H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Rabu, 20 Mei 2020

Ravi Zacharias



MENGENANG RAVI ZACHARIAS:
Apologis yang dihormati dan dikasihi banyak orang.
Oleh: Bedjo Lie

“Dimanakah penginjilan dalam hatimu?” Tanya Ravi Zacharias sambil menatap mata saya. Saat Ravi bertanya demikian, saya terkejut. Tidak menyangka bahwa itulah pertanyaan pertamanya saat menikmati makan siang berdua di Indian Restaurant sebelum menuju ke kantornya. Momen itu sungguh tak terlupakan. Di bulan Desember 2011, saya terbang dari Los Angeles menuju Atlanta untuk memenuhi undangannya yang baru saja mengakhiri pertandingan iman di usianya yang ke-74 tahun.

Awalnya saya menduga ia akan bertanya tentang apologetika. Mungkin tentang aliran apologetika apa yang saya anut dan seterusnya. Ternyata saya salah. Dengan bergairah, Ravi menjelaskan bahwa, Ravi Zacharias International Ministry (RZIM), terutama adalah organisasi penginjilan. Apologetika bagi Ravi adalah alat bagi penginjilan. Ia berkata, “Apologetics is the seasoning, Gospel is the main course. You do not want too much of the seasoning or it will make the main course insipid.”

Tentu saja, apologetika adalah elemen pemuridan juga. Apologetika menguatkan iman orang Kristen, dan mencegah orang Kristen meninggalkan iman. Tetapi hati Ravi sendiri berkobar-kobar untuk memberitakan Injil Yesus yang telah mengubahkan hidupnya. Hidup yang hampir diakhirinya sendiri pada usia 17 tahun karena merasa gagal secara akademik ketika masih di India.

Setelah tiba di kantornya, Ravi berkata bahwa salah satu petinggi RZIM yang seharusnya menemaninya berbicara dengan saya berhalangan. Jadi, akhirnya kami menghabiskan waktu empat mata. Empat jam kira-kira. Dia begitu murah hati dengan waktunya kepada saya. Tanggal pertemuannya pun tak terlupakan buat saya. Maklum, hari itu adalah hari ulang tahun isteri saya. Ravi adalah orang super sibuk, jadi isteri saya berkata, “Aku dukung kamu pergi untuk berjumpa dengan Ravi, karena kesempatan seperti ini mungkin hanya datang sekali. Ultahku kita rayakan setelah itu saja.” Sungguh saya terberkati, punya isteri yang mengerti.

Saya sangat gembira saat itu. Maklum saja, sebagai seorang pembelajar apologetika yang masih muda, diundang Ravi mungkin seperti pemain bulutangkis pelatda, diajak bertemu Kento Momota. Jangan salah paham. Saya sama sekali tidak tertarik untuk mengidolakan siapapun berlebihan. Saya juga tak selalu setuju dengan pemikiran Ravi dalam isu teologi. Saya sepenuhnya sadar bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, bahkan kesalahan. Tetapi fakta itu, tidak mengaburkan fakta besar lain. Ravi telah menjadi inspirasi saya dan jutaan orang yang mendengarkan ceramahnya maupun membaca buku-bukunya.

Saya bahkan masih ingat suasana ketika pertama kali membaca bukunya “Can Man Live Without God” di tahun 1999. Saya sedang berada di desa saya, saat libur perkuliahan ekonomi yang saya tempuh di Surabaya. Dengan ditemani suara jangkrik di malam hari, saat suasana hening dan semua orang di rumah sudah tidur, saya menyelesaikan buku itu. Setelah menutup buku, saya tahu satu hal, Ravi menulis bukan hanya dari pikirannya yang tajam, tetapi juga hatinya yang lembut.

 “What I believe in my heart must make sense in my mind” itulah kalimatnya yang berbicara di hati banyak orang Kristen rasional yang saya kenal. Kelompok orang Kristen Indonesia ini sudah muak dengan kalimat dangkal, “Percaya saja, jangan banyak pakai akal!” Saya bertemu dengan banyak orang dalam kelompok ini. Maklum, saya salah satu dari mereka. Mereka tak suka pendekatan iman asal percaya. Mereka juga tak menikmati indoktrinasi searah atas nama dogma. Sebaliknya, orang-orang ini giat mencari penjelasan yang masuk akal. Hal ini tidak berarti menolak misteri dan paradoks dalam iman. Jelas ada hal-hal yang beyond reason tentang Allah, tetapi hal itupun reasonable. Mereka inilah yang menjadi penggemar dan pendukung Ravi Zacharias walaupun tak ada yang menyebutnya nabi, rasul atau yang sejenisnya. Kelompok ini merasakan kehilangan besar atas kepergian sang apologis.

Jadi, walaupun bagi mayoritas orang Kristen di Indonesia, nama Ravi Zacharias terasa asing, bagi sebagian yang lain, namanya berkonotasi asyik. Di antara mereka, ada orang-orang tak percaya yang melalui pelayanan Ravi akhirnya menerima Injil. Sebagian lain adalah orang-orang percaya yang menemukan sukacita dalam iman yang melibatkan akal budi. Hal ini tentu selaras dengan prinsip RZIM sendiri “help the thinker believe and the believer think.”

Ravi sendiri paling dikenal karena ceramah-ceramah dan sesi tanya jawabnya. Ia menunjukkan ketajaman pikiran, kefasihan yang khas, pengetahuan yang luas dan terutama pengalaman yang luar biasa. Ravi juga sanggup berbicara kepada akal sekaligus hati para pendengarnya. Kombinasi inilah yang menarik bagi orang-orang termasuk saya. Tampaknya ia mencapai semua ini terutama bukan karena pendidikan formalnya yang relatif terbatas. Itu adalah anugerah Tuhan! Sesuatu yang tidak diberikanNya kepada semua orang. Tentu saja, ada pula disiplin rohani yang dikombinasikan dengan jam terbang luar biasa di balik semua keunggulan Ravi. Dalam pelayanannya selama 48 tahun ia telah menjelajah 70 negara. Dimanapun Ravi berbicara, orang-orang berkumpul. Bagi sebagian orang, nama Ravi Zacharias sudah seperti Ali dan Tyson di dunia tinju, atau Ronaldo dan Messi di sepakbola.

Dalam ilmu apologetika, Ravi tampaknya tidak mau terlibat dengan banyak perdebatan terkait metode atau meta apologetika. Ravi lebih merupakan seorang praktisi daripada akademisi. Sebagai praktisi apologetika, ia mungkin merupakan orang yang paling sukses menghubungkan apologetika dan penginjilan dan menerapkannya dalam pelayanan perkotaan selama beberapa dekade terakhir.

Lebih dari itu, ia telah berhasil menciptakan sebuah global team yang memberi dampak luas pada jutaan orang termasuk saya sendiri. Di tahun 2008, saya terbang dari Surabaya ke Chennai, India, tanah kelahiran Ravi. Disana, saya menjadi satu-satunya orang dari luar India yang mengikuti Academy of apologetics, sebuah kursus apologetika yang dipimpin tim pembicara RZIM selama tiga minggu. Berkat terbesar yang saya peroleh disana ternyata bukan pengetahuan, tetapi kehamilan. Saya mulai hamil visi untuk mendirikan komunitas dan gerakan apologetika di Indonesia. Setelah Tuhan membuka jalan melalui U.K. Petra sehingga saya dapat studi lanjut di Amerika, ternyata, lingkaran dekat Ravi Zacharias di Indonesia juga yang Tuhan gerakkan untuk membiayai tiket pesawat keluarga saya.

Sejak belajar di akademi Ravi di India 12 tahun silam, saya terus menggumuli visi apologetika untuk Indonesia. Suatu kali, saya membaca artikel dari William Lane Craig, akademisi sekaligus apologis top dunia yang juga menjadi sahabat Ravi semasa kuliah. Saat itulah saya berlutut, menangis, berdoa dan menyerahkan hidup saya untuk melayani Tuhan di dunia apologetika. Dapat dikatakan, Ravi dan Craig adalah dua orang luar Indonesia yang paling memengaruhi saya untuk melayani Tuhan di area apologetika. Ini menarik, karena bacaan apologetika yang saya nikmati sebenarnya meliputi aliran-aliran apologetika yang tak selalu selaras dengan keduanya.

Kembali pada Ravi, saat ini tim global yang telah ia bentuk berjumlah kira-kira 100 pembicara dan didukung oleh kira-kira 250 staf di seluruh dunia. Organisasi RZIM sendiri telah memiliki kantor di U.S.A., Canada, Amerika Latin, United Kingdom, Spanyol, Romania, Turki, India, Singapore, Hongkong, Austria, Jerman, Makedonia dan Switzerland. Dengan organisasi sebesar itu, RZIM telah menjadi organisasi apologetika terbesar di dunia saat ini. Pendukung RZIM sendiri tersebar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah orang-orang di dalam Yayasan Pengembangan Apologetika Indonesia (YPAI). Ketika saya dan rekan saya Yakub Tri Handoko serta Samuel Soegiarto mendirikan Apologetika Indonesia (API) tahun 2018, RZIM adalah model dan sumber inspirasi kami. 

Bagi saya sendiri, hal yang paling mengagumkan dari Ravi adalah kelengkapannya. Ia bukan saja seorang pembicara handal, penulis produktif, tetapi juga seorang pemimpin visioner. Kepemimpinan memang membuat perbedaan. Dari sisi akademis, sebenarnya ada orang-orang yang lebih ahli dibandingkan Ravi di berbagai area spesifik apologetika. Tetapi dalam hal visi dan implementasi apologetika dan penginjilan di perkotaan, Ravi adalah legend.

Bukan hanya itu. Ravi dengan bijaksana menghindari gaya one man show. Ini dibuktikan dengan hadirnya apologis dan pemikir Kristen kelas dunia seperti Alister McGrath, Os Guinness, dan John C. Lennox di sekelilingnya. Ia juga mau dan mampu merekrut orang-orang muda berbakat seperti alm. Nabeel Qureshi, Vince Vitale, Abdu Murray dan puluhan pembicara RZIM lainnya. Merekalah yang sekarang mengikuti jejak langkah dari sang pendiri RZIM.

Akhirnya, pepatah mengatakan, setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Masa Ravi Zacharias baru saja berlalu, tetapi warisannya terus berlanjut. Semoga Tuhan Yesus membangkitkan orang-orang yang bergairah memberitakan Injil dengan ditopang oleh apologetika seperti Ravi. Terima kasih Ravi Zacharias! Kepadamu, keluargamu dan seluruh tim RZIM di seluruh dunia, kami berhutang. Salam: Bedjo Lie (@apologetikaindonesia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar