PENDAHULUAN
Kadar air kayu adalah banyaknya air
yang terkandung dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering
ovennya. Kadar air kering udara adalah kondisi kayu dalam keadaan kering udara,
yang mana pada kondisi ini kayu tidak menyerap atau melepaskan air. Dengan
demikian bila digunakan untuk komponen bangunan dapat dikatakan kayu tersebut
tidak mengalami pengembangan maupun penyusutan, kalaupun terjadi sangat kecil,
sehingga tidak merusak elemen bangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu kayu
bangunan sebelum digunakan harus diketahui terlebih dahulu kadar airnya. Kadar
air kayu yang aman untuk penggunaan pada bangunan adalah kadar air kering
udara, untuk Indonesia sekitar 15% - 20% (Budianto, 1996).
Bila kadar air kayu tersebut tinggi,
maka harus dilakukan pengeringan kayu. Pengeringan kayu adalah proses untuk
melepas sebagian air yang terkandung didalam kayu sehingga mencapai kadar air
kayu tertentu atau yang diinginkan. Pengukuran kadar air kayu dapat dilakukan
baik di lapangan maupun di laboratorium. Pengukuran kadar air kayu di lapangan
dilakukan dengan menggunakan alat moisturemeter. Pada alat tersebut akan terbaca
secara langsung besaran kadar air kayu yang diukur. Pengukuran kadar air di
laboratorium dapat dilakukan dengan cara :
1.
Contoh uji
kayu yang akan diukur kadar airnya ditimbang untuk mengetahui berat awalnya
(BA).
2.
Contoh uji
dikeringkan dalam oven pada suhu 103o ± 2oC.
3.
Setelah
dikeringkan contoh uji ditimbang. Kemudian dikeringkan lagi sampai diperoleh
berat tetap (BKT).
4.
Kadar air
dihitung dengan rumus : Brt awal - brt akhir / brt akhir x 100%
(Haygreen, G dan
Bowyer, 1993).
Kadar air yang terdapat di dalam kayu
terdiri dari :
1.
Air bebas
adalah air yang terdapat di dalam rongga-rongga sel, yang paling mudah dan
terlebih dahulu keluar. Air bebas ini tidak mempengaruhi sifat dan bentuk kayu
kecuali berat kayu.
2.
Air terikat
adalah air yang berada dalam dinding-dinding sel kayu, sangat sulit untuk
dilepas. Air terikat inilah yang dapat mempengaruhi sifat kayu misalnya
penyusutan. Bila air bebas telah keluar dan kondisi dinding sel jenuh air, maka
dapat dikatakan kayu telah mencapai kadar air titik jenuh serat (fiber saturation point). Tingkatan titik
jenuh serat untuk semua jenis kayu tidak sama, hal ini dikarenakan adanya
variasi susunan kimiawi kayu. Titik jenuh serat kayu pada umumnya berkisar
antara kadar air 25 – 30 %.
(Haygreen, G dan Bowyer, 1993).
Pembuatan Kayu dengan bentuk huruf U (Garpu) |
Pengeringan Buatan (Kiln Drying) merupakan
lanjutan hasil perkembangan pengeringan udara. Dengan kemajuan dan perkembangan
teknologi modern, meningkatnya permintaan akan kayu berkualitas tinggi, maka
timbul usaha pengeringan buatan yang lebih efektif dan lebih efisien daripada
pengeringan udara.
a.
Kebaikannya :
ü
Waktu
pengeringan sangat singkat
ü
Kadar air
akhir dapat diatur sesuai dengan keinginan, disesuaikan dengan tujuan
penggunaan
ü
Kelembaban
udara (RH), temperatur dan sirkulasi udara dapat diatur sesuai dengan jadwal
pengeringan
ü
Terjadinya
cacat kayu dapat dihindari dan beberapa jenis kayu dapat diperbaiki
ü
Kontinuitas
produksi tidak terganggu dan tidak diperlukan persediaan kayu yang banyak
ü
Tidak
membutuhkan tempat yang luas
ü
Kualitas hasil
jauh lebih baik
b.
Kekurangannya
:
ü
Memerlukan
investasi / modal yang besar
ü
Memerlukan
tenaga ahli pengalaman
ü
Sortimen kayu
yang akan dikeringkan tertentu
(Dumanauw, 1990).
Dry Kiln tebagi menajdi dua bagian :
1.
Compartment
Kiln
2.
Progressive
Kiln
Letak perbedaan kedua jenis ini sebagai berikut :
1.
Compartment
Kiln :
ü
Tingkat
kekeringan kayu sama
ü
Pintu masuk
lori sama dengan pintu keluar
ü
Arah
pergerakan udara melintang kiln
ü
Tidak
membutuhkan ruang yang besar
2.
Progressive
Kiln :
ü
Tingkat
kekeringan kayu berbeda
ü
Pintu masuk
dan pintu keluar tidak sama
ü
Arah pergerakan
udara berlawanan dengan arah lori
ü
Merupakan
bentuk terowongan
(Budianto, 1996).
Pekerjaan pengeringan kayu dengan kiln dapat dibagi
dalam 4 tahap yaitu :
a.
Tahap
penyediaan alat – alat
b.
Tahap
penumpukan / penyusunan kayu
c.
Tahap
pengambilan contoh – contoh kayu pengamatan
d.
Tahap
pekerjaan selama pengeringan berlangsung yang mencakup: penggunaan jadwal
pengeringan, pengaturan dan pengawasan suhu serta kelembaban udara di dalam
kiln
(Dumanauw, 1990).
Jika kayu yang
diletakkan pada suatu atmosfer dengan kelembaban tertentu pada akhirnya akan
mencapai suatu kadar air yang tetap, disebut kadar air keseimbangan (equilibrium moisture content). Kadar air
seimbang ini tergantung pada lembab nisbi dan suhu dari udara sekelilingnya.
Perubahan-perubahan kadar air umumnya sangat besar pada permukaan kayu dimana
perubahan-perubahan kadar air berlangsung cepat. Sebaliknya dibagian dalam kayu
perubahan kadar air lebih lambat, sebab waktu yang dibutuhkan oleh air untuk
berdifusi dari atau ke bagian luar kayu lebih lama. Oleh karena itu dalam
sepotong kayu umumnya terdapat dua kelainan kadar air kayu, yaitu kadar yang
rendah (kecil) pada permukaan kayu dan kadar air yang tinggi (besar) pada
bagian dalam kayu. Diantara kedua titik berlainan itu terdapat peralihan kadar
air yang berangsur-angsur. Di dalam kayu kecepatan gerakan air dalam berbagai
arah terhadap sumbu kayu tidak sama. Dalam arah longitudinal (arah memanjang
kayu) gerakan air dalam bentuk uap lebih mudah keluar, karena struktur sel yang
berbentuk tabung (buluh) (Anonim, 1994).
Titik jenuh serat berkisar antara 21 %
- 30 %, bergantung pada jenis yang dikeringkan. Kayu dikeringkan mulai dari
kadar air 50 % - 60 % menjadi 21 % - 30 %. Dengan demikian, nilai gradien
pengeringannya sangat tinggi dan mempunyai resiko terjadinya tegangan dalam
kayu karena air inti kayu yang terblokir tidak dapat keluar. Penggunaan
temperatur tinggi harus dihindarkan. Kipas-kipas udara
untuk mensirkulasikan udara dalam
oven harus dimanfaatkan. Temperatur
maksimal yang digunakan hendaknya berkisar 40o –
55oC (Anonim, 1994).
Temperatur dan kelembaban relative
dikendalikan dengan gradien pengeringan yang tidak terlalu besar. Kadar air 21
% - 30 % harus dapat diturunkan lagi sampai kadar air akhir 6 % - 8 %, sesuai
dengan kebutuhan. Temperatur yang digunakan untuk kayu yang mempunyai kandungan
zat ekstraktif, sebaiknya antara 55oC – 60oC, untuk
menghindarkan noda-noda warna atau perubahan warna kayu (Anonim, 1996).
Kayu mempunyai sifat higroskopis yaitu
dapat menyerap atau melepaskan air atau kelembaban. Dengan sifat ini, maka kayu
dapat mengembang pada kondisi musim hujan atau pada kelembaban tinggi dan dapat
menyusut pada kondisi musim kemarau atau pada kelembaban rendah, bila kayu
tersebut belum dikeringkan pada saat penggunaan. Kadar air kayu adalah
banyaknya air yang terkandung dalam kayu yang dinyatakan dalam persen terhadap
berat kering ovennya. Kadar air kering udara adalah kondisi kayu dalam keadaan
kering udara, yang mana pada kondisi ini kayu tidak menyerap atau melepaskan
air. Dengan demikian bila digunakan untuk komponen bangunan dapat dikatakan
kayu tersebut tidak mengalami pengembangan maupun penyusutan, kalaupun terjadi
sangat kecil, sehingga tidak merusak elemen bangunan secara keseluruhan. Oleh
karena itu kayu bangunan sebelum digunakan harus diketahui terlebih dahulu
kadar airnya. Kadar air kayu yang aman untuk penggunaan pada bangunan adalah
kadar air kering
udara (Haygreen, G dan Bowyer,
1993).
Pengeringan
kayu dapat dilakukan dengan cara alami maupun dengan menggunakan kiln/ tanur
pengering. Pengeringan secara alami
yaitu dengan menggunakan tenaga alam/ udara (matahari), biayanya relative
murah, pelaksanaannya mudah tanpa memerlukan tenaga ahli dan kapasitasnya tidak
terbatas. Namun kerugiannya adalah waktu yang diperlukan untuk mengeringkan
relatif lama, memerlukan areal yang cukup luas, cacat pengeringan yang timbul
sulit diperbaiki dan kadar
air akhir yang dicapai masih terlalu tinggi. Sedangkan
pengeringan kayu dengan kiln/ tanur pengering memerlukan waktu yang relative
singkat, cacat pengeringan dapat dihindari, kadar air akhir dapat diatur.
Kekurangannya adalah memerlukan biaya investasi yang besar, perlu tenaga ahli
yang berpengalaman, dan
sortimen kayu yang
dikeringkan tertentu (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman,
1997).
Proses pengeringan kayu secara umum ada
beberapa tahap, yaitu pemanasan awal (preheating),
pengeringan sampai titik jenuh serat, pengeringan sampai kadar air akhir,
pengkondisian (conditioning),
pemerataan atau penyamaan kadar air kayu (equalizing),
dan pendinginan (colling down). Kadar
air kayu di atas titik jenuh serat mempunyai kandungan air lebih dari 30 %.
Atau kayu yang akan melalui proses pengeringan buatan mempunyai kadar air
kira-kira 70 % - 40 %, sedangkan kadar air rata-rata berkisar antara 50 % - 60
%. Pada tahap pemanasan awal, kayu dibasahi lebih dahulu dengan jalan
menyemprotkan air ke dalam oven dan temperatur diatur agak panas, kira-kira 35o
– 40oC. Air akan menguap dan membentuk kabut uap air yang sehingga
udara akan menjadi berkelembaban tinggi (Anonim, 1994).
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 1994. Pengeringan Kayu Dalam Dapur Pengeringan Konvensional. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan; Jakarta.
_______. 1996. Keawetan Kayu dan Faktor yang Mempengaruhi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan; Bogor.
Budianto, A.D.
1996. Sistem Pengeringan Kayu. Penerbit Kanisius. Jakarta.
Dumanauw, J. F. 1990. Mengenal Kayu.Cet. ke-14. Kanisius. Yogyakarta.
Haygreen, G dan Bowyer. 1993. Hasil Hutan
dan Ilmu Kayu. Gadjah Mada
University Press; Yogyakarta.
Kadir, K. 1978. Pengeringan Alami Beberapa Jenis Kayu Indonesia. Lembaga Penelitian
Hasil Hutan; Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pemukiman. 1997. Pengembangan Kayu Kelas
Rendah untuk Bahan Bangunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum.
Departemen Pekerjaan Umum; Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar