H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Selasa, 15 November 2011

Diagram Profil pada Hutan


TEKNIK PEMBUATAN DIAGRAM PROFIL

   PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan tropika  basah. Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan tropika basah sebagai  ekosistem spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan antara  komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara  komponen penyusun ini memungkinkan bentuk struktur hutan tertentu yang  dapat memberikan fungsi tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas  biologis yang tinggi, siklus hidrologis yang memadai dan lain-lain. Secara de  facto tipe hutan ini memiliki kesuburan tanah yang sangat rendah, tanah tersusun oleh partikel lempung yang bermuatan negatif rendah seperti kaolinite dan illite.  Kondisi tanah asam ini memungkinkan besi dan almunium menjadi aktif di  samping kadar silikanya memang cukup tinggi, sehingga melengkapi keunikan  hutan ini. Namun dengan pengembangan struktur yang mantap terbentuklah  salah satu fungsi yang menjadi andalan utamanya yaitu ”siklus hara tertutup” (closed nutrient cycling) dan keterkaitan komponen tersebut, sehingga mampu  mengatasi berbagai kendala/keunikan tipe hutan ini (Kuswanda dan Mukhtar, 2008).
Makhluk hidup adalah tumbuh-tumbuhan dan hewan. Manusia juga makhluk hidup. Walaupun tumbuh-tumbuhan dan hewan terdapat banyak perbedaan, namun pada prinsipnya terdapat persamaan antara keduanya, yaitu dari segi :
  1. Baik tubuh hewan maupun tumbuh-tumbuhan terdiri dari susunan-susunan sel
  2. Kedua-duanya memperlihatkan kegiatan-kegiatan hidup yang dapat dikatakan memiliki persamaan, seperti makan, bernafas, bergerak, perkembangbiakannya dan beberapa segi lainnya
  3. Kedua-duanya memiliki zat hidup, jelasnya yaitu protoplasma
Dengan adanya persamaan-persamaan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa antara tumbuh-tumbuhan dan hewan terdapat suatu hubungan kekeluargaan atau kekerabatan (Sutrian, 2004).
Menurut beberapa ahli, mangrove kebanyakan bersifat halophyt yaitu sifat tumbuhan yang bisa beradaptasi dengan air asin, karena di dalam cairan selnya mempunyai tekanan osmosa yang tinggi. Sehingga mangrove mampu mengadakan sekresi dan pengasingan garam-garam. Dalam hal ini mangrove dapat dibagi dalam dua kelas yang berbeda yaitu pertama “Salt secretors” merupakan kelompok mangrove yang mampu mengeluarkan garam melalui kelenjar daun yang khusus, dimana kelebihan garam dikeluarkan melalui sel-sel kelenjar. Jenis-jenis tersebut antara lain : Avicennia marina, Aegialitis annulata, Aegiceras corniculatum. Sedang kelas kedua disebut “Salt excludes” yaitu kelompok mangrove yang sangat sedikit mengekskresikan garam, kelebihan garam disimpan dalam daun yang sudah tua. Jenis-jenis tersebut antara lain Rhizophora dan Sonneratia (Soeroyo, 1992).
            Praktikum ini bertujuan untuk:
1.      Menggambarkan suatu arsitektur pohon.
2.      Mengidentifikasi individu dan jenis pohon masa lampau, pohon saat ini, dan pohon masa depan.


TINJAUAN PUSTAKA

            Struktur vegetasi tumbuhan, seperti tinggi, biomassa, serta heterogenitas vertikal dan horizontal, merupakan faktor penting yang mempengaruhi perpindahan aliran materi dan energi, serta keanekaragaman ekosistem. Kanopi/tajuk hutan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan tumbuhan, karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan. Keberhasilan sebuah pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung karakter/penampakan anak pohon. Variasi ketersediaan cahaya dan perbedaan kemampuan antar spesies anak pohon dalam memanfaatkannya dapat mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan. Perbedaan kemampuan antara spesies anakan pohon dalam menoleransi naungan mempengaruhi dinamika hutan. Pada kondisi cahaya rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon muda dapat menyebabkan perbedaan mortalitas yang besar, sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya (Pacala dkk., 1996).
            Pada hutan payau terdapat campuran air tawar dari sungai dan air laut: pohon-pohon yang tumbuh umumnya berdaun tebal dan mengkilat karena adaptasi evapotranspirasi. Tajuk pepohonan hanya satu dengan ketinggian umumnya rata-rata dapat mencapai 50 m. komposisi hutan bakau terdiri atas asosiasi beberapa jenis tanaman yang khas sejak mulai dari pantai, yakni berturut-turut Avicennia (api-api) seperti A.marina yang tumbuh pada tanah berliat agak keras dan A.alba pada tanah yang lembek serta Sonneratia (bakau). Disusul Bruguiera cylindrica (tancang) yang hidup pada tanah liat keras dan bila air pasang akan tergenang. Formasi selanjutnya oleh Rhizophora mucronata (bakau) dan Rhizophora apiculata (bakau) pada pantai agak basah dan berlumpur dalam. Formasi berikutnya terdiri dari B. parviflora (tancang) yang hidup pada bekas tebangan Rhizophora dan dilanjutkan pada formasi akhir B.gymnorhiza (Arief, 2001).
Kebanyakan mangrove ditemukan pada pantai yang terlindung, terjadi antara rata-rata permukaan laut terendah dan rata-rata tinggi air pasang penuh dalam garis pasang surut, muara dan di beberapa terumbu karang yang telah mati. Pantai mangrove jarang terdapat pada laut terbuka. Pantai mangrove berkembang dengan baik apabila aliran sungai membawa lumpur dan pasir ke dasar laut yang kemudian bercampur kembali dan terangkut oleh ombak, pasang dan aliran. Pantai mangrove yang ideal terjadi dimana banyak saluran-saluran sungai yang berliku-liku membentuk suatu jaringan kerja jalannya air tenang yang membatasi daerah pasang surut. Pada umumnya mangrove tumbuh di daerah tropis dan sub tropis (Soeroyo, 1992).
            Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah. Keanekaragaman jenis terdiri dari 2 komponen; Jumlah jenis dalam komunitas yang sering disebut kekayaan jenis dan Kesamaan jenis. Kesamaan menunjukkan bagaimana kelimpahan species itu (yaitu jumlah individu, biomass, penutup tanah, dan sebagainya) tersebar antara banyak species itu (Arief, 2001).          
Dalam komunitas organisme hidup saling berhubungan atau berinteraksi secara fungsional. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas tidak statis. Komunitas mempunyai tendensi menuju stabilitas yang dinamik, dengan perkataan lain komunitas itu memperlihatkan adanya pengaturan diri atau homeostatis. Langkah awal studi komunitas adalah mengetahui jenis atau kelompok organisme penyusun komunitas. Kajian awal itu hanya menghasilkan daftar organisme penyusun komunitas. Susunan organisme penyusun komunitas saja belum cukup banyak memberikan gambaran keadaan komunitas. Studi selanjutnya tentang komunitas adalah mengenai struktur komunitas, yang mana dipelajari tentang konstribusi dari masing-masing jenis penyusun komunitas, nilai penting dari masing-masing jenis di komunitas, bagaiman jenis-jenis organisme itu hidup bersama dalam menyusun komunitas, dan lain-lainnya. Pengetahuan mengenai komposisi dan struktur komunitas akan memberikan pandangan tentang bagaimana komunitas sebagai suatu sistem kehidupan diorganisasikan. Studi lanjutannya adalah tentang fungsi komunitas, dan suksesi (Kartawinata,1984).
Dengan analisis vegetasi, kita dapat memperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan kedalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal; dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan

METODOLOGI

Bahan dan Alat
            Adapun bahan yang digunakan adalah komunitas hutan mangrove, berfungsi sebagai lokasi pengamatan.
            Adapun alat yang digunakan adalah:
1.      Kompas, berfungsi sebagai alat penunjuk arah.
2.      Meteran 20 m, berfungsi sebagai alat untuk menentukan luas areal pengamatan.
3.      Phiband, berfungsi sebagai alat untuk mengukur diameter pohon.
4.      Walking stick, berfungsi sebagai alat untuk menentukan tinggi pohon.
5.      Tali rafia, berfungsi sebagai alat untuk menentukan batasan areal pengamatan.
6.      Galah/pacak, berfungsi sebagai alat untuk mengambil sampel untuk identifikasi yang tidak dapat dijangkau dengan tangan.
7.      Golok atau parang, berfungsi sebagai alat untuk membersihkan jalur rintisan dari semak belukar.
8.      Kertas milimeter, berfungsi sebagai tempat menggambarkan diagram profil arsitektur pohon.
9.      Alat tulis, berfungsi sebagai alat untuk menuliskan data hasil pengamatan.

Prosedur Kerja
1.      Ditentukan secara pruposive sampling komunitas hutan berdasarkan keterwakilan ekosistem hutan mangrove yang akan dipelajari sebagai petak contoh pengamatan profil.
2.      Dibuat petak contoh berbentuk jalur dengan arah tegak lurus kontur (gradien perubahan tempat tumbuh) dengan ukuran lebar 10 m dan panjang 60 m, ukuran petak contoh dapat berubah tergantung pada kondisi hutan.
3.      Dianggap lebar jalur (10 m) sebagai sumbu Y dan panjang jalur (60 m) sebagai sumbu X.
4.      Diberi nomor semua tiang/pohon yang berdiameter > 5 cm yang ada di petak contoh tersebut.
5.      Dicatat nama jenis pohon dan ukur posisi masing-masing pohon terhadap titik koordinat X dan Y.
6.      Diukur diameter batang pohon setinggi dada, tinggi total, dan tinggi bebas cabang, serta gambar bentuk percabangan dan bentuk tajuk.
7.      Diukur proyeksi (penutupan) tajuk terhadap permukaan tanah dari sisi kanan, kiri, depan, dan belakang terhadap pohon.
8.      Digambar bentuk profil vertikal dan horizontal (penutupan tajuk) pada kertas milimeter dengan skala yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Jakarta.

Kartawinata, K.1984.Pengantar Ekologi.Remaja Rosdakarya.Bandung.

Kuswanda, W. dan A.S. Mukhtar. 2008. Kondisi Vegetasi dan Strategi Perlindungan Zona Inti di Taman Nasional Batang Gadis.Sumatera Utara.

Michael, P. 1994 Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 

Pacala, S.W., C.D. Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and E.Ribbens, 1996. Forest models defined by field measurements II. Estimation, error analysis, and dynamics. Ecology Monograph.

Soeroyo. 1992. Sifat, Fungsi, dan Peranan Hutan Mangrove. Penelitian Sumber Daya Hayati dan Lingkungan Laut. Mataram.

Sutrian, Y. 2004. Pengantar Anatomi Tumbuh-Tumbuhan. Rineka Cipta. Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar