yang telah terbebani hak dalam rangka penyusunan pola pengelolaan).

2.      Aspek Sumberdaya Manusia :
·         Memberikan kesempatan yang ‘lebih luas’ dalam menuntut pendidikan formal kepada generasi muda melalui pemberian ‘bea siswa’, khususnya dari dana-dana yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya hutan setempat;
·         Menawarkan kesempatan yang banyak kepada masyarakat lokal untuk dapat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pelatihan dan forum-forum diskusi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan;
·         Melaksanakan secara intensif program-program pelatihan/ penyulkuhan dilapangan, terutama kepada kelompok perempuan dan anak-anak, manganai kelestarian lingkungan dan pengelolaan sumberdaya hutan.

3.      Aspek Kelembagaan :
·         Memperkuat dan menyempurnakan eksisting indtitusi lokal (srutktur dan fungsi) baik yang bersifat formal (kelembagaan desa) atau informal (kelembagaan adat), khususnya dalam kaitannya dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pemanfaatan sumberdaya hutan;
·         Mengembangkan jaringan komunikasi dan kerja antar desa (demacam lembaga antar desa), dalam upaya mencegah dan mengatasi konflik sumberdaya yang sangat mungkin terjadi;
·         Mendorong keiukutsertaan lembaga lokal dalam proses penyusunan kebijakan/peraturan yang terkait dengan perlindungan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya hutan;
·         Mendampingi kelembagaan lokal khususnya Kelompok Swadaya Masyarakat (self-reliance groups) untuk tahu dan mampu menyusun usulan-usulan (proposal) kegiatan tekait dengan pengelolaan sumberdaya hutan kepada sumber-sumber pedanaan (funding agecies)

4.      Aspek Perekonomian
·         Memprioritaskan alokasi dana yang berasal dari sumberdaya hutan bagi sebesar-besarnya pembangunan (dalam arti luas : fisik/non fisisk) masyarakat lokal dan/pedesaan sekitar hutan (priorotas utama pada kebutuhan pokok yang termasuk ‘first floor’ yaitu pangan, kesehatan dan pendidikan);
·         Mengembangkan proses-proses pembangunan secara partisipatif a.l. penetapan tata guna lahan desa dan perencanaan pembangunan secara partisipatif;
·         Menggali dan mengembangkan bentuk-bentuk perekonomian masyarakat berbasis hutan (produk dan jasa), tidak terkecuali memikirkan sistem pengelolaan pascapanen, pemasaran, dan (bilamana mungkin) hak paten atas teknologi/produk yang dimilikinya;
·         Menganalisis kemungkinan pengembangan kesempatan kerja bagi masyarakat lokal dan pola kemitraan (vertikal, horisontal, pendampingan) antara masyarakat lokal dengan pengusaha hutan skala besar, khususnya yang mengusakan sumberdaya alam sekitarnya;
·         Mengembangkan atau menyempurnakan lembaga-lembaga peekonomian lokal (termasuk koperasi) yang sesiau dengan sosial budaya setempat.

Catatan penting yang perlu disampaikan, bahwa pemberdayaan masyarakat menyangkut kelompok sasaran yang dinamis perkembangannya, jauh lebih dinamis daripada perkembangan SDA itu sendiri. Apalagi dalam kondisi sosial dewasa ini yang penuh dengan ‘tuntutan atas hak’ seiring dengan era reformasi, kesempatan untuk memehami ‘kebutuhan’ memerlukan waktu. Oleh karenanya apapun bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat sudah saatnya merubah orientasi ‘proyek’ (yang bersifat sesaat, parsial, ‘top –down’ dan berorientasi pada target) menuju ‘program’ (yang lebih panjang, komprehensif, partisipatif dan menekankan pada proses).

Catatan lainnya dalam kaitannya denga otonomi daerah, desentralisasi (decentralization) politik, administratif, dan fiskal dari pemerintah kedaerah khususnya menyangkut sumberdaya hutan hanya akan bermakna bilamana diikuti dengan pemberdayaan institusi lokal di tingkat ‘akar rumput’ (grassroot level) dalam arti devolusi (devolution. Bila ini tidak dilakukan kekhawatiran akan  perpindahan orientasi ‘sentralistik dari pusat ke propinsi/ kabupaten/ kota akan terjadi.

Bila konsisi diatas dapat dipenuhi, maka harapan kita semua untuk memberdayakan masyarakat lokal dalam pelestarian sumberdaya hutan yang berdimensi luas berpeluang besar akan terwujud, dan ini berarti tuntutan atas komitmen golbal (ecolabeling) dapat terpenuhi.

Pada hal pola-pola kemitraan seperti itu diharapkan berpotensi sebagai alternatif penyelesaian permasalahan konflik lahan yang terjadi saat ini di bidang kehutanan, terutama antara perusahaan dan masyarakat lokal (lihat SFMP/GTZ, 2000).

·         Proses diawali dalam masyarakat dan dibantu dengan pengorganisasian masyarakat (momunity organizing); Diskusi – diskusi awal dititik beratkan pada asumsi (assumption) dan nilai-nilai (value);

·         Identifikasi permasalahan masyarakat, meliputi: analisis kecenderungan berdasarkan data (data based trend analysisi) dan contoh-contoh narasi dari masyarkaat lokal. Seluruh cerita dari masyarakat diberi kredibilitas yang sama dalam menetapan priode penanganannya;

·         Prioritas-prioritas masyarakat terefleksi dalam kolaborasi. Organisasi masyarakat (cimmunity-based organizations) memilih wakil-wakilnya untuk bernegosiasi dalam kolaborasi dengan organisasi – organisasi publik, swasta dan organisasi nir-laba strategis di lur masyarakat yang terindentifikasih;

·         Negosiasi dengan lembaga-lembaga dan organisasi luar tersebut menghasilkan persetujuan (agreements) yang akan dilaksanakan secara kolaboratif dengan tujuan yang ditetapkan oleh masyarakat, dan dalam proses – proses serta administrasi pemerintahan, dimana kekuatan (power) terbagi secara merataantara masyarakat dan pihak luar;
·         Struktur pemerintahan dan administrasi termasuk di dalamnya badan pengambil kebijakan (a policy board), panitia eksekutif (an executive committee), kelompok aksi yang akan melaksanakan rencana (action groups for implementing plans) dan staf yang disetujui oleh masyarakat untuk membantu kolaborasi;
·         Sasaran (goals) dilaksanakan melalui rencana aksi yang didukung secara penuh oleh masyarakat lokal dan wakil-wakil dari institusi-institusi publik, swasta serta organisasi nir-laba dari luar;
·         Kesepakatan untuk penilaian (assesment) dan evaluasi (evaluation) dalam lingkungan publik memberikan kesempatan bagi organisasi masyarkaat lokal untuk memantau kemajuan lolaborasi;
·         Terakhir tapi sangat penting adalah adanya kontrol masyarakat terhadap sumberdaya yang dibutuhkan bagi kelangsungan upaya-upaya yang dilakukan setelah masa kolaraborasi berakhir.
        

Keterangan Kriteria Posisi Masyarakat:
Sangat lemah   :           Masyarakat tidak bisa mempengaruhi / memantau penyediaan jasa. Pola merupakan bantuan hibah atau bantuan atas kredit. Tidak ada program pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) maupun penyediaan jalur informasi yang resmi. Tidak ada hubungan produktif, hanya hubungan antar majikan dan karyawan. Kolompok masyarakat da usaha masyarkaat tidak diperkuat secara aktif. Bantuan dari perusahaan bersifat perorangan.
Lemah         :   Dalam suatu hubungan produktif, ada cara objektif untuk menentukan harga penampungan komoditi, namun masyarakat belum mampu memantau praktek pelaksanaan yang monopolistik dari sisi penampungan bahan baku serta penyediaan jasa (termasuk kredit, pembangunan fisik, informasi/penyuluhan teknis). Kegiatan penguatan kelompok secara tidak konsisten dilakukan oleh instansi pemerintah.
                        Kelompok sering hanya tani, hubungan usaha dengan perusahaan bersifat perorangan.
Menengah   :   Kelompok usaha masih dihambat dalam pengawasan penentuan harga penampungan komoditi, tetapi lebih bebas mencari pembeli lain, karena penyediaan jasa dipisahkan dari penampungan bahan baku. Penyuluhan teknis dan penguatan kelompok usaha secara lebih intensif dilaksanakan. Kelompok sudah dibentuk (badan kerja sama antara kelompok), tetapi belum berbadan hukum; atau koperasi baru dibentuk, tetapi belum mandiri. Hubungan dengan perusahaan masih bersifat perorangan.
Kuat            :   Kelompok usaha sudah menguasai pengetahuan teknis yang aktual. Mereka secara tersendiri mendapatkan informasi dan memantau pasar serta penentuan harga. Oleh karena itu bisa berunding dengan perusaha dari suatu posisi yang kuat. Kelompok usaha (koperasi) yang merupakan badan hukum dibentuk setelah pengembangan kelompok dan rekayasa sosial telah diutamakan secara konsistens dan sistematis dalam jangka panjang. Hubungan usaha dengan perusahaan bersifat pengelompokan.          

By : Bahan Kuliah Sosial Penyuluhan Kehutanan 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar