A. Latar Belakang
Tahap pertama dalam perencanaan
jalan adalah merencanakan sistem keseluruhan untuk satu daerah pada suatu saat.
Ini dilakukan dengan menggunakan peta topografi, peta tipe hutan,
rencana-rencana penggunaan lahan dan peta-peta geologi dan tanah maupun
foto-foto udara. Sesudah sistem jalan untuk ditempatkan kawasan-kawasan
penjualan secara individual dipilih dari peta prioritas penebangan. Jalan-jalan
yang mungkin dapat dibuat dari jalan utama ke kawasan penjualan dipilih, suatu
garis trase dibuat pada peta topografi, dan dipindahkan dari peta ke foto
udara. Foto melengkapi informasi tertentu
yang digunakan dalam perencanaan jalan yang tidak dapat diperoleh dari
peta topografi (Paine, 1992).
Pada praktikum kemiringan lapangan
ini, kami menggunakan peta kontur, untuk menentukan kemiringan lapangan. Garis
kontur ialah sebuah garis yang digambarkan pada denah, yang menghubungkansemua
titik yang ketinggiannya sama, diatas, atau di bawah datum tertentu. Konsep
garis kontur tersebut dapat dengan mudah
dipahami jika kita membayangkan sebuah kolam. Jika air benar-benar dalam
keadaan tenang, tepi air akan berada pada ketinggian yang sama di sekeliling
kolam, membentuk sebuah garis kontur. Jika ketinggian air diturunkan, katakanlah
5 meter, tepi air akan membentuk garis kontur kedua. Penurunan ketinggian air
selanjutnya akan menghasilkan lagi pembentukan garis kontur (Irvine, 1995).
Dalam peta topografi dan peta-peta
umum yang serbaguna, penyajian relief dari permukaan bumi sangat penting,
karena dapat memberikan gambaran yang lebih tepat tentang bentuk permukaan bumi
tersebut. Untuk peta-peta teknis (seperti peta untuk perencanaan pekerjaan
teknik sipil), keakuratan dalam penyajian data relief tersebut sangat penting,
karena dari peta tersebut dapat diperkirakan (dihitung) volume seluruh
pekerjaan fisik. Untuk dapat menggambarkan seluruh relief permukaan bumi secara
akurat, dapat ditempuh dengan cara menggambarkan garis kotur secara rapat,
sehingga relief yang kecilpun dapat digambarkan dengan baik. Untuk itu,
interval kontur harus dibuat sekecil mungkin (Frick, 1979).
Menurut Muhdi (2002),
klasifikasi lapangan di bidang kehutanan adalah pengggambaran dan pengelompokan
areal hutan berdasarkan sifat-sifat dapat tidaknya diterapkan sistem kerja atau
mesin-mesin tertentu di areal tersebut dan kepekaan lapangan terutama terhadap
kerusakan tanah dan erosi yang disebabkan oleh tindakan-tindakan dalam kegiatan
pengelolaan hutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi lapangan di bidang
kehutanan dapat dibedakan atas klasifikasi primer dan sekunder. Klasifikasi
primer menggambarkan dan mengelompokkan areal hutan berdasarkan sifat-sifat
lapangan yang tidak berubah, sedangkan klasifikasi sekunder mengelompokkan
areal hutan berdasarkan kemungkinan terbaik aplikasi sistem kerja atau mesin di
areal tersebut (Muhdi, 2002).
Pada waktu merencanakan tanah
perumahan, pendiri bangunan akan coba selalu memanfaatkan kemiringan alamiah
tanahnya. Rumah yang dibangun pada ketinggian yang berbeda-beda akan tampak
lebih menarik dan lebih indah. Karena itu daerah lokasi harus dapat menunjukkan
turun naiknya permukaan tanah atau relief permukaan tanah, caranya misalnya
dengan pembuatan garis kontur. Garis kontur merupakan garis kontinu dan tidak
dapat bertemu atau berpotongan dengan garis kontur yang lain. Demikian juga
garis kontur tidak dapat membelah atau bergabung dengan garis kontur lain,
kecuali pada batu karang atau tanah yang menganjur. Beda tinggi antara sejumlah
garis kontur yang berurutan disebut selang vertikal atau selang kontur, dan
selang ini akan tetap nilainya untuk sebuah peta atau daerah (Irvine, 1995).
Kawasan hutan pada umumnya
merupakan wilayah yang terletak di pegunungan atau daerah rendah yang
berbukit-bukit sehingga kebanyakan mempunyai topografi yang miring sampai
terjal. Dalam klasifikasi hutan yang detail, luas minimum masing-masing tipe
hutan harus ditetapkan secara tepat. Pembagian yang terlalu kecil justru
mengurangi manfaat klasifikasi karena akan mempersulit penyelesaian data dan
perencanaan. Klasifikasi hutan secara garis besar biasanya bermanfaat untuk
perencanaan makro. Untuk menyusun rencana operasional diperlukan klasifikasi
yang lebih rinci dan tepat (Simon, 1993).
Klasifikasi lapangan di bidang
kehutanan adalah pengggambaran dan pengelompokan areal hutan berdasarkan
sifat-sifat dapat tidaknya diterapkan sistem kerja atau mesin-mesin tertentu di
areal tersebut dan kepekaan lapangan terutama terhadap kerusakan tanah (Muhdi,
2002)
Manfaat klasifikasi lapangan
adalah untuk :
1. Pemilihan sistem-sistem kerja dan
mesin-mesin.
2. Perhitungan produktivitas dan biaya dalam
rangka rencana kerja.
3. Rencana pembukaan wilayah (peletakan
titik-titik kordinat dan trase jalan).
4. Pekerjaan proyek-proyek bangunan jalan
(perkiraan timbunan dan galian, kecocokan tanah, tebal lapisan pengerasan jalan
dan lain-lain).
5. Menilai kepentingan pengembangan dan
penciptaan peralatan dan mesin-mesin, misalnya :
-
Bagian
luas hutan yang penyaradannya cocok dengan sistem kabel, dibedakan menurut daya
jangkau dan pengangkutan kayu naik dan turun lereng.
-
Bagian
luas hutan yang penyaradannya cocok dengan menggunakan traktor penyarad.
-
Jumlah
luas hutan yang tanahnya dapat dikerjakan dengan mesin-mesin pengolah
tanah.
6. Menilai sifat-sifat lapangan sebagai
faktor yang berpengaruh di dalam time
study dalam rangka mendeteksi tarif upah produktivitas dan biaya pemetaan
fungsi hutan
(Elias, 1997).
Penafsiran luas dengan atau
tanpa penggunaan semua klasifikasi yang dikemukakan mengarah kepada suatu
distribusi luas total ke dalam sub-sub bagian atau lapisan. Salah satu
tujuannya adalah memperoleh taksiran yang memuaskan dari luas hutan (atau
bagian dari luas terhadap luas total). Dalam banyak hal suatu tujuan tambahan
data inventarisasi hutan adalah mengetahui lokasi yang pasti dari luas ini
dengan menandainya di atas peta. Pemetaan hutan dapat bukan merupakan tujuan
pekerjaan, sehingga mungkin cukup untuk menaksirkan luas dari berbagai
kelas-kelas hutan dengan sampling
berupa petak ukur tanpa memindahkan batas-batasnya kepada peta topografi
(Simon, 1987).
Klasifikasi lapangan di bidang
kehutanan sangat penting peranannya di tempat-tempat sebagai berikut :
ü Tempat yang kegiatan-kegiatan kehutanannya
dikerjakan secara mekanis.
ü Tempat yang kerusakan ekologinya akibat
penggunaan alat-alat (mesin-mesin) berat harus dihindari.
ü Tempat yang intensitas pembukaan wilayah
hutannya masih rendah dan masih banyak jalan yang ingin dibangun.
ü Tempat yang relatif sedikit para ahlinya,
tetapi harus mengelola hutan yang luas dengan pengenalan pengetahuan keadaan
lapangan yang masih belum cukup.
ü Tempat di bagian gunung yang tinggi atau
daerah yang lapangannya sangat sulit
(Elias, 1997)
Menurut Muhdi (2002), salah
satu faktor dominan untuk klasifikasi lapangan kehutanan adalah kemiringan
lapangan, yang dibedakan atas kelas-kelas kemiringan lapangan.
Tabel 1. Kelas-Kelas Kemiringan Lapangan
Kelas
|
Kemiringan (%)
|
Keterangan
|
1
|
0
- < 10
|
Datar
|
2
|
10
- < 20
|
Landai
|
3
|
20
- < 33
|
Sedang
|
4
|
33
- < 50
|
Curam
|
5
|
>
50
|
Sangat
curam
|
Sumber : Muhdi (2002)
Tabel
2. Kelas-kelas Kemiringan Lapangan
yang Berlaku di Indonesia
Kelas
|
Kemiringan (%)
|
Keterangan
|
1
|
0
- < 8
|
Datar
|
2
|
8
- < 15
|
Landai
|
3
|
15
- < 25
|
Sedang
|
4
|
25
- < 40
|
Curam
|
5
|
>
40
|
Sangat
curam
|
Sumber : Muhdi (2002)
Intensitas pembukaan wilayah
ditentukan dengan mempertimbangkan potensi tegakan hutan dan intensitas kerja,
keadaan lapangan dan kepentingan konservasi lahan hutan (Dephutbun, 1999).
Efek kemiringan terbesar adalah kerusakan,
pada kemiringan 65 % adalah sulit, jika tidak mungkin memindahkan kayu pada
sisi bukit. Pohon yang ditebang, jarak tergantung pada kecuraman dan adanya
rintangan seperti puncak dan karang. Efek dari kemiringan adalah kerusakan yang
berlebihan, seharusnya semaksimal mungkin harus dihindarkan hal-hal yang dapat
mengakibatkan selama pengangkutan kayu (Budiaman, 1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar