CUACA IKLIM & PENYAKIT TANAMAN
Perhatian terhadap hubungan antara
cuaca dan iklim dengan timbulnya serangan penyakit pada tanaman mulai dirasakan
sejak lama dan perhatian terbesar diberikan ketika terjadi kegagalan panen
kentang akibat serangan penyakit potato blight (Phytopthora infestan) di Irlandia pada tahun 1846. Meskipun setelah
itu telah banyak dilakukan percobaan dan penelitian mengenai hubungan
cuaca-iklirn dengan perkembangan patogen, namun masih belum bisa mengungkap
semua aspek yang berkaitan dengan interaksi iklim dan cuaca dengan perkembangan
penyakit. Oleh karenanya masih diperlukan banyak penelitian mengenai pengaruh
iklim dan cuaca terhadap perkembangan dan pertumbuhan patogen terutama dalam
aspek yang berkaitan dengan perlindungan tanaman dan peramalan serangan
(epidemi).
Sampai sejauh ini telah diketahui
bahwa iklim dan cuaca memiliki peranan penting baik langsung maupun tidak
langsung pada penyebaran, pemencaran, serta pelerasan dan peletakan spora,
infeksi dan penetrasi, kolonisasi dan pembentukan organ pembiakan pada cendawan
atau bakteri. Dalam hubungan di atas dapat dikatakan bahwa ada dua proses yarg
berinteraksi yaitu proses fisik yang ditampilkan dalam bentuk pola dan fenomena
iklim atau cuaca, mikro maupun makro, serta proses biologi yang ditampilkan
dalam bentuk pertumbuhan, perkembangan dan epidemi penyakit.
Seiring dengan makin kerap dan berkembangnya penelitian dalam bidang meteorologi dan klimatologi maka beberapa tahun terakhir ini telah berkembang disiplin ilmu baru yang dikenal sebagai Biometeorologi atau Bioklimatologi. Disiplin ilmu ini asalnya cabang dari ekologi yang mempelajari interaksi antara faktor fisik maupun kimia dari lingkungan atmosfer suatu organisme hidup baik di alam terbuka maupun di laboratorium.
Tujuan biometeorologi adalah
mengekstraksi sampai seberapa jauh pengaruh iklim dan cuaca terhadap
variasi-variasi biologi suatu organisme baik fenotipik maupun genotipik. Karena
menurut anggapan dalam biometeorologi bahwa semua bentuk kehidupan tidak lepas
dari pengaruh lingkungan atmosfer dan bahwa organisme memperlihatkan suatu
adaptedness dan adaptability terhadap iklim dan cuaca.
Benih Tanaman |
Kelembaban Udara
Kelembaban udara yang relatif
tinggi sepanjang tahun di Indonesia merupakan kondisi potensial bagi timbulnya
penyakit. Terjadinya infeksi patogen kerap kali ditentukan oleh kondisi
kelembaban di sekitar pertanaman, terutama bagi patogen cendawan. Salah satu
contoh bagaimana kelembaban sangat berpengaruh adalah pada kasus penyakit cacar
teh (Exobasidium vexans). Penyakit ini ternyata dapat secara drastis dikurangi
tingkat serangannya dengan cara mengurangi kelembaban sekitar pertanaman
melalui pemotongan atau pengurangan pohon pelindung. Pada penyakit lain cara
ini dapat berupa pemangkasan atau penjarangan. Kondisi yang baik untuk
pembentukan dan pelepasan spora E. vexars adalah pada kelembaban nisbi udara di
atas 80%. Sedangkan untuk perkecambahan spora dibutuhkan kelembaban di atas
90%.
Air dan Embun
Air yang dimaksudkan di sini
adalah air bebas yang sangat besar peranannya dalam perkembangan penyakit. Pada
penyakit-penyakit tertentu seperti.kanker kina yang disebabkan oleh Phytopthora
cinnamomi atau penyakit lanas tembakau (Phytopthora nicotiane) dapat tersebar
luas terbawa air hujan. Selain itu air gutasi juga dapat membantu timbulnya
penyakit seperti yang terjadi pada Xanthomonas campestris yang menyerang kol
dengan mengadakan infeksi melalui hidatoda (pori air) karena terbawa ke dalam air gutasi.
Sedang pada Xanthomonas campestris var. eryzicola pada padi adanya air bebas
saja tidak cukup untuk mengadakan infeksi dan membutuhkan faktor lain (Wakman,
1984).
Terdapatnya beberapa penyakit
tanaman di wilayah tertentu erat kaitannya dengan jumlah dan distribusi curah
hujan selama setahun. Jadi, hawar daun kentang, kudis apel, embun bulu anggur,
dan hawar api hanya terdapat atau herada dalam keadaan parah di daerah-daerah
yang pada musim pertanaman bercurah hujan atau berkelembaban nisbi tinggi.
Kenyataannya, pada semua penyakit tersebut atau pada penyakit lain, curah hujan
menentukan bukan hanya berat ringannya penyakit, tetapi juga menentukan apakah
penyakit tersebut akan muncul atau tidak di musim itu.
Dalam hal penyakit yang disebabkan
oleh cendawan, pengaruh kelembaban terjadi pada perkecambahan spora yang memerlukan
film air pada jaringan agar dapat berkecambah. Selain itu juga berpengaruh
terhadap pelepasan spora dari sporofor seperti yang terjadi pada kudis apel,
yang sporanya hanya dapat terlepas bila keadaan lembab. Jumlah siklus penyakit
tiap musim erat kaitannya dengan jumlah curah hujan dalam musim tersebut,
terutama curah hujan yang cukup lama sehingga cukup untuk memantapkan infeksi.
Jadi, seperti pada kudis apel, diperlukan pembasahan sekurang-kurangnya
sembilan jam secara terus menerus pada daun, buah dan lain-lainnya agar terjadi
infeksi, meskipun suhu dalam keadaan optimum (18-23°C) bagi patogen. Apalagi
bila suhunya lebih rendah atau lebih tinggi, waktu minimum pembasahan yang
diperlukan adalah 14 jam pada suhu 10°C, 28 jam pada 6°C dan seterusnya. Bila
masa pembasahan kurang dari waktu minimum yang diperlukan pada suhu tertentu,
maka patogen tidak akan mampu untuk memantapkan diri di dalam inang dan
menimbulkan penyakit (Sastrosuwignyo, 1991).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar