H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Sabtu, 05 Mei 2012

Aspek MDF


ASPEK-ASPEK MEDIUM DENSITY FIBERBOARD

Aspek teknis yang diamati meliputi sifat fisik, sifat mekanik dan stabilitas dimensi yang ditentukan sesuai dengan standar EMB. Berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa MDF yang dihasilkan dari ketiga jenis kayu tersebut menunjukkan keragaan (performance) yang baik, yaitu warna cerah, dengan permukaan yang halus. Sifat fisik lainnya meliputi kadar air, kerapatan, modulus of Rupture ( MOR), modulus of elasticity (MOE), daya penyerapan air (water absorption), Thickness swelling (TS), daya kerekatan (Internal Bond : IB), dan toleransi ketebalan (Thickness Tolerance).

Giling teruuuss..
Menurut Nelson (1973) dan Suchsland dan Woodson (1986), secara umum kerapatan yang tinggi dari jenis kayu berpengaruh negatif terhadap sifat kekuatan dari panel. Semakin tinggi berat jenis kayu (specific gravity) maka semakin besar kerapatan rongga dari fiber yang terjadi dan pada kerapatan yang sama dapat menghasilkan rasio kompresi (compression ratio) yang lebih rendah.
Dengan demikian semakin kompak serat maka semakin baik ikatan antar serat. MOR dan MOE pada kondisi panel kering meningkat sesuai dengan peningkatan kerapatan dan biasanya setiap jenis perekat memberikan nilai MOR dan MOE yang berbeda (Suchsland dan Woodson, 1986). Secara umum, semakin tinggi kerapatan pada ketebalan yang sama menghasilkan penel yang lebih kuat, karena semakin cukup bidang kontak antar serat. Hal ini menerangkan bahwa semakin tinggi nilai MOR dan MOE maka semakin tinggi kerapatan panel.

Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi yang dianalisis meliputi aspek bahan baku, bahan pembantu dan penolong, fasilitas produksi, produksi dan pemasaran, komponen biaya produksi yang membentuk harga pokok produk MDF baik langsung maupun tak langsung. Harga bahan baku kayu yang digunakan untuk produksi MDF adalah Rp. 60.000,- (US $ 25, nilai tukar 1 US $ = Rp. 2.340,- tahun 1997 ) per m³ untuk setiap jenis kayu (Acacia mangium, Gmelina arborea, dan Eucalyptus urophylla) dengan diameter antara 7 cm sampai dengan 25 cm. Sampai saat ini jarak bahan baku ke industri berkisar antara 100 km sampai 350 km dengan angkutan darat dan sungai.
Berdasarkan informasi yang diperoleh biaya angkut bahan baku kayu ke industri berkisar Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 25.000,- per m³. Harga bahan baku tersebut di atas sudah termasuk biaya angkut, sehingga harga tersebut merupakan harga kayu diterima di industri. Untuk memproduksi 1 m³ MDF diperlukan 2,5 m³ kayu, sedangkan rendemennya adalah 40 persen sehingga biaya bahan per m³ MDF adalah Rp. 150.000,-. Berdasarkan hal tersebut maka biaya bahan baku bukan merupakan biaya utama, lain halnya dengan kayu lapis yang penggunaan produknya hampir sama dengan MDF.
Dengan menggunakan angkutan darat maupun sungai di Kalimantan ini, jarak bahan baku ke industri hingga mencapai 250 km masih memungkinkan untuk dibangun industri MDF. Kebutuhan bahan kimia sebagai bahan pembantu dan penolong meliputi perekat jenis urea formaldehida, asam sulfat sebagai pengeras (hardener) dan lilin (wax) sebagai pelindung terhadap penyerapan air. Untuk memperoleh 1 m³ MDF diperlukan 125 kg perekat (larutan), 7,5 kg wax dan 0,75 kg hardener dengan masing-masing biaya berturut-turut sebesar Rp. 120.000,-, Rp. 12.000,- dan Rp. 300,-. Dengan demikian maka total biaya bahan pembantu dan penolong sebesar Rp. 132.300,-.
Luas bangunan industri MDF tersebut sebesar 20 ha yang terdiri dari bangunan pabrik, kantor dan mess (Gues House) dan dibangun di atas tanah seluas 120 ha dengan ukuran panjang pabrik 297 m dan lebar 47 m.

Sumber energi listrik berasal dari 2 unit dengan total kapasitas 2.680 KVA dengan biaya rata-rata Rp. 220 juta per bulan. Industri tersebut memiliki 5 unit genset berkapasitas 2.680 KVA per unit dan satu unit genset berkapasitas 1.000 KVA per unit, dimana dalam operasionalnya cukup dipakai 2 unit saja. Biaya tersebut dikeluarkan untuk kebutuhan bahan bakar dalam mengoperasikan genset tersebut antara lain 5.500 liter solar, 1.000 liter oli dan 15 kg oli gemuk (grease). Total produksi selama tahun 1996 sebanyak 40.917 m³ yang terdiri dari penjualan lokal sebesar 11.334 m³ (27,7%), ekspor sebanyak 19.188 m³ (46,9%), dan sisanya sebanyak 10.395 m³ (25,4%) diproses lebih lanjut untuk dilapisi dengan kertas dan vinir indah yang tergabung dalam panel MDF.
Komponen biaya produksi sangat dipengaruhi oleh besarnya biaya investasi, biaya produksi langsung dan biaya produksi tidak langsung. Besarnya biaya investasi yang dikelaurkan untuk membangun industri MDF tersebut sebesar Rp. 351 milyar (US $ 150 juta, nilai tukar 1 US $ = Rp. 2.340,- tahun 1997) dengan kapasitas produksi sebesar 100.000 m³ per tahun. Besarnya biaya investasi disesuaikan berdasarkan beberapa faktor, salah satu faktor yang paling dominan adalah kapasitas produksi. Semakin tinggi kapasitas produksi maka semakin rendah biaya investasi per unit produksi. Besarnya tingkat investasi itu sendiri dapat dikatakan berbanding terbalik dengan biaya produksi per unit. Faktor lain yang dapat mempengaruhi biaya produksi per unit adalah seberapa besar industri MDF yang akan dibuat. Dengan kata lain produksi per tahun dapat mempengaruhi biaya penyusutan per satuan produksi. Untuk mengetahui biaya produksi langsung untuk memproduksi 1 (satu) m³ MDF diperlukan pendekatan biaya.
Pendekatan biaya satuan di atas didasarkan pada:
-    Bahan baku kayu berasal dari hasil penjarangan HTI dengan harga Rp. 60.000,- per m³.
-    Berat jenis produk MDF adalah 0,8 kg/m³ sehingga 1 ton produk ekivalen dengan 1,25 m³ MDF.
-    Untuk memproduksi 1 m³ MDF diperlukan 2,5 m³ bahan baku kayu (rendemen 40%).
-    Berat jenis bahan baku kayu 0,4 kg/m³
-    Nilai tukar US $ 1 = Rp. 2.400,-
Berdasarkan hasil analisis diperoleh total biaya produksi MDF per m³ adalahm sebesar Rp. 479.400,-. Rugi laba perusahaan diperoleh dengan menghitung besarnya nilai penjualan produk MDF pada tingkat harga yang berlaku. Hasil penjualan yang diperoleh pada tahun 1996 adalah sebesar Rp. 23.936,4 milyar dengan tingkat harga rata-rata US $ 250 per m³ (nilai tukar 1 US $ = Rp. 2.400,-).
KESIMPULAN
1.      Harga bahan baku kayu untuk memproduksi MDF adalah sebesar Rp. 60.000,- per m³ bagi setiap jenis kayu dengan diameter berkisar 7 cm sampai dengan 25 cm, dimana setiap m³ MDF diperlukan 2,5 m³ kayu dan jarak bahan baku ke industri dapat mencapai 250 km dengan angkutan sungai.
2.      Komponen biaya produksi MDF sangat dipengaruhi oleh besarnya biaya investasi, biaya produksi langsung dan biaya produksi tak langsung, dimana besarnya biaya investasi untuk membangun industri MDF dengan kapasitas 100.000 m³ pertahun adalah sebesar Rp. 351 milyar ( US $ 150 juta).
3.      Biaya rata-rata per m³ MDF adalah sebesar Rp. 479.450,- yang terdiri dari biaya produksi langsung sebesar Rp. 315.650,- dan biaya produksi tak langsung sebesar  Rp. 163.750,- pada tingkat produksi MDF sebesar 70.000 m³ per tahun.
4.      Sifat mekanik panel yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kerapatan dan jenis perekat yang digunakan, dimana sifat mekanik panel meningkat sesuai dengan peningkatan kerapatan panel.
5.      Sifat fisik lainnya meliputi kerapatan, toleransi ketebalan (thickness tolerance), MOR, MOE, daya kerekatan (internal bond), daya penyerapan air (water absorption), gelombang ketebalan (thickness swelling) dan kadar air pada produk MDF yang dihasilkan secara umum dapat memenuhi standar yang diacu yaitu Euro MDF Board (EMB), kecuali pada sifat daya penyerapan air yang masih sering cukup tinggi.
6.      Ketiga jenis kayu hasil penjarangan HTI antara lain adalah jenis Acacia mangium, Gmelina arborea dan Eucalyptus urophylla cukup baik digunakan sebagai bahan baku industri MDF dengan hasil menunjukkan keragaan (performance) yang baik, warna cerah dan permukaan yang halus.
7.      Industri MDF di Indonesia mempunyai prospek pemasaran yang cerah baik dalam negeri maupun ekspor, dimana saat ini produksi MDF dunia didominasi oleh negara-negara Eropa seperti : Italia, Jerman, Spanyol dan Perancis.

DAFTAR PUSTAKA
Asian Timber. 1996. PT. Sumalindo, First in Indonesia to Produce MDF Using Plantation Timber. Asian Timber, Vol. 15 No. 12 : 26-28.

Badan Litbang Kehutanan, 1990. Proceeding Diskusi Industri Perkayuan. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.

Effendi, R, et.al. 1997. Kajian Ekonomi Industri Papan Serat Berkerapatan Sedang (MDF) Dipterokarpa Vol 1. No.1 BPK Samarinda, Kalimantan Timur.

Fakultas Perhutanan UPM, 1989. Catatan kuliah S2 Fakultas Perhutanan UPM, Malaysia.

Fund Defribrator, 1989. Leflet MDF. Fund Defribrator, Singapura.

ISA, 1988. Industri Penggergajian Kayu Terpadu di Indonesia Perhimpunan Pengusaha Kilang Kayu Terpadu (ISA), Jakarta.

Nelson, N.D. 1973. Effects of wood and pulp properties on medium density, dry formed hardboard. Forest Product Journal 23 (9) : 72-80.

Suchsland, O. and Woodson, G.E. 1986. Fiberboard manufacturing practices in the United States, USDA Agric. Handbook No. 640. Washington DC.

Toha, Moch, M.M. 1994. Catatan Perjalanan, Menyimak Peluang Pasar Papan Serat Kayu (MDF). Duta Rimba No. 167/168/XIX/ Mei-Juni 1994. Perum Perhutani, Jakarta.

Wahyuni, T. 1995. Lingkaran Informasi No. 028, Mei 1995. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda, Samarinda.

Fiberboard


INDUSTRI MEDIUM DENSITY FIBERBOARD 2

Industri MDF yang diobservasi merupakan industri MDF pertama di Indonesia dan mulai beroperasi pada akhir tahun 1995. Investasi yang dikeluarkan dalam membangun industri tersebut sebesar US $ 150 juta dengan kapasitas produksi sebesar 100.000 m³ per tahun. Pada tahun pertama produksi sebesar 70% dari total kapasitas dan meningkat 90% dari total kapasitas pada tahun kedua, dan pada tahun ketiga diharapkan dapat berproduksi pada kapasitas penuh.
Bahan baku yang digunakan berasal dari hasil penjarangan HTI dari jenis cepat tumbuh yaitu Acacia mangium, Eucalyptus deglupta, Eucalyptus urophylla, dan Gmelina arborea dengan daur 6 tahun sampai dengan 7 tahun. Diamater kayu yang digunakan berkisar dari 7 cm sampai dengan 25 cm sehingga dapat menurunkan biaya produksi MDF dari industri tersebut. Hal ini dapat memberikan peluang bagi industri untuk bersaing dengan industri MDF lainnya. Pada industri tersebut MDF yang dihasilkan mengacu pada standar Euro MDF Board (EMB) dengan menggunakan teknologi dari Jerman dan Swedia dalam memproduksinya.
Mesin-mesin yang digunakan dalam produksi tersebut terdiri dari satu mesin pengupas kulit (Fuji King debarker), mesin pembuat serpih (Fuji Kagyo Chipper), mesin pra-pengepresan (Sunds Defibrator pra-press), mesin pengepresan (Kusters continous press), mesin pengampelasan (Steinemann sander) dan mesin pemotong panel (panel sizer) yang pemasangannya dilakukan oleh Sunds Defibrator dari Singapura. Ukuran panel yang dihasilkan mengacu pada ukuran standar EMB yaitu 1,22 x 2,44 cm. Industri tersebut juga menerima pesanan sesuai ukuran yang diminta oleh konsumen dan juga memproduksi panel berukuran 1,22 x 1,83 cm dengan ketebalan berkisar dari 3 mm sampai 24 mm. Disamping itu, industri tersebut berusaha untuk memproduksi panel yang dilapisi dengan kertas dan vinir indah yang tergabung menjadi panel MDF.
Pengembangan teknologi juga dilakukan oleh industri tersebut untuk memproduksi panel tahan air (moisture resistant) dengan emisi formaldehida rendah. Sistem produksi dengan menggunakan konsep produksi terpadu yang tergabung pada satu sistem pusat pengendalian pada satu monitor komputer, sehingga diharapkan industri tersebut dapat mencapai sistem pengoperasian yang optimum.
Kualitas panel menjadi prioritas utama bagi industri tersebut, sehingga akhirnya industri ini dapat menguasai pasar baik dalam negeri maupun luar negeri dan industri tersebut berusaha untuk memberikan hal terbaik kepada konsumen sehingga tidak ada satu keluhanpun dari konsumen dalam masalah kualitas. Dalam dunia perdagangan dimana kualitas dan pengapalan menjadi hal yang semakin penting, industri ini melakukan hal yang terbaik untuk melayani konsumen, sehingga konsumen berkeyakinan bahwa pengiriman produk tersebut akan dilakukan tepat waktu. Untuk penyediaan fasilitas pengiriman, maka beberapa gudang panel dibangun di beberapa kota penting di Indonesia.
MDF yang dihasilkan dari industri yang diobservasi berasal dari hasil penjarangan HTI yang memiliki jenis cepat tumbuh yaitu Acacia mangium, Gmelina arborea, dan Eucalyptus urophylla. Panel yang dihasilkan mengacu pada standar Euro MDF Board (EMB) dengan tingkat kerapatan berkisar 700 kg/m³ sampai dengan 800 kg/m³ dan berat jenis bahan baku sekitar 0,4 kg/m³. Untuk memproduksi 1 m³ MDF maka diperlukan sebanyak 2,5 m³ bahan baku kayu. Jenis ketebalan panel yang dihasilkan berkisar 3 mm sampai dengan 24 mm dengan ukuran 122 x 244 cm dan 122 x 1834 cm. Perekat urea formaldehida digunakan sebagai binder dengan amonium sulfat digunakan sebagai pengeras (hardener).
Kertas Papirus

PENGOLAHAN HASIL HUTAN


PENDAHULUAN
Di dalam kegiatan pengolahan usaha kehutanan sangatlah diperlukan berbagai analisis, dimana tujuan dari analisis tersebut adalah untuk mengurangi jumlah pengeluaran ataupun dapat dikatakan untuk menambah jumlah pendapatan. Pertimbangan-pertimbangan yang dikeluarkan dari hasil analisis tersebut sangatlah penting dan berguna untuk meningkatkan keefisienan dan keefektifitasan dari kegiatan yang akan dilakukan.
Industri MDF mempunyai prospek pemasaran dalam negeri dan ekspor yang cerah. Hal ini karena MDF lebih fleksibel dalam penggunaannya dibandingkan kayu lapis dan papan partikel, sehingga MDF pada masa mendatang akan dapat menggantikan kedua panel tersebut.
Sampai saat ini hutan alam merupakan bahan baku utama bagi industri perkayuan di Indonesia. Dalam kenyataannya produksi hutan alam Indonesia cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan kelestarian baik terhadap kawasannya maupun terhadap potensi hutannya. Selain itu penurunan kemampuan produksi hutan akan menyebabkan ketidakseimbangan atau ketimpangan antara penebangan dengan laju penanaman kembali hutan yang telah diekploitasi.
Untuk mengatasi masalah tersebut Departemen Kehutanan telah merintis dan memprioritaskan program peningkatan potensi hutan produksi melalui pembangunan hutan tanaman industri (HTI). Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan sumber pendapatan nasional ataupun penerimaan devisa dari subsektor kehutanan. Salah satu bentuk pemanfaatan kayu sebagai bahan baku industri yang mempunyai prospek pemasaran dalam negeri dan ekspor yang cerah adalah industri papan serat kayu berkerapatan sedang yang dikenal dengan MDF (Medium Density Fiber Board). Dalam 10 tahun terakhir ini konsumsi MDF berkembang pesat misalnya di Asia Pasifik berkisar 16-17% pertahun dan di Eropa 15% pertahun (Toha, 1994).
Salah satu industri MDF di Kalimantan Timur yang selesai di bangun pada akhir tahun 1995 adalah PT. Sumalindo yang merupakan industri pertama di Indonesia yang memproduksi MDF dengan bahan baku dari hutan tanaman industri (HTI). Produk MDF yang dihasilkan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (sebesar 40%) dari total produksi yang direncanakan sesuai dengan kapasitas produksinya 100.000 m³ per tahun dan lainnya (sebesar 60%) akan diekspor ke negara-negara Asia dan Eropa.
Selama ini kebutuhan MDF di dalam negeri masih harus diimpor dari Singapura, Taiwan dan Malaysia sebesar 200-300 ribu m³ per tahun. Peningkatan konsumsi MDF ini dikarenakan pemanfaatannya yang serbaguna, terutama untuk berbagai keperluan interior. MDF lebih fleksibel dalam penggunaannya dibandingkan kayu lapis dan papan partikel, sehingga MDF pada masa mendatang akan dapat menggantikan kedua jenis panel tersebut. Selain itu MDF mempunyai kerapatan dan kekerasan yang seragam dibandingkan panel atau papan serat lainnya sehingga penggunaannya makin meluas antara lain untuk meubel (furniture), moulding, skirting, interior, window frame, door skins, kotak TV, radio, dan barang dekoratif lainnya. Kapasitas produksinya meningkat pesat terutama di Eropa dan pada tahun 2000 produksi MDF diproyeksikan mencapai jumlah 20 juta m³, negara-negara penghasil MDF tersebut antara lain adalah Italia, Jerman, Spanyol, Perancis, Portugal dan Inggris.
Sehubungan dengan perkembangan industri papan serat baik di Indonesia maupun dunia, maka makalah ini bertujuan untuk mengetahui aspek teknis dan ekonomis industri papan serat berkerapatan sedang (MDF) dari jenis kayu HTI. Keluaran yang diharapkan dari makalah ini adalah informasi tentang aspek teknis dan ekonomis industri MDF khususnya di Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat memberi masukan bagi penentu kebijaksanaan khususnya Departemen Kehutanan dalam menentukan prioritas pembangunan industri hasil hutan dan dapat meningkatkan minat bagi investor dalam menanamkan modalnya bagi pembangunan industri khususnya yang berkaitan dengan industri MDF dan diharapkan juga dapat memberikan informasi tambahan bagi para pelaksana pembangunan industri MDF di Indonesia.


Sumber : Kehutanan 2012

Kesehatan Kerja 2


TUJUAN KESEHATAN KERJA KEHUTANAN 2
Sektor kehutanan terus berlanjut menjadi salah satu sektor industri yang paling berbahaya di sebagian besar negara. Di seluruh dunia, sering ada kecenderungan untuk menganggap remeh peningkatan angka kecelakaan dan terjadinya penyakit akibat kerja serta terjadinya pensiun dini pada pekerja kehutanan. Namun demikian, fakta-fakta menunjukkan bahwa kondisi keselamatan dan kesehatan kerja yang baik di sektor kehutanan, merupakan sesuatu hal yang mungkin terwujud. Banyak anggota mengakui bahwa keselamatan di tempat kerja bukan hanya suatu etika yang sangat mendesak untuk dilaksanakan, tetapi juga berarti "uang dan perasaan". Di sektor kehutanan, hal ini juga menjadi suatu prasyarat manajemen yang kuat dan pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan. Sangat penting bila pemerintah, perusahaan, organisasi pekerja danpengusaha mau melakukan sesuatu untuk mewujudkan hal ini.
Pekerjaan kehutanan meliputi pendirian dan pemeliharaan hutan serta pengambilan dan pengangkutan hasil-hasil kehutanan. Industri perkayuan yang diuraikan disini terutama menyangkut pengambilan,pengangkutan, dan pengubahan primer kayu. Pengambilan mencakup penebangan, pemotongan dahan dan cabang, pemotongan melintang, pengelupasan kulit, dli. Pengangkutan meliputi. kegiatan-kegiatan memindahkan kayu dan tempat-tempat penebangan ke-lokasi-lokasi konvesi primer atau untuk seterusnya diangkut. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah pemuatan, peluncuran, penanikan, pengailgkutan dengan tali, angkutan rakit, pengangkutan dengan aliran air, dll. Konversi primer diartikan sebagal kegiatan-kegiatan penggergajian untuk pembuatan papan-papai kasar sebelum penimbunan dan pengeringan atau kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan di daerah-daerah kehutanan.
Pekerjaan kehutanan dan perkayuan menyangkut kerja fisik yang sangat berat. Hal ini benar, jika hanya dipergunakan alat-alat tangan. Penggunaan mesin tanpa diragukan membantu mengurangi upaya fisik, tetapi terdapat sejumlah pekerjaan yang sukar, jika tidak mungkin, untuk menghindarkan tenaga kerja dan beban fisik yang berat. Atas alasan tersebut, penting untuk mengenal dan mengetahui pokok-pokok kerja yang fatal dan cara-cara menerapkannya pada kegiatan-kegiatan kehutanan dan perkayuan.
Seorang tenaga kerja hanya dapat menggunakan sejumlah tenaga tertentu pada pekerjaannya. Diperkirakan untuk tenaga kerja laki-laki dengan berat badan 55 kg, pemakaian tenaga untuk bekerja sehari rata-rata tidak boleh melebihi 1.800 kilokalori yang sama dengan rata-rata kira-kira 3,6 kilokalori/menit. Untuk wanita dengan rata-rata berat badan 50 kg,. angka-angka tersebut diduga 1.400 kilokalori per-hart atau 2,8 kiokalori/menit. Untuk waktu-waktu pendek, pekerjaan mungkin dilampaui asal saja kelebihannya diimbangi oleh istirahat yang cukup atau dengan pekerjaan ringan. Angka-angka tersebut untuk orang-orang dengan keadaan sehat dan berat badan yang sama bagi semua bangsa. Perbedaan berat badan akan menyebabkan perbedaan-perbedaan  pada kapasitas penggunaan tenaga. Berat badan sebesar 65 kg mungkin dapat mengerahkan 2.000 kilokalori atau 4 kilokalori per.menit.
 Pada pekerjaan kehutanan atau perkayuan, batas pengerahan tenaga ini dapat dilampaui. Misalnya, pekerjaan dengan kampak, gergaji tangan atau alat-alat serupa memerlukan dua atau tiga kali jumlah kalori per-menit yang dapat dikerahkan secara normal. Istirahat diperlukan untuk memelihara kesetimbangan energi. Pekerjaan-pekerjaan ningan seperti pemeliharaan alat juga membantu terciptanya kesetimbangan ini. Pada pekerjaan penebangan dan pemotongan melintang, penggunaan tenaga total sehani mencapai batas yang diizinkan atau bahkan melebihinya. Gergaji mesin membantu mempercepat pekerjaan. Namun kemanfaatan sebagian hilang dikarenakan beban lebth berat yang pekerja harus membawanya di hutan. Pada pekerjaan penanaman dengan tangan, penggunaan tenaga sehari adalah kira-kira dengan kecepatan 3 kilokaloni per-menit, yang kiranya tidak begitu berbeda dari batas pengerahan tenaga rata-rata untuk wanita. Pekerja laki-laki yang dalam periode waktu tertentu telah melampaui batas energi dalam pekerjaan berat dapat memulihkan kembali tenaganya pada pekerjaan kehutanan.
Pada setiap keadaan, sifat masing-masing pekerjaan harus diperhatikan. Pengemudi mesin, seperti traktor misalnya, biasanya tidak bekerja melampaui batas secara fisik, tetapi mungkin mengalami kelelahan yang disebabkan getaran. Namun pada kegiatan pemindahan kayu, pembantunya mungkin harus menarik kabel dan kerek traktor melampaui jarak-jarak jauh di atas tanah yang sukar dilalui untuk mengikat pohon. Pada pekerjaan demikian, ia akan memakai tenaga sampai lima kali lebih besar dari pada pengemudi traktor.
PENUTUP
Adalah satu tugas utama pimpinan perusahaan untuk melihat bahwa alat tersebut tersedia. Pengusaha-pengusaha harus menyediakan alat-alat tersebut sesuai dengan keperluan. Atau seandainya mampu, tenaga kerja dapat menyediakannya sendiri sebagai partisipasinya. Adapun konsep pencegahan yang dapat dipraktikkan oleh perusahaan adalah:
1.      Education : tenaga kerja harus mendapatkan bakal pendidikan dan pelatihan dalam usaha pencegahan kecelakaan.
2.      Engineering : rekayasa dan riset dalam bidang teknologi dan keteknikan.
3.      Enforcement : penegakan peraturan K3 dan pembinaan berupa pemberian sanksi.
4.       Emergency respons :setiap karyawan atau orang lain yang memasuki tempat kerja harus memahami langkah-langkah penyelamatan.
Melihat masalah kesehatan, baik umum, ataupun khusus, serta tingginya angka kecelakaan, disarankan kepada perusahaan-perusahaan kehutanan atau industni perkayuan yang besar untuk mempekerjakan staf tenaga kesehatan secara penuh dan menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan umum, terutama di daerah-daerah yang terdapat penyakit cacing tambang, kolera, malaria, tifes perut, disentri, dll. Pemeliharaan kesehatan secara kuratif dapat diluaskan bagi keluarga-keluarga para pekerja. Organisasi kesehatan juga menyelenggarakan usaha-usaha preventif kedokteran, seperti imunisasi, nasehat tentang air minum, makanan, dll.