H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Rabu, 05 September 2012

Pengolahan sabut kelapa


PENGOLAHAN SABUT KELAPA MENJADI PAPAN PARTIKEL DENGAN BATANG PISANG SEBAGAI PELAPISNYA PADA INTERIOR BANGUNAN


A. Judul
PENGOLAHAN SABUT KELAPA MENJADI PAPAN PARTIKEL DENGAN BATANG PISANG SEBAGAI PELAPISNYA PADA INTERIOR BANGUNAN.
B. Latar Belakang Masalah
Kebutuhan manusia terhadap kayu menjadikan eksploitasi terhadap hutan terjadi besar-besaran. Masalah ini sudah tidak menjadi hal yang asing di telinga masyarakat, terutama masyarakat Indonesia. Eksploitasi hutan secara besar-besaran mengakibatkan hutan menjadi gundul. Kegundulan hutan merupakan faktor utama terjadinya bencana, antara lain banjir, erosi, dan yang lebih hangat lagi permasalahan pemanasan global (global warming). Kebutuhan masyarakat yang tinggi akan penggunaan kayu mengakibatkan tingginya penebangan secara liar atau yang lebih dikenal dengan illegal logging. Sampai saat ini kebutuhan kayu sebagian besar masih dipenuhi dari hutan alam. Persediaan kayu dari hutan alam setiap tahun semakin berkurang, baik dari segi mutu maupun volumenya. Hal ini disebabkan rentang masa pemanenan yang tidak seimbang dengan rentang masa penanaman, sehingga tekanan terhadap hutan alam makin besar. Di sisi lain kebutuhan kayu untuk bahan baku industri semakin meningkat, hal ini berarti pasokan bahan baku pada industri perkayuan semakin sulit, kalau hanya mengandalkan kayu yang berasal dari hutan alam (Boerhendhy, 2006). Kayu sebagai komoditi hasil hutan rakyat masih menempati urutan “kurang penting” dibanding komoditi lain oleh sebagian besar petani. Hal ini disebabkan karena kayu tidak dapat memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi harian dan sebagainya. Karenanya dalam struktur pendapatan rumah tangga petani, hutan rakyat merupakan pendapatan sampingan atau tambahan. (Hardjanto, 2000). Indonesia merupakan negara kepulauan yang panjang garis pantainya mencapai 81.000 kilometer sekitar 3,8 juta ha lahannya merupakan perkebunan pohon kelapa tradisional, dari lahan seluas itu 3,6 juta ha diantaranya adalah kebun milik rakyat,itulah sebabnya dalam urusan buah yang satu ini, Indonesia termasuk nomor satu di dunia yang berhasil mengalahkan dominasi Filipina sejak beberapa tahun lalu. Kelapa adalah komoditi pertanian yang seluruh bagian dari tumbuhan ini dapat menghasilkan uang. Mulai dari bagian akar, hingga daunnya telah menghasilkan beragam jenis produk, seperti bahan bangunan, furnitur, perabot rumah tangga, makanan dan minuman. Sayangnya kelimpahan sumber daya alam yang ada dan hasil kreativitas tersebut belum menghasilkan nilai tambah yang tinggi dan juga manfaat besar bagi masyarakat. Padahal, dari kelapa bisa dihasilkan produk yang bernilai tinggi antara lain bisa diolah menjadi sarana kebersihan, seperti sabun, kosmetik, dan obat- obatan, sementara itu bagian kelapa yang kini ramai dibicarakan adalah sabutnya karena memiliki manfaat yang bagi masyarakat dan sabut kelapa merupakan bagian yang cukup besar dari buah kelapa, yaitu 35% dari berat keseluruhan buah. Menurut Maria Ulfa (2006:1) sabut kelapa terdiri dari serat dan gabus yang menghubungkan satu serat dengan serat lainnya adalah bagian yang berharga dari sabut. Setiap butir kelapa mengandung serat 525 gram (75% dari sabut), dan gabus 175 gram (25% dari sabut), bisnis kelapa ternyata masih menyediakan peluang lebar, sebab jangankan untuk memenuhi kebutuhan ekspor, kebutuhan sabut dalam negripun masih banyak yang belum bisa terpenuhi.karena itu banyak produsen yang terpaksa mengganti peran sabut dengan ijuk/ spon.beberapa pengusaha di Sumatra Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur mengaku kewalahan memenuhi permintaan yang masuk. Penggunaan sabut kelapa selama ini biasanya untuk pembuatan tali, keset, pengisi sandaran kursi, jok mobil, kasur, bahan hiasan dan hasil yang terbaru dapat diolah menjadi cocofibre (serat) dan cocodust ( ampas dari sabut ), dan ada lagi hasil sampingan dari olahan sabut kelapa yang diminati pasar luar negri: cocopeat. Seperti halnya bahan organik dari kompos yang dicampur tanah, cocopeat juga bisa dipakai sebagai media tanaman hias. Sabut kelapa memiliki beberapa sifat yaitu tahan lama, kuat terhadap gesekan dan tidak mudah patah,tahan terhadap air ( tidak mudah membusuk ), tahan terhadap jamur dan hama serta tidak dihuni oleh rayap dan tikus, selain itu juga memiliki sifat yang tahan panas dan uji kuat tarik tidak langsung, kekuatannya sebanding dengan baja. Batang pisang merupakan bahan yang kurang dimanfaatkan, yang lebih jelas hanya dimanfaatkan sebagai tempat menancapkan wayang pada pentas pewayangan. Masyarakat mulai melirik batang pisang sebagai bahan dasar alternatif, terutama pengolahan terhadap makanan. Papan partikel merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang berbahan dasar utama kayu. Namun belum ada alternatif produk papan partikel berbahan dasar selain kayu, padahal papan partikel merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat tinggi. Menurut Departemen Kehutanan mutu papan partikel meliputi cacat, ukuran, sifat fisis, sifat mekanis, dan sifat kimia. Dalam standar papan partikel yang dikeluarkan oleh beberapa negara masih mungkin terjadi perbedaan dalam hal kriteria, cara pengujian, dan persyaratannya. Walaupun demikian, secara garis besarnya sama. Cacat Pada Standar Indonesia Tahun 1983 tidak ada pembagian mutu papan partikel berdasarkan cacat, tetapi pada standar tahun 1996 ada 4 mutu penampilan papan partikel menurut cacat, yaitu :A, B, C, dan D. Cacat yang dinilai adalah partikel kasar di permukaan, noda serbuk, noda minyak, goresan, noda perekat, rusak tepi dan keropos. Ukuran Penilaian panjang, lebar, tebal dan siku terdapat pada semua standar papan partikel. Dalam hal ini, dikenal adanya toleransi yang tidak selalu sama pada setiap standar. Dalam hal toleransi telah, dibedakan untuk papan partikel yang dihaluskan kedua permukaannya, dihaluskan satu permukaannya dan tidak dihaluskan permukaannya. Sifat Fisis Kerapatan papan partikel ditetapkan dengan cara yang sama pada semua standar, tetapi persyaratannya tidak selalu sama. Menurut Standar Indonesia Tahun 1983 persyaratannya 0,50-0,70 g/cm3, sedangkan menurut Standar Indonesia Tahun 1996 persyaratannya 0,50-0,90 g/cm3. Ada standar papan partikel yang mengelompokkan menurut kerapatannya, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kadar air papan partikel ditetapkan dengan cara yang sama pada semua standar, yaitu metode oven (metode pengurangan berat). Walaupun persyaratan kadar air tidak selalu sama pada setiap standar, perbedaannya tidak besar (kurang dari 5%). Pengembangan tebal papan partikel ditetapkan setelah contoh uji direndam dalam air dingin (suhu kamar) atau setelah direndam dalam air mendidih, cara pertama dilakukan terhadap papan partikel interior dan eksterior, sedangkan cara kedua untuk papan partikel eksterior saja. Menurut Standar Indonesia Tahun 1983, untuk papan partikel eksterior, pengembangan tebal ditetapkan setelah direbus 3 jam, dan setelah direbus 3 jam kemudian dikeringkan dalam oven 100 °C sampai berat contoh uji tetap. Ada papan partikel interior yang tidak diuji pengembangan tebalnya, misalnya tipe 100 menurut Standar Indonesia Tahun 1996, sedangkan untuk tipe 150 dan tipe 200 diuji pengembangan tebalnya. Menurut standar FAO, pada saat mengukur pengembangan tebal ditetapkan pula penyerapan airnya (absorbsi). Sifat Mekanis Keteguhan (kuat) lentur umumnya diuji pada keadaan kering meliputi modulus patah dan modulus elastisitas. Pada Standar Indonesia Tahun 1983 hanya modulus patah saja, sedangkan pada Standar Indonesia Tahun 1996 meliputi modulus patah dan modulus elastisitas. Selain itu, pada standar ini ada pengujian modulus patah pada keadaan basah, yaitu untuk papan partikel tipe 150 dan 200. Bila papan partikelnya termasuk tipe I (eksterior), pengujian modulus patah dalam keadaan basah dilakukan setelah contoh uji direndam dalam air mendidih (2 jam) kemudian dalam air dingin (suhu kamar) selama 1 jam. Untuk papan partikel tipe II (interior) pengujian modulus patah dalam keadaan basah dilakukan setelah contoh uji direndam dalam air panas (70 °C) selama 2 jam kemudian dalam air dingin (suhu kamar) selama 1 jam. Keteguhan rekat internal (kuat tarik tegak lurus permukaan) umumnya diuji pada keadaan kering, seperti pada Standar Indonesia tahun 1996. Pada Standar Indonesia tahun 1983 pengujian tersebut dilakukan pada keadaan kering untuk papan partikel mutu I (eksterior) dan mutu II (interior). Pengujian pada keadaan basah, yaitu setelah direndam dalam air mendidik (2 jam) dilakukan hanya pada papan partikel mutu I saja. Keteguhan (kuat) pegang skrup diuji pada arah tegak lurus permukaan dan sejajar permukaan serta dilakukan pada keadaan kering saja. Menurut Standar Indonesia tahun 1996 pengujian tersebut dilakukan pada papan partikel yang tebalnya di atas 10 mm. Sifat Kimia Emisi (lepasan) formaldehida dapat dianggap sebagai sifat kimia dan papan partikel. Pada Standar Indonesia tahun 1983, belum disebutkan mengenai emisi formaldehida dari papan partikel. Pada Standar Indonesia tahun 1996, disebutkan bahwa bila diperlukan dapat dilakukan penggolongan berdasarkan emisi formaldehida. Pada Standar Indonesia tahun 1999 mengenai emisi formaldehida pada panel kayu terdapat pengujian dan persyaratan emisi formaldehida pada papan partikel (http://www.dephut.go.id). Untuk lebih memanfaatkan batang pisang, penulis ingin meneliti alternatif batang pisang sebagai bahan dasar papan partikel pengganti kayu dengan pembanding papan partikel yang berbahan dasar kayu yang dijual di pasaran, maka lewat program kreatifitas mahasiswa ini penulis mengangkat judul ”PENGOLAHAN SABUT KELAPA MENJADI PAPAN PARTIKEL DENGAN BATANG PISANG SEBAGAI PELAPISNYA PADA INTERIOR BANGUNAN”.
C. Perumusan Masalah
Yang menjadi permasalahan atau pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Bagaimanakah kualitas papan partikel yang dibentuk dari batang pisang dengan sabut kelapa berdasarkan sifat fisika dan mekanikanya?
- Bagaimanakah potensi papan partikel yang dibentuk dari batang pisang dengan sabut kelapa untuk dijadikan elemen interior?
D. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Untuk mengetahui kualitas papan partikel yang dibentuk dari batang pisang dengan sabut kelapa berdasarkan sifat fisika dan mekanikanya
- Untuk mengetahui potensi papan partikel yang dibentuk dari batang pisang dengan sabut kelapa untuk dijadikan elemen interior

E. Luaran Yang Diharapkan
Luaran yang diharapkan dari usaha pengolahan batang pisang dengan sabut kelapa menjadi papan partikel pada interior bangunan ini adalah terciptanya alternatif bahan-bahan baru untuk pembuatan papan partikel berbahan baku batang pisang dengan sabut kelapa.
F. Kegunaan
- Eksploitasi hutan dapat diminimalisir
- Batang pisang menjadi bahan baku aktif dalam produksi
- Membuka lapangan pekerjaan baru dengan mendirikan badan usaha berskala besar maupun rumah tangga yang memproduksi papan partikel berbahan dasar batang pisang
- Sebagai pengetahuan baru di bidang pengolahan bahan furniture
H. Metode Pelaksanaan
Rancangan penelitian.
Penelitian ini menggunakan rancangan descriptif tentang kualitas papan partikel peredam panas yang dibentuk dari sabut kelapa dengan batang pisang sebagai pelapis luar. Variabel terikat dalam penelitian adalah pengujian kerapatan papan partikel peredam panas, pengujian kuat tekan, pengujian papan partikel, kemampuan dalam meredam panas, sedangkan komposisi bahan adalah variabel bebas.
3. Bahan penelitian.
 Serbuk kayu- serbuk yang diperoleh dari laboratorium kayu Teknik Sipil Universitas Negeri Malang.
 Batang Pisang- batang pisang diperoleh dari kebun di daerah Lolaras Karangkates.
 Sabut kelapa- sabut kelapa diperoleh dari daerah Tumpang Desa Kebonsari
- Perekat Urea formaldehida (UA104)
4. Alat Cetakan yang dipergunakan berukuran 40 x 40 cm terbuat dari kayu yang berbentuk persegi dan mempergunakan alat pres untuk menekan benda uji agar padat serta menggunakan alat pengurai sabut untuk menguraikan sabut agar mudah digunakan. Proses Pembuatan, Pemeliharaan, dan Pengujian. a. Proses pembuatan • Bahan yang telah ditentukan campurannya diaduk sampai rata dengan mesin pengaduk. • Siapkan batang pisang dan keringkan. • Siapkan alat cetak papan partikel, masukkan adonan kedalam cetakan dan ratakan kemudian ditekan dengan menggunakan alat pres agar padat. • Pasang batang pisang yang telah kering diatas cetakan kemudian pres sekali lagi. • Biarkan sampai kering. b. Pengujian Untuk mengetahui pengaruh dari penambahan sabut kelapa pada papan partikel dan pelapis luar papan partikel yang menggunakan batang pisang maka dilakukan pengujian- pengujian sebagai berikut : • Kerapatan papan partikel, disini diharapkan dengan penambahan batang pisang dengan sabut kelapa dapat memberikan perubahan kerapatan pada papan partikel • Kuat tekan, papan partikel lebih kuat dan tahan lama • Ketebalan papan partikel peredam panas, diharapkan dapat berpengaruh terhadap papan partikel itu sendiri. • Kemampuan meredam panas, papan partikel mampu meredam panas
5. Teknik Pengumpulan Data
Instrumen yang pakai dalam penelitian ini berpedoman pada ASTM, 1992, D1037-91 tentang standart Test Method For Evaluating Propertise Of Wood-Base-Fiber and Partikel Panel Material.
6. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan statistika rata-rata. Pengambilan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kerapatan Papan Partikel Papan partikel pada waktu dalam keadaan basah dikurangi pada waktu kering b. Kuat tekan c. Ketebalan Papan Partikel d. Kemampuan Meredam Panas Perbandingan antara papan partikel tanpa campuran batang pisang dengan sabut kelapa dengan papan partikel yang mempergunakan campuran batang pisang dan sabut kelapa dan dengan papan partikel yang digunakan pada dinding bata untuk meredam panas.
K. Daftar Pustaka
Anonim, 1961. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia NI-5 (PPKI-1961). Bandung: Yayasan Penyelidikan Masalah Bangunan.
Boerhendhy, Island. Nancy, Cicilia. Gunawan, Anang. 2006. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Kayu Karet Sebagai Substitusi Kayu Alam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Bogor: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.
Damanauw, J. F. 1990. Mengenal Kayu. Yogyakarta: Kanisius Departemen Pekerjaan Umum. 1989. Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A tentang Bahan Bangunan Bukan Logam. Bandung: Yayasan LPMB.
Haygreen, J. G. & Bowyer, J. L. 1986. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Terjemahan oleh Sunardi Prawirohadmodjo. 1989. Jogja: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS.
Masyithah, Dewi. 2008. Uji Termal Papan Partikel Dengan Bahan Tambahan Ampas Tebu Sebagai Dinding Interior Bangunan. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang.

Kondisi pertanian


“Pertanian Indonesia”


    Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Kenyataan yang terjadi bahwa sebagian besar penggunaan lahan di wilayah Indonesia diperuntukkan sebagai lahan pertanian dan hampir 50% dari total angkatan kerja masih menggantungkan nasibnya bekerja di sektor pertanian. Keadaan seperti ini menuntut kebijakan sektor pertanian yang disesuaikan dengan keadaan dan perkembangan yang terjadi di lapangan dalam mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut kesejahteraan bangsa. Kebijakan – kebijakan yang di tempuh oleh pemerintah dan diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan pertanian malah bermuara pada permasalahan yang sangat kompleks. Kebijakan – kebijakan tersebut hanya memberatkan para petani sebagai mayoritas pelaku di bidang pertanian. Upaya – upaya yang di tempuh dalam mensejahterakan kehidupan para petani di anggap belum berhasil. Karena dalam mengambil keputusan, pemerintah kurang berpihak kepada kaum petani dan cenderung merugikan petani.

Realitas kehidupan sosial petani di Indonesia hendaknya perlu dipikirkan dalam mewujudkan suatu pola pembangunan yang berkeadilan dan bertanggung jawab. Kondisi pertanian saat ini diuraikan sebagai berikut:
·         Pendapatan petani masih rendah baik secara nominal maupun secara relatif dibandingkan dengan sektor lain.
·         Usaha pertanian yang ada didominasi oleh cirri-ciri : (a) skala kecil, (b) modal terbatas, (c) teknologi sederhana, (d) sangat dipengaruhi musim, (e) wilayah pasarnya lokal , (f) umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), (g) lemahnya akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, terjadinya degradasi kualitas sumberdaya pertanian akibat pemanfaatan yang tidak mengikuti pola-pola pemanfaatan yang berkelanjutan, lemahnya peran lembaga penelitian, sehingga temuan atau inovasi benih/ bibitunggul sangat terbatas, lemahnya dukungan kebijakan makro ekonomi baik fiscal maupun moneter.
(Sumber: http://mamassuranto.wordpress.com/)
DOAKANLAH setiap program/kebijakan yang direncanakan untuk memajukan pertanian Indonesia, pemerintah dan lembaga terkait agar dapat melakukan perannya, serta kalangan akademisi agar terbeban untuk berpartisipasi dalam memajukan pertanian indonesia.







Sistem verifikasi legalitas kayu


                                                                                             


PERANAN SISTEM VERIFIKASI
LEGALITAS KAYU (SVLK)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sistem verifikasi legalias kayu atau SVLK merupakan pedoman dan standar untuk penilai kinerja pengelolaan hutan lestari dan keabsahan atau legalitas kayu. SVLK berlaku bagi pemegang izin / hak baik di hutan negara maupun di hutan rakyat. Penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari dimaksudkan agar hutan dikelola secara optimal dengan tidak merubah fungsinya. Sedangkan penilaian keabsahan kayu untuk memastikan kayu yang berasal dari pemegang izin dan hutan hak diperoleh secara sah sesuai peraturan yang berlaku.
Lembaga penilai dan verifikasi independen (LP dan VI) yang termasuk adala Badan Usaha Milik Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan masyarakat atau organisasi masyarakat sipil. Lembaga ini bersifat independen dan memenuhi kualifikasi, persyaratan dan kemampuan tertentu meliputi aspek management system, Sumber Daya Manusia (SDM) dan Standar Operasi Prosedur (SOP). Kayu dinyatakan sah atau legal apabila kebenaran asal kayu, ijin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganan dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga swadaya masyarakat atau masyarakat madani di bidang kehutanan secara independen dapat memantau proses pembentukan LP dan VI dan hasil penilaian pemanfaatan hutan produk lestari (PHPL) atau verifikasi legalitas kayu yang dilaksanakan oleh LP dan VI. Mereka dapat mengajukan keberatan atas proses pembentukan hasil penilaian LP dan VI. Prosedur pengajuan keberatan adalah :
-          Lembaga swadaya masyarakat atau masyarakat madani mengajukan keberatan tertulis dengan disertai data / informasi pendukung kepada LP dan VI.
-           Pengajuan keberatan diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 20 hari kerja setelah dilakukan penilaian kepada LP dan VI untuk mendapat penyelesaian.
-          Apabila LP dan VI tidak dapat menyelesaikan keberatan, mereka dapat mengajukan keberatan kepada Komisi Akreditas Negara (KAN).
-          Komisi Akreditas Negara (KAN) menyelesaikan keberatan sesuai prosedur penyelesain keberatan yang berlaku di KAN.
-          Hasil penyelesain keberatan oleh LP dan VI atau KAN berupa Corrective Action Request (CAR) dan disampaikan kepada pemegang izin atau pemilik hutan rakyat
-          Apabila pemegang izin atau pemilik hutan rakyat tidak mampu menyelesaikan CAR, maka LP dan VI akan membekukan status Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK sampai pemegang izin atau pemilik hutan hak mampu memenuhi.
-          Apabila pemegang izin atau pemilik hutan hak tidak mampu menyelesaikan CAR, maka status Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK dibekukan sampai berakhirnya masa berlakunya Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK.
Sistem verifikasi legalias kayu atau SVLK masih cukup asing di kalangan para pihak baik bagi para pegiat LSM, aparat pemerintah daerah, akademis, pengusaha dan masyarakat. SVLK telah mulai dibahas oleh beberapa kalangan sejak tahun 2003. Namun bulan Juni 2009, SVLK telah menjadi produk hukum yang dituangkan dalam peraturan menteri kehutanan dan dijabarkan dalam peraturan Dirjen BPK. SVLK ditentukan untuk mendukung pemberantasan illegal logging yang cukup marak dan mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik (good forest governance). Indonesia digolongkan sebagai negara yang praktik illegal logging tertinggi di dunia. Oleh karena itu, negara-negara tersebut mensyaratkan kayu Indonesia berasal dari hutan yang dikelola secara lestari dan diperoleh secara sah (legal).


Tujuan
            Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui peranan sistem verifikasi legalitas kayu terhadap pengelolaan sumber daya hutan secara lestari.

ISI
Sistem verifikasi legalitas kayu terdiri dari komponen standar, kelembagaan dan prosedur. Sistem verifikasi legalitas kayu merupakan alat dan mekanisme untuk melakukan verifikasi atas keabsahan kayu yang diperdagangkan atau dipindahtangankan berdasarkan pemenuhan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Verifikasi legalitas kayu adalah kegiatan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen untuk mengevaluasi pemenuhan standar SVLK oleh unit manajemen atau unit usaha kehutanan. Unit Manajemen adalah satuan pengaturan kelestarian hasil yang dikelola oleh suatu badan hukum/perorangan/kelompok masyarakat yang berhak melakukan pengelolaan hutan produksi. Unit Usaha kehutanan adalah perusahaan yang berbadan hukum dan memiliki perizinan yang sah dari instansi yang berwenang dan bergerak dalam bidang usaha kehutanan.

Peranan SVLK
Kayu Indonesia yang beredar ke luar negeri dan berstatus tidak sah (illegal) mencapai 60 % sampai 70 %. Akibatnya, Indonesia mengalami kerugian trilyunan rupiah per tahun. Sementara perusakan hutan masih terus belangsung hingga kini. Kita telah kehilangan hutan seluas 59,6 juta ha dan sepuluh tahun terahir, tingkat kerusakan hutan mencapai 1,6 juta per tahun. Tidak mengherankan jika negara-negara Uni Eropa tidak mau menerima kayu Indonesia.
Pengertian Ekolabel berasal dari kata "eco" yang berarti lingkungan, dan "label" yang berarti tanda atau sertifikat. Jadi, ekolabel dapat diartikan sebagai kegiatan- kegiatan yang bertujuan guna pemberian sertifikat yang mengandung kepedulian akan aspek-aspek yang berkaitan dengan unsur lingkungan hidup. Kata "ekolabelling" pada saat ini sudah sedemikian populer dan jauh berkembang, sehingga kemudian diasosiasikan dengan berbagai kegiatan baik yang sifatnya fisik (lapangan) maupun non-fisik (peraturan, tata cara, dan kelembagaan).
Perbedaan antara ecolabelling dengan pengelolaan hutan lestari atau sustainable forest management (SFM) adalah Ecolabelling lebih terfokus kepada tahapan pemberian sertifikasi, sedangkan SFM lebih menitik beratkan kepada pelaksanaan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. SFM dengan demikian dapat terkait baik langsung maupun tidak langsung yaitu Ecolabelling memberi sertifikasi bagi produk hasil hutan yang telah dikelola secara lestari (baik hutan alam maupun tanaman serta produk non kayu).
Indonesia dianggap tidak serius memerangi illegal logging. Sebagai niat baik untuk memerangi illegal logging. Dengan demikian pemerintah merancang satu sistem verifikasi legalitas kayu atau Timber Legality Assurance Standard (TLAS), Sehingga memiliki alas hukum. SVLK kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 38/Menhut-II/2009 tentang standard dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak (hutan rakyat). Peraturan menteri kehutanan tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.6/VI-Set/ 2009 tentang standard dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu. Upaya pemerintah tersebut dilakukan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari, membenahi penerapan tata kelola kehutanan, pemberantasan penebangan liar (illegal logging) dan tata kelola perdagangan kayu.
Kriteria dan indikator yang pertama kali diperkenalkan ITTO, untuk dapat terlaksananya manajemen hutan lestari, maka terdapat lima pokok kriteria yang harus dipenuhi, yaitu :
  1. Forest Resource Base, yaitu terjaminnya sumber-sumber hutan yang dapat dikelola secara lestari.
  2. The Continuity of Flow of Forest Products, yaitu kontinuitas hasil hutan yang dapat dikumpulkan berdasarkan azas kelestarian.
  3. The level of Environmental Control, yakni mempertimbangkan kondisi lingkungan dan dampak yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan lestari yang berwawasan lingkungan.
  4. Social and Economic Aspects, yaitu memperhitungkan pengaruh kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Dalam tingkat nasional, juga memperhitungkan peningkatan pendapatan penduduk dan negara dalam arti luas.
  5. Institutional Frameworks, yaitu penyempurnaan wadah kelembagaan yang dinamis dan mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Institutional frameworks juga mencakup pengembangan sumber daya manusia, serta kemajuan penelitian, ilmu dan teknologi yang kesemuanya turut mendukung terciptanya manajemen hutan lestari.
Kelima kriteria yang diperkenalkan ITTO tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk ciri-ciri atau indikator yang kesemuanya mengarah kepada terlaksana kriteria pertama (Forest Resource Base), maka indikator berikut ini merupakan tanda-tanda yang diperlukan dalam pelaksanaan manajemen hutan yang lestari yakni :
1.        Tersedianya tata guna hutan yang komprehensif yang secara penuh mempertimbangkan tujuan-tujuan pengelolaan hutan dan kehutanan.
2.        Tercukupinya luas hutan permanen, yaitu hutan tetap yang dipertahankan fungsinya sebagai hutan. Luas hutan yang permanen akan mendukung target dan sasaran pembangunan hutan dan kehutanan.
3.        Ditetapkannya target dan sasaran pembangunan hutan tanaman, distribusi kelas umur, dan rencana tanaman tahunan.

Proses SVLK
Secara keseluruhan proses verifikasi ini dipisahkan ke dalam 4 (empat) tahapan kegiatan sebagai berikut :
1.      Prapenilaian Lapangan
Prapenilaian Lapangan adalah serangkaian penilaian secara administratif yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi proses penilaian. Bila pada tahap ini unit manajemen atau unit usaha kehutanan belum memenuhi persyaratan administratif maka penilai lapangan tidak dapat melanjutkan proses verifikasi sampai terpenuhinya persyaratan administratif tersebut.

2.      Penilaian Lapangan dan Masukan Masyarakat
Tahap penilaian lapangan dan masukan masyarakat terdiri dari dua kegiatan yang berlangsung secara paralel.

2.1 Penilaian Lapangan
Tahapan penilaian lapangan adalah proses pengumpulan dan analisis data atau informasi lapangan yang dilakukan oleh penilai lapangan berdasarkan kriteria dan indikator legalitas kayu.
2.2 Masukan Masyarakat
Masukan masyarakat adalah bagian dari penilaian lapangan yang bertujuan untuk mendapatkan data/informasi yang berkenaan dengan pemenuhan legalitas unit manajemen atau unit usaha kehutanan yang sedang dinilai. Lembaga verifikasi mengumumkan kesempatan tersebut secara terbuka diantaranya media massa, atau media komunikasi lainnya. Masukan masyarakat disampaikan kepada Lembaga verifikasi untuk digunakan sebagai bahan dalam penyusunan laporan verifikasi.

3.      Evaluasi dan Pengambilan Keputusan
Evaluasi adalah penilaian hasil keseluruhan proses berdasarkan kriteria dan indikator legalitas kayu melalui perbandingan kondisi aktual dan standar yang ditetapkan untuk menghasilkan laporan pemenuhan verifikasi beserta rekomendasi tindak lanjut. Pengambilan keputusan verifikasi legalitas kayu dilakukan oleh komisi lisensi dan pengembangan standar. Keanggotaan dan proses kerja komisi, serta tata cara perumusan rekomendasi untuk unit manajemen atau unit usaha kehutanan.

4.      Hasil Penilaian Verifikasi legalitas kayu
Hasil penilaian verifikasi legalitas kayu diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu memenuhi dan belum memenuhi. Penetapan laporan Verifikasi adalah proses pengesahan oleh pimpinan lembaga verifikasi dan menjadi ketetapan lembaga verifikasi untuk dikirimkan pada BP dan diputuskan di KLPS.

5.      Penilikan (Surveillance)
Untuk menjaga kredibilitas ketetapan verifikasi, lembaga verifikasi menyelenggarakan kegiatan penilikan terhadap unit manajemen atau unit usaha kehutanan yang telah memperoleh Lisensi setiap 1 (satu) tahun sekali. Kegiatan penilikan dilakukan oleh suatu tim penilai lapangan yang diketuai oleh personil setingkat penilai lapangan kepala. Penentuan anggota tim dan standar pelaksanaan penilikan akan diatur oleh lembaga verifikasi yang mengacu pada pedoman penilikan (Surveillance) yang ditetapkan. Laporan hasil penilikan oleh lembaga verifikasi disampaikan kepada badan pusat (BP) untuk diumumkan secara terbuka sesuai dengan sistem mutu lembaga verifikasi yang bersangkutan.

6.      Pengajuan Kembali Verifikasi bagi Unit Manajemen yang belum memenuhi.
Pengaturan pengajuan lisensi bagi unit manajemen atau unit usaha kehutanan yang pernah dinyatakan belum memenuhi dalam proses verifikasi adalah sebagai berikut :
a.       Bagi yang tidak memenuhi persyaratan dalam proses penapisan, penilaian dilakukan dari tahapan penapisan;
b.      Bagi yang tidak memenuhi dalam tahapan evaluasi, proses penilaian tidak melalui proses penapisan kembali, dengan syarat proses pengajuan verifikasi kedua tidak lebih dari 6 bulan.
Tahapan permohonan sertifikasi legalitas kayu dilaksanakan sebagai berikut :
Tantangan pengelolaan program pada periode 2010/2011 akan sangat besar, mengingat persoalaan tata kelola kebijakan kehutanan di Indonesia banyak kelemahan dalam penegakan hukum, pengelolaan hutan lestari hingga berbagai persoalan birokrasi dan koordinasi pusat – daerah dalam pemanfaatan dan distribusi manfaat dari sektor kehutanan. Sementara itu pasar kayu legal di pasar dunia terus tumbuh dan mensyaratkan pengelolaan hutan lestari dan legalitas kayu dapat dijamin, dan potensi produksi hutan rakyat belum terkelola dengan baik. karenanya penerapan SVLK menjadi penting.
Sisi pelaksanaan verifikasi terdapat kewajiban untuk melakukan penelusuran atas bahan baku yang digunakan dengan ketentuan, sumber bahan baku belum bersertifikasi PHPL, dilakukan penelusuran satu langkah kebelakang dapat melalui surat atau verifikasi langsung ke pemasoknya. Jika ada kerjasama produksi maka perlu ditelusuri bahwa supplier beroperasi secara sah
Selain itu sanksi atas pemenuhan ketentuan bagi pemegang S-LK diatur lebih jelas yaitu
-          S-LK dibekukan apabila tidak bersedia dilakukan penilikan sesuai tata waktu yang ditetapkan dan atau terdapat temuan ketidaksesuaian sebagai hasil audit tiba-tiba.
-          S-LK dicabut apabila tetap tidak bersedia dilakukan penilikan setelah 3 (tiga) bulan sejak penetapan pembekuan sertifikat, Secara hukum terbukti membeli dan/atau menerima dan/atau menyimpan dan/atau mengolah dan/atau menjual kayu illegal, Pemegang Izin kehilangan haknya untuk menjalankan usahanya atau izin usaha dicabut.










PENUTUP
Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) Indonesia memiliki karakter standar spesifik dan unik yang tidak mudah dimengerti oleh masyarakat umum yang tidak akrab dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Telah diakui bahwa para pemangku kepentingan (instansi pemerintah, pelaku sektor swasta seperti perusahaan-perusahaan kehutanan dan badan-badan verifikasi; dan masyarakat sipil) yang terlibat dalam pelaksanaan SVLK harus memiliki keterampilan teknis yang memadai, baik itu sumber daya manusia dan sumber lainnya untuk memenuhi tanggung jawab mereka.
Untuk kondisi yang memungkinkan, SVLK dan standarnya harus diperkenalkan dengan lingkup yang luas pada para pemangku kepentingan melalui proses diseminasi. Jika sosialisasi tidak dipersiapkan dengan seksama, maka akan tidak efektif, dan akan membuang-buang uang dan tidak dapat mencapai target. Pelaksanaan SVLK akan melibatkan KAN (Komite Akreditasi Nasional) sebagai lembaga terakreditasi, LP & VI (sertifikasi independen dan tubuh verifikasi) sebagai lembaga bersertifikat, IM sebagai pemantau independen, IUPHHK atau IUI sebagai unit manajemen, dan Departemen Kehutanan selaku pemerintah dan pembuat sistem.
Pemantauan independen diharapkan mampu untuk memberikan jaminan kepada semua pihak yang berkepentingan bahwa sistem tersebut bekerja seperti yang direncanakan dan mampu menjaga kredibilitasnya. Lembaga sepeti itu belum terbentuk karena badan pemantau independen harus lah menjadi lembaga yang independen, non-politik, dan memiliki keterampilan yang diperlukan dalam menjamin independensi dan obyektifitasnya. Dalam memonitor pelaksanaan SVLK Indonesia, lembaga tersebut harus; (i ) memeriksa semua aspek dengan menggunakan praktik audit terbaik; (ii) mengidentifikasi ketidaktaatan dan kegagalan sistem, dan (iii) melaporkan hasil temuannya kepada pemerintah. Organisasi masyarakat sipil di sektor kehutanan independen dapat memantau verifikasi legalitas dan penerbitan sertifikat legalitas. Namun, pedoman / protokol untuk memantau implementasi SVLK oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil belum dirumuskan.
keberadaan pemantau independen sangat dibutuhkan dalam sistem verifikasi. Namun, sampai saat ini belum ada lembaga atau organisasi yang melaksanakan pemantauan implementasi SVLK di lapangan. Pada kenyataannya, memang sudah ada beberapa LSM di Pulau Jawa yang secara khusus memiliki peran dalam membantu masyarakat untuk memperoleh sertifikasi hutan mereka. Namun, peran mereka (LSM yang membantu masyarakat tersebut) akan sedikit berbeda dengan LSM yang nantinya melaksanakan pemantauan implementasi SVLK. Oleh karena nya akan penting untuk memisahkan peran LSM-LSM tersebut dan mendefinisikan peran dan tanggung jawab masyarakat sipil / LSM dalam pemantauan implementasi SVLK, termasuk pedoman, mekanisme dan prosedur. Konsultasi publik dan diskusi kelompok perlu dilakukan dalam rangka mendefinisikan kriteria dan indikator untuk lembaga atau organisasi yang memenuhi syarat sebagai pemantau independen bagi pelaksanaan SVLK.
Selain itu, berbagai permintaan dari importir produk kayu yang mensyaratkan adanya sertifikat Sustainable Forest Management (SFM) untuk setiap produk kayu yang diimpor juga semakin meningkat. Hal-hal tersebut merupakan bukti semakin meningkatnya permintaan pasar akan produk kayu yang legal dan lestari. Jaminan legalitas produk kayu dibuktikan dengan adanya sistem yang dibangun dalam pergerakan kayu mulai dari hutan sebagai sumber kayu, industri sebagai produsen produk kayu, hingga ke pemasaran hasil olahannya. Atas tuntutan tersebut, industri harus dapat memberikan jaminan kepada konsumen bahwa bahan baku kayu yang digunakan berasal dari sumber yang legal. Sertifikasi merupakan salah satu sarana untuk memberikan jaminan legalitas produk kayu sehingga produk tersebut dapat diterima pasar internasional.








DAFTAR PUSTAKA

Departemen Lingkungan. 2011. Laporan Semesteran Oktober 2010 - Maret 2011. Multistakeholder Forestry Programme. Menteri Kehutanan Republik Indonesia.

Dokumen Rencana Investasi Kehutanan. 2012. Rencana Investasi Kehutanan Indonesia. Republik Indonesia.

Forestry. 2010. Arti Penting Legalitas Kayu dan SLVK. http://info-svlk. blogspot. com/2010/07/arti-penting-legalitas-kayu-dan-svlk.html. [Diakses 25 Agustus 2012].

ITTO Project. 2010. Lembaga Independen dan Pelaksanaan Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SLVK). Kementrian Kehutanan. Republik Indonesia.

Sarijanto, T. 2008. Sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Menuju Era Ekolabel. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Sudarsono, D. 2009. SVLK Menuju Pengelolaan Hutan Lestari dan Legalitas Kayu. Yayasan Masyarakat Nusa Tenggara (SAMANTA).


Tim Kecil Pengembangan Kelembagaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. 2008. Pedoman Kelembagaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Konsultasi Publik.