PENGUKURAN SUHU HIDRASI PADA SERBUK KAYU KEMPAS ( Compassia Sp) TANPA PERLAKUAN DALAM
PEMBUATAN PAPAN SEMEN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kayu
adalah suatu bahan konstruksi yang didapatkan dari tumbuhan dalam alam. Sifat-sifat kasar kayu juga dikenal dengan istilah
sifat-sifat fisis kayu. Sifat-sifat ini apabila terdapat tidak konstan pada
suatu jenis tertentu, maka nilainya sekunder di dalam pengenalan kayu. Tetapi
sebaliknya apabila sifat-sifat fisis tersebut terdapat secara konstan pada
sembarangan tempat, maka nilainya menjadi penting sehingga berguna dalam
pengenalan kayu ( Jones, 1975).
Pohon adalah
tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan kayu. Karena ini untuk mengetahui asal
botanis dari kayu,perlu diketahui ciri-ciri dari tumbuhan berkayu dan
klasifikasinya. Dalam dunia perdagangan dikenal adanya dua golongan kayu, yaitu
:
1. Soft wood,yang
berasal dari Coniferales gymnospermae
2. Hard wood,yang
berasal dari Dicotiledonae angiospermae
Ada beberapa jenis
kayu yang agak sulit untuk membedakan kedua bagian tersebut, karena mereka
memiliki warna yang hampir sama
( Pandit dan
Ramdan, 2002).
Untuk
menggunakan kayu sebagai bahan, baik untuk perabot maupun untuk bangunan,harus
banyak diperhitungkan faktor penyusutan. Penyusutan kayu sebagai proses
fisis,ditentukan oleh banyaknya air yang dikandung oleh kayu. Banyaknya air
yang dikandung oleh kayu ini disebut kadar air kayu. Kayu akan melepas atau
mengisap air di udara disekelilingnya. Kadar air kayu pada titik kesetimbangan
tersebut dinamakan kadar air kesetimbangan. Besarnya dinyatakan dalam %
terhadap berat kayu kering tanur (Frick, 1983).
Kayu adalah
bahan yang terdiri dari sel-sel. Struktur yang terdiri atas sel tersebut
memberikan kayu banyak sifat-sifat dan ciri-ciri yang unik. Kerapatan adalah
perbandingan antara massa atau berat benda terhadap volumenya. Kerapatan kayu
berhubungan langsung dengan porositasnya, yaitu proporsi volume rongga kosong.
Sekeping kayu segar dari cemara dengan kerapatan 23,4 pon bahan kayu
kering/kaki kubik berisi kira-kira 25 % bahan dinding sel dan 75% rongga
(terutama rongga sel) menurut volumenya. Sebaliknya, white oak dengan kerapatan
46,8 pon kering/kaki kubik mempunyai volume rongga kira-kira 50%. Apabila
membicarakan kayu, sangat membantu untuk membayangkan volume rongga yang ada
hubungannya dengan itu (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Pemanfaatan
kayu yang dipergunakan untuk mencukupi berbagai kebutuhan, mulai dari kayu
bakar sampai bahan bangunan makin meningkat. Hal ini disebabkan karena kayu
merupakan sumberdaya alam yang mudah diperoleh,bersifat terbarukan (renewable),
mudah dalam pengolahannya serta memiliki penampilan yang dekoratif. Disamping
sifat-sifat yang menguntungkan kayu juga memiliki kelemahan, yaitu sangat mudah
diserang atau dirusak oleh faktor biologis seperti jamur, bakteri, serangga dan
cacing laut sehingga dapat menurunkan kekuatan dan masa pakai kayu. Kondisi
tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan untuk menggunakan kayu-kayu yang
memiliki keawetan alami tinggi (kelas awet I dan II). Akan tetapi jenis kayu
yang memiliki kelas awet I dan II sangat sedikit yaitu hanya 15% dari 4000
jenis kayu yang ada di Indonesia, maka ketergantungan pada jenis-jenis kayu ini
harus dihilangkan (Martawijaya, 1983).
Tujuan
1. Mendeterminasi waktu dan suhu hidrasi
2. Membuat grafik suhu hidrasi berdasrkan periode waktu
24 jam
3. Menganalisis kesesuaian kayu sebagai bahan baku papan
semen
4. Menganalisis pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap
suhu hidrasi
TINJAUAN PUSTAKA
Kayu sebagian besar tersusun atas tiga
unsur yaitu unsur C, H dan O. Unsur-unsur tersebut berasal dari udara berupa
CO2 dan dari tanah berupa H2O. Namun, dalam kayu juga terdapat unsur-unsur lain
seperti N, P, K, Ca, Mg, Si, Al
dan Na. Unsur-unsur
tersebut tergabung dalam sejumlah senyawa organik, secara
umum dapat
dibedakan menjadi dua bagian (Fengel danWegener 1995) yaitu:
1. Komponen lapisan
luar yang terdiri atas fraksi-fraksi yang dihasilkan oleh kayu selama
pertumbuhannya. Komponen ini sering disebut dengan zat ekstraktif. Zat
ekstraktif ini adalah senyawaan lemak, lilin, resin dan lain-lain.
2. Komponen lapisan
dalam terbagi menjadi dua fraksi yaitu fraksi karbohidrat yang terdiri atas
selulosa dan hemiselulosa, fraksi non karbohidrat yang terdiri dari lignin
(Tsoumis, 1976).
Pengeringan kayu adalah proses untuk
mengeluarkan air yang terdapat didalam kayu. Untuk memperoleh kayu dengan
kualitas baik, pengeringan kayu mutlak diperlukan. Pengeringan kayu bertujuan
untuk :
1. Memperkecil
kandungan air didalam kayu.
2. Mencegah
serangan terhadap kayu oleh jamur dan serangga.
3. Meningkatkan
kekuatan kayu.
4. Mempermudah
pengerjaan.
(Budianto, 1996).
Papan semen menyerupai papan partikel
yaitu hasil pengempaan campuran potongan kayu kecil dengan perekat. Perekat
yang dipakai dalam papan semen adalah semen, sedangkan dalam papan partikel
adalah perekat organik seperti urea formaldehida. Tidak semua jenis kayu sesuai
untuk papan semen dan dikenal ada tiga macam mutu yaitu baik, sedang dan jelek.
Pengujiannya dilakukan berdasarkan uji hidratasi, yaitu mengukur suhu maksimum
yang terjadi pada saat reaksi antara semen kayu dan air. Bila
suhu maksimum lebih dari 41°C termasuk baik, 36°C–41°C termasuk sedang dan
kurang dari 36°C termasuk jelek, ( Kamil, 1970).
Komposit
serat adalah komposit yang terdiri dari fiber didalam matriks. Secara alami
serat yang panjang mempunyai kekuatan yang lebih dibanding serat yang berbentuk
curah (bulk). Serat panjang mempunyai struktur yang lebih sempurna karena
struktur kristal tersusun sepanjang sumbu serat dan cacat internal pada serat
lebih sedikit dari pada material dalam bentuk curah. Bahan pangikat atau
penyatu serat dalam material komposit disebut matriks ( Jamasri,
2002).
Reaksi antara serat sisal denagn semen diuji dengan
pengukuran temperatur hidrasi. Air yang dicampurkan dengan semen menimbulkan
reaksi eksotermik (panas) dan menyebabkan pengerasn pada adukan semen.
Karekteristik temperatur hidrasi dari semen yang ditambahkan dengan suatu
material, akan berubah. Karena itu kesesuaian suatu material dengan semen dapat dilihat dari kemiripan
karakteristik temperatur hidrasi semen yang sudah ditambahkan suatu material,
dengan karakteristik temperatur hidrasi semen ( Hermawan et al, 2000).
Pengukuran temperatur hidrasi
dilakukan berdasarkan metode pengukuran yang terdahulu. Untuk mengatasi
kesesuaian suatu sampel dengan semen, diperlukan pengukuran temperatur hidrasi
maksimum dan waktu yang diperlukan untuk mencapai temperatur hidrasi maksimum
tersebut. Pengukuran temperatur hidrasi dilakukan selama 24 jam (Hacmi et al,
1990).
Papan
semen adalah papan tiruan yang menggunakan semen sebagai perekatnya sedangkan
bahan bakunya dapat berupa partikel kayu atau partikel bahan berlignoselulosa
lainnya. Seperti halnya dengan papan partikel maka bentuk partikel untuk papan
semen antara lain dapat berupa selumbar (flake), serutan (shaving),
untai (strand), suban (splinter) atau wol kayu (excelsior).
Papan semen mempunyai sifat yang lebih baik dibanding papan partikel yaitu
lebih tahan terhadap jamur, tahan air dan tahan api . Papan semen juga lebih
tahan terhadap serangan rayap tanah dibanding bahan baku kayunya .Dengan
demikian papan semen merupakan salah satu bahan bangunan yang tahan lama dalam
penggunaannya sehingga biaya pemeliharaan rumah yang terbuat dari papan semen
akan lebih murah (Maloney, 1977).
METODOLOGI PRAKTIKUM
Tempat
dan Waktu
Praktikum
ini berjudul Pengukuran Suhu Hidrasi Serbuk Kayu Kemiri (Aleurites moluccana) dalam Pembuatan Papan Semen. Praktikum
ini dilakukan di 2 tempat yaitu :
a.
Laboratorium
Teknologi Hasil Hutan pada tanggal 11-18 februari
b.
Rumah
Abdul Hakim Pranata pada tanggal 12-13 Februari
Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan adalah sebagai berikut :
-
tabung
reaksi
-
termometer
-
gelas
air mineral
-
timbangan
-
termos
Adapun bahan yang
digunakan adalah sebagai berikut :
-
serbuk
kayu kemiri (Aleurites
moluccana)
-
minyak goring
-
air mineral
Prosedur
Kerja
1. Dibagi tiap kelas menjadi 6
kelompok 1, 2, 3, 4, 5, 6. Tiap 2 kelompok menyiapkan bahan serbuk kayu yang
sama. Pasangannya 1 dan 4, 2 dan 5, 3 dan 6
2. Disiapkan oleh 2 kelompok serbuk
kayu sebanyak 200 g (dari jenis kayu yang sama), jadi tiap kelompok mendapat
100 g serbuk kayu
3. Dilakukan tanpa perlakuan
pendahuluan untuk kelompok ganjil (1, 3, 5)
4. Dilakukan dengan [erlakuan
pendahuluan untuk kelompok genap (2, 4 , 6) yaitu merendam serbuk kayu dalam
air selama 24 jam. Setelah itu dikeringanginkan.
5. Dikeringkan serbuk kayu dalam
oven pada suhu 800C selama 24 jam
6. Ditentukan kadar air serbuk kayu
dengan cara :
a. Timbang serbuk kayu sebanyak + 5g (BA)
b. Keringkan dalam oven pada suhu 103 +
20C selama 24 jam
c. Timbang serbuk kayu tersebut.
Penimbangan dan pengeringan dilakukan
sampai beratnya konstan (BKO)
d. KA serbuk kayu (%) = BA – BKO x 100%
BKO
7. Diukur suhu hidrasinya dengan
cara :
a. Timbang bahan baku serbuk kayu 20 g, semen
200 g dan air 100 g
b.
Masukkan semen, air dan serbuk kayu tersebut ke dalam gelas dan aduk hingga rata
c.
Ke dalam adukan tersebut dimasukkan tabung reaksi yang sudah diisi minyak goreng
d.
Gelas berisi adonan dan tabung reaksi dimasukkan ke dalam termos
e. Termometer dimasukkan melalui tutup
termos, hingga ujung termometer tercelup ke dalam minyak goreng
f.
Termos ditutup sampai benar-benar rapat
g.
Catat jam dan suhu hidrasinya. Pencatatn jam dan suhu hidrasi dilakukan setiap satu jam selama 24 jam,
seperti contoh pada tabel 1 berikut
Tabel 1. Contoh
pengukuran jam dan suhu hidrasi
Jam
|
Suhu hidrasi (0C)
|
Keterangan
|
06.00
|
28
|
Awal pengukuran
|
07.00
|
29
|
...
|
Dst
|
...
|
...
|
h. Dokumentasikan
gambar setiap tahapan kegiatan untuk dilampirkan pada laporan
i. Laporan
dibuat satu buah untuk setiap kelompok sesuai dengan format laporan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Serbuk untuk Kadar
Air
BA = 5 gr
BKO1 = 4 gr , BKO2
= 4 gr
KA = BA
– BKO x
100%
BKO
= 5 – 4 x
100%
4
= 25%
Tabel hasil
pengukuran suhu hidrasi
Tabel 2. Pengukuran Jam dan Suhu Hidrasi
Jam ke
|
Pukul
|
Suhu Hidrasi (0C)
|
0
|
20.00
|
35
|
1
|
21.00
|
35
|
2
|
22.00
|
34
|
3
|
23.00
|
33
|
4
|
24.00
|
33
|
5
|
01.00
|
32
|
6
|
02.00
|
32,5
|
7
|
03.00
|
32
|
8
|
04.00
|
31
|
9
|
05.00
|
31
|
10
|
06.00
|
30,5
|
11
|
07.00
|
30,5
|
12
|
08.00
|
30
|
13
|
09.00
|
31
|
14
|
10.00
|
31
|
15
|
11.00
|
32
|
16
|
12.00
|
34
|
17
|
13.00
|
36
|
18
|
14.00
|
37
|
19
|
15.00
|
36,5
|
20
|
16.00
|
36
|
21
|
17.00
|
36
|
22
|
18.00
|
36
|
23
|
19.00
|
35
|
24
|
20.00
|
35
|
Pembahasan
Dari
hasil pengamatan serbuk kayu kemiri (Aleurites
moluccana) yang berat awalnya 5
gram. Pada pengukuran ke I didapatkan BKO ke 1 dengan berat 4
gr. Pada pengukuran ke II juga didapatkan berat yang sama yaitu 4 gr. Hal ini
karena berat serbuknya sudah mulai konstan . Itu berarti air yang terkandung di
serbuk kayu itu sudah mulai keluar sehingga beratnay tetap setelah di timbang.
Dari nilai KA air yang diperoleh
sebesar 25% menunjukkan bahwa KA sebanyak 25% sudah memasuki tahap Kadar Air
Kering Udara (KAKU). Kadar air ini didaptakan karena membandingkan berat awal
dikurangi BKO dibagi dengan BKO sehingga didaptakan nilai KA = 25%.
Pada Tabel 2, pengukuran suhu hidrasi
menunjukkan nilai tertinggi yaitu yang suhunya paling tinggi adalah 370C.
Berarti standar suhu hidrasinya adalah suhu maksimum 370C. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Hacmi et al (1990) yang menyatakan untuk mengatasi
kesesuaian suatu sampel dengan semen, diperlukan pengukuran temperatur hidrasi
maksimum dan waktu yang diperlukan untuk mencapai temperatur hidrasi maksimum
tersebut. Suhu yang paling tinggi ini
diukur ketika waktu sudah memasuki jam 14.00 siang. Hal ini kemungkinan dipengaruhi
oleh suhu panas pada siang hari yang mempengaruhi panasnya minyak yang ada di
dalam gelas mineral.
Jika dilihat pada tabel 2 suhu hidrasi
yang terjadi pada waktu malam suhunya makin turun mulai dari pukul 20.00 –
08.00. Kemudian kembali
terjadi kenaikan suhu pada pukul 08.00 – 14.00. Kemudian kembali suhunya turun
pada sore hari mulai dari pukul 14.00 – 20.00. Semua hal ini terjadi karena
suhu panas di dalam minyak berubah-ubah, jadi tidak selamanya minyak itu
bereaksi terus. Pasti dalam pengukurannya dipengaruhi oleh suhu luar.
Menurut Hermawan et al (1990), reaksi antara serat sisal denagn semen diuji dengan
pengukuran temperatur hidrasi. Air
yang dicampurkan dengan semen menimbulkan reaksi eksotermik (panas) dan
menyebabkan pengerasn pada adukan semen. Karekteristik temperatur hidrasi dari
semen yang ditambahkan dengan suatu material, akan berubah. Karena itu
kesesuaian suatu material dengan semen
dapat dilihat dari kemiripan karakteristik temperatur hidrasi semen yang sudah
ditambahkan suatu material, dengan karakteristik temperatur hidrasi semen
Menurut Maloney (1997), papan semen
adalah papan tiruan yang menggunakan semen sebagai perekatnya sedangkan bahan
bakunya dapat berupa partikel kayu atau partikel bahan berlignoselulosa lainnya.
Seperti halnya dengan papan partikel maka bentuk partikel untuk papan semen
antara lain dapat berupa selumbar (flake), serutan (shaving),
untai (strand), suban (splinter) atau wol kayu (excelsior).
Papan semen mempunyai sifat yang lebih baik dibanding papan partikel yaitu
lebih tahan terhadap jamur, tahan air dan tahan api .
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Waktu dan
suhu hidrasi mempunyai pengaruh yang saling berhubungan
2. Grafik suhu
hidrasi yang didapatkan mempunyai suhu yang tetap, naik dan turun
3. Dengan suhu
hidrasi maksimum 370C berarti bahan baku serbuk kayu kemiri
(Aleurites moluccana) bisa digunakan untuk papan semen
4. Untuk melakukan
pengukuran suhu hidrsi serbuk harus terlebih dahulau dikeringkan di dalamn oven
5. Suhu hidrasi
yang berubah-ubah dipengaruhi oleh suhu lingkungan atau suhu luar
Saran
Perlu adanya ketelitian dalam pengukuran ini, karena
ketelitian mempengaruhi hasil data yang dibuat. Dalam membuat data hendaknya
sesuai prosedur agar didapatkan hasil yang akurat sesuai dengan yang diharapkan
DAFTAR
PUSTAKA
Coto,
Z. 2004. Tingkat Stabilisasi Dimensi Delapan Jenis Kayu Indonesia. Ilmu
Teknologi Kayu Lapis. Vol. 2 No. 1. IPB Press. Bogor.
Damanik,
R. 2005. Kekuatan Kayu. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.
Endratma,
M. 2008. Pengaruh Perubahan Kecepatan Aliran Udara Pengering Terhadap Kualitas
Kayu Suren, Sengon, Dan Mahoni. Universitas Muhammadiyah Surakarta Press.
Surakarta.
Maloney, Deddy, Nurjanah, dan Nunuy. 2007. Pemanfaatan Batu Berangkal Kapur Limbah
Industri Sebagai Agregat Untuk Beton Non-Pasir. P4TK BMTI, Bandung.
Moelemi dan Pfister. 1987. The Effect of triethanolamine and limestone powder on strenght
development and formation of hardened portland cement structure. Hanoi
University of Civil Engineering.
Sulastiningsih
dan Paribotro. 2007. Papan Semen. Prosiding PPIS. Jakarta.
Tsivilis,S. 2003. The Permeability of Portland Limestone Cement Concrete, School
of Chemical Engineering National Technical Univercity of Athens. Grece. USA.
Trisnusatriadi, G. T., a.b: Jasjfi. 2009. Industri Proses Kimia Erlangga.
Jakarta. hal 173-188.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar