ADIL SEJAK DALAM PIKIRAN
Yer 28-30, 2 Kor 7 , 8 Oktober 2023
Pernahkah Anda mendengar narasi “adil sejak dalam pikiran” ? Kalimat ini ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul “Bumi Anak Manusia”. Ia menuliskan pemikiran jernih seorang serdadu Belanda yang membelot karena merasa tidak adil. Saat ini, narasi ‘adil sejak dalam pikiran” sering diucapkan para narasumber dalam acara diskusi di televisi. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “adil sejak dalam pikiran” ?
Pada dasarnya, manusia bersifat subyektif dan tidak obyektif, artinya ia menilai segala sesuatu dengan cara pandang yang tidak adil jika itu berkaitan dengan dirinya sendiri. Narasi “adil sejak dalam pikiran” menganjurkan kepada kita selalu menilai segala sesuatu dengan adil dan tidak subyektif, bahkan sejak ada dalam pikiran kita, sejak ada dalam hati nurani kita. Seperti yang juga ditulis oleh Rasul Paulus, “Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia (Kisah Para Rasul 24:16)”
Yang menjadi pertanyaan adalah, bisakah kita bersifat adil dan obyektif ? Bukankah pada dasarnya kita punya kecenderungan alami untuk berpikir dan bertindak menguntungkan diri sendiri ? Ada pepatah yang terkenal yang dikatakan oleh Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, “Right or Wrong is my Country” (Salah atau benar adalah negaraku), perkataan ini menggambarkan subyektifitas manusia yang bersifat alami dan dianggap sebagai hal yang wajar. Lalu, apakah kemudian “adil sejak dalam pikiran” hanya sekedar retorika indah namun pada dasarnya tidak akan pernah bisa terlaksana ?
Ayat bacaan diatas menceritakan kisah raja Daud yang pernah mengambil secara licik istri sahabatnya, Uria, yang bernama Betsyeba, tanpa rasa bersalah. Untuk mengingatkan “dosa” besarnya ini, Nabi Natan menanyakan pendapat Daud tentang seorang yang mengambil anak domba temannya yang hanya punya satu-satunya untuk dimasak bagi tamunya, padahal ia sendiri punya banyak ternak. Pendapat obyektif Daud bagi seorang yang berlaku tidak adil ini adalah : orang itu harus dihukum mati dan dengan cerita ini, Nabi Natan secara terus terang membuka selubung hati licik Daud, dan menunjuk hidungnya, “Engkaulah orangnya itu !”
Melalui kisah raja Daud, kita mendapat gambaran yang jelas bahwa siapapun kita, terutama kita yang mempunyai kewenangan atau kekuasaan, cenderung terbutakan hati, atau cenderung berhati tak murni, atau cenderung “tidak adil sejak dalam pikiran”. Jika berkaitan dengan kepentingan kita sendiri, kecenderungan melakukan tindakan yang tidak adil ini sering diibaratkan sebagai “pisah yang hanya tajam di satu sisi”, yaitu sisi yang mengarah kepada orang lain, bukan sisi yang mengarah pada kita. Bagaimanakah pendapat Anda ? (DD)
Questions :
1. Apa pendapat Anda tentang narasi “adil sejak dalam pikiran” ? Benarkah manusia cenderung tidak adil ?
2. Apa yang harus kita lakukan agar kita tidak berlaku seperti pisau yang hanya tajam di satu sisi ?
Values :
Sebagai warga kerajaan, kita harus mengembangkan dignity Sang Raja, yaitu selalu berhati murni dan tidak ingin mengorbankan orang lain.
Sesuatu yang wajar menurut pendapat umum belum tentu benar, bertindaklah berdasarkan hati murni, sehingga Anda berlaku adil bahkan sejak ada dalam pikiran
“Lalu Daud menjadi sangat marah karena orang itu dan Ia berkata kepada Natan : “Demi TUHAN yang hidup; orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan.” Kemudian berkatalah Natan kepada Daud : “Engkaulah orang itu !” (2 Samuel 12:5-7a)
“Lalu Daud menjadi sangat marah karena orang itu dan Ia berkata kepada Natan : “Demi TUHAN yang hidup; orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan.” Kemudian berkatalah Natan kepada Daud : “Engkaulah orang itu !” (2 Samuel 12:5-7a)
BalasHapus