H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Sabtu, 22 Oktober 2011

Kasih Yang Mengalir


KESAKSIAN : 


TAK PERNAH TERLAMBAT

Pada waktu itu tepatnya tanggal 4 April 2008 setelah mencuci motor kesayangan saya, sayapun masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba saya melihat seekor ular di dalam rumah, lalu saya langsung mengambil tongkat rotan dan tanpa pikir panjang  saya memukulnya. Setelah itu saya tekan bagian lehernya dengan tongkat tetapi tanpa disangka-sangka ular itu menyemburkan cairan yang mengenai kedua mata saya. Saat itu juga kedua mata saya terasa sangat panas, ternyata saya berhadapan dengan seekor ular king cobra. Mendadak saya lepaskan tongkat rotan yang saya pegang karena mata saya terasa panas seperti terbakar api.

Keep Pray all of our problem

Saya merasa putus asa karena setahu saya bila semburan ular cobra mengenai mata, maka akan terjadi kebutaan. Lalu saya berdoa dan memanggil nama Tuhan Yesus, “Ya Tuhan Yesus, sembuhkan mata saya dari semburan ular cobra ini karena hanya Tuhan Yesus sajalah yang dapat melakukan ini. Saya percaya Tuhan Yesus adalah dokter di atas segala dokter dan tidak ada yang mustahil bagiMu”. Saya terus berdoa sambil menyiramkan air es ke kedua mata saya. Tak lama kemudian, anak saya pulang dari sekolah, ia terkejut melihat mata saya yang merah pekat, lalu ia pun menangis dan menyuruh saya pergi ke dokter. Setelah itu, tetangga juga dating menanyakan keadaan saya. Saya katakana kepada mereka bahwa saya baik-baik saja, tidak apa-apa, tapi mereka tetap menyarankan agar saya ke dokter.


Ada Pengharapan...

Anak saya menelepon istri saya agar segera pulang. Istri saya pulang dan kaget melihat mata saya. Lalu ia langsung mengajak saya ke dokter. Sebenarnya saya tetap yakin bahwa tidak akan terjadi apa-apa terhadap mata saya karena saya percaya bahwa Tuhan Yesus tidak akan pernah terlambat menolong saya. Tetapi demi menenangkan istri dan anak, saya dan istri pergi ke dokter terdekat. Tiba disana dokter berkata bahwa ia tidak punya obat untuk yang terkena semburan ular berbisa. Lalu kami bergegas ke rumah sakit besar yang menyediakan fasilitas UGD. Tiba disana saya langsung ditangani dokter jaga. Mata saya dibersihkan dengan semacam air infuse dan menghabiskan sekitar 2 botol. Lalu saya diberikan resep obat yang harus ditebus di apotek. Obat tersebut adalah obat mata dan antibiotic. Saya langsung memakai obat yang diberikan dan mengambil cuti selama 3 hari.

Hope and Grace For you and all...

Setelah obatnya habis, istri saya menganjurkan agar memeriksa diri ke doketr mata karena takut terjadi apa-apa di kemudian hari. Saya pun mengikuti saran istri saya, tetapi dalam hati saya tetap yakin dan beriman kepada Tuhan Yesus bahwa ia pasti menyembuhkan mata saya. Betul saja, setelah diperiksa oleh para dokter mata ternyata mata saya tidak apa-apa. Sebaliknya mata saya terasa lebih jelas melihat. Terima kasih Tuhan Yesusku yang tak pernah terlambat menolong umatMu yang mengandalkan Tuhan. pertolonganMu begitu nyata bagiku. semoga semua pembaca diberkati melalui kesaksian ini .


“Pertolonganku ialah dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi (Mzmr 121:2)”
“Adalah baik menanti dengan diam pertolongan Tuhan (Rat 3:26)”
“TUHAN, Allahku, kepadaMu aku berteriak minta tolong, dan Engkau telah menyembuhkan aku (Mzmr 30:3)”
“Kemudian orang banyak berbondong-bondong datang kepadanya membawa orang lumpuh, orang timpang, orang buta, orang bisu, dan banyak lagi yang lain, lalu meletakkan mereka pada kaki Yesus dan ia menyembuhkan mereka semuanya (Mat 15:30)”

He will save me...

“Sesungguhnya, Allah adalah penolongku ; Tuhanlah yang menopang aku (Mzmr 54:6)“

Sumber : Manna Sorgawi Edisi Oktober 2011

Interaksi Kekeluargaan Desa


INTERAKSI MASYARAKAT DESA
Latar Belakang
            Pada umumnya interaksi masyarakat sekitar hutan di Indonesia dengan hutan sudah berlangsung lama bahkan berawal dari pertama kali mereka dilahirkan. Melalui proses adaptasi, masyarakat sekitar hutan mengembangkan pola pengelolaan hutan menurut kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungannya. Didik at al. (1998) menyatakan pola pengelolaan hutan yang diprakarsai dan dilakukan masyarakat tersebut dapat bertahan bahkan hingga ratusan tahun. Cara-cara pengelolaannya relatif menjamin keberadaan hutan dan sekaligus penting untuk mendukung dan mempertahankan kehidupan mereka.

Inti dari Panduan Kampung terletak pada bagian empat, yaitu permasalahan dan upaya yang diperlukan untuk mengatasinya. Bagian tersebut dibagi ke dalam “empat bidang permasalahan pokok”, yaitu keadaan hutan dan lahan hutan, perekonomian kampung, pranata kampung dan kebijakan pemerintah, sesuai dengan hasil kajian. Kalau permasalahan dari keempat bidang dapat diselesaikan dengan baik, cukup diyakini bahwa keadaan kampung, khususnya pengelolaan hutan akan menjadi lebih baik.

Keadaan “hutan dan lahan hutan” menunjuk kepada permasalahan yang berkaitan dengan keadaan fisik hutan di wilayah kampung. “Perekonomian kampung” dikaitkan (dibatasi) secara khusus dengan pemanfaatan hutan. Jadi dalam Panduan ini tidak dibahas segi perekonomian dan matapencarian penduduk yang lain. “Kelembagaan kampung” membahas hal-hal yang menyangkut pengorganisasian kampung, yaitu sarana yang memungkin orang kampung dapat bekerjasama atau bergotong royong sebagai satu warga. Sedangkan dalam “kebijakan pemerintah” dibahas baik segi isi kebijakan sejauh berkaitan dengan kampung maupun dari segi pelaksanaan di kampung serta penyampaian informasi ke kampung.

Untuk memahami permasalahan-permasalahan tersebut, dipaparkan keadaan umum kampung pada bagian pertama. Keadaan umum tersebut meliputi keadaan hutan dan lingkungan, keadaan ekonomi, dan keadaan sosial budaya.

“Keadaan yang diharapkan” mengenai hutan dan lingkungan ditampilkan sebagai cita-cita mengenai keadaan yang baik (idea l). Untuk mencapai keadaan yang baik (ideal) itu permasalahan perlu ditangani. Untuk menangani itu dilihat dukungan yang diperlukan dari pihak luar dan kekuatan atau modal dasar yang telah dimiliki warga kampung.

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan profil dan peran kelembagaan dalam melakukan upaya pengelolaan hutan masyarakat. Uraian tulisan telaah ini bersifat studi kasus yang mengambil lokasi di kawasan hutan masyarakat Desa Bukum, Kecamatan Sibolangit.

Upaya pengelolaan hutan lindung di Pasaman sudah dimulai pada masa kolonial Belanda tahun 1596-1945 dan telah berhasil mempertahankan keberadaan hutan lindung sampai sekarang. Pada periode kolonial tersebut upaya pengelolaan hutan lindung relatif cukup efektif mengamankan hutan karena adanya tindakan keras terhadap pelaku pelanggaran (Bakhdal et al., 2004).

Pada masa Orde Baru sampai tahun 2000 kawasan hutan lindung di Pasaman dikelola oleh Dinas Provinsi dengan Cabang Dinas Kehutanan Pasaman sebagai pelaksana lapangan. Selanjutnya periode ini digantikan dengan periode Orde Reformasi dan upaya pengelolaan hutan lindung di Pasaman langsung berada dalam tanggung jawab pemda kabupaten yang dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan Pasaman. Dalam SK Bupati Pasaman No. 20 Tahun 2003 dijelaskan organisasi, tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan Pasaman.

Pengelolaan hutan lindung (pengamanan) secara struktural menjadi tugas dan wewenang Sub Dinas Perlindungan Hutan. Secara teknis operasional, pengamanan dilakukan dengan patroli dan penyuluhan. Akan tetapi, tenaga untuk melakukan pengamanan hutan belum terpenuhi. Selanjutnya, dalam Subdin Perlindungan Hutan hanya terdapat satu Eselon III dan tiga Eselon IV yang masing-masing hanya punya satu staf, kecuali Seksi Pengaman Hutan yang mempunyai tiga tenaga tambahan honorer. Di samping itu, cabang dinas di tingkat kecamatan ternyata tidak ada dalam kenyataannya (di lapangan). Hal ini mempersulit upaya pencegahan gangguan terhadap hutan lindung secara cepat. Sejalan dengan semangat otonomi, kekuasaan bupati menjadi lebih berpengaruh.

Pengaruh pemerintahan daerah kabupaten relatif lebih kuat dibandingkan Dinas Kehutanan Provinsi. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan Bupati Pasaman tahun 2003 adalah dihapuskannnya tenaga polisi khusus (polsus) di wilayah kerja Dinas Kehutanan Pasaman. Kebijakan ini dibuat karena adanya perbedaan sumber penggajian tenaga polsus hutan; sumber anggaran penggajian harus dari kabupaten, sementara pemda kabupaten menginginkan sebaliknya.

Kepemimpinan
a) Pimpinan kampung, termasuk Kepala Adat, dengan dukungan seluruh warga perlu menyusun peraturan pengelolaan hutan, baik menyangkut penghijauan dan reboisasi maupun hutan lindung. Aturan dan hukum adat mengenai hutan perlu dipelajari kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan. Pengembangan hukum adat harus memperhatikan kemungkinan jangkauan penerapannya, mengingat penduduk kampung yang terdiri dari berbagai suku bangsa.

b) Lembaga-lembaga pemerintahan kampung perlu memperluas dan memperkuat peran mereka dalam pengelolaan hutan. Peningkatan kemampuan manajemen kampung bagi aparat Pemerintah Kampung perlu menjadi perhatian.

c) Pimpinan kampung perlu meningkatkan peran semua unsur dalam masyarakat, termasuk perempuan dan kaum muda. Meningkatkan peran perempuan dan kaum muda dalam proses pengambilan keputusan tingkat kampung. Kaum perempuan perlu dijadikan
pengambil keputusan, bukan hanya pelaksana belaka.

d) Pimpinan kampung perlu mencari bentuk pengkoordinasian warga yang lebih sederhana dan berdaya guna, sehingga kerjasama dan kekompakan seluruh warga dapat tercapai guna mendukung pembangunan kampung, termasuk dalam hal pengelolaan hutan.

3) Dukungan yang diperlukan
Upaya penguatan instituasi kampung bertumpu pada kegiatan peorganisasian masyarakat. Bantuan untuk kegiatan semacam itu sangat diharapkan dari LSM, DPM, Kecamatan Muara Pahu, dan lembaga lain yang bergerak dalam bidang pembangunan
masyarakat pedesaan.

Pengembangan Kelembagaan
Di Indonesia, semua hutan dikuasai oleh negara. Berdasarkan UUD 1945, hanya Negara yang berwenang menentukan untuk apa dan oleh siapa hutan dikelola. Akibatnya, banyak konglomerat raksasa, pejabat-pejabat militer dan rekan-rekan bisnis mantan Presiden Soeharto beserta keluarganya mendominasi sebagian terbesar dari kekayaan hutan Indonesia. Hak-hak atas bidang-bidang tanah hutan yang luas diberikan kepada
perusahaan-perusahaan penebangan kayu, perkebunan dan pertambangan. Perusahaanperusahaan ini kemudian mengeksploitasi kawasan-kawasan tersebut secara membabi buta hanya demi kepentingan jangka pendek. Berjuta-juta hektar hutan telah ditetapkan untuk dibuka dan diubah menjadi lahan pertanian dan pemukiman transmigran. Sedikit sekali wilayah ini ‘kosong’. Sebaliknya, sebagian besar wilayah yang dulu dan sampai sekarang diatur oleh adat.

Kesimpulan
  1. Secara yuridis terdapat dua lembaga yang berperan dalam upaya pengelolaan hutan lindung di Kabupaten Pasaman, yaitu Lembaga Kenagarian dan Dinas Kehutanan Pasaman. Meskipun secara yuridis lembaga nagari mempunyai wewenang dalam mengelola hutan karena tergolong sebagai harta nagari, tetapi dalam implementasinya kewenangan tersebut tidak dapat digunakan sehingga peran lembaga nagari dalam upaya pengamanan hutan lindung tidak menunjukkan hasil yang nyata.
  2. Kewenangan Dinas Kehutanan Pasaman sangat besar dalam upaya pengelolaan hutan lindung. Sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap hutan lindung harusnya lembaga ini sangat memerlukan aparat polsus dalam organisasinya. Tetapi, sebaliknya ternyata lembaga ini tidak mempunyai polisi hutan sehingga lembaga ini menjadi lebih sulit untuk mencegah dan menanggulangi gangguan yang terjadi pada hutan lindung.
  3. Faktor-faktor yang didapati berpengaruh terhadap kinerja lembaga adalah sumber kekuatan hukum, ketersediaan anggaran, kualitas moral tenaga, dan tanda batas kawasan.
  4. Kelembagaan alternatif kedua lembaga pengelola hutan lindung tersebut perlu disatukan dalam kelembagaan tersendiri yang secara fungsional bertanggung jawab kepada Dinas Kehutanan dan secara struktural kepada Wali Nagari.

Saran
Sesuai dengan tradisi lembaga kenagarian maka perlu dibentuk kembali unit dubalang atau polisi khusus nagari yang berfungsi sebagai tenaga pengamanan nagari dan secara fungsional mempunyai hubungan dengan Dinas Kehutanan Pasaman. Di samping itu, tenaga polisi kehutanan perlu kembali dilibatkan dalam organisasi Dinas Kehutanan. Jika tenaga dubalang dalam jangka pendek tidak dapat dipenuhi maka tenaga polhut dapat ditempatkan di dalam lembaga kenagarian.


DAFTAR PUSTAKA
Kasim, B dan Aji, D. 2006. Problematik Lembaga Pengelolaan Hutan Lindung Di Pasaman, Sumatera Barat. Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli. Padang.

Nanang, M dan Devung, S. 2002. Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan. Institute for Global Environmental Strategies. Japan.

Anonim. 2002. Bagian I : Hutan, Masyarakat, dan Hak. Edisi Bahasa Indonesia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.



HIDROLOGI


INTERSEPSI, CURAH HUJAN, & HIDROLOGI
Latar Belakang
            Peranan Hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan kesetimbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas (Slamet, 2009).

Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming). Di antara GRK penting yang diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Dengan kontribusinya yang lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2 yang diemisikan dari aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar. Tanpa adanya GRK, atmosfer bumi akan memiliki suhu 30oC lebih dingin dari kondisi saat ini. Namun demikian seperti diuraikan diatas, peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan sehingga emisi GRK harus segera dikendalikan. Upaya mengatasi (mitigasi) pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan (Agus, 2004).

Intersepsi merupakan proses terserapnya air hujan oleh tajuk-tajuk tanaman seperti daun,dahan,dan batang atau secara umum merupakan bagian dari hujan yang tertahan oleh vegetasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi intersepsi :
-          Tipe vegetasi
-          Kondisi/umur vegetasi
-          Intensitas hujan
-          Lokasi
-          Luas tajuk penutup vegetasi atau kerapatan
Intersepsi hujan tidak dapat diukur secara langsung melainkan dengan melakukan pengukuran terhadap komponen intersepsi yaitu hujan bruto dan hujan neto (Seyhan, 1990).

Hutan dengan penyebarannya yang luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam diharapkan mampu menyediakan manfaat lingkungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa peredaman terhadap banjir, erosi dan sedimentasi serta jasa pengendalian daur air. Peran hutan dalam pengendalian daur air dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  1. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses :
a.    Evapotranspirasi
b.    Pemakaian air konsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh vegetasi.
  1. Menambah titik-titik air di atmosfer.
  2. Sebagai penghalang untuk sampainya air di bumi melalui proses intersepsi.
  3. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air lewat :
a.    Tahanan permukaan dari bagian batang di permukaan
b.    Tahanan aliran air permukaan karena adanya seresah di permukaan.
  1. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologik di dalam tanah.

              Semua peran vegetasi tersebut bersifat dinamik yang akan berubah dari musim ke musim maupun dari tahun ke tahun. Dalam keadaan hutan yang telah mantap, perubahan peran hutan mungkin hanya nampak secara musiman, sesuai dengan pola sebaran hujannya (Asdak, 2007).


INTERSEPSI DAN NILAINYA
Intersepsi hujan merupakan proses tertahannya air hujan pada tajuk tanaman. Air yang tertahan pada tajuk tersebut akan terevaporasi kembali ke atmosfer. Air hujan yang jatuh menembus tajuk tanaman disebut sebagai curahan tajuk (throughfall) dan air hujan yang mengalir melalui batang disebut sebagai aliran batang (stemflow), kedua komponen itu disebut sebagai hujan neto. Curahan tajuk dan aliran batang akan jatuh menyentuh tanah atau lantai hutan dan akan diresap oleh tanah menjadi bagian air tanah. Perbedaan penutupan vegetasi pada ekosistem hutan memberikan nilai intersepsi hujan yang berbeda sehingga memengaruhi besarnya air hujan yang jatuh menyentuh tanah dan menjadi bagian air tanah. Sehingga intersepsi merupakan proses yang penting dalam siklus hidrologi (Slamet, 2009).

Nilai intersepsi akan diperoleh dari selisih hujan bruto dengan hujan neto. Pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang sederhana seperti penelitian yang dilakukan oleh Agustina (1999), yaitu menggunakan plastik 1x1 m untuk menampung curahan tajuk dan jerigen untuk menampung air dari batang yang mengalir melalui selang. Penelitian lebih lanjut digunakannya bejana berjungkit (tipping bucket) untuk mengukur besarnya air yang jatuh sebagai curahan tajuk dan aliran batang seperti yang dilakukan oleh Jackson (1999). Pengukuran intersepsi yang dilakukan di hutan tanaman A.loranthifolia Sal. di DAS Cicatih hulu Sukabumi ini menggunakan bejana berjungkit dengan perekaman data otomatis. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk melihat kebasahan tajuk, intensitas curahan tajuk dan aliran batang saat terjadinya hujan serta menentukan besarnya intersepsi hujan pada hutan tanaman A.loranthifolia Sal. di DAS Cicatih hulu Sukabumi. (Heriansyah, 2008).

Fungsi hidrologi hutan yang penting salah satunya adalah kemampuan dalam mengintersepsikan air. Jumlah air yang terintersepsi bisa mencapai 500 mm / tahun. Tergantung pada lebat tidaknya hutan dan pola hujan. Dengan demikian penebangan hutan dan konversi hutan menjadi peruntukan lain berpotensi meningkatkan debit ait di sungai dan kalau sungainya bermuara ke danau akan mempertinggi muka air danau. Kenaikan ini tentu sangat dipengaruhi oleh berapa luas lahan hutan yang dikonversi, relatif terhadap luas total Daerah Tangkapan Air (DTA). Bagaimana bentuk pengguaan lahan sesudah hutan dibuka dan apakah DTA cukup luas dibandingkan dengan luas muka air danaunya sendiri (Agus, 2004).

Besarnya intersepsi hujan suatu vegetasi juga dipengaruhi oleh umur tegakan vegetasi yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, bagian-bagian tertentu vegetasi akan mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Pertumbuhan bagian-bagian vegetasi yang mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya intersepsi adalah perkembangan kerapatan atau luas tajuk, batang, dan cabang vegetasi. Semakin luas atau rapat tajuk vegetasi semakin banyak air hujan yang dapat ditahan sementara untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer. Demikian juga halnya dengan jumlah percabangan pohon. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tua, luas, dan kerapatan tajuk kebanyakan vegetasi akan semakin besar serta jumlah percabangan pohon juga menjadi semakin banyak. Oleh kombinasi kedua faktor tersebut menyebabkan jumlah air hujan yang dapat ditahan sementara oleh vegetasi tersebut menjadi semakin besar sehingga kesempatan untuk terjadinya penguapan juga menjadi besar (Seyhan, 1990).

Salah satu luaran dari sistem DAS adalah debit aliran sungai yang merupakan indicator fungsi DAS da1am pengaturan proses, khususnya dalam alih ragam bujan menjadi aliran. Terdapat sifat khas dalam sistem DAS yang menunjukkan sifat tanggapan DAS terrhadap suatu masukan (hujan) tertentu dan sifat ini diandaikan tetap untuk masukan dengan besaran dan penyebaran tertentu.

Sifat khas sistem DAS ini adalah hidrograf satuan (unit hydrograph). Data pengukuran tinggi muka air, debit, bujan harlan dan hujan yang lebih pendek dengan kualitas baik tidak selalu tersedia di setiap DAS sehingga untuk mendapatkan informasi tentang hidrograf satuan didekati dengan pendekatan hidrograf satuan sintetik (HSS) yang diantaranya memanfaatkan data morfometri DAS. Pendekatan dengan HSS bersifat empiris dan seringkali bersifat setempat, sehingga untuk digunakan di tempat lain memerlukan pengujian keberlakuannya. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mendapatkan model hidrograf satuan sintetik terbaik di DAS Ciliwung Hulu, (2) Mendapatkan informasi keberlalruan model hidrograf satuan sintetik di DAS yang lainnya, dan (3) Mendapatkan model HSS dengan parameter morfometri DAS yang lebih mudah diukur di Peta Rupa Bumi Penerapan HSS Gama luntuk menduga hidrograf satuan di DAS Ciliwung Hulu masih belum memuaskan terlihat dari besamya nilai coefficient of efficiency (CE) yang hanya 0,81, 0,85, 0,73 dan 0,81 secara bertutut-turut untuk HSS tahun 2003, 2004, 2005 dan HS periode 2003-2005 (Slamet, 2009).

Pada proses intersepsi, air yang diuapkan adalah air yang berasal dari curah hujan yang berada pada permukaan daun, ranting, dan cabang serta belum sempat masuk ke dalam tanah. Mengacu pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penyerapan air intersepsi oleh jaringan tanaman yang kemudian diuapkan kembali melalui proses transpirasi adalah kecil, maka intersepsi dibicarakan secara terpisah dari transpirasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses intersepsi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu vegetasi dan iklim. Air pada permukaan tajuk vegetasi lebih siap untuk terjadinya proses evaporasi dibandingkan air yang ada di tempat lain dalam suatu DAS. Akibatnya bila daun basah, proses intersepsi akan berlangsung beberapa kali lebih cepat daripada transpirasi dari permukaan vegetasi yang tidak terlalu basah (Asdak, 2007).

METODE PERLAKUAN
Bahan dan Alat
            Bahan dan alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :
1.      Data curah hujan hasil pengukuran
2.      Besarnya aliran batang (stemflow) pada setiap hari hujan
3.      Besarnya air lolos (throughfall) pada setiap hari hujan
4.      Alat hitung yakni berupa kalkulator dan alat tulis

Prosedur Kerja
            Adapun tahapan prosedur praktikum ini adalah :
1.      Ditabulasikan setiap hasil pengukuran pada hari yang sama yaitu data curah hujan, aliran batang, dan troughfall.
2.      Dihitung besarnya intersepsi dengan rumus sebagai berikut :
I = Ch – (Sf + Tf)
 I          = Intersepsi (mm)
Ch       = Curah hujan (mm)
Sf        = Stemflow (mm)
Tf        = Troughfall (mm)
3.      Dibuat grafik hubungan antara besarnya curah hujan dengan intersepsi.
4.      Dibuat pembahasannya dengan studi literatur terutama hal-hal yang mempengaruhi besar kecilnya intersepsi.


Kesimpulan :
Intersepsi sangat dipengaruhi oleh vegetasi pepohonan yang ada di arboretum tri dharma. Intersepsi merupakan proses terserapnya air hujan oleh tajuk-tajuk tanaman seperti daun,dahan,dan batang atau secara umum merupakan bagian dari hujan yang tertahan oleh vegetasi.

Kapasitas tampung permukaan tajuk dan serasah, dalam hubungannya dengan bidang permukaan tajuk juga akan meningkat. Kegunaan intersepsi adalah untuk menentukan besarnya curah hujan bersih atau jumlah curah hujan yang tersedia untuk air infiltrasi, air larian, aliran air bawah permukaan atau aliran air tanah. Rumus dalam mencari intersepsi adalah sebagai berikut :

CH bersih = CH tot – intersepsi total atau jumlah aliran batang dengan air lolos (Sf + Tf)

Hasil yang diperoleh pada pengukuran intersepsi bernilai negatif. Hal ini dikarenakan penjumlah stemflow dan througfall lebih besar dibandingkan dengan curahan hujan. Curah hujan diperoleh datanya berjumlah kecil karena bentuk penakar hujan berbentuk silindris dengan ukuran kecil sehingga air yang tertampung sedikit, sedangkan untuk pengukuran stemflow dan throughfall yang digunakan adalah jerigen 20 L dan plastik terpal berukuran 2x2 m. selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi intersepsi :

-          Tipe vegetasi
-          Kondisi/umur vegetasi
-          Intensitas hujan
-          Lokasi
-          Luas tajuk penutup vegetasi atau kerapatan

Vegetasi pepohonan yang umumnya mempunyai arsitektur tajuk ringan mengakibatkan intensitas penutupan tajuk relatif ringan. Kondisi tersebut memberikan peluang besar bagi air hujan untuk lolos dari cegatan tajuk (intersepsi tajuk), sehingga air hujan yang lolos dan mencapai lantai hutan relatif besar.  Pada hari yang ketiga diperoleh besar intersepsi adalah -15,05 dan pada hari yang ke tujuh jumlah intersepsi adalah -6901,82.

Pengukuran inetrsepsi dilakukan dengan mengukur volume throughfall dan stemflow yakni untuk mengukur curah hujan yang berasal dari tajuk dapat digunakan plastik terpal yang berukuran 2x2 m dan apabila mengukur stemflow dilakukan dengan membuat selang pada batang yang ditempelkan dengan ter (aspal) sehingga aliran selang lengket dan diletakkan jerigen di ujung selang sehingga air tertampung pada saat hujan datang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Heriansyah (2009), yang menyatakan Pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang sederhana seperti penelitian yang dilakukan oleh Agustina (1999), yaitu menggunakan plastik 1x1 m untuk menampung curahan tajuk dan jerigen untuk menampung air dari batang yang mengalir melalui selang.

Air lolos yang relatif besar akan berpeluang lebih besar yang mencapai lantai hutan kemudian meresap ke profil tanah di bawah tegakan pohon bersama-sama aliran batang dan mengisi kelembaban tanah yang sangat diperlukan bagi tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asdak (2007) yang menyatakan bahwa  Air pada permukaan tajuk vegetasi lebih siap untuk terjadinya proses evaporasi dibandingkan air yang ada di tempat lain dalam suatu DAS. Akibatnya bila daun basah, proses intersepsi akan berlangsung beberapa kali lebih cepat daripada transpirasi dari permukaan vegetasi yang tidak terlalu basah. Dengan demikian proses intersepsi berhubungan dengan evaporasi dan transpirasi.

Tajuk ringan yang dimiliki oleh pepohonan akan sangat berperan penting selain dapat memperbesar air lolos, juga penting bagi tembusnya sinar matahari yang diperlukan oleh tanaman. Arsitektur tajuk pepohonan yang relatif ringan tersebut cocok untuk tanaman campuran (tumpangsari). Kondisi tersebut akan lebih baik lagi apabila dilakukan pemeliharaan tegakan seperti penjarangan tegakan karena secara teoritis dapat memperbesar air lolos dan memperbesar sinar matahari menembus tajuk yang sangat diperlukan tanaman. Air pada permukaan tajuk lebih siap terjadinya evaporasi dibandingkan yang lainnya, maka bila daun basah, proses intersepsi akan berlangsung beberapa lebih cepat dari transpirasi dari permukaan vegetasi yang tidak terlalu basah.


Air lolos :
1.      Air lolos (Throughfall) akan semakin berkurang sejalan dengan bertambah rapatnya tajuk tegakan dan aliran batang (Stemflow) akan semakin bertambah tapi tidak terlalu banyak dari aliran batang sebelumnya
  1. Vegetasi pepohonan yang umumnya mempunyai arsitektur tajuk ringan mengakibatkan intensitas penutupan tajuk relatif ringan.
  2. Air lolos yang relatif besar akan berpeluang lebih besar yang mencapai lantai hutan kemudian meresap ke profil tanah di bawah tegakan pohon bersama-sama aliran batang dan mengisi kelembaban tanah yang sangat diperlukan bagi tanaman.
4.      Besarnya air hujan yang terinsepsi merupakan fungsi dari karakteristik hujan (lebat , Intersepsi rendah), jenis, umur dan kerapatan tegakan (makin tua tegakan, intersepsi makin tinggi, rapat,makin besar intersepasi).
  1. Semakin luas atau rapat tajuk vegetasi semakin banyak air hujan yang dapat ditahan.


Gambaran Masyarakat Kehutanan


KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT DESA


Latar Belakang
            Pada umumnya interaksi masyarakat sekitar hutan di Indonesia dengan hutan sudah berlangsung lama bahkan berawal dari pertama kali mereka dilahirkan. Melalui proses adaptasi, masyarakat sekitar hutan mengembangkan pola pengelolaan hutan menurut kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungannya. Didik at al. (1998) menyatakan pola pengelolaan hutan yang diprakarsai dan dilakukan masyarakat tersebut dapat bertahan bahkan hingga ratusan tahun. Cara-cara pengelolaannya relatif menjamin keberadaan hutan dan sekaligus penting untuk mendukung dan mempertahankan kehidupan mereka.

Inti dari Panduan Kampung terletak pada bagian empat, yaitu permasalahan dan upaya yang diperlukan untuk mengatasinya. Bagian tersebut dibagi ke dalam “empat bidang permasalahan pokok”, yaitu keadaan hutan dan lahan hutan, perekonomian kampung, pranata kampung dan kebijakan pemerintah, sesuai dengan hasil kajian. Kalau permasalahan dari keempat bidang dapat diselesaikan dengan baik, cukup diyakini bahwa keadaan kampung, khususnya pengelolaan hutan akan menjadi lebih baik.


Gambar 1. hubungan kekeluargaan di DESA

Keadaan “hutan dan lahan hutan” menunjuk kepada permasalahan yang berkaitan dengan keadaan fisik hutan di wilayah kampung. “Perekonomian kampung” dikaitkan (dibatasi) secara khusus dengan pemanfaatan hutan. Jadi dalam Panduan ini tidak dibahas segi perekonomian dan matapencarian penduduk yang lain. “Kelembagaan kampung” membahas hal-hal yang menyangkut pengorganisasian kampung, yaitu sarana yang memungkin orang kampung dapat bekerjasama atau bergotong royong sebagai satu warga. Sedangkan dalam “kebijakan pemerintah” dibahas baik segi isi kebijakan sejauh berkaitan dengan kampung maupun dari segi pelaksanaan di kampung serta penyampaian informasi ke kampung. Untuk memahami permasalahan-permasalahan tersebut, dipaparkan keadaan umum kampung pada bagian pertama. Keadaan umum tersebut meliputi keadaan hutan dan lingkungan, keadaan ekonomi, dan keadaan sosial budaya.

“Keadaan yang diharapkan” mengenai hutan dan lingkungan ditampilkan sebagai cita-cita mengenai keadaan yang baik (idea l). Untuk mencapai keadaan yang baik (ideal) itu permasalahan perlu ditangani. Untuk menangani itu dilihat dukungan yang diperlukan dari pihak luar dan kekuatan atau modal dasar yang telah dimiliki warga kampung.

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan profil dan peran kelembagaan dalam melakukan upaya pengelolaan hutan masyarakat. Uraian tulisan telaah ini bersifat studi kasus yang mengambil lokasi di kawasan hutan masyarakat Desa Bukum, Kecamatan Sibolangit.



KELEMBAGAAN DALAM KEHUTANAN MASYARAKAT
Upaya pengelolaan hutan lindung di Pasaman sudah dimulai pada masa kolonial Belanda tahun 1596-1945 dan telah berhasil mempertahankan keberadaan hutan lindung sampai sekarang. Pada periode kolonial tersebut upaya pengelolaan hutan lindung relatif cukup efektif mengamankan hutan karena adanya tindakan keras terhadap pelaku pelanggaran (Bakhdal et al., 2004).

Pada masa Orde Baru sampai tahun 2000 kawasan hutan lindung di Pasaman dikelola oleh Dinas Provinsi dengan Cabang Dinas Kehutanan Pasaman sebagai pelaksana lapangan. Selanjutnya periode ini digantikan dengan periode Orde Reformasi dan upaya pengelolaan hutan lindung di Pasaman langsung berada dalam tanggung jawab pemda kabupaten yang dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan Pasaman. Dalam SK Bupati Pasaman No. 20 Tahun 2003 dijelaskan organisasi, tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan Pasaman.

Pengelolaan hutan lindung (pengamanan) secara struktural menjadi tugas dan wewenang Sub Dinas Perlindungan Hutan. Secara teknis operasional, pengamanan dilakukan dengan patroli dan penyuluhan. Akan tetapi, tenaga untuk melakukan pengamanan hutan belum terpenuhi. Selanjutnya, dalam Subdin Perlindungan Hutan hanya terdapat satu Eselon III dan tiga Eselon IV yang masing-masing hanya punya satu staf, kecuali Seksi Pengaman Hutan yang mempunyai tiga tenaga tambahan honorer. Di samping itu, cabang dinas di tingkat kecamatan ternyata tidak ada dalam kenyataannya (di lapangan). Hal ini mempersulit upaya pencegahan gangguan terhadap hutan lindung secara cepat. Sejalan dengan semangat otonomi, kekuasaan bupati menjadi lebih berpengaruh.

Pengaruh pemerintahan daerah kabupaten relatif lebih kuat dibandingkan Dinas Kehutanan Provinsi. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan Bupati Pasaman tahun 2003 adalah dihapuskannnya tenaga polisi khusus (polsus) di wilayah kerja Dinas Kehutanan Pasaman. Kebijakan ini dibuat karena adanya perbedaan sumber penggajian tenaga polsus hutan; sumber anggaran penggajian harus dari kabupaten, sementara pemda kabupaten menginginkan sebaliknya.

POTRET KELEMBAGAAN KEHUTANAN MASYARAKAT
1.    Organisasi
Untuk memungkinkan partisipasi yang penuh, modal sosial (social capital) dan pengorganisasian masyarakat perlu ditingkatkan. Modal sosial adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan bersama secara teratur dan terorganisir.

Permasalahan modal sosial menyangkut kondisi institusi Kampung. Institusi berarti perbuatan, perilaku atau kebiasaan (practices) yang melembaga (berpengaturan) berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sehingga memperlihatkan suatu keteraturan.Masalah ini tampil ke depan dalam kenyataan bahwa sejumlah Kampung tidak terorganisasi dengan baik terutama dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan.

2. Permasalahan
1) Lemahnya hukum adat dalam melindungi hutan, terutama hutan rimba. Banyak hutan rimba adalah hutan umum, di mana semua orang mempunyai hak yang sama untuk mengambil hasilnya, kecuali atas hasil hutan tertentu yang menjadi klaim atau hak perorangan dalam jumlah terbatas. Kelemahan hukum adat ini ditemukan pada semua Kampung yang dikaji.

2) Di semua Kampung tidak ada peraturan Kampung yang tertulis mengenai pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Padahal kebutuhan akan peraturan Kampung dirasakan oleh semua Kampung, bukan saja karena manfaatnya jelas, tapi juga karena hukum adat (yang
tidak tertulis) tidak menjamin pengelolaan hutan yang baik. Peraturan Kampung yang tidak tertulis cenderung dengan mudah diabaikan oleh masyarakat Kampung itu sendiri, apalagi orang luar. Tidak adanya peraturan tertulis ini menyebabkan dalam kasus tertentu
Kepala Kampung lemah dan diabaikan, terutama dalam soal eksploitasi hutan. Peraturan tidak tertulis juga menjadi masalah jika orang yang mengerti peraturan sendiri tidak dapat menjadi pelaksana atau mengabaikan peraturan tersebut.

3) Rendahnya perhatian Pimpinan Kampung terhadap persoalan pengelolaan hutan; belum ada upaya terorganisir pada tingkat Kampung, baik antar lembaga Pemerintahan Kampung maupun antara Pemerintahan Kampung dengan warga, untuk mengatasi persoalan seperti kebakaran dan eksploitasi hutan yang berlebihan. Hal ini cukup mengherankan, sebab kerusakan hutan telah menjadi keprihatinan banyak warga Kampung, termasuk Aparat Kampung sendiri, namun belum ada upaya yang berarti untuk mengatasi persoalannya.

Keadaan ini ditemukan pada semua Kampung. 4) Rendahnya tingkat partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan Kampung. Pada umumnya perempuan tidak ambil bagian atau bersifat pasif dalam rapat Kampung. Ada Kampung di mana perempuan cukup berani dan aktif, tetapi partisipasi mereka belum banyak. Sikap ini mempunyai dasar sebagian dalam budaya, di mana secara turun temurun perempuan kurang terlibat dalam ranah publik. Sebab dasar lainnya adalah rendahnya pendidikan rata-rata kaum perempuan dibanding dengan laki-laki. Keadaan seperti ini terdapat pada semua Kampung.

5) Lemahnya mekanisme pengawasan terhadap pengambilan keputusan tingkat Kampung. Masyarakat sedang dalam transisi menuju demokrasi. Sejumlah Pimpinan Kampung belum terbiasa dengan demokrasi dan masih mengambil keputusan dengan pola lama yang otokratis. Model parlemen Kampung (BPK) dapat menjadi sistem kontrol terhadap kebijakan Kepala Kampung. Namun pada umumnya model ini belum berjalan dengan baik.

6) Pemerintah Kabupaten tidak memiliki kapasitas atau kemampuan outreach (jangkauan) yang memadai untuk membantu memfasilitasi pengorganisasian masyarakat di semua Kampung di Kutai Barat yang berjumlah 210 buah. Ketidakmampuan tersebut mencakup pengetahuan dan teknik dasar pengorganisasian masyarakat, jumlah personel, dan pembiayaan yang terbatas.

3. Langkah-langkah awal penyelesaian masalah
1) Meningkatkan kegiatan pengorganisasian masyarakat (community organizing-CO) mulai dari Kampung- Kampung yang memiliki potensi permasalahan paling besar sampai ke Kampung-Kampung yang hampir tidak memiliki persoalan dalam pengelolaan sumber daya hutan.

2) Fasilitasi Kampung harus ditujukan untuk membenahi struktur dan mekanisme manajemen Kampung secara keseluruhan, meningkatkan kemampuan manajerial aparat Kampung, menyusun peraturan Kampung di bidang kehutanan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk meninjau kembali hukum Adat, dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan Kampung. Pengorganisasian juga hendaknya diarahkan untuk meningkatkan kerjasama yang baik, dalam Kampung dan antar Kampung, berdasarkan keprihatinan dan kepentingan bersama, menyelesaikan sengketa internal maupun eksternal, dan pengambilan keputusan yang demokratis dalam masyarakat Kampung.

3) Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan Aparat pemerintah, khususnya petugas lapangan dari DPM, Dishut, dan Dinas lain yang terkait dalam bidang pengorganisasian
masyarakat.

4) Pemerintah perlu mengalokasikan dana yang memadai untuk melakukan kegiatan fasilitasi pengorganisasian masyarakat di lapangan.

4. Dukungan yang diperlukan
Upaya pengorganisasian masyarakat perlu mendapat dukungan dari LSM. LSM mempunyai kelebihan khusus dalam hal ini karena memiliki kedekatan dan pengalaman langsung dengan masyarakat di Kampung-Kampung. Program IFAD (International Funds for Agricultural Development) yang baru mulai di Kutai Barat juga perlu mendukung upaya ini. IFAD berkepentingan dengan pengorganisasian masyarakat sehubungan dengan upaya peningkatan status sosial ekonomi masyarakat pedalaman yang dijalankannya.

Kepemimpinan
a)      Pimpinan kampung, termasuk Kepala Adat, dengan dukungan seluruh warga perlu menyusun peraturan pengelolaan hutan, baik menyangkut penghijauan dan reboisasi maupun hutan lindung. Aturan dan hukum adat mengenai hutan perlu dipelajari kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan. Pengembangan hukum adat harus memperhatikan kemungkinan jangkauan penerapannya, mengingat penduduk kampung yang terdiri dari berbagai suku bangsa.

b)      Lembaga-lembaga pemerintahan kampung perlu memperluas dan memperkuat peran mereka dalam pengelolaan hutan. Peningkatan kemampuan manajemen kampung bagi aparat Pemerintah Kampung perlu menjadi perhatian.


c) Pimpinan kampung perlu meningkatkan peran semua unsur dalam masyarakat, termasuk perempuan dan kaum muda. Meningkatkan peran perempuan dan kaum muda dalam proses pengambilan keputusan tingkat kampung. Kaum perempuan perlu dijadikan
pengambil keputusan, bukan hanya pelaksana belaka.

d)     Pimpinan kampung perlu mencari bentuk pengkoordinasian warga yang lebih sederhana dan berdaya guna, sehingga kerjasama dan kekompakan seluruh warga dapat tercapai guna mendukung pembangunan kampung, termasuk dalam hal pengelolaan hutan.

3) Dukungan yang diperlukan
Upaya penguatan instituasi kampung bertumpu pada kegiatan peorganisasian masyarakat. Bantuan untuk kegiatan semacam itu sangat diharapkan dari LSM, DPM, Kecamatan Muara Pahu, dan lembaga lain yang bergerak dalam bidang pembangunan
masyarakat pedesaan.

Pengembangan Kelembagaan
Di Indonesia, semua hutan dikuasai oleh negara. Berdasarkan UUD 1945, hanya Negara yang berwenang menentukan untuk apa dan oleh siapa hutan dikelola. Akibatnya, banyak konglomerat raksasa, pejabat-pejabat militer dan rekan-rekan bisnis mantan Presiden Soeharto beserta keluarganya mendominasi sebagian terbesar dari kekayaan hutan Indonesia. Hak-hak atas bidang-bidang tanah hutan yang luas diberikan kepada perusahaan-perusahaan penebangan kayu, perkebunan dan pertambangan. Perusahaan-perusahaan ini kemudian mengeksploitasi kawasan-kawasan tersebut secara membabi buta hanya demi kepentingan jangka pendek. Berjuta-juta hektar hutan telah ditetapkan untuk dibuka dan diubah menjadi lahan pertanian dan pemukiman transmigran. Sedikit sekali wilayah ini ‘kosong’. Sebaliknya, sebagian besar wilayah yang dulu dan sampai sekarang diatur oleh adat.









KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
  1. Secara yuridis terdapat dua lembaga yang berperan dalam upaya pengelolaan hutan lindung di Kabupaten Pasaman, yaitu Lembaga Kenagarian dan Dinas Kehutanan Pasaman. Meskipun secara yuridis lembaga nagari mempunyai wewenang dalam mengelola hutan karena tergolong sebagai harta nagari, tetapi dalam implementasinya kewenangan tersebut tidak dapat digunakan sehingga peran lembaga nagari dalam upaya pengamanan hutan lindung tidak menunjukkan hasil yang nyata.
  2. Kewenangan Dinas Kehutanan Pasaman sangat besar dalam upaya pengelolaan hutan lindung. Sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap hutan lindung harusnya lembaga ini sangat memerlukan aparat polsus dalam organisasinya. Tetapi, sebaliknya ternyata lembaga ini tidak mempunyai polisi hutan sehingga lembaga ini menjadi lebih sulit untuk mencegah dan menanggulangi gangguan yang terjadi pada hutan lindung.
  3. Faktor-faktor yang didapati berpengaruh terhadap kinerja lembaga adalah sumber kekuatan hukum, ketersediaan anggaran, kualitas moral tenaga, dan tanda batas kawasan.
  4. Kelembagaan alternatif kedua lembaga pengelola hutan lindung tersebut perlu disatukan dalam kelembagaan tersendiri yang secara fungsional bertanggung jawab kepada Dinas Kehutanan dan secara struktural kepada Wali Nagari.

Saran
Sesuai dengan tradisi lembaga kenagarian maka perlu dibentuk kembali unit dubalang atau polisi khusus nagari yang berfungsi sebagai tenaga pengamanan nagari dan secara fungsional mempunyai hubungan dengan Dinas Kehutanan Pasaman. Di samping itu, tenaga polisi kehutanan perlu kembali dilibatkan dalam organisasi Dinas Kehutanan. Jika tenaga dubalang dalam jangka pendek tidak dapat dipenuhi maka tenaga polhut dapat ditempatkan di dalam lembaga kenagarian.
Semangat Menanam Tanaman



DAFTAR PUSTAKA
Kasim, B dan Aji, D. 2006. Problematik Lembaga Pengelolaan Hutan Lindung Di Pasaman, Sumatera Barat. Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli. Padang.

Nanang, M dan Devung, S. 2002. Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan. Institute for Global Environmental Strategies. Japan.

Anonim. 2002. Bagian I : Hutan, Masyarakat, dan Hak. Edisi Bahasa Indonesia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.