H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Minggu, 06 Mei 2012

HUBUNGAN KA DENGAN PENGERINGAN KAYU


PENDAHULUAN


Kadar air kayu adalah banyaknya air yang terkandung dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering ovennya. Kadar air kering udara adalah kondisi kayu dalam keadaan kering udara, yang mana pada kondisi ini kayu tidak menyerap atau melepaskan air. Dengan demikian bila digunakan untuk komponen bangunan dapat dikatakan kayu tersebut tidak mengalami pengembangan maupun penyusutan, kalaupun terjadi sangat kecil, sehingga tidak merusak elemen bangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu kayu bangunan sebelum digunakan harus diketahui terlebih dahulu kadar airnya. Kadar air kayu yang aman untuk penggunaan pada bangunan adalah kadar air kering udara, untuk Indonesia sekitar 15% - 20% (Budianto, 1996).


Bila kadar air kayu tersebut tinggi, maka harus dilakukan pengeringan kayu. Pengeringan kayu adalah proses untuk melepas sebagian air yang terkandung didalam kayu sehingga mencapai kadar air kayu tertentu atau yang diinginkan. Pengukuran kadar air kayu dapat dilakukan baik di lapangan maupun di laboratorium. Pengukuran kadar air kayu di lapangan dilakukan dengan menggunakan alat moisturemeter. Pada alat tersebut akan terbaca secara langsung besaran kadar air kayu yang diukur. Pengukuran kadar air di laboratorium dapat dilakukan dengan cara :
1.    Contoh uji kayu yang akan diukur kadar airnya ditimbang untuk mengetahui berat awalnya (BA).
2.    Contoh uji dikeringkan dalam oven pada suhu 103o ± 2oC.
3.    Setelah dikeringkan contoh uji ditimbang. Kemudian dikeringkan lagi sampai diperoleh berat tetap (BKT).
4.    Kadar air dihitung dengan rumus : Brt awal - brt akhir / brt akhir x 100%

(Haygreen, G dan Bowyer, 1993).
Kadar air yang terdapat di dalam kayu terdiri dari :
1.    Air bebas adalah air yang terdapat di dalam rongga-rongga sel, yang paling mudah dan terlebih dahulu keluar. Air bebas ini tidak mempengaruhi sifat dan bentuk kayu kecuali berat kayu.
2.    Air terikat adalah air yang berada dalam dinding-dinding sel kayu, sangat sulit untuk dilepas. Air terikat inilah yang dapat mempengaruhi sifat kayu misalnya penyusutan. Bila air bebas telah keluar dan kondisi dinding sel jenuh air, maka dapat dikatakan kayu telah mencapai kadar air titik jenuh serat (fiber saturation point). Tingkatan titik jenuh serat untuk semua jenis kayu tidak sama, hal ini dikarenakan adanya variasi susunan kimiawi kayu. Titik jenuh serat kayu pada umumnya berkisar antara kadar air 25 – 30 %.
(Haygreen, G dan Bowyer, 1993).
Pembuatan Kayu dengan bentuk huruf U (Garpu)
     Pengeringan Buatan (Kiln Drying) merupakan lanjutan hasil perkembangan pengeringan udara. Dengan kemajuan dan perkembangan teknologi modern, meningkatnya permintaan akan kayu berkualitas tinggi, maka timbul usaha pengeringan buatan yang lebih efektif dan lebih efisien daripada pengeringan udara.
a.    Kebaikannya :
ü      Waktu pengeringan sangat singkat
ü      Kadar air akhir dapat diatur sesuai dengan keinginan, disesuaikan dengan tujuan penggunaan
ü      Kelembaban udara (RH), temperatur dan sirkulasi udara dapat diatur sesuai dengan jadwal pengeringan
ü      Terjadinya cacat kayu dapat dihindari dan beberapa jenis kayu dapat diperbaiki
ü      Kontinuitas produksi tidak terganggu dan tidak diperlukan persediaan kayu yang banyak
ü      Tidak membutuhkan tempat yang luas
ü      Kualitas hasil jauh lebih baik
b.    Kekurangannya :
ü      Memerlukan investasi / modal yang besar
ü      Memerlukan tenaga ahli pengalaman
ü      Sortimen kayu yang akan dikeringkan tertentu
(Dumanauw, 1990).

        Dry Kiln tebagi menajdi dua bagian :
1.    Compartment Kiln
2.    Progressive Kiln
Letak perbedaan kedua jenis ini sebagai berikut :
1.    Compartment Kiln :
ü      Tingkat kekeringan kayu sama
ü      Pintu masuk lori sama dengan pintu keluar
ü      Arah pergerakan udara melintang kiln
ü      Tidak membutuhkan ruang yang besar
2.    Progressive Kiln :
ü      Tingkat kekeringan kayu berbeda
ü      Pintu masuk dan pintu keluar tidak sama
ü      Arah pergerakan udara berlawanan dengan arah lori
ü      Merupakan bentuk terowongan
(Budianto, 1996).
Pekerjaan pengeringan kayu dengan kiln dapat dibagi dalam 4 tahap yaitu :
a.    Tahap penyediaan alat – alat
b.    Tahap penumpukan / penyusunan kayu
c.     Tahap pengambilan contoh – contoh kayu pengamatan
d.    Tahap pekerjaan selama pengeringan berlangsung yang mencakup: penggunaan jadwal pengeringan, pengaturan dan pengawasan suhu serta kelembaban udara di dalam kiln
(Dumanauw, 1990).
Jika kayu yang diletakkan pada suatu atmosfer dengan kelembaban tertentu pada akhirnya akan mencapai suatu kadar air yang tetap, disebut kadar air keseimbangan (equilibrium moisture content). Kadar air seimbang ini tergantung pada lembab nisbi dan suhu dari udara sekelilingnya. Perubahan-perubahan kadar air umumnya sangat besar pada permukaan kayu dimana perubahan-perubahan kadar air berlangsung cepat. Sebaliknya dibagian dalam kayu perubahan kadar air lebih lambat, sebab waktu yang dibutuhkan oleh air untuk berdifusi dari atau ke bagian luar kayu lebih lama. Oleh karena itu dalam sepotong kayu umumnya terdapat dua kelainan kadar air kayu, yaitu kadar yang rendah (kecil) pada permukaan kayu dan kadar air yang tinggi (besar) pada bagian dalam kayu. Diantara kedua titik berlainan itu terdapat peralihan kadar air yang berangsur-angsur. Di dalam kayu kecepatan gerakan air dalam berbagai arah terhadap sumbu kayu tidak sama. Dalam arah longitudinal (arah memanjang kayu) gerakan air dalam bentuk uap lebih mudah keluar, karena struktur sel yang berbentuk tabung (buluh) (Anonim, 1994).
Titik jenuh serat berkisar antara 21 % - 30 %, bergantung pada jenis yang dikeringkan. Kayu dikeringkan mulai dari kadar air 50 % - 60 % menjadi 21 % - 30 %. Dengan demikian, nilai gradien pengeringannya sangat tinggi dan mempunyai resiko terjadinya tegangan dalam kayu karena air inti kayu yang terblokir tidak dapat keluar. Penggunaan temperatur tinggi harus dihindarkan. Kipas-kipas  udara  untuk  mensirkulasikan udara dalam oven harus dimanfaatkan. Temperatur  maksimal   yang  digunakan hendaknya berkisar 40o – 55oC (Anonim, 1994).
Temperatur dan kelembaban relative dikendalikan dengan gradien pengeringan yang tidak terlalu besar. Kadar air 21 % - 30 % harus dapat diturunkan lagi sampai kadar air akhir 6 % - 8 %, sesuai dengan kebutuhan. Temperatur yang digunakan untuk kayu yang mempunyai kandungan zat ekstraktif, sebaiknya antara 55oC – 60oC, untuk menghindarkan noda-noda warna atau perubahan warna kayu (Anonim, 1996).
Kayu mempunyai sifat higroskopis yaitu dapat menyerap atau melepaskan air atau kelembaban. Dengan sifat ini, maka kayu dapat mengembang pada kondisi musim hujan atau pada kelembaban tinggi dan dapat menyusut pada kondisi musim kemarau atau pada kelembaban rendah, bila kayu tersebut belum dikeringkan pada saat penggunaan. Kadar air kayu adalah banyaknya air yang terkandung dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering ovennya. Kadar air kering udara adalah kondisi kayu dalam keadaan kering udara, yang mana pada kondisi ini kayu tidak menyerap atau melepaskan air. Dengan demikian bila digunakan untuk komponen bangunan dapat dikatakan kayu tersebut tidak mengalami pengembangan maupun penyusutan, kalaupun terjadi sangat kecil, sehingga tidak merusak elemen bangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu kayu bangunan sebelum digunakan harus diketahui terlebih dahulu kadar airnya. Kadar air kayu yang aman untuk penggunaan pada bangunan adalah kadar    air    kering   udara (Haygreen, G dan Bowyer, 1993).
Pengeringan kayu dapat dilakukan dengan cara alami maupun dengan menggunakan kiln/ tanur pengering. Pengeringan secara alami yaitu dengan menggunakan tenaga alam/ udara (matahari), biayanya relative murah, pelaksanaannya mudah tanpa memerlukan tenaga ahli dan kapasitasnya tidak terbatas. Namun kerugiannya adalah waktu yang diperlukan untuk mengeringkan relatif lama, memerlukan areal yang cukup luas, cacat pengeringan yang timbul sulit diperbaiki  dan  kadar  air  akhir  yang dicapai masih terlalu tinggi. Sedangkan pengeringan kayu dengan kiln/ tanur pengering memerlukan waktu yang relative singkat, cacat pengeringan dapat dihindari, kadar air akhir dapat diatur. Kekurangannya adalah memerlukan biaya investasi yang besar, perlu tenaga  ahli  yang   berpengalaman,   dan   sortimen   kayu   yang   dikeringkan tertentu (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman, 1997).
Proses pengeringan kayu secara umum ada beberapa tahap, yaitu pemanasan awal (preheating), pengeringan sampai titik jenuh serat, pengeringan sampai kadar air akhir, pengkondisian (conditioning), pemerataan atau penyamaan kadar air kayu (equalizing), dan pendinginan (colling down). Kadar air kayu di atas titik jenuh serat mempunyai kandungan air lebih dari 30 %. Atau kayu yang akan melalui proses pengeringan buatan mempunyai kadar air kira-kira 70 % - 40 %, sedangkan kadar air rata-rata berkisar antara 50 % - 60 %. Pada tahap pemanasan awal, kayu dibasahi lebih dahulu dengan jalan menyemprotkan air ke dalam oven dan temperatur diatur agak panas, kira-kira 35o – 40oC. Air akan menguap dan membentuk kabut uap air yang sehingga udara akan menjadi berkelembaban tinggi (Anonim, 1994).


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1994. Pengeringan Kayu Dalam Dapur Pengeringan Konvensional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan; Jakarta.

_______. 1996. Keawetan Kayu dan Faktor yang Mempengaruhi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan; Bogor.

Budianto, A.D. 1996. Sistem Pengeringan Kayu. Penerbit Kanisius. Jakarta.
Dumanauw, J. F. 1990. Mengenal Kayu.Cet. ke-14. Kanisius. Yogyakarta.

Haygreen, G dan Bowyer. 1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Gadjah Mada University Press; Yogyakarta.

Kadir, K. 1978. Pengeringan Alami Beberapa Jenis Kayu Indonesia. Lembaga Penelitian Hasil Hutan; Bogor.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman. 1997. Pengembangan Kayu Kelas Rendah untuk Bahan Bangunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum. Departemen Pekerjaan Umum; Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar