Sudah Lupa
Tuh …
Oleh: Agus
Prasetyo
Di suatu
sudut ruang tunggu dokter yang pengap, saya mendengar percakapan seorang ibu
dengan anaknya yang masih playgroup. Ibu : “Apa bahasa Inggrisnya pepaya ?”
Anak : “Papaya” Ibu : “Apa bahasa Inggrisnya belimbing ?” Anak : “Belimbing”
Ibu : “Bukan nak. Bahasa Inggrisnya belimbing adalah starfruit”
Ibu itupun
menanyakan beberapa hal lain lalu kembali bertanya apa bahasa Inggrisnya
belimbing. Anak itu kembali salah menjawab. Ibu itu mulai kehilangan kesabaran,
lalu berkata dengan suara keras: ”Ayo, ucapkan starfruit 10 kali”. Anak itu
menurut tapi lagi-lagi salah ketika ditanya ibunya beberapa saat kemudian.
Kini ayahnya
mulai kehilangan kesabaran juga dan ikut membentak anaknya serta mengancam akan
membuang mainan anak bila si anak terus menerus tidak bisa menjawab.
Suatu kondisi
yang tidak menyenangkan bagi anak tersebut. Namun mungkin kita juga melakukan
hal yang sama.
Anak
ibaratnya kertas putih. Orang tua dan lingkunganlah yang mengisinya. Kegagalan
anak untuk belajar berarti kegagalan orang tua untuk memahami proses pembelajaran.
Dalam
mengajar anak, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Bakat Anak
Berbeda-beda Salah satu teori yang popular adalah kecerdasan majemuk/multiple
intelligence oleh Howard Gardner. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa anak
mempunyai bakat yang beraneka ragam. Ada yang pintar matematika, ada yang
pintar bahasa, ada juga yang pintar menggambar, menyanyi dan lain-lain.
2. Cara
Belajar Berbeda Para ahli sepakat bahwa ada 3 cara belajar yaitu: visual,
auditory, dan kinetik. Umumnya cara pengajaran di Taman Kanak-Kanak adalah
kinetik di mana seluruh panca indra anak dirangsang. Namun ketika memasuki
Sekolah Dasar, cara pengajaran cenderung ke arah visual (misal guru menulis di
papan dan murid mencatat), dan auditory (misal guru mengeja dan murid menulis)
3.
Lingkungan yang mendukung Gedung sekolah, meja belajar anak, sinar lampu dan
pertukaran udara hendaknya mendukung proses belajar mengajar.
4. Memahami
Psikologi Perkembangan Anak Anak belajar dari hal yang konkret/dapat disentuh
dengan pancaindra. Kemudian ke tahap semi abstrak (misal berupa gambar) dan
terakhir baru ke tahap abstrak.
5. Belajar
Harus dalam Kondisi yang Menyenangkan dan Tidak Tertekan/Stres Anak akan cepat
lupa bila guru mengajar dengan ‘suara tinggi’ atau dengan perasaan terpaksa.
Kehilangan guru favoritpun dapat mempengaruhi proses belajar.
6. Hindari
Pemberian ‘Label Bodoh’ pada Anak Kata-kata “kamu bodoh” sebaiknya dihindari
karena lambat laun hal ini akan menghancurkan harga diri anak dan ‘merampas
masa depan anak’. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan
hipnoterapi. Namun, tanpa kerjasama dan pemahaman orang tua maka hal itu akan
menjadi sia-sia.
Apa yang
akan terjadi puluhan tahun kemudian bila hal ini diabaikan?
Di suatu
kantor, seorang manajer sedang memarahi bawahannya karena melakukan kesalahan.
Bawahan: “Maaf Pak, saya salah. Saya memang bodoh.”
Pada
kesempatan yang lain, kembali bawahan tersebut melakukan kesalahan yang serupa
dan lagi-lagi dia berkata “Maaf, saya memang bodoh.”
‘Label
bodoh’ telah melekat pada diri anak tersebut dan telah ‘merampas masa
depannya’.
Masa depan
anak Anda tqerletak di tangan Anda sendiri.
BE BETTER
EVERYDAY
*) Agustinus
Prasetyo adalah karyawan. Saat ini sedang belajar menuliskan hikmah dari
peristiwa sehari-hari dan penulis buku “Panduan Cerdas Mengenali. Mencegah dan
Mengobati Kanker Prostat” berdasarkan pengalaman mendampingi sang ayah
tercinta. Dapat dihubungi di agusprasetyo86@yahoo.com atau pada blog
www.infosehat09hartonoprasetyo.wordpress.com
HL Aek Nauli |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar