Latar Belakang
Produk-produk
kayu yang digunakan di seluruh dunia dapat diserang oleh berbagai jenis
serangga seperti rayap dan kumbang serta sebagian kecil spesies semut dan
lebah. Rayap sejauh ini menyebabkan kerugian ekonomi yang terbesar (Haygreen
dan Bowyer, 1986). Rata-rata persentase serangan rayap pada bangunan perumahan
di kota-kota besar mencapai lebih dari 70%. Pengalaman selama lebih dari dua
puluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa rayap merupakan faktor perusak kayu
dan bangunan yang paling mengganggu di Indonesia (Nandika et al, 2003).
Usaha yang dilakukan manusia mengatasi
serangan rayap adalah dengan melakukan pengendalian, namun sebagian besar
pengendalian rayap didominasi oleh penggunaan bahan kimia (termitisida). Masih
sedikit masyarakat yang menggunakan cara-cara nonkimiawi untuk mengendalikan
rayap. Hal ini karena penggunaan bahan kimia dinilai lebih efektif (Setiadi, et
al, 2006). Nicholas (1988) mengatakan kebanyakan bahan pengawet cukup beracun. Sebagian
besar bahan pengawet kayu yang digunakan pada saat ini merupakan bahan kimia
sintesis. Beberapa jenis bahan kimia yang bersifat racun pada organisme perusak
kayu, ternyata berbahaya terhadap manusia maupun binatang karena baunya yang
keras, bersifat korosif terhadap metal dan tidak stabil pada udara terbuka
(Syafii, 2000).
Ditinjau dari aspek ekologis, penggunaan
bahan pengawet sintetis mempunyai dampak yang kurang menguntungkan, terutama
karena bahan kimia tersebut bersifat tidak dapat terdegradasi. Untuk mengurangi
dampak negatif tersebut maka usaha-usaha pemanfaatan produk alam atau zat
ekstraktif yang terdapat di dalam kayu sebagai bahan pengawet alami sangat
penting (Syafii, 2000). Contoh zat ekstraktif yang dapat digunakan untuk
mengawetkan kayu adalah Guaiacol, 2 napthalenemetanol, dan asam
9,12-oktadekadienot pada kayu sonokembang yang mempunyai sifat anti rayap yang
tinggi (Syafii, 2000).
Salah satu bahan yang terdapat dalam zat
ekstraktif adalah tanin. Fengel dan Wegener (1995), mengatakan senyawa-senyawa
yang paling penting dari kayu yang dapat diekstraksi dengan pelarut adalah asam
lemak, asam resin, lilin, tanin, dan senyawa berwarna.
Ketika kayu mangrove terkenal sebagai
sumber tanin pada industri kulit kayu. Kulit kayu pada batanng pohon mangrove
mengandung tanin sebanyak 20-30% dari berat kering (Damanik et al, 1987)
Sampai saat ini tanin masih digunakan
sebagai perekat dan obat-obatan. Achmadi (1990) mengatakan sudah banyak usaha
untuk memanfaatkan tanin sebagai perekat. Pemanfaatn tanin dalam usaha
pengawetan, hanya digunakan untuk mengawetkan jarring dan layar oleh para
nelayan. Kurangnya pemanfaatan tanin untuk pengawetan melatarbelakangi penulis
ingin meneliti apakah tanin yang ada pada kullit kayu mangrove dapat digunakan
untuk mengawetkan kayu terutama terhadap serangan rayap tanah.
TINJAUAN
PUSTAKA
Komponen
Kimia Kayu
Komponen kimia dalam kayu mempunyai arti
yang penting karena menentukan kegunaan suatu jenis kayu dan dapat membedakan
jenis-jenis kayu. Susunan kimia kayu digunakan sebagai pengenal ketahanan kayu
terhadap serangan makhluk perusak kayu. Komponen kimia kayu dapat juga
menentukan pengerjaan dan pengolahan kayu sehingga didapat hasil yang maksimal
(Dumanaw, 1993).
Komponen kimia daun jarum dan kayu daun
lebar umumnya terdiri dari tiga unsur : (1) unsur karbohidrat terdiri dari
selulosa dan hemiselulosa, (2) unsur non-karbohidrat terdiri dari lignin, (3)
unsure yang diendapkan dalam kayu selama pertumbuhan, dinamakan zat ekstraktif
(Dumanau, 1993). Dinding serat kayu terbentuk oleh beberapa jenis senyawa kimia
yaitu polisakarida, lignin, dan ekstraktif. Proporsi bahan-bahan kimia tersebut
hanya sedikit variasinya antar jenis kayu (Ruhendi et al, 2007)
Zat
Ekstraktif
Zat ekstraktif umumnya adalah zat yang
mudah larut dalam pelarut eter, alkohol, benzen, dan air. Banyaknya rata-rata
3-8% dari berat kayu kering tanur. Termasuk di dalamnya minyak-minyakan, resin,
lemak, tanin, gula, pati, dan zat warna (Dumanaw, 1993).
Istilah ekstraktif meliputi sejumlah
besar senyawa yang berbeda yang dapat di ekstraksi dari kayu dengan pelarut
polar dan nonpolar. Ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut dalam
pelarut organik. Ekstraktif juga digunakan dalam analisis kayu (Fengel dan
Wegener, 1995).
Kadar zat ekstraktif yang dikandung kayu
sangat sedikit dan terdiri dari berbagai senaya kimia (Fengel dan Wegener,
1995). Secara kimia zat ekstraktif dibagi menjadi tiga subgolongan yaitu : (a)
senyawa alifatik (lemak dan lilin), (b) terpena dan terpenoid, (c) senyawa
fenolik (Achmadi, 1990).
Ekstraksi pelarut dapat juga dikerjakan
dengan berbagai pelarut organik seperti eter, aseton, benzene, etanol,
diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin,
tanin, dan zat warna adalah bahan yang dapat diekstrak dengan pelarut organik.
Komponen utama yang larut air terdiri dari karbohidrat, protein, dan
garam-garam nonorganik (Achmadi, 1990).
Zat Ekstraktif Kulit Kayu
Kulit merupakan jaringan batang pohon
yang palling penting kedua setelah kayu. Kulit kayu merupakan sekitar 10-20%
dari batang tergantung pada spesies dan kondisi pertumbuhan. Dalam susunan
kimianya kulit berbeda dengan kayu dengan adanya polifenol dan suberin dengan
persentase polisakarida yang lebih rendah dan persentase ekstraktif yang lebih
tinggi. Kandungan ekstraktif dalam kulit lebih tinggi daripada dalam kayu. Ia
tidak hanya tergantung pada spesies tetapi juga pada pelarut yang digunakan
(Fengel dan Wegener, 1995). Kandungan ekstraktif kulit kayu umumnya sebanyak
15-26%-nya berat kulit kayu yang belum diekstraksikan dibandingkan dengan 2-9%
untuk kayu (Haygreen dan Bower, 1989).
Secara kasar ekstraktif-ekstraktif kulit
dapat dibagi menjadi konstituen-konstituen lipofil dan hidrofil meskipun
kelompok-kelompok ini tidak mempunyai batas-batas yang jelas, kandungan total
kedua ekstraktif lipofil dan hidrofil biasanya lebih tinggi dalam kulit
dibandingkan dalam kayu. Ekstraktif-ekstraktif ini meliputi senyawa yang sangat
heterogen, beberapa diantaranya adalah khas kulit tetapi jarang terdapat dalam
xylem (Sjostrom, 1998).
Penyebaran Zat Ekstraktif
Kayu sering mengandung banyak bahn-bahan
ekstraktif. Bahan-bahan ini terletak untuk sebagian besar di dalam dinding sel,
tempat diendapkannya bahan-bahan tersebut selama pendewasaan dinding sekunder
dan selama pembentukan kayu teras. Kayu teras mempunyai konsentrasi tinggi akan
bahan-bahan ini daripada kayu gubal (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Ekstraktif-ekstraktif menempati
tempat-tempat morfologi tertentu dalam struktur kayu. Sebagai contoh, asam-asam
resin terdapat dalam saluran-saluran resin, sedangkan lemak dan lilin terdapat
dalam sel-sel parenkim jari-jari. Ekstraktif-ekstraktif fenol terutama dalam
kayu teras dan dalam kulit (Sjostrom, 1998).
Zat ekstraktif tidak merupakan bagian
struktur dinding sel, tetapi terdapat dalam rongga sel. Distribusi komponen
kimia kayu dalam dinding sel kayu tidak merata. Kadar selulosa dan hemiselulosa
banyak terdapat dalam dinding sekunder sedangkan lignin banyak terdapat dalam
dinding primer dan lamela tengah. Zat ekstraktif terdapat di luar dinding sel
kayu (Dumanaw, 1993).
Ekstraktif daun jarum umumya terdapat
pada saluran resin, baik yang membentuk formasi vertical maupun horizontal.
Berbeda dengan ekstraktif kayu daun lebar yang berada dalam sel parenkim
jari-jari yang terhubung dengan pembuluh (Achmadi, 1990). Ekstraktif
terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel parenkim jari-jari. Jumlah yang
rendah juga terdapat dalam lamela tengah, interseluler, dan dinding sel trakeid
dan serabut libiform (Fengel dan Wegener, 1995).
Peranan Zat Ekstraktif
Zat ekstraktif memiliki arti yang
penting dalam kayu karena dapat mempengaruhi sifat keawetan, warna, bau, dan
rasa suatu jenis kayu. Dapat digunakan untuk mengenal kayu, sebagai bahan
industri dan dapat menyulitkan dalam pengerjaan kayu (Dumanaw, 1993).
Ekstraktif memilikinpengaruh yang besar
dalam menurunkan higroskopis dan permeabilitas serta meningkatkan keawetan
kayu. Tsoumis (1991) mengatakan bahwa warna kayu disebabkan oleh bahan yang
dapat di ekstrak ( tanin dan sebagainya) yang disebut ekstraktif. Ekstraktif
pada beberapa spesies bersifat racun dan bahkan dapat menyebabkan kayu tahan
terhadap kerusakan oleh mikroba dan serangga. Keawetan kayu dipengaruhi oleh
daya racun dan kadar zat ekstraktifnya (Achmadi, 1990).
Ekstraktif tidak hanya penting untuk
mengerti taksonomi dan biokimia pohon-pohon, tetapi juga penting bila dikaitkan
dengan aspek-aspek teknologi. Ekstraktif merupakan bahan dasar yang berharga
untuk pembuatan bahan-bahan kimia organi (Sjostrom, 1998).
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi, S.
1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktoral Jendral
Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB, Bogor.
Damanik SJ, Jazanul A, Nazaruddin H,
Anthony JW. 1987. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Dumanaw, J. 1993. Mengenal Kayu.
Kanisius. Yogyakarta.
Fengel, D dan Wegener. 1995. Kimia Kayu
dan Ultrastruktur dan reaksi-reaksi. Gadjah
Mada University
Press. Yogyakarta.
Haygreen, J dan Bowyer. 1989. Hasil
Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar (Terjemahan sutjipto A.H). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Sjostrom, E. 1998. Kimia Kayu,
Dasar-Dasar dan Penggunaan. Edisi II. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology
of Wood : Structure Properties Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar