Kabupaten
Samosir, yang nota bene adalah asal-muasal Etnis Batak (Bangso Batak), kaya
akan peninggalan sejarah-seni-budaya Batak. Salah satu peninggalan
sejarah-budaya adalah tempat-tempat sakral. Untuk mudahnya tempat sakral itu
disebut situs budaya, walau sebutan itu mungkin tidak sepenuhnya tepat menurut
definisi situs, karena situs sebagai peninggalan
sejarah purbakala dalam Pasal 1 dari Monumenten
Ordonantie STBL 238/1931 disebut:
(1) Yang dianggap sebagai monumenten dalam
peraturan ini adalah :
A) Benda-benda bergerak maupun tidak bergerak
yang dibuat oleh tangan manusia, bagian atau kelompok benda-benda dan juga
sisa-sisanya yang pokoknya berumur sedikit-dikitnya 50 tahun dan dianggap
mempunyai nilai penting bagi prasejarah, sejarah atau kesenian.
B) Benda-benda yang dianggap mempunyai nilai
penting dipandang dari sudut palaeoanthropologi.
C) Situs yang mempunyai bentuk yang kuat
dasarnya bahwa di dalamnya terdapat benda-benda yang dimaksud pada ad. A dan B.
Sakralitas
tempat-tempat ini dahulu sangat dijunjung tinggi Etnis Batak tatkala Agama
Batak masih mendominasi keyakinan dan kepercayaan orang Batak. Seiring
perjalanan Etnis Batak yang berhasil “dijajah” agama modern, maka sakralitas
tempat-tempat ini semakin berkurang bahkan sebagian sudah hilang. Di Tanah
Batak bagian utara sebagian besar orang Batak menganut agama Kristen yang telah
berhasil mencanangkan bahwa kepercayaan asli Batak masuk ke dalam kelompok animisme,
karena itu harus dirombak total dengan ajaran agama baru.
Akhirnya,
banyak orang Batak generasi sekarang sudah tidak mengenal apalagi mengetahui
tempat-tempat sakral tersebut. Kalaupun ada segelintir orang Batak yang masih
mengakui, maka kelompok orang tersebut dikatakan sebagai penganut animisme,
sebuah ungkapan yang sangat “hina” pada zaman modern ini. Kondisi ini akhirnya
menimbulkan “rasa tidak perduli” akan peninggalan luhur nenek-moyang, yang
telah berhasil membentuk masyarakat dengan Adat Dalihan Natolu -nya.
Barangkali, hanya Etnis Batak yang jelas-jelas memiliki adat seperti itu di
seantero jagad raya; sebuah adat yang menerapkan prinsip demokrasi sejati dalam
tatanan hidup bermasyarakat baik horisontal maupun vertikal.
Karena
lokasi pasti tempat-tempat sakral tersebut sudah dilupakan masyarakat Batak,
maka pada saat muncul kebutuhan untuk melestarikan serta membangun dalam rangka
pelestarian Habatakon, upaya ekstra keras harus dilakukan untuk mencari
serta mengumpulkan legendanya, mengapa dahulu tempat-tempat itu disakralkan.
Oleh
sebab itu, pada tahun 2009 Kabupaten Samosir cq Dinas Pariwisata, Seni dan
Budaya telah melakukan kegiatan konsultansi Penyusunan Legenda Destinasi
Wisata Kabupaten Samosir sebagai langkah awal pendataan menyeluruh. Salah
satu lingkup kegiatan tersebut adalah menginventarisasi dan mensurvei
tempat-tempat sakral peninggalan bersejarah yang ada di Kabupaten Samosir. Melalui
survei dan inventarisasi ini diperoleh data tentang nama dan tempat situs yang
selama ini sebagian besar diingat masyarakat hanya berdasarkan cerita
“katanya”. Survei yang dilakukan pada hakikatnya bukan pekerjaan yang mudah,
karena sudah jarang orang yang mengetahui dan banyak tempat sakral yang berada
di lereng, lembah, dan puncak gunung yang dapat ditempuh hanya dengan berjalan
kaki melalui semak belukar dan lereng terjal.
Lingkup
kegiatan lainnya ialah mengumpulkan legenda atau cerita rakyat tentang lokasi
sakral / situs, baik melalui wawancara masyarakat maupun mencari bahan yang
sudah tersedia pada tulisan.
Setelah
survei selesai dilakukan, lingkup kegiatan berikutnya adalah melakukan Pertemuan Konsultasi Masyarakat. Di
dalam pertemuan tersebut telah diundang tokoh-tokoh masyarakat dari 9
(sembilan) kecamatan yang terdapat di Kabupaten Samosir. Pada saat PKM
berlangsung, konfirmasi dilakukan kepada para tokoh masyarakat tentang
situs-situs yang terkumpul berdasarkan hasil survei. Dari hasil konfirmasi
tersebut kemudian dilakukan inventarisasi ulang dan terkumpullah data 276 situs
yang menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Samosir sebagaimana disajikan pada
daftar di bawah ini. Karena topik penulisan legenda pada saat itu hanya 74
(tujuh puluh empat) situs, maka belum semua situs pada daftar di bawah ini
memiliki legenda atau cerita.
Bangsa Batak berpegang pada filosofi Adat Dalihan Na Tolu sebagai landasan dan
pegangan hidup keseharian. Konon, filosofi tersebut bukan diperoleh dari ajaran
manusia melainkan adat Debata Na Tolu yang diwariskan kepada keturunanNya melalui nenek-moyang Bangsa
Batak.
Ketiga Dewata itu, yang disebut Si Tolu Suhu Si Tolu Harajaon, adalah :
1.
Dewata Batara
Guru
2.
Dewata Soripada
(Balasori)
3.
Dewarta
Mangalabulan (Balabulan)
Mereka hanya
bertiga dan mempunyai keturunan, putra-putri khayangan. Pada saat anak-anak
mereka menginjak dewasa dan mencapai usia perkawinan, putri siapakah yang harus
dijadikan istri? Karena Dewata itu
hanya bertiga, maka jawaban satu-satunya adalah : perputaran memberikan putri di antara mereka bertiga.
Konsep inilah yang ditulis Raja Patik
Tampubolon dalam bukunya “Pustaha Tumbaga Holing: Adat Batak – Patik Uhum”
terbitan Dian Pustaka Jakarta, 2004 pada halaman 36, “Sada, suhu dohot harajaon sabutuha;
dua, suhu dohot harajaon boru; tolu, suhu dohot harajaon hulahula.
Na dos jala na rap manea di Adat Patik/Uhum
songon dalihan na tolu. Anakni Batara Guru ma mambuat, mangoli boru ni
Balasori; Anak ni Balasori ma mangoli boru ni Balabulan; anak ni Balabulan ma
mangoli boru ni Bataraguru.” Terjemahan
bebas, “Satu, suhu (tuan rumah atau
pemilik pesta) dan kerajaan semarga; dua, suhu dan kerajaan boru (keluarga menantu laki-laki); tiga,
suhu dan kerajaan hulahula (keluarga
istri dan menantu perempuan). Putra Bataraguru mengawini putri Balasori; putra
Balasori mengawini putri Balabulan; putra Balabulan mengawini putri
Bataraguru.”
Satu hal yang menarik di sini ialah
bahwa dalam setiap horja, ketiga Dewata disebut suhu. Ini adalah adat dewata
dan itu pulalah yang menyebabkan ke-3 Dewata
ini disebut Si Tolu Sada, artinya
tiga Dewata tetapi untuk urusan adat mereka adalah satu, yang ditegaskan dalam kutipan ”Na dos jala na rap manea di Adat Patik/Uhum SONGON dalihan na tolu (Yang sama dan sama-sama memikul tanggung jawab
Adat Patik / Uhum SEPERTI tungku nan tiga)”.
Ketiga Dewata ini bisa menjadi satu sepenanggungan karena mereka diikat oleh Dewata Asi-asi (Dewata Cinta
Kasih) yang khusus diciptakan Debata Mulajadi Nabolon untuk mengikat dan
menyatukan mereka. Dewata Asi-asi ini
disebut sihal-sihal dalam adat Batak,
sehingga disebut ”Dalihan Na Tolu Paopathon Sihalsihal” dengan isi ”Somba
marhulahula, manat mardongan tubu, elek marboru.” Dalihan Natolu inilah
yang menjadi jiwa dari seluruh ”patik, uhum, dan adat Batak” sehingga
seharusnya dijiwai oleh setiap insan Batak.
Mitos ini dan maknanya menjadi masukan di dalam
perencanaan penataan Situs Batu Hobon di atas lahan yang diserahkan masyarakat dan
sudah diukur konsultan perencana tahun 2008 untuk dikembangkan seluas 5,22 ha. Sayangnya,
pematokan lahan dengan luasan tersebut belum dilakukan dan kemungkinan bahwa
surat-surat atau dokumen yang terkait dengan penyerahan lahan ini tidak
ditindaklanjuti Pemerintah Kabupaten Samosir hingga sekarang, sehingga bisa
saja akan kembali menjadi konflik di kemudian hari dengan masyarakat.
Merujuk pada rencana
pengembangan sesuai Studi Ekowisata dan Jasa Lingkungan Situs Batu Hobon TA
2008 yang ditindaklanjuti dengan penyusunan Detail Engineering Design (DED)
Batu Hobon tahun 2009, konsep pengembangan dibagi ke dalam zoning perencanaan,
yaitu:
1.
Gerbang Utama (Gerbang 1) dan Jalan Masuk
2.
Gerbang Sakral (Gerbang 2)
3.
Areal Parkir, Taman
Bermain, Souvehir Shop, dan Fasilitas Umum
4.
Areal Batu Hobon
5.
Areal Borotan
6.
Rumah Adat
7.
Blok Tanaman Penghijauan
8.
Jaringan Drainase Kawasan
dan Lingkungan
9.
Jaringan Air Bersih Dan
Sanitasi
10. Instalasi Elektrikal – Mekanikal
Batu Hobon View
Tidak ada komentar:
Posting Komentar