AEK POROHAN
AEK POROHAN adalah sebuah
waduk yang penuh lumpur dan rumput menjalar, karena itu disebut juga Pea
Porohan. Pada saat disurvei kondisi air lagi surut karena musim kemarau
berkepanjangan. Lokasi ini sudah pernah ditata oleh Dinas Pariwisata Kabupaten
Samosir, tetapi belum berdasarkan perencanaan yang bersifat menyeluruh. Jalan
ke lokasi masih pada tahap perkerasan. Letaknya di Salaon, Salaon Toba, Ronggur
Nihuta, pada koordinat 2º 37' 14,4" LU 98º 44' 2,1" LS dan 1.258 m’ di
atas permukaan laut.
Mengenai legendanya
dituturkan demikian.
Konon, dahulu kala di
kampung Salaon terdapat satu keluarga yang mempunyai anak kembar yang lahir berpasangan
(marporhas), yaitu satu laki-laki dan
satu lagi perempuan (nara sumber tidak mengetahui identitas). Kedekatan di
antara keduanya terbina mengiringi perjalanan hidup mereka. Setelah menginjak
remaja, kedua anak kembar ini selalu berjalan bersama, bermain bersama, tidur
bersama, bahkan sering juga mandi bersama di satu kolam air.
Konon, setelah mereka
menginjak dewasa, ketika mereka sedang mandi bersama, si lelaki memperhatikan
saudara kembarnya yang perempuan sehingga ia birahi dan saat itu pula timbul
niat jahat di dalam hatinya. Karena sudah tidak kuasa membendung hasratnya. Ia
bertindak mengikuti alur birahinya dengan meremas bagian terlarang (payudara)
saudara kembarnya. Si perempuan meronta keluar dari kolam dan melarikan diri,
sementara laki-laki mati tenggalam dan menjadi batu di kolam itu.
Selang beberapa lama
kemudian, setelah lara berlalu dari hati, saudara perempuannya mandi di tempat
mereka biasanya mandi bersama saudaranya. Tiba-tiba perempuan itu tenggelam dan
mayatnya tidak ditemukan. Sejak kejadian itu, maka Aek Porohan menjadi tempat
yang dikramatkan di Salaon Toba dan kedua anak kembar ini dianggap menjadi roh halus penghuni Aek Porohan.
Di kemudian hari, Aek
Porohan dipakai masyarakat Salaon Toba untuk acara ritual meminta hujan dengan
cara “marsidombur”. Dalam acara ini, masyarakat mengadakan acara ritual
kemudian mereka bersama-sama masuk ke dalam waduk dan kemudian saling menyiram
air dengan tangan. Dahulu, katanya, acara ini selalu berhasil memohon hujan
turun. Setelah agama Kristen dianut penduduk, acara ini ditinggalkan karena
dianggap sebagai bagian dari animisme.
Objek wisata yang harus kita jaga
BalasHapusObjek wisata yang harus kita jaga
BalasHapus