A. PERKEMBANGAN KEHUTANAN
MENJELANG TAHUN 1983
Undang-undang Nomor 5
Tahun 1967, mengamanatkan bahwa pengurusan hutan pada hakekatnya adalah untuk
mendapatkan manfaat hutan yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari
baik secara langsung maupun tidak langsung, bagi kemakmuran masyarakat.
Pengurusan hutan tersebut dilaksanakan melalui berbagai bentuk kegiatan, yang
mencakup:
1. Pengaturan pemolaan dan penataan kawasan hutan.
2. Pengaturan dan penyelenggaraan pengusahaan hutan.
3. Pengaturan terhadap perlindungan proses ekologi yang mendukung sistem. penyangga kehidupan serta rehabilitasi hutan, tanah dan air.
4. Pengaturan terhadap usaha-usaha terselenggaranya dan terpeliharanya pengawetan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
5. Penyelenggaraan penyuluhan dan pendidikan di bidang kehutanan.
1. Pengaturan pemolaan dan penataan kawasan hutan.
2. Pengaturan dan penyelenggaraan pengusahaan hutan.
3. Pengaturan terhadap perlindungan proses ekologi yang mendukung sistem. penyangga kehidupan serta rehabilitasi hutan, tanah dan air.
4. Pengaturan terhadap usaha-usaha terselenggaranya dan terpeliharanya pengawetan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
5. Penyelenggaraan penyuluhan dan pendidikan di bidang kehutanan.
Agar usaha-usaha dan
kegiatan yang berkaitan dengan pengurusan hutan tersebut secara administratif
dan teknis dapat terselenggara dengan baik maka diperlukan adanya wadah atau
sarana kelembagaan yang dapat menampung seluruh aktivitas kegiatan di bidang
kehutanan.
Pada PELITA I, sesuai dengan kebijaksanaan
pemerintah pada waktu itu, kelembagaan yang menangani tugas-tugas atau kegiatan
di bidang kehutanan berbentuk Direktorat Jenderal, yang secara administratif dan
teknis berada di bawah Departemen Pertanian. Melalui Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 168/Kpts-Org/4/1971 ditetapkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Direktorat Jenderal Kehutanan, yang terdiri dari:
1. Sekretariat Direktorat Jenderal
Kehutanan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu administrasi untuk
penyelenggaraan bimbingan, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi seluruh
kegiatan dan pekerjaan Direktorat Jenderal.
2. Direktorat
Perencanaan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan
kegiatan pengumpulan dan penganalisis data, perencanaan program, pengukuhan,
penataan dan pemanfaatan, inventarisasi serta evaluasi program sub sektor
kehutanan.
3. Direktorat
Reboisasi dan Rehabilitasi. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk
pembinaan reboisasi dan penghijauan serta persuteraan alam.
4. Direktorat
Perlindungan dan Pengawetan Alam. Fungsinya adalah sebagai pembantu teknis untuk
pembinaan cagar alam, suaka margasatwa, hutan suaka alam, taman wisata, taman
buru dan sebagainya.
5. Direktorat
Eksploitasi dan Pengolahan. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk
pembinaan dan pengembangan eksploitasi dan pengolahan hasil hutan.
6. Direktorat
Pemasaran. Fungsinya adalah sebagai staf pembantu teknis untuk pembinaan dan
pengembangan pemasaran hasil hutan.
7. Lembaga
Penelitian Hutan. Lembaga ini berfungsi sebagai pelaksana teknis penelitian
hutan, tata air, satwa liar, sutera alam, dan pencegahan serta pembasmian hama
dan penyakit.
8. Lembaga
Penelitian Hasil Hutan. Lembaga ini berfungsi sebagai pelaksana teknis
penelitian teknologi (fisik dan kimiawi), pemasaran dan sarana produksi (tenaga
dan alat).
Sejalan dengan usaha
pemantapan organisasi di lingkungan Departemen Pertanian dalam rangka
peningkatan pelaksanaan tugas pada PELITA II, maka pada tahun 1975 susunan
organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Kehutanan, mengalami perubahan
pula.
Dengan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 190/Kpts/Org/5/1975, ditetapkan Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Direktorat Jenderal Kehutanan, yang terdiri dari:
1. Sekretariat Direktorat Jenderal
2. Direktorat
Bina Program Kehutanan
3. Direktorat
Bina Produksi Kehutanan
4. Direktorat
Bina Sarana Usaha Kehutanan
5. Direktorat
Reboisasi dan Rehabilitasi
6. Direktorat
Perlindungan dan Pengawetan Alam
Dalam struktur organisasi
yang baru itu, Lembaga Penelitian Hutan yang semula adalah unsur pelaksana
Direktorat Jenderal Kehutanan, dimasukkan ke dalam Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (BPPP). Sedang kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
pendidikan, hubungan masyarakat dan penyuluhan dimasukkan ke dalam Badan
Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian (BPLPP).
Sebagai suatu sarana untuk
mencapai tujuan, organisasi harus dapat menampung perkembangan tugas dan
kegiatan yang terjadi. Oleh karena itu, untuk lebih memantapkan pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan di sub sektor kehutanan dalam PELITA
III, dengan Surat Keputusan No. 453/Kpts/Org/6/1980, Menteri Pertanian
mengadakan pemantapan kembali Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal
Kehutanan.
Berdasarkan Keputusan
tersebut Susunan Organisasi Direktorat Jenderal Kehutanan ditetapkan sebagai
berikut:
1. Sekretariat Direktorat Jenderal
1. Sekretariat Direktorat Jenderal
2. Direktorat
Bina Program Kehutanan
3. Direktorat
Bina Produksi Kehutanan
4. Direktorat
Reboisasi dan Rehabilitasi
5. Direktorat
Tertib Pengusahaan Hutan
6. Direktorat
Perlindungan dan Pengawetan Alam
Sesuai dengan Keputusan
Menteri Pertanian tersebut Direktorat Bina Sarana Usaha Kehutanan diubah menjadi
Direktorat Tertib Pengusahaan Hutan. Perubahan ini sesuai dengan perkembangan
keadaan pada waktu itu, yang menekankan perlunya usaha-usaha pemantapan dalam
bidang pengusahaan hutan.
Disamping perangkat
tingkat pusat yang berfungsi sebagai unsur pembantu bidang administrasi dan
teknis, terdapat pula unsur pelaksana teknis Direktorat Jenderal Kehutanan yang
terdiri dari:
1.
Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA) dibentuk berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 429/Kpts/Org/7/1978,
sebagai unit pelaksana teknis di bidang perlindungan dan pengawetan alam.
2. Balai
Planologi Kehutanan (BPK), dibentuk berdasarkan SK. Menteri Pertanian No.
430/Kpts/Org/7/1978, sebagai unit pelaksana teknis bimbingan dan pengamanan
sumber serta modal kehutanan.
Selain unsur-unsur
tersebut, pelaksanaan tugas-tugas yang berkaitan dengan bidang kehutanan
ditangani juga oleh beberapa instansi kehutanan lainnya yang secara
administratif berada di luar Direktorat Jenderal Kehutanan, yaitu:
1.
Balai Latihan Kehutanan, dan
Sekolah Kehutanan Menengah Atas yang merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Badan
Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian, yang khusus menangani kegiatan
pendidikan dan latihan kehutanan.
2. Balai
Penelitian Hutan (BPH) dan Balai Penelitian Hasil Hutan (BPHH), merupakan Unit
Pelaksana Teknis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang khusus
menangani kegiatan penelitian hutan dan hasil hutan.
3. Dinas
Kehutanan Daerah Tingkat I merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah Tingkat I
yang menangani urusan rumah tangga daerah di bidang kehutanan dan tugas-tugas
perbantuan dari Direktorat Jenderal Kehutanan.
B. PEMBENTUKAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
Pembangunan kehutanan
sebagai suatu rangkaian usaha diarahkan dan direncanakan untuk memanfaatkan dan
mendayagunakan sumber daya hutan secara maksimal dan lestari. Tujuannya adalah
untuk memadukan dan menyeimbangkan manfaat hutan dengan fungsi hutan dalam
keharmonisan yang dapat berlangsung secara paripurna.
Dalam pelaksanaannya, yang
sejalan dengan semakin berkembangnya usaha-usaha lain dalam pembangunan
nasional, pembangunan kehutanan menghadapi berbagai masalah/hambatan yang sangat
kompleks. Apabila masalah dan hambatan tersebut tidak ditangani secara
menyeluruh, tujuan pembangunan kehutanan akan dapat terganggu.
Berbagai masalah yang
berupa ancaman, gangguan, dan hambatan dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan,
tidak akan dapat terselesaikan secara tuntas apabila penanganannya tidak
bersifat strategis, yaitu melalui penanggulangan secara konsepsional dan
paripurna dengan sistem manajemen yang dapat menampung seluruh aktivitas
kegiatan kehutanan yang sudah semakin meningkat. Dalam kondisi seperti itu maka
perlu adanya suatu bentuk administrasi pemerintahan yang sesuai dan memadai,
sebagai sarana yang sangat dibutuhkan bagi terlaksananya keberhasilan
pembangunan kehutanan.
Instansi kehutanan yang
setingkat Direktorat Jenderal dirasakan tidak mampu mengatasi permasalahan dan
perkembangan aktivitas pembangunan kehutanan yang semakin meningkat. Beberapa
hambatan yang secara administratif mempengaruhi pelaksanaan pembangunan
kehutanan antara lain:
1.
Ruang lingkup direktorat
jenderal sudah terlalu sempit, sehingga banyak permasalahan yang seharusnya
ditangani dengan wewenang kebijaksanaan seorang menteri kurang mendapat
perhatian. Akibatnya, Direktorat Jenderal Kehutanan sering dihadapkan kepada
masalah-masalah hierarkhis, seperti misalnya di dalam melakukan kerjasama dengan
instansi-instansi lain yang lebih tinggi tingkatannya.
2. Akibat
selanjutnya, barangkali terus ke tingkat yang lebih bawah. Direktorat Jenderal
Kehutanan terpaksa banyak mendelegasikan wewenang kepada direktorat melebihi
dari yang seharusnya. Maka, direktorat terlibat pula pada tugas-tugas lini dan
tugas-tugas lintas sektoral/sub sektoral, yang memang banyak terjadi untuk
kegiatan kehutanan.
3. Kewenangan
yang melekat pada organisasi tingkat direktorat jenderal dirasakan terlalu kecil
di dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang bersifat kebijaksanaan,
terutama dalam melakukan kerjasama dengan instansi lain yang terkait.
4. Hubungan
teknis fungsional antara daerah dan pusat, dilakukan melalui Kantor Wilayah
Departemen (Pertanian), yang karena berbedanya sifat kegiatan masing-masing sub
sektor, menimbulkan kekurangserasian.
5. Keterbatasan
untuk mengembangkan sarana personil terjadi, karena terikat pada jumlah formasi
untuk tingkat direktorat jenderal.
6. Di
samping itu terjadi pula keterbatasan pada unit organisasi, yang secara
fungsional bertindak sebagai unsur pengawas.
7. Keseluruhan
hambatan tersebut menyebabkan sering timbulnya masalah-masalah yang bersifat non
rutin, yang memerlukan pemecahan secara khusus.
Selain itu, untuk mencapai
tujuan pembangunan kehutanan diperlukan suatu pangkal tolak dan orientasi dengan
cakrawala yang luas serta menyeluruh tentang hutan dan kehutanan, yang dalam
pelaksanaannya mencakup aspek pemanfaatan, konservasi sumber daya alam hutan,
dan rehabilitasi lahan.
Dari hal-hal tersebut,
maka terbentuknya Departemen Kehutanan pada PELITA IV merupakan konsekuensi
logis dari tuntutan keadaan dan perkembangan selama itu, dengan demikian wadah
baru setingkat departemen tidak akan mampu menampung permasalahan-permasalahan
yang beranekaragam. Hal ini sejalan dengan pidato Presiden pada pembentukan
Kabinet Pembangunan IV pada tanggal 16 Maret 1983, sebagai berikut:
Untuk itu dianggap perlu untuk menambah
jumlah departemen dengan memecah beberapa departemen yang dinilai ruang lingkup
tugasnya perlu memperoleh perhatian yang lebih besar dan harus ditangani lebih
intensif dalam PELITA IV nanti.
Sedangkan dalam pemecahan Departemen
Pertanian menjadi Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan, Presiden
mengatakan:
Pemecahan ini perlu, karena dalam PELITA IV
nanti di satu pihak terus berusaha untuk meningkatkan produksi pertanian seperti
pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan, sedangkan di lain pihak kita
harus dapat memanfaatkan kekayaan alam kita yang berupa hutan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap dan harus melaksanakan
rehabilitasi dan kelestarian hutan.
Terbentuknya Departemen
Kehutanan memang sangat tepat, karena hutan dengan multi fungsinya tidak mungkin
ditangani secara baik tanpa wadah yang mandiri. Demikian pula ketiga aspek
pembangunan kehutanan (perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan) dapat
dilaksanakan secara saling menunjang, sehingga tidak dapat dilaksanakan secara
terpisah-pisah oleh berbagai departemen. Melihat pentingnya penanganan ketiga
aspek pembangunan kehutanan itu maka eksistensi Departemen Kehutanan memang
merupakan suatu kebutuhan yang mendasar sebagai sarana dalam rangka tinggal
landas kehutanan.
Untuk dapat menampung
tugas dan fungsi pokok tersebut di atas maka sesuai dengan Surat Keputusan
Presiden Nomor 15 tahun 1984 Struktur Organisasi Departemen Kehutanan ditetapkan
sebagai berikut:
1. Menteri;
2. Sekretariat Jenderal;
3. Inspektorat Jenderal;
4. Direktorat Jenderal
Pengusahaan Hutan;
5. Direktorat Jenderal
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan;
6. Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam;
7. Badan Inventarisasi dan
Tata Guna Hutan;
8. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan;
9. Pusat Pendidikan dan
Latihan Kehutanan;
10. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan
di Wilayah.
Di samping itu terdapat 12
UPT di lingkungan Departemen Kehutanan dan 24 Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I.
Pembentukan Departemen
Kehutanan bukan merupakan restorasi dari Direktorat Jenderal Kehutanan,
melainkan merupakan suatu pembangunan institusi kehutanan melalui pengembangan
dan pemanfaatan kondisi dan material yang dimiliki. Hal tersebut sekaligus
merupakan jawaban atas kondisi dan permasalahan yang dihadapi selama itu, yang
antara lain berupa keterbatasan masalah peraturan perundangan, kepemimpinan dan
kebijaksanaan, keterbatasan sarana, personil dan lain-lain. Atas dasar kondisi
tersebut kemudian ditetapkan kembali tujuan, misi dan tugas pokok serta fungsi
Departemen Kehutanan sebagai landasan pelaksanaan pembangunan kehutanan.
Pepohonan di Pulau White Sand Island |
mendung |
lingkungan hidup |
hijaunya |
Pepohonan pulau pasir putih |
Hotel Trikora Sahid |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar