IDENTIFIKASI INDEKS KUALITAS
TEMPAT TUMBUH
PENDAHULUAN
Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan
menjadi satu tuntutan yang harus dipenuhi. Produktivitas itu sendiri ditentukan
oleh kualitas tempat tumbuh dan teknik silvikultur yang dikembangkan.
Tantangan utama dalam rehabilitasi hutan produksi bekas tebangan adalah
menciptakan kondisi tempat tumbuh yang cocok bagi pertumbuhan jenis
dipterocarpa.
Relevansinya dengan peningkatan produktivitas hutan alam produksi bekas tebangan,
maka penerapan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) yang kemudian beralih menjadi
TPTI-Intensif atau SILIN (Silvikultur Intensif) merupakan salah satu alternatif
yang patut dipertimbangkan dalam pengelolaan hutan alam produksi dengan cara
penanaman jenis dipterocarpa secara jalur. Dalam sistem ini, setelah
dilakukan tebang pilih, dibuat jalur tanam selebar 3 m, dan 20 m untuk jalur
antara yang dibuat secara berselang-seling. Sepintas sistem ini diduga
menimbulkan pengaruh yang cukup besar, terhadap kualitas tanah yang pada
akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Faktor tempat tumbuh tegakan adalah totalitas dari perubahan
tempat tegakan , mencakup bentuk lapangan , sifat-sifat tanah dan iklim yang
memiliki tingkat keeratan hubungan yang cukup tinggi dengan dimensi tegakan .
P0ubah ubah ini tidak perlu berupa faktor – faktor yang berpengaruh langsung
terhadap pertumbuhan tegakan.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tegakan
Fungsi pertumbuhan dan hasil
tegakan merupakan alat yang sangat berguna dalam pengaturan hasil hutan dengan
berlandasrkan kepada prinsip kelestarian hasil. Model fungsi ini sangat baik
dalam penyusunan studi kelayakan pembangunan HTI maupun dalam penyususnan
rencana karya pembangunan pengusahaan hutan. Pembentukan fungsi pertumbuhan dan
hasil tegakan harus memperhatikan ketiga faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
tegakan, yaitu : faktor genetik, keadaan tempat tum,buh dan tindakan
silvikultur.
Kramer dan Koslowski (1960) menyatakan bahwa pertumbuhan
pohon sangat ditentukan oleh interaksi antara tiga faktor, yaitu keturunan,
lingkungan dan terknik silvikultur. Secara skematis digambarkannya interaksi
dari ketiga faktor itu
Kramer dan Koslowski (1960) mengelompokkan
faktor-faktor lingkungan (luar) ke dalam tanah, iklim, api, pencemaran, dan
faktor biotic. Faktor-faktor tanah, iklim, api, pencemaran termasuk faktor
abiotik, sedangkan faktor pengatur tumbuh (hormaon), keseimbangan air dan
genetic dimasukkannya ke dalam faktor dalam dari pohon
Kualitas tanah merupakan
gambaran utuh dari suatu kondisi spesifik tanah untuk melakukan fungsinya
(Karlen et al. 1997). Untuk itu maka kajian tentang perubahan
kualitas tanah merupakan studi yang sangat penting dalam praktek Silin yang
selama ini belum banyak dibahas. Informasi tentang kualitas tanah,
sebagai indikator yang bersifat sensitif, dapat digunakan untuk menjawab
beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan dugaan menurunnya produktivitas hutan
dan banyaknya carbon yang disimpan di dalam tanah hutan. Lebih lanjut
lagi, informasi kualitas tanah akan turut membantu dalam meneliti beberapa
kunci penting ekosistem hutan, seperti produktivitas dan kelestarian sistem
pengelolaan hutan, konservasi sumberdaya tanah dan air, serta kontribusi
kawasan hutan terhadap siklus carbon global (O’Neill dan Arnacher 2004).
Dengan demikian kualitas tanah merupakan aspek penting dalam kaitannya dengan
isu kelestarian dan lingkungan (Lal 1998)
Tapak, Persediaan
Tanaman, dan Jarak Tanam
Bahasa
internasional (inggris) subbab diatas sering disebut sebagai 3 S yaitu site,
stocking, dan spacing, merupakan dasar utama dalam pengelolaan hutan. Mengapa
dikatakan begitu karena memang yang namanya hutan harus menempati lahan atau
tapak dan beberapa persediaan (stock = tandon) dari tumbuhan atau tegakan yang
ada dalam kaitannya dengan jarak tanam dari individu yang menyusun tegakan
tersebut.
Untuk
mengetahui kapasitas suatu tapak menghasilkan produksi kayu rimbawan
menggunakan suatu metoda yaitu pengukuran bonita. Bonita merupakan parameter
untuk klasifikasi kesuburan suatu tapak dalam memproduksi hasil kayu dari satu
jenis pohon tertentu. Dalam hal ini yang dinamakan grafik bonita ialah grafik
yang menunjukkan hubungan antara umur suatu tegakan pohon dengan peninggi.
Peninggi ditentukan atas dasar mengukur tinggi rata-rata dari 100 pohon
tertinggi dari suatu areal hutan yang luasnya 1 Ha.
PENILAIAN LAHAN HUTAN
DAN TEGAKAN
A. Pengertian
Penilaian hutan merupakan alat yang penting
dari manajemen untuk mencari pilihan financial terbaik pada kondisi yang ada.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ada 3 dasar untuk melakukan penilaian yaitu :
1.
Nilai biaya (cost value) yang dalam hal ini berdasarkan
adanya biaya yang dikeluarkan, penggantian atau restorasi;
2.
Nilai pendapatan (income value) yaitu perkiraan dari
nilai kiwari bersih dari semua pengeluaran atau penerimaan yang diharapkan;
3.
Nilai pasar , nilai pasar apabila ada dan dapat
diaplikasikan merupakan pendekatan yang sangat bagus dan realistik dalam
penilaian hutan.
Dalam penilaian lahan hutan dan tegakan karena berhubungan
dengan waktu yang panjang maka konsep tingkat bunga merupakan hal tidak dapat
ditinggalkan atau diabaikan.
B. Nilai Harapan Lahan
Modal utama dari perusahaan hutan adalah
lahan dan tegakan sehingga penilaian lahan dan tegakan merupakan langkah yang
penting dalam rangka penilaian ekonomis perusahaan hutan. Untuk menilai lahan
hutan dikenal adanya rumus Faustmann yang merupakan metode untuk mengukur nilai
harapan lahan (Land Expectation Value) apabila kita menganggap investasi berupa
penanaman dan pemeliharaan pada suatu tanah yang kosong.
Faktor-Faktor Untuk
Menentukan Nilai Lahan Hutan
Oleh karena
nilai lahan hutan diperoleh dari hasil tanaman yang diperoleh dari hasil
tanaman yang tumbuh diatas lahan tersebut maka penaksiran nilai ini memerlukan
pengukuran hasil tanaman yang diperoleh dalam kurun waktu tertentu. Masalah yang timbul ialah
bagaimana menentukan nilai pendapatan yang diperoleh di masa datang atau
kontribusi dari lahan tersebut. Empat faktor yang berpengaruh dalam hal ini
adalah :
1.
Kesuburan Tanah (bonita)
2.
Intensitas manajemen yang dipraktekkan termasuk biaya
yang dikeluarkan
3.
Nilai pasar dari produk yang dihasilkan
4.
Pentingnya kurun waktu dalam pelibatannya yang diukur
dengan tingkat bunga.
Teras individu adal ah teras yang dibuat pada setiap
individu tanaman terutama tanaman tahunan (Gambar 7).
Jenis teras ini biasa diaplikasikan pada areal perkebunan atau tanaman
buah-buahan. Selain untuk mengurangi erosi, pembuatan teras indi vidu ditujukan
pula untuk meningkatkan ketersediaan a ir bagi tanaman tahuna n (Agus dan
Widianto, 2004). Fungsi lain dari teras
ini adalah untu k memfasilitasi pemeliharaan tanaman tahunan, sehingga tid ak semua lahan
terganggu dengan adanya aktivitas pemeliharan, seperti pemberian pupuk,
penyiangan, dan lain-lain. P ada bagian
lain, lahan dibiarkan tertutup oleh rumput dan atau leguminosa penutup tanah
(legum cover crop). Jajaran teras
individu tidak perlu searah kontur, tetapi menurut arah yang paling cocok untuk
penanaman tanaman (misal nya arah timur barat untuk mendapatkan cahaya matahari
yang maksimal). Dimensi teras ini bisa bervariasi tergantung jenis dan umur
tanaman, namun ukurannya berkisar antara 50-100 cm untuk panjang dan lebar,
serta 10-30 cm untuk kedalamannya.
Teras individ u tergolong efektif
dalam mengendalikan erosi. Hasil penelitian Haryati et al. (1992)
menunjukkan pada tahun pertama setelah pembuatan
teras individu, erosi yang terjadi 8,5 t ha-1, da n menurun pada tahun kedua
menjadi 3,3 t ha-1.
DAFTAR PUSTAKA
Latifah, S. 2004. Tinjauan Konseptual Model Pertumbuhan Dan Hasil Tegakan Hutan. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.
Pamoengkas, P.
2007. Pertumbuhan dan Kualitas Tanah Tanaman Jenis Shorea Umur 7 Tahun
Dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur di HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan
Tengah. http://www.pt-sbk.com/index.php?option=com_content&view=article&id=70&Itemid
=95 [Diakses tanggal 19 April 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar