Rumah
Adat Karo Desa Lingga, Kecamatan
Simpang Empat, Kabupaten Karo.
Kabupaten Karo merupakan
daerah kunjungan wisata yang utama di Propinsi Sumatera Utara.
Berbagai objek wisata menarik terdapat di daerah ini, salah satu diantaranya adalah objek wisata Desa Budaya Lingga, yang di dalamnya
terdapat bangunan tradisional yang disebut Rumah
Adat Karo Siwaluh Jabu.
Rumah Adat Karo menjadi obyek wisata yang sering dikunjungi turis khususnya
wisatawan asing, namun sebagaimanapun umumnya rumah adat tua, kondisinya kini
sudah mulai terancam karena tidak terawat. Banyak masyarakat Karo setempat yang
pindah dari rumah adat dan membangun rumah biasa dengan
pertimbangan lebih praktis.
Saat ini masih terdapat sekitar 425 rumah tradisional Karo yang tersisa
dan di huni oleh penduduk, meski kondisinya sudah mulai banyak rusak. Rumah
Adat Karo yang saat ini tersisa tersebar di sejumlah desa antara lain
di Lingga, Barusjahe, Dokan, Cingkes, Seberaya dan Suka.
Penggunaan kayu dalam struktur rumah sangat banyak digunakan baik dalam struktur
dinding, lantai, plafon, rangka atap, kusen dan juga dipergunakan sebagai tiang
dalam struktur rumah panggung. Ketika bangunan rumah kita baru
selesai dikerjakan mungkin rumah kita akan kelihatan kokoh dan
menarik, tapi sifat kayu yang mudah berubah oleh pengaruh cuaca ataupun serangan
rayap, maka dalam kurun waktu tertentu rumah kita tersebut akan rusak atau
kekuatannya sudah tidak bagus lagi. Selain jenis kayu, struktur rumah juga
dipengaruhi oleh lingkungan dan iklim.
Pemilihan jenis kayu untuk
struktur rumah saat perencanaan adalah penting dilakukan karena akan menjaga
biaya yang cukup besar saat pemeliharaan ataupun perbaikan. Jenis kayu yang
kuat dan keras biasanya lebih tahan terhadap pengaruh iklim. Kayu
jati, kayu api, kayu merah dan kayu cadar adalah kayu yang sangat bagus
terhadap pengaruh iklim. Untuk pengaruh serangan rayap jenis kayu jati dan kayu
merbau adalah pilihan yang paling baik karena jenis kayu ini memiliki zat
ekstraktif yang bersifat racun (toksin) bagi rayap.
Desa Lingga memiliki bangunan tradisional seperti: rumah adat, jambur, geriten, lesung, sapo page (sapo
ganjang) dan museum karo. Geriten digunakan sebagai tempat penyimpanan
kerangka jenazah keluarga atau nenek (leluhur) sang pemilik. Rumah adat karo
mempunyai ciri serta bentuk yang sangat khusus, didalamnya terdapat ruangan
yang besar dan tidak mempunyai kamar-kamar. Satu rumah dihuni 8 atau 10
keluarga.
Rumah
Adat Karo merupakan salah satu warisan budaya yang perlu dilestarikan. Namun
pada kenyataannya warisan budaya ini kurang diperhatikan secara signifikan,
sehingga bangunan bersejarah ini semakin rusak. Oleh karena itu, perlu adanya
usaha untuk meneliti kerusakan dan melakukan tindakan
Rumah Adat
Karo
Desa Lingga terletak di
ketinggian sekitar 1.200 m dari permukaan laut, lebih kurang 15 km dari
Brastagi. Lingga merupakan perkampungan Batak Karo yang unik, memiliki
rumah-rumah adat yang diperkirakan berumur 250 tahun, tetapi kondisinya masih
kokoh. Rumah tersebut dihuni oleh 5-6 keluarga yang masih memiliki hubungan
kekerabatan. Rumah adat Karo ini tidak memiliki ruangan yang dipisahkan oleh
pembatas berupa dinding kayu atau lainnya.
Objek wisata budaya terdapat di Desa Lingga ± 16 km ke arah selatan kota Brastagi. Sarana jalan cukup baik, dan transportasi umum tersedia (Dewi, 2010).
Objek wisata budaya terdapat di Desa Lingga ± 16 km ke arah selatan kota Brastagi. Sarana jalan cukup baik, dan transportasi umum tersedia (Dewi, 2010).
Rumah Adat Karo adalah sebagai simbol dari Masyarakat Karo itu sendiri. Namun
sungguh sangat disayangkan jika simbol tersebut kondisinya sangat
memprihatinkan dan sepertinya tinggal menunggu waktu yang tidak terlalu lama lagi
akan tumbang karena termakan oleh usia serta tidak adanya pemeliharaan yang
berarti tentang keberadaan dari Rumah Adat yang cenderung ditelantarkan ini
(Darwin, 2008).
Salah satu produk kebudayaan itu adalah rumah adat, tempat kelahiran,
kehidupan hingga kematian. Di dalamnya juga terdapat tranformasi budaya, bisa
dikatakan sebagai “rumah komunal”.
Pembangunannya pun memiliki keunikan dan mengikutkan peran serta penghuninya
maupun perangkat adat. Suku Karo masih bisa berbangga karena rumah tradisional Siwaluh Jabu yang dihuni 8 atau 12
kepala keluarga, masih dipertahankan di lima desa di Kabupaten Karo. Tiga atau
lima tahun lagi kebanggaan itu mungkin tak ada lagi, karena rumah buatan nenek
moyang yang tinggal sekitar 30 unit lagi, bisa mengalami nasib seperti rumah
tradisional suku Batak lain di Sumatera Utara yang hilang tak berbekas.
Kebanggaan akan rumah tradisional itu karena dua hal: keunikan teknik bangunan dan nilai sosial-budayanya. Keunikan teknik bangunannya: rumah berukuran minimal 10 x 30m (300 m2) itu dibangun tanpa paku dan ternyata mampu bertahan hingga 250 tahun lebih. Sedang keunikan nilai sosial-budayanya: kehidupan berkelompok dalam rumah besar yang dihuni 8 kepala keluarga (KK) atau sekitar 50 jiwa. Khusus di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe bahkan ada Rumah Adat Karo yang dihuni 12 KK. Batas antara satu keluarga dengan yang lain ditandai tirai kain panjang (Barus, 2009).
Kebanggaan akan rumah tradisional itu karena dua hal: keunikan teknik bangunan dan nilai sosial-budayanya. Keunikan teknik bangunannya: rumah berukuran minimal 10 x 30m (300 m2) itu dibangun tanpa paku dan ternyata mampu bertahan hingga 250 tahun lebih. Sedang keunikan nilai sosial-budayanya: kehidupan berkelompok dalam rumah besar yang dihuni 8 kepala keluarga (KK) atau sekitar 50 jiwa. Khusus di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe bahkan ada Rumah Adat Karo yang dihuni 12 KK. Batas antara satu keluarga dengan yang lain ditandai tirai kain panjang (Barus, 2009).
Rumah adat berupa rumah panggung, tingginya kira-kira 2 meter
dari tanah yang ditopang oleh tiang, umumnya berjumlah 16 buah dari kayu ukuran
besar. Kolong rumah sering dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan kayu dan
sebagai kandang ternak. Rumah ini mempunyai dua buah pintu, satu menghadap ke
barat dan satu lagi menghadap ke sebelah timur. Di depan masing-masing pintu terdapat
serambi, dibuat dari bambu-bambu bulat (disebut ture). Atap rumah dibuat dari ijuk. Pada kedua ujung atapnya
terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga, disebut ayo-ayo. Pada puncak ayo-ayo
terdapat tanduk atau kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah (Anonimous,
2008).
Jenis-jenis
Rumah Adat Karo
Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat
Karo, dan karena itulah disebut rumah adat. Berdasarkan bentuk atap, rumah adat
karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Rumah sianjung-anjung
Rumah sianjung-anjung adalah
rumah bermuka empat atau lebih, dan diberi bertanduk.
b.Rumah Mecu
Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya
sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk.
Sementara menurut bangunannya, Rumah Adat Karo pun dapat dibagi atas dua
yaitu:
a. Rumah Sangka Manuk
Rumah
sangka manuk yaitu rumah yang bangunannya dibuat dari balok
tindih-menindih.
b. Rumah Sendi
Rumah sendi adalah rumah yang
tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok
sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh. Dalam nyanyian rumah ini sering juga
disebut Rumah Sendi Gading Kurungen
Manik.
Rumah Adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu
(hulu) sesuai aliran air pada suatu kampung.
a. Jabu dalam Rumah Adat
Rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan keluarga. Penempatan
keluarga-keluarga itu dalam bagian rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat Karo. Rumah adat secara
garis besar dapat dibagi atas jabu jahe
(hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu bena kayu dan jabu lepar benana kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua, yaitu jabu ujung kayu dan jabu
rumah sendipar ujung kayu. Inilah yang sesungguhnya disebut sebagai jabu
adat. Rumah-rumah adat empat ruang ini dahulunya terdapat di Desa Kuta Buluh,
Buah Raja, Lau Buluh, Limang, Perbesi, Peceren, Lingga, dan lain-lain.
Ada kalanya suatu rumah adat terdiri dari delapan ruang dan dihuni oleh
delapan keluarga. Bahkan di Desa Munte ada rumah adat yang dihuni oleh enam
belas keluarga. Dalam hal rumah adat dihuni oleh delapan keluarga, sementara
dapur dalam rumah adat hanya ada empat, masing-masing jabu dibagi dua, sehingga
terjadilah jabu-jabu sedapuren bena kayu,
sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.
Adapun susunan jabu dan yang
menempatinya adalah sebagai berikut:
1. Jabu Benana Kayu
Terletak di jabu jahe. Kalau
kita kerumah dari ture jahe, letaknya
sebelah kiri. Jabu ini dihuni oleh para keturunan simantek kuta (golongan pendiri kampung) atau sembuyak-nya. Fungsinya adalah
sebagai pemimpin rumah adat.
2. Jabu ujung Kayu (anak beru)
Jabu ini arahnya di arah kenjulu
rumah adat. Kalau kita masuk kerumah adat dari pintu kenjulu, letaknya disebelah kiri atau diagonal dengan letak jabu benana kayu. Jabu ini ditempati
oleh anak beru kuta atau anak beru dari jabu benana Kayu. Fungsinya adalah sebagai juru bicara jabu bena kayu.
3. Jabu Lepar Benana Kayu
Jabu ini di arah kenjahe
(hilir). Kalau kita kerumah dari pintu kenjahe
letaknya disebelah kanan, Penghuni jabu ini adalah sembuyak dari jabu benana
kayu. Fungsinya untuk mendengarkan berita-berita yang terjadi di luar rumah
dan menyampaikan hal itu kepada jabu
benana kayu. Oleh karena itu, jabu
ini disebut jabu sungkun berita
(sumber informasi).
4. Jabu Lepar Ujung Kayu (mangan-minem)
Letaknya dibagian kenjulu
(hulu) rumah adat. Kalau kita masuk dari pintu kenjulu ke rumah adat, letaknya
di sebelah kanan. Jabu ini ditempati
oleh kalimbubu jabu benana kayu. Oleh
karena itu, jabu ini disebut jabu si
mangan-minem.
Keempat jabu inilah yang
disebut dengan jabu adat, karena penempatannya harus sesuai dengan adat,
demikian juga yang menempatinya ditentukan menurut adat. Akan tetapi,
adakalanya juga rumah adat itu terdiri dari delapan atau enam belas jabu.
5. Jabu Sedapuren Benana Kayu (peninggel-ninggel)
Jabu ini ditempati oleh anak beru menteri dari rumah si mantek kuta (jabu benana kayu), dan
sering pula disebut jabu
peninggel-ninggel. Dia ini adalah anak beru
dari ujung kayu.
6. Jabu Sedapuren Ujung Kayu (rintenteng)
Ditempati oleh sembuyak dari
ujung kayu, yang sering juga disebut jabu
arinteneng. Tugasnya adalah untuk engkapuri
belo, menyerahkan belo kinapur
(persentabin) kepada tamu jabu benana
kayu tersebut. Oleh karena itu, jabu
ini disebut juga jabu arinteneng.
7. Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu (bicara guru)
Dihuni oleh guru (dukun) atau tabib yang mengetahui berbagai pengobatan.
Tugasnya mengobati anggota rumah yang sakit.
8. Jabu Sedapuren Lepar Benana Kayu
Dihuni oleh puang kalimbubu
dari jabu benana kayu disebut juga jabu pendungi ranan. Karena biasanya
dalam runggun adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh puang kalimbubu.
Keunikan
Rumah Adat Karo
Rumah adat Karo mempunyai ciri-ciri serta bentuk yang khusus.
Rumah ini sangat besar dan di dalammya terdapat ruangan yang luas, tidak
mempunyai kamar-kamar. Namun mempunyai bagian-bagian yang ditempati oleh
keluarga atau jabu tertentu. Rumah
adat berdiri di atas tiang-tiang besar serupa rumah panggung yang tingginya
kira-kira dua meter lebih dari tanah. Lantai dan dinding dari papan yang tebal
dan letak dinding rumah agak miring keluar, mempunyai dua buah pintu menghadap
ke sebelah barat satu lagi ke sebelah timur.
Tangga masuk ke rumah juga ada dua sesuai dengan letak pintu
dan terbuat dari bambu bulat. Menurut kepercayaan mereka, jumlah anak tangga
harus ganjil. Di depan masing-masing pintu terdapat serambi, dibuat dari
bambu-bambu bulat, besar dan kuat disebut Ture.
Sesuai dengan atapnya, rumah adat karo terdiri dari dua
macam, yaitu rumah adat biasa dan rumah anjung-anjung. Pada rumah adat biasa
mempunyai dua ayo-ayo dan dua tanduk
kepala kerbau. Sedangkan pada rumah anjung-anjung terdapat paling sedikit ayo-ayo dan tanduk kepala kerbau.
Keunikan arsitektur siwaluh jabu
menarik wisatawan, sebab jarang rumah dibangun tanpa paku bisa berusia ratusan
tahun. Besarnya minat wisatawan mancanegara melihat keunikan rumah siwaluh jabu membuat Pemda Karo
menetapkan beberapa desa di Tanah Karo menjadi desa budaya. Desa budaya itu
antara lain Desa Lingga, Dokan, Serdang, Barusjahe dan Peceren yang tahun 1992
lalu masih memiliki sekitar 50 rumah. Tahun itu juga pihak Deparpostel
merenovasi dua rumah siwaluh jabu di Lingga dengan biaya tak kurang Rp 50 juta.
Sayangnya uluran tangan pemerintah itu tidak berkesinambungan. Maka semakin
hari, rumah siwaluh jabu di desa
budaya tersebut terus berkurang dan kini tinggal sekitar 30 unit. Pemilik
maupun warga desa setempat tak mampu merawat rumah peninggalan nenek moyangnya
itu (Barus, 2009).
Rumah kayu sederhana |
Rumah kayu modern |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar