H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Selasa, 03 Juli 2012

TEKNIK PEMBUATAN DIAGRAM PROFIL ARSITEKTUR POHON



PENDAHULUAN

Latar Belakang

            Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan tropika  basah. Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan tropika basah sebagai  ekosistem spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan antara  komponen penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara  komponen penyusun ini memungkinkan bentuk struktur hutan tertentu yang  dapat memberikan fungsi tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas  biologis yang tinggi, siklus hidrologis yang memadai dan lain-lain. Secara de  facto tipe hutan ini memiliki kesuburan tanah yang sangat rendah, tanah tersusun oleh partikel lempung yang bermuatan negatif rendah seperti kaolinite dan illite.  Kondisi tanah asam ini memungkinkan besi dan almunium menjadi aktif di  samping kadar silikanya memang cukup tinggi, sehingga melengkapi keunikan  hutan ini. Namun dengan pengembangan struktur yang mantap terbentuklah  salah satu fungsi yang menjadi andalan utamanya yaitu ”siklus hara tertutup” (closed nutrient cycling) dan keterkaitan komponen tersebut, sehingga mampu  mengatasi berbagai kendala/keunikan tipe hutan ini (Kuswanda dan Mukhtar, 2008).

            Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan  keadaan sekitarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan  temperatur lebih rendah. Pohon-pohon kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar, di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di dalam  lingkungan pohon-pohon dengan iklim mikro dari kanopi berkembang juga  tumbuhan yang lain seperti pemanjat, epifit, tumbuhan pencekik, parasit dan saprofit.

            Pohon-pohon dan banyak tumbuhan lain berakar menyerap unsur hara dan  air pada tanah. Daun-daun yang gugur, ranting, cabang, dan bagian lain yang  tersedia menjadi makanan untuk sejumlah inang hewan invertebrata, seperti rayap  juga untuk jamur dan bakteri. Unsur hara dikembalikan ke tanah lewat  pembusukan dari bagian yang gugur dan dengan pencucian daun-daun oleh air  hujan. Ini merupakan ciri hutan hujan tropis persediaan unsur hara total sebagian  besar terdapat dalam tumbuhan; secara relatif kecil disimpan dalam tanah  (Withmore, 1975).  
     
            Stratifikasi kanopi merupakan salah satu konsep tertua dalam ekologi hutan tropis. Konsep ini telah dikembangkan  sejak permulaan abad ke-19, namun masih menjadi perdebatan. Beberapa peneliti menyatakan adanya strata pada kanopi hutan, namun peneliti lain tidak menemukannya. Penyebab utama kerancuan ini adalah subyektivitas definisi dan metode yang digunakan. Istilah stratifikasi digunakan untuk tiga perbedaan yang saling terkait, yaitu: stratifikasi  vertikal biomassa, stratifikasi vertikal kanopi, dan stratifikasi vertikal spesies. Stratifikasi boleh jadi ada berdasarkan salah satu definisi, tetapi tidak ada berdasarkan definisi lainnya. Misalnya, biomassa dapat saja terstratifikasi, tetapi kanopi tidak dapat ditentukan stratifikasinya, atau kanopi spesies yang sama terletak pada strata yang berbeda (Baker dan Wilson, 2000).             

            Konsep stratifikasi tetap merupakan alat yang sangat berguna untuk mengkaji distribusi vertikal tumbuhan dan hewan. Metode tertua dan paling banyak digunakan untuk mengkaji stratifikasi/arsitektur kanopi adalah diagram profil hutan secara vertikal dan horizontal. Teknik ini pertama kali diterapkan oleh Watt (1924) pada hutan temperate,  Davis dan Richards (1933) adalah orang pertama yang menerapkannya pada hutan tropis.


TINJAUAN PUSTAKA

            Struktur vegetasi tumbuhan, seperti tinggi, biomassa, serta heterogenitas vertikal dan horizontal, merupakan faktor penting yang mempengaruhi perpindahan aliran materi dan energi, serta keanekaragaman ekosistem. Kanopi/tajuk hutan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan tumbuhan, karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan. Keberhasilan pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung karakter/penampakan anak pohon. Variasi ketersediaan cahaya dan perbedaan kemampuan antar spesies anak pohon dalam memanfaatkannya dapat mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan. Perbedaan kemampuan antara spesies anakan pohon dalam menoleransi naungan mempengaruhi dinamika hutan. Pada kondisi cahaya rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon muda dapat menyebabkan perbedaan mortalitas yang besar, sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya (Pacala dkk., 1996).

            Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, biasanya dengan panjang 40-70 m dan lebar 10 m, tergantung densitas pohon. Ditentukan posisi setiap pohon, digambar arsitekturnya berdasarkan skala tertentu, diukur tinggi, diameter setinggi dada, tinggi cabang pertama, serta dilakukan pemetaan proyeksi kanopi ke tanah. Profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan kualitatif . Dalam kasus tertentu, histogram kelas ketinggian atau biomassa dibuat sebagai pelengkap diagram profil hutan (Ashton dan Hall, 1992).

            Stratifikasi hutan hujan tropika dapat dibedakan menjadi 5 lapisan, yaitu :
  1. Lapisan A (lapisan pohon-pohon yang tertinggi atau emergent),
  2. lapisan B dan C (lapisan pohon-pohon yang berada dibawahnya atau yang berukuran sedang),
  3. lapisan D (lapisan semak dan belukar) dan
  4. lapisan E (merupakan lantai hutan).
Struktur suatu masyarakat tumbuhan pada hutan hujan tropika basah dapat dilihat dari gambaran umum stratifikasi pohon-pohon perdu dan herba tanah. Struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu:
  1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi.
  2. Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain.
  3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.(Kartawinata,1984).
            Hutan hujan tropika terkenal karena pelapisannya, ini berarti bahwa populasi campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara kontinu. Tampaknya pelapisan vertikal komunitas hutan itu mempunyai sebaran populasi hewan yang hidup dalam hutan itu. Sering terdapat suatu atau beberapa populasi yang dalam kehidupan dan pencarian makanannya (Whitmore,1975).

            Suatu stratum pohon dapat membentuk suatu kanopi yang kontinu atau diskontinu. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya tajuk-tajuk yang saling bersentuhan secara lateral. Istilah kanopi adakalanya sinonim dengan stratum. Kanopi berart i suatu lapisan yang s edikit banyak kontinu dari tajuk-tajuk pohon yang tingginya mendekati sama, misalnya permukaan yang tertutup. Atap dari hutan kadangkala juga disebut kanopi. Di dalam hutan hujan, permukaan ini dapat dibentuk oleh tajuk-tajuk dari stratum yang paling tinggi saja.

            Hutan hujan tropika terkenal karena pelapisannya. Ini berarti bahwa populasi campuran di dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara tak sinambung. Meskipun ada beberapa keragaman yang perlu diperhatikan kemudian, hutan itu secara khas menampikan tiga lapisan pohon. Lapisan pohon ini dan lapisan lainnya yang terdiri dari belukar serta tumbuhan terna diuraikan sebagai berikut :

1.      Lapis paling atas (tingkat A) terdiri dari pepohonan setinggi 30-45 m. pepohonan yang muncuk keluar ini mencuat tinggi di atas sudur hutan, bertajuk lebar, dan ummnya terxebar sedemikan rupa sehingga tidak saling bersentuhan membentuk lapisan yang bersinambung. Bentuk khas tajuknya sering dipakai untuk mengenali spesies itu dalam suatu wilayah. Pepohonan yang mencuat itu sering berakar agak dangkal dan berbanir.

2.      Lapis pepohonan kedua (tingkat B) di bawah yang mencuat tadi, ada kalanya disebut juga sebagai tingkat atas, terdiri dari pepohonan yang tumbuh sampai ketinggian sekitar 18-27 m. pepohonan in tumbuh lebih berdekatan dan cenderun membentuk sudur yagn bersinambung. Tajuk sering membulat atau memanjang dan tidak selebar seperti pada pohon yang mencuat.

3.      Lapis pepohonan ketiga (tingkat C), yang juga dinamakan tingkat bawah, terdiri dari pepohonan yang tumbuh sampai ketinggian sekitar 8-14 m. pepohonan di sini sering mempunyai bentuk yang agak beraneka tetapi cenderung membentuk lapisan yang rapat, terutama di tempat yang lapisan keduanya tidak demikian.

4.      Selain dari lapis pepohonan tersebut, terdapat lapis belukar yang terdiri dari spesies dengan ketinggian yang kebanyakan kurang dari 10 m. tampaknya terdapat dua bentuk belukar : yang mempunyai percabangan dekat tanah dan karenanya tak mempunyai sumbu utama; dan yang menyerupai pohon kecil karena mempunyai sumbu utama yang jelas, yang sering dinamakan pohon kecil dan mencakup pohon muda dari spesies pohon yang lebih besar.

5.      Yang  terakhir, yaitu terdapat lapis terna yang terdiri dari tumbuhan yang lebih kecil yang merupakan kecambah pepohonan yang lebih besar dari lapisan yang lebih atas, atau spesies terna
(Ewusie, 1990).

Menurut Halle et al. (1978), pohon-pohon yang terdapat di dalam hutan hujan tropika berdasarkan arsitektur, dan dimensi pohonnya digolongkan menjadi tiga kategori pohon, yaitu:
1.        Pohon masa depan (trees of the future), yaitu pohon yang masih muda dan mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang di masa datang, pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan (lapisan B dan C).
2.        Pohon masa kini (trees of the present), yaitu pohon yang saat ini sudah tumbuh dan berkembang secara penuh dan merupakan pohon yang paling dominan (lapisan A).
3.        Pohon masa lampau (trees of the past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dan mulai mengalami kerusakan dan akan mati.
(Onrizal, 2008).
       

METODOLOGI

Bahan dan Alat
            Adapun bahan yang digunakan adalah komunitas hutan mangrove, berfungsi sebagai lokasi pengamatan.

            Adapun alat yang digunakan adalah:
1.      Kompas, berfungsi sebagai alat penunjuk arah.
2.      Meteran 20 m, berfungsi sebagai alat untuk menentukan luas areal pengamatan.
3.      Phiband, berfungsi sebagai alat untuk mengukur diameter pohon.
4.      Walking stick, berfungsi sebagai alat untuk menentukan tinggi pohon.
5.      Tali rafia, berfungsi sebagai alat untuk menentukan batasan areal pengamatan.
6.      Galah/pacak, berfungsi sebagai alat untuk mengambil sampel untuk identifikasi yang tidak dapat dijangkau dengan tangan.
7.      Golok atau parang, berfungsi sebagai alat untuk membersihkan jalur rintisan dari semak belukar.
8.      Kertas milimeter, berfungsi sebagai tempat menggambarkan diagram profil arsitektur pohon.
9.      Alat tulis, berfungsi sebagai alat untuk menuliskan data hasil pengamatan.

Prosedur Kerja
1.      Ditentukan secara pruposive sampling komunitas hutan berdasarkan keterwakilan ekosistem hutan mangrove yang akan dipelajari sebagai petak contoh pengamatan profil.
2.      Dibuat petak contoh berbentuk jalur dengan arah tegak lurus kontur (gradien perubahan tempat tumbuh) dengan ukuran lebar 10 m dan panjang 60 m, ukuran petak contoh dapat berubah tergantung pada kondisi hutan.
3.      Dianggap lebar jalur (10 m) sebagai sumbu Y dan panjang jalur (60 m) sebagai sumbu X.
4.      Diberi nomor semua tiang/pohon yang berdiameter > 5 cm yang ada di petak contoh tersebut.
5.      Dicatat nama jenis pohon dan ukur posisi masing-masing pohon terhadap titik koordinat X dan Y.
6.      Diukur diameter batang pohon setinggi dada, tinggi total, dan tinggi bebas cabang, serta gambar bentuk percabangan dan bentuk tajuk.
7.      Diukur proyeksi (penutupan) tajuk terhadap permukaan tanah dari sisi kanan, kiri, depan, dan belakang terhadap pohon.
8.      Digambar bentuk profil vertikal dan horizontal (penutupan tajuk) pada kertas milimeter dengan skala yang memadai.

                                    
Pembahasan
            Pembuatan diagram profil arsitektur pohon membutuhkan data-data seperti diameter, tinggi total, tinggi bebas cabang, koordinat (X,Y), serta proyeksi tajuk.  Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, digambar arsitekturnya dengan  skala 1:100. Ditentukan posisi X dan diameter setinggi dada di sumbu X pada setiap pohon, Kemudian tinggi bebas cabang dan tinggi total di sumbu Z. Untuk proyeksi tajuk yaitu, ditempatkan pohon sesuai koodinat X di sumbu X dan koordinat Y disumbu Y, kemudian dilakukan proyeksi tajuk ke arah depan, belakang, kiri, dan kanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ashton dan Hall (1992) yang menyatakan diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, tergantung densitas pohon. Ditentukan posisi setiap pohon, digambar arsitekturnya berdasarkan skala tertentu, diukur tinggi, diameter setinggi dada, tinggi cabang pertama, serta dilakukan pemetaan proyeksi kanopi ke tanah. Profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan kualitatif. Dalam kasus tertentu, histogram kelas ketinggian atau biomassa dibuat sebagai pelengkap diagram profil hutan.

            Pohon dominan merupakan pohon yang paling tinggi di suatu populai pohon bakau. Dari hasil pengukuran tinggi pohon di Hutan mangrove bagus ,ketinggian pohon 4,9 m (3,5m≤t<5m)merupakan pohon yang dominan di populasi bakau tersebut. Sedangkan yang kodominan ketinggiannya 3 sampai 2,9m (2m≤t<3,5m). Pohon dominan merupakan pohon masa depan dan pohon kodominan merupakan pohon masa kini. Hal ini sesuai dengan pernyataan  Halle et al. (1978) dalam Onrizal (2008) yang menyatakan bahwa pohon-pohon yang terdapat di dalam hutan hujan tropika berdasarkan arsitektur, dan dimensi pohonnya digolongkan menjadi tiga kategori pohon, yaitu:

1.        Pohon masa depan (trees of the future), yaitu pohon yang masih muda dan mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang di masa datang, pohon tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan (lapisan B dan C).

2.        Pohon masa kini (trees of the present), yaitu pohon yang saat ini sudah tumbuh dan berkembang secara penuh dan merupakan pohon yang paling dominan (lapisan A).

3.        Pohon masa lampau (trees of the past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dan mulai mengalami kerusakan dan akan mati.

Hutan mangrove terganggu (rusak) tidak dapat dikatakan bahwa pohon tersebut merupakan pohon dominan ataupun pohon kodominan karena dalam populasinya hanya terdapat satu pohon di situ. Namun pohon tersebut dapat dikatakan pohon masa lampau, karena hutan tersebut merupakan hutan yang sudah rusak akibat ulah manusia dan yang tersisa adalah pohon tersebut dan perdu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Halle et al. (1978) dalam Onrizal (2008) yang menyatakan bahwa pohon-pohon yang terdapat di dalam hutan hujan tropika berdasarkan arsitektur, dan dimensi pohonnya  adalah Pohon masa lampau (trees of the past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dan mulai mengalami kerusakan dan akan mati.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1.    Penutupan tajuk pada hutan mangrove bagus lebih rapat karena vegetasi pohon yang terdapat di hutan tersebut sangat banyak.
2.    Penutupan tajuk pada hutan mangrove terganggu sangat terbuka karena vegetasi pohon yang terdapat di hutan tersebut hanya 1 atau sangat jarang.
3.    Pada hutan bagus terdapat individu dan jenis pohon masa depan dan pohon masa kini.
4.    Pada hutan mangrove rusak terdapat individu dan jenis pohon masa lampau.
5.    Diameter setinggi dada pada hutan mangrove adalah d≥5cm sedangkan diameter setinggi dada pada hutan alam adalah d≥20cm.


DAFTAR PUSTAKA

Ashton, P.S., and P. Hall. 1992. Comparisons of structure among mixed dipterocarp forests of north-western Borneo. Journal of Ecology.

Baker, P.J. and J.S. Wilson. 2000. A quantitative technique for the identification of canopy stratifikasi in tropical and temperate forests. Forest Ecology and Management.

Ewusie, J. Y. 1990. Ekologi Tropika. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kartawinata, K.1984.Pengantar Ekologi.Remaja Rosdakarya.Bandung.

Kuswanda, W. dan A.S. Mukhtar. 2008. Kondisi Vegetasi dan Strategi Perlindungan Zona Inti di Taman Nasional Batang Gadis.Sumatera Utara.

Onrizal. 2008. Petunjuk Praktikum Ekologi Hutan. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Pacala, S.W., C.D. Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and E.Ribbens, 1996. Forest models defined by field measurements II. Estimation, error analysis, and dynamics. Ecology Monograph.

Whitmore, T.C. 1985. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford: Clarendon.






1 komentar:

  1. artikelnya sangat bermanfaat dan menunjang penyelesaian tugas saya.

    BalasHapus