ASPEK-ASPEK MEDIUM DENSITY FIBERBOARD
Aspek teknis yang diamati meliputi sifat fisik,
sifat mekanik dan stabilitas dimensi yang ditentukan sesuai dengan standar EMB.
Berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa MDF yang dihasilkan dari ketiga jenis
kayu tersebut menunjukkan keragaan (performance)
yang baik, yaitu warna cerah, dengan permukaan yang halus. Sifat fisik
lainnya meliputi kadar air, kerapatan, modulus of Rupture ( MOR), modulus of
elasticity (MOE), daya penyerapan air (water absorption), Thickness swelling
(TS), daya kerekatan (Internal Bond : IB), dan toleransi ketebalan (Thickness
Tolerance).
Giling teruuuss.. |
Menurut Nelson (1973) dan Suchsland dan Woodson
(1986), secara umum kerapatan yang tinggi dari jenis kayu berpengaruh negatif
terhadap sifat kekuatan dari panel. Semakin tinggi berat jenis kayu (specific
gravity) maka semakin besar kerapatan rongga dari fiber yang terjadi dan pada
kerapatan yang sama dapat menghasilkan rasio kompresi (compression ratio) yang
lebih rendah.
Dengan demikian semakin kompak serat maka semakin
baik ikatan antar serat. MOR dan MOE pada kondisi panel kering meningkat sesuai
dengan peningkatan kerapatan dan biasanya setiap jenis perekat memberikan nilai
MOR dan MOE yang berbeda (Suchsland dan Woodson, 1986). Secara umum, semakin
tinggi kerapatan pada ketebalan yang sama menghasilkan penel yang lebih kuat,
karena semakin cukup bidang kontak antar serat. Hal ini menerangkan bahwa
semakin tinggi nilai MOR dan MOE maka semakin tinggi kerapatan panel.
Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi yang
dianalisis meliputi aspek bahan baku ,
bahan pembantu dan penolong, fasilitas produksi, produksi dan pemasaran,
komponen biaya produksi yang membentuk harga pokok produk MDF baik langsung
maupun tak langsung. Harga bahan baku
kayu yang digunakan untuk produksi MDF adalah Rp. 60.000,- (US $ 25, nilai
tukar 1 US $ = Rp. 2.340,- tahun 1997 ) per m³ untuk setiap jenis kayu (Acacia
mangium, Gmelina arborea, dan Eucalyptus urophylla) dengan diameter
antara 7 cm sampai dengan 25 cm. Sampai
saat ini jarak bahan baku ke industri berkisar antara 100 km sampai 350 km
dengan angkutan darat dan sungai.
Berdasarkan informasi yang diperoleh biaya angkut
bahan baku kayu ke industri berkisar Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 25.000,-
per m³. Harga bahan baku tersebut di atas sudah termasuk biaya angkut, sehingga
harga tersebut merupakan harga kayu diterima di industri. Untuk memproduksi 1
m³ MDF diperlukan 2,5 m³ kayu, sedangkan rendemennya adalah 40 persen sehingga
biaya bahan per m³ MDF adalah Rp. 150.000,-. Berdasarkan hal tersebut maka
biaya bahan baku bukan merupakan biaya utama, lain halnya dengan kayu lapis
yang penggunaan produknya hampir sama dengan MDF.
Dengan menggunakan angkutan darat maupun sungai di
Kalimantan ini, jarak bahan baku ke industri hingga mencapai 250 km masih
memungkinkan untuk dibangun industri MDF. Kebutuhan bahan kimia sebagai bahan
pembantu dan penolong meliputi perekat jenis urea formaldehida, asam sulfat
sebagai pengeras (hardener) dan lilin (wax) sebagai pelindung terhadap
penyerapan air. Untuk memperoleh 1 m³ MDF diperlukan 125 kg perekat (larutan),
7,5 kg wax dan 0,75 kg hardener dengan masing-masing biaya berturut-turut
sebesar Rp. 120.000,-, Rp. 12.000,- dan Rp. 300,-. Dengan demikian maka total
biaya bahan pembantu dan penolong sebesar Rp. 132.300,-.
Luas bangunan industri MDF tersebut sebesar 20 ha
yang terdiri dari bangunan pabrik, kantor dan mess (Gues House) dan dibangun di
atas tanah seluas 120 ha dengan ukuran panjang pabrik 297 m dan lebar 47 m.
Sumber energi listrik berasal dari 2 unit dengan
total kapasitas 2.680 KVA dengan biaya rata-rata Rp. 220 juta per bulan.
Industri tersebut memiliki 5 unit genset berkapasitas 2.680 KVA per unit dan
satu unit genset berkapasitas 1.000 KVA per unit, dimana dalam operasionalnya
cukup dipakai 2 unit saja. Biaya tersebut dikeluarkan untuk kebutuhan bahan
bakar dalam mengoperasikan genset tersebut antara lain 5.500 liter solar, 1.000
liter oli dan 15 kg oli gemuk (grease). Total produksi selama tahun 1996
sebanyak 40.917 m³ yang terdiri dari penjualan lokal sebesar 11.334 m³ (27,7%),
ekspor sebanyak 19.188 m³ (46,9%), dan sisanya sebanyak 10.395 m³ (25,4%)
diproses lebih lanjut untuk dilapisi dengan kertas dan vinir indah yang
tergabung dalam panel MDF.
Komponen biaya produksi sangat dipengaruhi oleh
besarnya biaya investasi, biaya produksi langsung dan biaya produksi tidak
langsung. Besarnya biaya investasi yang dikelaurkan untuk membangun industri
MDF tersebut sebesar Rp. 351 milyar (US $ 150 juta, nilai tukar 1 US $ = Rp.
2.340,- tahun 1997) dengan kapasitas produksi sebesar 100.000 m³ per tahun.
Besarnya biaya investasi disesuaikan berdasarkan beberapa faktor, salah satu
faktor yang paling dominan adalah kapasitas produksi. Semakin tinggi kapasitas
produksi maka semakin rendah biaya investasi per unit produksi. Besarnya
tingkat investasi itu sendiri dapat dikatakan berbanding terbalik dengan biaya
produksi per unit. Faktor lain yang dapat mempengaruhi biaya produksi per unit
adalah seberapa besar industri MDF yang akan dibuat. Dengan kata lain produksi
per tahun dapat mempengaruhi biaya penyusutan per satuan produksi. Untuk
mengetahui biaya produksi langsung untuk memproduksi 1 (satu) m³ MDF diperlukan
pendekatan biaya.
Pendekatan
biaya satuan di atas didasarkan pada:
-
Bahan
baku kayu berasal dari hasil penjarangan HTI dengan harga Rp. 60.000,- per m³.
-
Berat
jenis produk MDF adalah 0,8 kg/m³ sehingga 1 ton produk ekivalen dengan 1,25 m³
MDF.
-
Untuk
memproduksi 1 m³ MDF diperlukan 2,5 m³ bahan baku kayu (rendemen 40%).
-
Berat
jenis bahan baku kayu 0,4 kg/m³
- Nilai
tukar US $ 1 = Rp. 2.400,-
Berdasarkan hasil analisis diperoleh total biaya
produksi MDF per m³ adalahm sebesar Rp. 479.400,-. Rugi laba perusahaan
diperoleh dengan menghitung besarnya nilai penjualan produk MDF pada tingkat
harga yang berlaku. Hasil penjualan yang diperoleh pada tahun 1996 adalah
sebesar Rp. 23.936,4 milyar dengan tingkat harga rata-rata US $ 250 per m³
(nilai tukar 1 US $ = Rp. 2.400,-).
KESIMPULAN
1. Harga
bahan baku kayu untuk memproduksi MDF adalah sebesar Rp. 60.000,- per m³ bagi
setiap jenis kayu dengan diameter berkisar 7 cm sampai dengan 25 cm, dimana setiap
m³ MDF diperlukan 2,5 m³ kayu dan jarak bahan baku ke industri dapat mencapai
250 km dengan angkutan sungai.
2. Komponen
biaya produksi MDF sangat dipengaruhi oleh besarnya biaya investasi, biaya
produksi langsung dan biaya produksi tak langsung, dimana besarnya biaya
investasi untuk membangun industri MDF dengan kapasitas 100.000 m³ pertahun
adalah sebesar Rp. 351 milyar ( US $ 150 juta).
3.
Biaya
rata-rata per m³ MDF adalah sebesar Rp. 479.450,- yang terdiri dari biaya produksi
langsung sebesar Rp. 315.650,- dan biaya produksi tak langsung sebesar Rp. 163.750,- pada tingkat produksi MDF
sebesar 70.000 m³ per tahun.
4.
Sifat
mekanik panel yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kerapatan dan jenis perekat
yang digunakan, dimana sifat mekanik panel meningkat sesuai dengan peningkatan
kerapatan panel.
5. Sifat
fisik lainnya meliputi kerapatan, toleransi ketebalan (thickness tolerance), MOR, MOE, daya kerekatan (internal bond), daya penyerapan air (water absorption), gelombang ketebalan (thickness swelling) dan kadar air pada produk
MDF yang dihasilkan secara umum dapat memenuhi standar yang diacu yaitu Euro
MDF Board (EMB), kecuali pada sifat daya penyerapan air yang masih sering cukup
tinggi.
6. Ketiga
jenis kayu hasil penjarangan HTI antara lain adalah jenis Acacia mangium,
Gmelina arborea dan Eucalyptus urophylla cukup baik
digunakan sebagai bahan baku
industri MDF dengan hasil menunjukkan keragaan (performance) yang baik, warna
cerah dan permukaan yang halus.
7. Industri
MDF di Indonesia mempunyai prospek pemasaran yang cerah baik dalam negeri
maupun ekspor, dimana saat ini produksi MDF dunia didominasi oleh negara-negara
Eropa seperti : Italia, Jerman, Spanyol dan Perancis.
DAFTAR PUSTAKA
Asian Timber. 1996. PT.
Sumalindo, First in Indonesia
to Produce MDF Using Plantation
Timber. Asian Timber, Vol. 15 No. 12
: 26-28.
Badan Litbang Kehutanan, 1990. Proceeding Diskusi
Industri Perkayuan. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Effendi, R, et.al. 1997. Kajian Ekonomi Industri
Papan Serat Berkerapatan Sedang (MDF) Dipterokarpa Vol 1. No.1 BPK
Samarinda, Kalimantan Timur.
Fakultas
Perhutanan UPM, 1989. Catatan kuliah S2 Fakultas Perhutanan UPM, Malaysia.
Fund Defribrator, 1989. Leflet MDF. Fund Defribrator,
Singapura.
ISA, 1988. Industri Penggergajian Kayu Terpadu di
Indonesia Perhimpunan Pengusaha Kilang Kayu Terpadu (ISA), Jakarta.
Nelson, N.D. 1973.
Effects of wood and pulp properties on medium density, dry formed hardboard.
Forest Product Journal 23 (9) : 72-80.
Suchsland, O. and
Woodson, G.E. 1986. Fiberboard manufacturing practices in the United States ,
USDA Agric. Handbook No. 640. Washington
DC .
Toha, Moch, M.M. 1994. Catatan Perjalanan,
Menyimak Peluang Pasar Papan Serat Kayu (MDF). Duta Rimba No.
167/168/XIX/ Mei-Juni 1994. Perum Perhutani, Jakarta .
Wahyuni, T. 1995. Lingkaran Informasi No. 028, Mei
1995. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda, Samarinda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar