INTERAKSI MASYARAKAT DESA
Latar Belakang
Pada
umumnya interaksi masyarakat sekitar hutan di Indonesia dengan hutan sudah
berlangsung lama bahkan berawal dari pertama kali mereka dilahirkan. Melalui
proses adaptasi, masyarakat sekitar hutan mengembangkan pola pengelolaan hutan
menurut kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungannya. Didik at al. (1998)
menyatakan pola pengelolaan hutan yang diprakarsai dan dilakukan masyarakat
tersebut dapat bertahan bahkan hingga ratusan tahun. Cara-cara pengelolaannya
relatif menjamin keberadaan hutan dan sekaligus penting untuk mendukung dan
mempertahankan kehidupan mereka.
Inti dari Panduan Kampung
terletak pada bagian empat, yaitu permasalahan dan upaya yang diperlukan untuk
mengatasinya. Bagian tersebut dibagi ke dalam “empat bidang permasalahan
pokok”, yaitu keadaan hutan dan lahan hutan, perekonomian kampung, pranata kampung
dan kebijakan pemerintah, sesuai dengan hasil kajian. Kalau permasalahan dari
keempat bidang dapat diselesaikan dengan baik, cukup diyakini bahwa keadaan kampung,
khususnya pengelolaan hutan akan menjadi lebih baik.
Keadaan “hutan dan lahan
hutan” menunjuk kepada permasalahan yang berkaitan dengan keadaan fisik hutan di
wilayah kampung. “Perekonomian kampung” dikaitkan (dibatasi) secara khusus
dengan pemanfaatan hutan. Jadi dalam Panduan ini tidak dibahas segi
perekonomian dan matapencarian penduduk yang lain. “Kelembagaan kampung”
membahas hal-hal yang menyangkut pengorganisasian kampung, yaitu sarana yang
memungkin orang kampung dapat bekerjasama atau bergotong royong sebagai satu
warga. Sedangkan dalam “kebijakan pemerintah” dibahas baik segi isi kebijakan
sejauh berkaitan dengan kampung maupun dari segi pelaksanaan di kampung serta
penyampaian informasi ke kampung.
Untuk memahami permasalahan-permasalahan
tersebut, dipaparkan keadaan umum kampung pada bagian pertama. Keadaan umum
tersebut meliputi keadaan hutan dan lingkungan, keadaan ekonomi, dan keadaan sosial
budaya.
“Keadaan yang diharapkan”
mengenai hutan dan lingkungan ditampilkan sebagai cita-cita mengenai keadaan
yang baik (idea l). Untuk mencapai keadaan yang baik (ideal) itu permasalahan
perlu ditangani. Untuk menangani itu dilihat dukungan yang diperlukan dari pihak
luar dan kekuatan atau modal dasar yang telah dimiliki warga kampung.
Tulisan ini bertujuan
untuk memaparkan profil dan peran kelembagaan dalam melakukan upaya pengelolaan
hutan masyarakat. Uraian tulisan telaah ini bersifat studi kasus yang mengambil
lokasi di kawasan hutan masyarakat Desa Bukum, Kecamatan Sibolangit.
Upaya pengelolaan hutan
lindung di Pasaman sudah dimulai pada masa kolonial Belanda tahun 1596-1945 dan
telah berhasil mempertahankan keberadaan hutan lindung sampai sekarang. Pada
periode kolonial tersebut upaya pengelolaan hutan lindung relatif cukup efektif
mengamankan hutan karena adanya tindakan keras terhadap pelaku pelanggaran
(Bakhdal et al., 2004).
Pada masa Orde Baru sampai
tahun 2000 kawasan hutan lindung di Pasaman dikelola oleh Dinas Provinsi dengan
Cabang Dinas Kehutanan Pasaman sebagai pelaksana lapangan. Selanjutnya periode
ini digantikan dengan periode Orde Reformasi dan upaya pengelolaan hutan
lindung di Pasaman langsung berada dalam tanggung jawab pemda kabupaten yang
dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan Pasaman. Dalam SK Bupati Pasaman No. 20
Tahun 2003 dijelaskan organisasi, tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan
Pasaman.
Pengelolaan hutan lindung
(pengamanan) secara struktural menjadi tugas dan wewenang Sub Dinas
Perlindungan Hutan. Secara teknis operasional, pengamanan dilakukan dengan
patroli dan penyuluhan. Akan tetapi, tenaga untuk melakukan pengamanan hutan
belum terpenuhi. Selanjutnya, dalam Subdin Perlindungan Hutan hanya terdapat
satu Eselon III dan tiga Eselon IV yang masing-masing hanya punya satu staf,
kecuali Seksi Pengaman Hutan yang mempunyai tiga tenaga tambahan honorer. Di
samping itu, cabang dinas di tingkat kecamatan ternyata tidak ada dalam
kenyataannya (di lapangan). Hal ini mempersulit upaya pencegahan gangguan
terhadap hutan lindung secara cepat. Sejalan dengan semangat otonomi, kekuasaan
bupati menjadi lebih berpengaruh.
Pengaruh pemerintahan
daerah kabupaten relatif lebih kuat dibandingkan Dinas Kehutanan Provinsi.
Salah satu kebijakan yang dikeluarkan Bupati Pasaman tahun 2003 adalah
dihapuskannnya tenaga polisi khusus (polsus) di wilayah kerja Dinas Kehutanan
Pasaman. Kebijakan ini dibuat karena adanya perbedaan sumber penggajian tenaga
polsus hutan; sumber anggaran penggajian harus dari kabupaten, sementara pemda
kabupaten menginginkan sebaliknya.
Kepemimpinan
a) Pimpinan kampung, termasuk Kepala Adat, dengan dukungan
seluruh warga perlu menyusun peraturan pengelolaan hutan, baik menyangkut
penghijauan dan reboisasi maupun hutan lindung. Aturan dan hukum adat mengenai
hutan perlu dipelajari kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan. Pengembangan hukum
adat harus memperhatikan kemungkinan jangkauan penerapannya, mengingat penduduk
kampung yang terdiri dari berbagai suku bangsa.
b) Lembaga-lembaga pemerintahan kampung perlu memperluas
dan memperkuat peran mereka dalam pengelolaan hutan. Peningkatan kemampuan
manajemen kampung bagi aparat Pemerintah Kampung perlu menjadi perhatian.
c) Pimpinan kampung perlu meningkatkan peran semua unsur
dalam masyarakat, termasuk perempuan dan kaum muda. Meningkatkan peran perempuan
dan kaum muda dalam proses pengambilan keputusan tingkat kampung. Kaum
perempuan perlu dijadikan
pengambil keputusan, bukan hanya pelaksana belaka.
d) Pimpinan kampung perlu mencari bentuk
pengkoordinasian warga yang lebih sederhana dan berdaya guna, sehingga
kerjasama dan kekompakan seluruh warga dapat tercapai guna mendukung pembangunan
kampung, termasuk dalam hal pengelolaan hutan.
3) Dukungan yang diperlukan
Upaya penguatan instituasi
kampung bertumpu pada kegiatan peorganisasian masyarakat. Bantuan untuk
kegiatan semacam itu sangat diharapkan dari LSM, DPM, Kecamatan Muara Pahu, dan
lembaga lain yang bergerak dalam bidang pembangunan
masyarakat
pedesaan.
Pengembangan Kelembagaan
Di Indonesia, semua hutan
dikuasai oleh negara. Berdasarkan UUD 1945, hanya Negara yang berwenang
menentukan untuk apa dan oleh siapa hutan dikelola. Akibatnya, banyak konglomerat
raksasa, pejabat-pejabat militer dan rekan-rekan bisnis mantan Presiden Soeharto
beserta keluarganya mendominasi sebagian terbesar dari kekayaan hutan Indonesia.
Hak-hak atas bidang-bidang tanah hutan yang luas diberikan kepada
perusahaan-perusahaan penebangan kayu, perkebunan dan
pertambangan. Perusahaanperusahaan ini kemudian mengeksploitasi kawasan-kawasan
tersebut secara membabi buta hanya demi kepentingan jangka pendek. Berjuta-juta
hektar hutan telah ditetapkan untuk dibuka dan diubah menjadi lahan pertanian
dan pemukiman transmigran. Sedikit sekali wilayah ini ‘kosong’. Sebaliknya,
sebagian besar wilayah yang dulu dan sampai sekarang diatur oleh adat.
Kesimpulan
- Secara yuridis terdapat dua lembaga yang berperan dalam upaya pengelolaan hutan lindung di Kabupaten Pasaman, yaitu Lembaga Kenagarian dan Dinas Kehutanan Pasaman. Meskipun secara yuridis lembaga nagari mempunyai wewenang dalam mengelola hutan karena tergolong sebagai harta nagari, tetapi dalam implementasinya kewenangan tersebut tidak dapat digunakan sehingga peran lembaga nagari dalam upaya pengamanan hutan lindung tidak menunjukkan hasil yang nyata.
- Kewenangan Dinas Kehutanan Pasaman sangat besar dalam upaya pengelolaan hutan lindung. Sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap hutan lindung harusnya lembaga ini sangat memerlukan aparat polsus dalam organisasinya. Tetapi, sebaliknya ternyata lembaga ini tidak mempunyai polisi hutan sehingga lembaga ini menjadi lebih sulit untuk mencegah dan menanggulangi gangguan yang terjadi pada hutan lindung.
- Faktor-faktor yang didapati berpengaruh terhadap kinerja lembaga adalah sumber kekuatan hukum, ketersediaan anggaran, kualitas moral tenaga, dan tanda batas kawasan.
- Kelembagaan alternatif kedua lembaga pengelola hutan lindung tersebut perlu disatukan dalam kelembagaan tersendiri yang secara fungsional bertanggung jawab kepada Dinas Kehutanan dan secara struktural kepada Wali Nagari.
Saran
Sesuai dengan tradisi
lembaga kenagarian maka perlu dibentuk kembali unit dubalang atau polisi
khusus nagari yang berfungsi sebagai tenaga pengamanan nagari dan secara
fungsional mempunyai hubungan dengan Dinas Kehutanan Pasaman. Di samping itu,
tenaga polisi kehutanan perlu kembali dilibatkan dalam organisasi Dinas
Kehutanan. Jika tenaga dubalang dalam jangka pendek tidak dapat dipenuhi
maka tenaga polhut dapat ditempatkan di dalam lembaga kenagarian.
DAFTAR PUSTAKA
Kasim, B dan Aji, D. 2006. Problematik Lembaga Pengelolaan Hutan
Lindung Di Pasaman, Sumatera Barat. Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek
Nauli. Padang.
Nanang, M dan Devung,
S. 2002. Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengelolaan Hutan. Institute for Global Environmental Strategies. Japan.
Anonim. 2002. Bagian I
: Hutan, Masyarakat, dan Hak. Edisi Bahasa Indonesia. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Upaya pengelolaan hutan lindung di Pasaman sudah dimulai pada masa kolonial Belanda tahun 1596-1945 dan telah berhasil mempertahankan keberadaan hutan lindung sampai sekarang. Pada periode kolonial tersebut upaya pengelolaan hutan lindung relatif cukup efektif mengamankan hutan karena adanya tindakan keras terhadap pelaku pelanggaran (Bakhdal et al., 2004).
BalasHapus