PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan
didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang
kurang lebih rapat dan luas. Pengusahaan hutan bertujuan untuk memperoleh dan
meninggikan produksi hasil huitan, demi pembangunan ekonomi bagi masyarakat,
peningkatan devisa dan perluasan serta pemerataan keselamatan kerja, kesempatan
berusaha, pengmbangan sumber energi non minyak. Pengusahaan hutan
diselenggarakan berdasarkan asas kelestarian dan asas pengesahan yang meliputi
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil (Elias,
1998).
Kemiringan
lapangan yang semakin besar akan memperbesar terjadinya erosi. Jika tanah
sangat mudah diangkut, yaitu mudah terbawa dalam bentuk suspensi hampir
sempurna, maka guludan kecil, cekungan, sisa tanaman, dan penghalang kecil saja
dalam pemindahannya. Fenomena ini menyebabkan keragaman hasil-hasil tindakan
erosi untuk setiap tipe tanah dan menyulitkan telaah pengaruh tindakan tanpa
terlebih dahulumenelaah watak kemudahan angkut tanahnya. Lahan-lahan yang
miring berpengaruh besar terhadap keagresian limpasan. Gatra bentang lahan dan
topografi yang berperan dalam merangsang erosi
yang meliputi kemiringan lahan, panjang lereng, keseragaman, lereng dan
arah lereng (Brinker dan Wolf, 1997).
Klasifikasi hutan secara garis besar
bermanfaat untuk perencanaan makro. Kemiringan lapangan merupakan salah satu
faktor dominan untuk klasifikasi lapangan kehutanan. Di dalam kawasan hutan
tropika basah, pada saat ini baru didasarkan pada bentuk penutupan lahan oleh
vegetasi saja. Dalam klasifikasi hutan yang mendetail, luas minimum
masing-masing tipe hutan harus ditetapkan secara tepat. Pembagian yang terlalu
kecil justru mengurangi manfaat klasifikasi karena akan mempersulit
penyelesaian data dan perencanaan
(Wongsotjitro, 1980).
Efek
kemiringan lapangan terbesar adalah kerusakan. Pada kemiringan 65% adalah
sulit. Jika tidak mungkin memindahkan kayu pada sisi bukit. Pohon yang telah
ditebang jarak tergantung pada kecuraman dan adanya rintangan seperti puncak
dan karang. Jika kayu lurus menuruni bukit, kerusakannya sedikit dapat
diminimalkan. Bagaimana juga kayu adalah input yang sesungguhnya dan goncangan
pada saat menuruni bukit, khususnya jika jauth saat memegang kayu pada sisi
bukit. Efek dari kemirinagn lapangan adalah kerusakan yang berlebihan. Kayu
terbesar adalah kerusakan terbesar yang mungkin terjadi. Juga pohon dirubuhkan
penambahan waktu diperlukan untuk menaikkan dan mengurangi kecuraman (Elias,
1998).
Sistem
pengklasifikasian lapangan dapat dilakukan menjadi dua hal yang berbeda yaitu
sistem kalsifikasi primer yang lebih pada sifat-sifat lapangan yang tidak
berubah dan sistem klasifikasi lapangan sekunder yang lebih menekankan
pemulihan kemungkinan terbaik dari suatu aplikasi sistem kerja diareal kerja
tersebut. Walaupun memiliki penekanan yang berbeda, tapi untuk dua hal tersebut
saling memiliki keterkaitan yang cukup penting. Intinya adalah bahwa
klasifikasi primer sangat mendukung kinerja dari sistem klasifikasi sekunder
sehingga keselarasan sistem pengelolaan tercipta (Brinker dan Wolf,
1997).
Informasi
kemiringan dan bentuk lereng dalam kawasan rencana dan profil. Data ini sangat
penting bagi evaluasi tingkat bahaya erosi dengan pendugaan stabilitas lereng.
Informasi ini merupakan salah satu daftar informasi mendasar yang diperlukan
oleh para prencana untuk melakukan penilaian seluruh wilayah dihutan atau
bagian-bagian tertentu dari wilayah tersebut dapat dibuka penggunaan yang lain
(Subagio, 2003).
Dari
suatu areal berhutan tertentu yang diinventore, hasil inventornya biasanya
tidak hanya dinyatakan untuk seluruh areal tetapi juga untuk bagian-bagian dari padanya. Dalam membagi inventorenya
beberapa kriteria yang serentak dapat dipakai. Pada garis besar kriteria-kriteria
tersebut adalah sebagai berikut : kriteria tata guna lahan yang ada sekarang,
kriteria ini menentukan klasifikasi yang paling penting karena ia memisahkan
hutan dari tata guna lahan yang lain dan tipe vegetasi (Simon, 1993).
Tujuan
Adapun tujuan
dari praktikum ini adalah :
- Mahasiswa dapat mengetahui cara penentuan kemiringan lapangan pada peta.
- Mahasiswa dapat mengetahui luas masing-masing kelas kemiringan lapangan
- Mahasiswa dapat menentukan kelas kemiringan lapangan
- Mahasiswa dapat mengetahui fungsi kawasan hutan.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifiaksi
bertujuan untuk mengorganisasi informasi agar didapatkan data yang mudah
tersedia untuk menjawab persoalan atau menyelesaikan program tertentu. Setiap
klasifikasi mempunai maksud tertentu. Maksud ini dilakukan dengan pemilihan
spesifikasi yang disertai kegunaan pengelolaan yang dapat diterapkan pada
lokasi tertentu. Klasifikasi lain yang menggunakan beberapa sistem yang
terintegrasi atau sebahagian seperti tipe lahan-lahan ekorogion atau
biogionasi. Namun, tipe holdrige memberikan pengenlan zone kehidupan dengan
menggunkan faktor-faktor komponen dan tidak dianggap dapat digunakan untuk
emlukioskan batas tipe penutup tertentu bahkan informasi dalam suatu areal
(Simon, 1993).
Evaluasi
lahan merupakan proses pendugaan potensi lahan untuk macam-macam alternatif
penggunaannya. Evaluasi lahan merupakan alat yang bisa digunakan dalam proyek
perencanaan (Wongsotjitro, 1980).
Pembukaan wilayah hutan adalah kegiatan
penyediaan prasarana wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan,
perlindungan hutan, inspeksi kerja, transportasi sarana kerja dan komunikasi
antar pusat jegiatan. Pembukan wilayah hutan diwujudkan oleh penyediaan
jaringan angkutan, barak kerja, penimpbunan kayu, dan lain-lain. Adapun tujuan
pembukaan wilayah hutan untuk merencanakan pembuatan jaln angkutan dan
prasarana lainnya yang berkairtan erat dengan kegiatan perusahaan. Tujuannya
adalah untuk menyiapkan jaringan jalan dan persiapan lainnya
(jembatan,gorong-gorong, dan lain-lain). Dalam upaya untuk kelancaran angkutan
produksi hasil hutan untuk masing-masing blok tebangan intensitas pembukaan
wilayah hutan/kerapatan jalan adalah perbandingan antara panjang jalan (m)
dengan luas areal unit kerja/daerah produksi kerja (Ha) dengan satuan m/Ha.
Perhitungan intensitas pembukaan wilayah hutan untuk menentukan kebutuhan jalan
angkutan yang optimal per Ha, maka dipertimbangkan faktor-faktor :
- Jenis alat yang digunakan
- Biaya pembuatan jalan (termasuk bunga, penghapusan dan biaya pemeliharan).
- Massa tegakan (jumlah kayu) tergantung pada volume kayu, riap maupun umurnya.
Intensitas
pembukaan wilayah hutan ditentukan dengan mempertimbangkan potensi tegakan
hutan dan intensitas kerja (Elias, 1998).
Konfigurasi
lereng merupakan bentuk permukaan lereng suatu lahan yang dapat berbentuk
cembung atau cekung. Lereng-lereng yang seragam dalam bentuk kemiringan
panjang, konfigurasi dan arahnya sulit ditemui pada kawasan sempit sekalipun.
Lahan-lahan yang berlereng tidak seragam lebih mampu menahan kayu limpasan dan
erosi dari pada yang seragam. Alasannya antara lain adalah bahwa pada
lahan-lahan yang berlereng seragam lebih mungkin dilakukan kegitan bercocok
tanam intensif, yang umumnya merangsang erosi dan mempunyai peluang untuk
memiliki lereng yang lebih panjang (Irvine,
1995).
Dalam
tata guna lahan dalam suatu areal tertentu, hasilnya biasanya tidak hanya
dinyatakan untuk seluruh areal, tetapi juga utnuk bagian-bagiannya. Dalam
membagi areal yang diinventarisasi, beberapa kriteria secara serempak dapat
dipakai. Kriteria saling berhubungan antara vegetasi/lingkungan yang
memperhitungkan faktor-faktor lingkungan seperti iklim, ketinggian tempat dan
tanah. Klasifikasi yang bersangkutan dengan ini tidak secara umum menunjukkan
tata guna lahan yang ada, tetapi bermanfaat untuk pengelolaan lahan hutan.
Kriteria tata guna lahan hutan yang ada sering menentukan klasifikasi yang
paling penting kare ia memisahkan hutan dari tata guna lain dan tipe vegetasi.
Dalam klasifikasi ini, areal hutan dipisahkan lagi kedalam kelas-kelas yang
bersifat sangat lebar dan dapat diterima secara universal (Brinker dan Wolf, 1997).
Klasifikasi
lapangan sangat penting untuk bidang kehutanan. Bagaimana tidak, didalam
klasifikasi lapangan memuat gambaran dan pengelompokan areal hutan berdasarkan
sifat-sifat dapat tidaknya diterapkan sisitem kerja atau mesin-mesin tertentu
di areal tersebut dan kepekaan lapangan utama terhadap kerusakan tanah dan
erosi yang disebabkan oleh tindakan-tndakan dalam kegiatan pengelolaan hutan.
Sehingga dengan dasar acuan tersebut diatas kita dapat dengan mudah memilih
suatu konsep atau suatu cara dalam penentuan system kerja atau penggunaan
alat-alat yang memenuhi kriteria peka terhadap lingkungan. Artinya Dengan
diterapkannya klasifikasi lapangan, peminimalan klasifikasi lingkungan
khususnya tanah dan erosi yang disebabkan oleh tindakan pengelolaan dapat
diminamalisasi. Secara langsung ini akan bermanfaat baik tidak saja pada
keuntungan dari segi pengelolaan yang optimal tetapi juga memberi manfaat
lingkungan, yang dampaknya akan kita lihat dengan semakin kecilnya biaya yang
diperlukan atau penggantian untuk merehabilitas lahan yang rusak atau erosi
akibat kesalahan system pengelolaan (Subagio, 2003).
Sistem
klasifikasi lapangan berakhir dengan diterapkannya daerah-daerah yang memiliki
kriteria kecuraman tertentu. Dengan acuan daerah yang terkategori atau kriteria
tersebut diatas maka pengalokasian dari wilayah hutan tersebut menjadi satuan
wilayah yang sesuai penentuannya,
pembangunan akses. Pengembangan wilayah hutan (jaringan jalan, logpond/TPK, TPN
dll). Sistem pengelolaan yang sudah layak unuk dipertimbangkan (Irvine, 1995).
METODE PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Adapun
praktikum keteknikan hutan yang berjudul
“Klasifikasi Kemiringan Lapangan” dilaksanakan pada hari Jumat, 24 Agustus 2007
pada pukul 14.00 WIB sampai dengan selesai. Praktikum ini dilaksanakan di
Ruanga 304 Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Alat dan
Bahan
Adapun
alat yang digunakan dalam praktikum ini :
1.
Penggaris 50 cm dan 30 cm untuk mengukur panjang dan membuat garis
lurus pad peta.
2.
Penggaris busur, untuk menarik sudut pada peta.
3.
Pinsil Warna, untuk mewarnai a peta berdasarkan klasifikasinya
4.
Kalkulator,
untuk menghitung persen kemiringan lereng.
5.
penghapus, untuk menghapus data yang salah
6.
Pensil, untuk menulis data
7.
Dotgrid, untuk menghitung luas kelerengan areal pada
peta
8.
alat tulis, untuk menulis data.
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum
ini :
1.
Peta kontur dengan skala 1: 2000 sebagai bahan
praktikum
2.
Tally sheet, untuk menulis data.
3.
Buku data 50 lembar, untuk memindahkan hasil
perhitungan pada peta
Prosedur Kerja
1.
Ditentukan titik pasti yang ada di peta kontur.
2.
Peta kontur dibagi atas petak-petak dengan ukuran 3 x 3
cm.
3.
Dihitung persen kelerengan dengan cara menentukan
terlebih dahulu titik acuan, kemudian ditarik garis dari titik acuan ke garis kontur titik acuan, serta mencatat
jaraknya.
4. Diukur kemiringan lapangan tiap petak
dengan penggaris kecil/penggaris busur, dicari titik tengah dari perpotongan
garisdiagonal, lalu tarik garis ke arah kontur yang paling miring, terapat dan
terjauh. Seperti gambar 1 , Keterangan
:
A = titik
pusat perpotongan garis horizontal petak
B = titik
perpotongan garis horizontal yang ditarik ke bagian paling curam dengan garis
kontur
X = jarak
horizontal titik A – B
5.
Dihitung persen kemiringan lereng sebagai berikut
Y = ∆H / M x X
Keterangan : Y =
% Kelerengan
∆H
=Beda tinggi
M = Skala peta
X = Jarak dipeta
6.
Ditentukan kelas kemiringan lereng berdasarkan
klasifikasi kelas kemiringan kelerengan kehutanan Indonesia dan diberikan warna
berdasarkan kelas kelerengannya, dengan ketentuan sebagai berikut :
Contoh Tabel 1.
kelas-kelas kemiringan lapangan
Kelas
|
Kemiringan
(%)
|
Keterangan
|
Warna
|
1
|
0
- < 8
|
Datar
|
Hijau
|
2
|
8
- <15
|
Landai
|
Kuning
|
3
|
15
- < 25
|
Sedang
|
Biru
|
4
|
25
- < 40
|
Curam
|
Merah
muda
|
5
|
>
40
|
Sangat
curam
|
Merah
tua
|
7.
Dihitung masing-masing luas kelas kelerengan areal pada
peta 1:2000 tersebut
Contoh Tabel 2. luas kelas kelerengan
No
|
Kelas
Kelerengan
|
Kemiringan
(%)
|
Keterangan
|
Luas
(Ha)
|
Luas
(%)
|
1
|
1
|
0
- < 8
|
Datar
|
|
|
2
|
2
|
8
- < 15
|
Landai
|
|
|
3
|
3
|
15
- < 25
|
Sedang
|
|
|
4
|
4
|
25
- < 40
|
Curam
|
|
|
5
|
5
|
>
40
|
Sangat
curam
|
|
|
|
TOTAL
|
|
|
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel
3. hasil tabulasi perhitungan kalsifikasi kemiringan lapangan
No
|
Kelas
Kelerengan
|
Kemiringan
(%)
|
Keterangan
|
Luas
(Ha)
|
Luas
(%)
|
1
|
1
|
0
- < 8
|
Datar
|
-
|
-
|
2
|
2
|
8
- < 15
|
Landai
|
0,32
|
0,50303
|
3
|
3
|
15
- < 25
|
Sedang
|
0,82
|
1,28902
|
4
|
4
|
25
- < 40
|
Curam
|
4,4708
|
7,02802
|
5
|
5
|
>
40
|
Sangat
curam
|
58.0032
|
91,17993
|
|
TOTAL
|
63,614
|
100
|
Pembahasan
Dari
hasil praktikum ini diperoleh klasifiaksi kelerengan yang paling mendominasi
adalah kelas kelerengan yang sangat curam dengan besar kelerengan > 40%
dengan warna merah tua yaitu mempunyai luas sebesar 58,0032 ha atau sekitar
91,17993%, dan yang kedua adalah kelas kelerengan curam dengan besar kemiringan
25% - 40% mempunyai luas 4,4708 ha atau sekitar 7,02802%, dengan warna merah
muda. Kelas sedang (biru) mempunyai luas sebesar 0,82 ha atau sekitar 1,28902%,
sedangkan untuk kelas landai dengan warna kuning mempunyai luas sebesar 0,32 ha
atau sekitar 0,50303% dengan total luas kawasan hutan sebesar 63,614 ha.
Dari tabel dapat dilihat bahwa kebanyakan
wilayah peta berada pada kelas curam dan sangat curam. Hal ini dapat dilihat
pada peta, garis konturnya sangat rapat-rapat. Ini menandakan daerah tersebut
sangat curam. Menurut Simon (1993) pada daerah yang landai, jurang dan akan
sangat rapat pada daerah yang terjal. Interval kontur dipengaruhi oleh bentuk
medan dan kontur/skala peta yang berkaitan pada pemakaian peta.
Dalam
penentuan kelas kemerengan lapangan pada praktikum keteknikan huatan ini,
digunakan skala 1 : 2000. Skala ini digunakan untuk menentukan luas dari
tiap-tiap kelas kemiringan. Luas petak yang digunakan adalah 2 x 2 cm dengan
interval 5. Dalam Irvinne (1995), Skala peta merupakan faktor utama yang
dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas penyajian data. Semakin besar skala
peta akan semakin rinci dan semakin akurat data yang ditampilkan pada muka
peta.
Dalam menentukan luas tiap petak, pada
praktikum ini menggunakan dot grid karena bisa dibuat sendiri dan sederhana.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Simon (1993), yang menyatakan bahwa Cara lain
mengukur luas areal pada peta adalah dengan menggunakan dot grid. Dasar
pengukuran luas ini sangat sederhana, yaitu berupa titik-titik yang berjarak
seragam diatas transparansi sehingga titik-titik tersebut membentuk kotak-kotak
bujur sangkar. Jarak antar titik-titik disesuaikan dengan skala peta yang
diukur. Dot grid dibuat dengan berbagai macam jarak untuk menyajikan pilihan
sesuai dengan skala peta yang dipakai. Jarak antar titik dalam transparansi
selalu sama pada garis vertikal.
Dari hasil yang diperoleh kita dapat
menyimpulkan bahwa daerah ini merupakan daerah yang sangat curam sehingga
daerah ini tidak cocok untuk dijadikan pembukaan wilayah hutan, karena angka
kelerengannya sangat curam sehingga akan menyulitkan dalam pembukaan wilayah
hutan dan membutuhkan perencanaan yang matang, disamping biaya yang diperlukan
sangat besar dan teknik pembukaan hutan yang baik untuk hutna lestari sehingga
tingklat kerusakan hutan yang terjadi bisa diminimalkan dan fungsi hutan
lindung tetap terjaga dan kehidupan biotik didalamnya tidak tergangu.
Karena
daerahnya sangat curam, maka pembukaan wilayah hutan akan memberi pengaruh dan
aspek ekologis yaitu kerusakan lingkungan seperti kerusakan tanah, kerusakan
tegakan tinggal sehingga dapat mengancam kelangsungan hutan, apabila hal
tersebut dilakukan pada hutan lindung akan menjadikan cepat terjadinya
kerusakan karena dapat faktor krmiringan yang sangat curam. Faktor tekhnispun
harus ikut diperhatikan seperti system kerja yang diterapkan dan alat-alatyang
digunakan.
Perkiran luas dengan atau tanpa pemetaan hutan, penggunaan semua
klasifikasi mengarah pada suatu distribusi luar total ke dalam sub-sub bagian
atau lampiran. Salah satu tujuan inventarisasi hutan adalah untuk memperoleh
taksiran yang merupakan luas dari (atau bagian dari luas ini terhadap luas
total ) dalam banyak hal satu tujuan tambahan dari inventore hutan adalah untuk
mengetahui lokasi pasti dari luas ini dengan menandainya diatas peta (Simon,
1993).
Interval
kontur yang digunakan pada praktikum keteknikan hutan ini adalah 5m. Apabila
dihubungkan dengan skala peta dan besarnya interval kontur, maka dapat
disimpulkan bahwa daerah tersebut merupakan daerah beda curam dengan beda curam
dengan beda tinggi yang cukup besar. Kecuraman daerah ini juga dapat dilihat dari
hasil perhitungan kelerengan lapangan dimana luas yang terluas adalah kelas 5
yaitu kelas sangat curam dengan warna merah tua.
Dari
hasil yang diperoleh, jumlah petak yang dibuat berjumlah 433 kotak, dengan luas
tiap kotak penuh 0,16 ha. Dalam peta ini ditemukan empat kelas lereng yaitu
kelas lereng landai dengan warna kuning sebanyak 2 kotak, kelas lereng sedang
dengan warna biru ditemukan sebanyak 5
kotak besar, kelas lereng curam atau warna merah muda sebanyak 25 kotak penuh dan 1177 kotak kecil,
sedangakn kelas lereng sangat curam atau warna merah tua sebanyak 328 kotak penuh dan 14608 kotak
kecil.
Dari hasil perhitungan yang telah
dilakukan, tidak ada dijumpai daerah datar. Hal ini disebabkan karena kondisi
kontur yang sangat rapat sehingga mempengaruhi penentuan kalsifiaksi kemiringan
lapangan. Luasan pada peta ini diperoleh dengan menggnakan rumus kemiringan
lapangan dimana kelas datar memiliki persen kemiringan lapangan antara 0 - <
8 dan diberi warna hijau. Persen
kemiringan lapangan antara 8 - < 15 dan diberi warna kuning. Persen
kemiringan lapangan antara 15 - < 25 dan diberi warna biru. Persen
kemiringan lapangan antara 25 - < 40 dan diberi warna merah muda sedangkan
persen kemiringan lapangan antara >
40 dan diberi warna merah tua. Persen kemiringan lapangan selain dipengaruhi
factor skala, juga dipengaruhi oleh beda ketinggian lapangan, sehingga
berpengaruh terhadap penentuan kelas kemiringan lapangan suatu kawasan.
Pewarnaan pada setiap pekelas
interval kontur didalam peta diberi dengan warna yang berbeda-beda hal ini
dilakukan agar kita lebih mudah dalam membaca bentuk relief daerah yang ada
pada peta. Hal ini sesuai dengan pernyataan Subagio (2003) yang menyatakan
bahwa Selain dengan menggunakan
kontur, relief permukaan bumi dapat dalam bentuk warna di dalam peta. Caranya
adalah dengan memberi warna yang khusus untuk setiap interval kontur tertentu
sehingga setiap interval kontur tersebut mempunyai warna yang berlainan.
Warna-warna yang digunakan pada umumnya dipilih warna-warna tertentu. Dengan
cara pemberian warna ini, akan lebih memudahkan pembacaan peta dalam memahami
bentuk relief daerah yang dipetakan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Luas areal pada peta topografi PT Sumalindo Lestari
Jaya II dengna skala 1 : 2000
adalah 63,614 ha
2.
Umumnya kawasan PT Sumalindo Lestari Jaya II memiliki
topografi sangat curam dengan kriteria kemiringan > 40%.
3.
Adapun luas areal hutan dengan dengan daerah landai
seluas 0,32 ha atau sekitar 0,50303 % , daerah sedang seluas 0,82 ha atau
sekitar 1,28902 %, daerah curam seluas 4,4708 ha atau sekitar 7,02802% dan
daerah sangat curam seluas 58,0032 ha atau sekitar 91.17993 %.
4.
Kawasan dalam peta tersebut memiliki kelas kelerengan
yang sangat curam sehingga ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung.
5.
Dari hasil perhitungan, maka diketahui kondisi
lapanga/kemiringan lapangan sangat curam ini dapat dilihat dari garis kontur
yang sangat rapat.
Saran
Adapun saran dari praktikum ini
adalah :
1.
Agar praktikan lebih teliti dalam pengukuran maupun
perhitunga luas areal.
2.
Agar praktikan mampu mengetahui cara perhitungan dalam
pencarian kelas kemiringan, luas (ha) dan luas (%).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar