PENGINJILAN DI ERA DIGITAL
Satu hari di Kedai Kopi jalan Doktor Mansyur beberapa tahun lalu, saya dan salah satu alumni FE ngobrol. “Lae, apa yang akan kita lakukan untuk menjangkau Mahasiswa Malaysia yang saat ini banyak di jalan ini ?”. Kami punya pandangan yang sama tentang sulitnya penginjilan di Malaysia sana, dan seharusnya kita memikirkan penjangkauan terhadap mereka yang hanya sebentar ada di Indonesia. Tapi bagaimana ?
“Lae, carikanlah ruko yang bisa jadi kedai kopi, menjadi hub yang bisa menjangkau mereka, dengan nuansa yang cocok dan itu jadi ‘rumah’ mereka, dari situlah kita menjangkau mereka”, katanya. Sebutlah Namanya Effendy, karena memang demikianlah adanya. Dan waktu berlalu, aku tidak dapat rukonya, dan akhirnya pindah dari Medan.
Tiba-tiba saja kita sudah berada di era digital. Youtube masuk ke ruang private, komunikasi menjadi flat dalam media social. Semua paham bisa eksis, bumi datar memberikan argument dan ada pengikut, ateis mendapat tempat khutbah, LGBT mendapat podium, free thinker bisa berpesta. Bagaimana dengan pelayanan Mahasiswa ? Apakah pelayanan itu hanya di sekat oleh tembok kampus ? apakah kesulitan birokrasi akan menjadi argument untuk tidak menyediakan konten di channel digital ? apakah kemudian mimbar itu hanya menjadi domain orang lain. Bagaimana dengan KMK dan pelayanan Alumni ?
Saya dan beberapa teman gelisah akan hal itu. Kami melihat bagaimana teknologi digunakan dalam masa pencetakan Alkitab. Teknologi (radio) digunakan dalam masa berdirinya KMK. Dan kami melihat ruang teknologi, digitalisasi, social media bisa dimaksimalkan untuk menjadi ruang penginjilan. Menembusi kamar kamar kost yang tertutup. Kami mengajak untuk memikirkan ulang pelayanan kampus dalam era teknologi. Dan Covid19 datang, seminar itu tidak berjalan.
PSBB berjalan, dan gereja gereja harus livestreaming, kita dipaksa. Ada Lembaga yang siap dan ada yang gagap. KMK salah satu yang menurut saya gagap. Tidak agile. Oleh karena apa ? oleh karena kita (alumni) tidak kreatif dan menularkan ketidakkreatifan itu dalam pelayanan. Kita terjebak dari pakem, metoda dan medium yang kita kenal dan biasa kita jalani saja.
Tapi, Itu bukan hanya pergumulan pelayanan. Itu pergumulan dunia bisnis juga. Termasuk organisasi yang saya pimpin. Ketika saya mengajak organisasi kami berbenah, banyak sekali kendala dan saya punya cukup alasan untuk menyerah. Kami perusahaan yang sukses, kami menghasilkan triliunan profit (bukan revenue) setiap tahunnya. Kami punya salesman handal, kami dealer terbesar Automotif di dunia, bukan hanya Indonesia. Tapi kami harus berbenah, dan kami harus melangkah, dengan segala resikonya. Hari ini kami melihat upaya itu mulai berbuah.
Bagaimana dengan gereja ? saya tahu banyak sekali gereja berbenah dalam masa masa ini. Saya juga dengar dari seorang penginjil saya dengar, Khotbah Livestreaming Pdt. Stephen Tong, di dengar dan dipelajari orang dari salah satu kampus di Bogor, yang terkenal dengan paham kerasnya. Apa yang dulu sulit, sekarang dengan masuk ke channel Youtube menjadi mungkin. Menembusi ruang ruang tertutup bagi Injil.
Salah satu teman saya menyediakan server dan harus gonta ganti oleh karena sulitnya menembus china. Hari ini tembus besok di blok dst.
Lalu bagaimana dengan kita ? apa yang kita sajikan ke public space ? FB, youtube, medsos kita? Bagaimana kita membawa injil Kabar Baik ke dunia ini ? Saya saat ini membaca lagi satu buku Injil bagi Free Thinker yang ditulis seorang misionaris, bagaimana percakapan percakapan penginjilan kepada kaum muda (mahasiswa), bagaimana berita Injil menjadi context sensitive.
Seandainya dalam masa covid19 ini banyak konten2 percakapan dunia maya yang menembusi kamar kamar kost dan kampung kampung mahasiswa yang pulang. Bagaimana Injil terus berbicara dalam keseharian adek adek di kampung, dan kita semua.
Kemarin saya ngobrol ringan dengan Mamakku, “Udah dulu ya, saya mau dengar khutbah Pdt Jimmy Pardede”, katanya. “eh Mak, pdt Aiter dulu titip salam sama Mamak”, kataku. “Mamak ini kenalannya pendeta pendeta semua”, candaku. “Barangkali karena mereka terkesan dengan pelayanan Mamak waktu mereka dating ke kampung”, lanjutku serius. “Pelayanan apa? Mereka yang melayani kami! Aku nggak bs mengikuti mereka ke sekolah sekolah, kalau Bapakmu dulu masih ikut” katanya. “Mak, bukannya mamak bangun malam malam, dan membuka pintu waktu mereka datang, dan kasi selimut dan menyeduh kopi untuk mereka?” kataku. “Ah… itu kewajibanku. Hanya itu yang bisa aku lakukan, untuk pelayan Tuhan. Mereka sudah datang jauh jauh untuk melayani kampung kita”.
Aku merenung….
Satu hari di Kedai Kopi jalan Doktor Mansyur beberapa tahun lalu, saya dan salah satu alumni FE ngobrol. “Lae, apa yang akan kita lakukan untuk menjangkau Mahasiswa Malaysia yang saat ini banyak di jalan ini ?”. Kami punya pandangan yang sama tentang sulitnya penginjilan di Malaysia sana, dan seharusnya kita memikirkan penjangkauan terhadap mereka yang hanya sebentar ada di Indonesia. Tapi bagaimana ?
“Lae, carikanlah ruko yang bisa jadi kedai kopi, menjadi hub yang bisa menjangkau mereka, dengan nuansa yang cocok dan itu jadi ‘rumah’ mereka, dari situlah kita menjangkau mereka”, katanya. Sebutlah Namanya Effendy, karena memang demikianlah adanya. Dan waktu berlalu, aku tidak dapat rukonya, dan akhirnya pindah dari Medan.
Tiba-tiba saja kita sudah berada di era digital. Youtube masuk ke ruang private, komunikasi menjadi flat dalam media social. Semua paham bisa eksis, bumi datar memberikan argument dan ada pengikut, ateis mendapat tempat khutbah, LGBT mendapat podium, free thinker bisa berpesta. Bagaimana dengan pelayanan Mahasiswa ? Apakah pelayanan itu hanya di sekat oleh tembok kampus ? apakah kesulitan birokrasi akan menjadi argument untuk tidak menyediakan konten di channel digital ? apakah kemudian mimbar itu hanya menjadi domain orang lain. Bagaimana dengan KMK dan pelayanan Alumni ?
Saya dan beberapa teman gelisah akan hal itu. Kami melihat bagaimana teknologi digunakan dalam masa pencetakan Alkitab. Teknologi (radio) digunakan dalam masa berdirinya KMK. Dan kami melihat ruang teknologi, digitalisasi, social media bisa dimaksimalkan untuk menjadi ruang penginjilan. Menembusi kamar kamar kost yang tertutup. Kami mengajak untuk memikirkan ulang pelayanan kampus dalam era teknologi. Dan Covid19 datang, seminar itu tidak berjalan.
PSBB berjalan, dan gereja gereja harus livestreaming, kita dipaksa. Ada Lembaga yang siap dan ada yang gagap. KMK salah satu yang menurut saya gagap. Tidak agile. Oleh karena apa ? oleh karena kita (alumni) tidak kreatif dan menularkan ketidakkreatifan itu dalam pelayanan. Kita terjebak dari pakem, metoda dan medium yang kita kenal dan biasa kita jalani saja.
Tapi, Itu bukan hanya pergumulan pelayanan. Itu pergumulan dunia bisnis juga. Termasuk organisasi yang saya pimpin. Ketika saya mengajak organisasi kami berbenah, banyak sekali kendala dan saya punya cukup alasan untuk menyerah. Kami perusahaan yang sukses, kami menghasilkan triliunan profit (bukan revenue) setiap tahunnya. Kami punya salesman handal, kami dealer terbesar Automotif di dunia, bukan hanya Indonesia. Tapi kami harus berbenah, dan kami harus melangkah, dengan segala resikonya. Hari ini kami melihat upaya itu mulai berbuah.
Bagaimana dengan gereja ? saya tahu banyak sekali gereja berbenah dalam masa masa ini. Saya juga dengar dari seorang penginjil saya dengar, Khotbah Livestreaming Pdt. Stephen Tong, di dengar dan dipelajari orang dari salah satu kampus di Bogor, yang terkenal dengan paham kerasnya. Apa yang dulu sulit, sekarang dengan masuk ke channel Youtube menjadi mungkin. Menembusi ruang ruang tertutup bagi Injil.
Salah satu teman saya menyediakan server dan harus gonta ganti oleh karena sulitnya menembus china. Hari ini tembus besok di blok dst.
Lalu bagaimana dengan kita ? apa yang kita sajikan ke public space ? FB, youtube, medsos kita? Bagaimana kita membawa injil Kabar Baik ke dunia ini ? Saya saat ini membaca lagi satu buku Injil bagi Free Thinker yang ditulis seorang misionaris, bagaimana percakapan percakapan penginjilan kepada kaum muda (mahasiswa), bagaimana berita Injil menjadi context sensitive.
Seandainya dalam masa covid19 ini banyak konten2 percakapan dunia maya yang menembusi kamar kamar kost dan kampung kampung mahasiswa yang pulang. Bagaimana Injil terus berbicara dalam keseharian adek adek di kampung, dan kita semua.
Kemarin saya ngobrol ringan dengan Mamakku, “Udah dulu ya, saya mau dengar khutbah Pdt Jimmy Pardede”, katanya. “eh Mak, pdt Aiter dulu titip salam sama Mamak”, kataku. “Mamak ini kenalannya pendeta pendeta semua”, candaku. “Barangkali karena mereka terkesan dengan pelayanan Mamak waktu mereka dating ke kampung”, lanjutku serius. “Pelayanan apa? Mereka yang melayani kami! Aku nggak bs mengikuti mereka ke sekolah sekolah, kalau Bapakmu dulu masih ikut” katanya. “Mak, bukannya mamak bangun malam malam, dan membuka pintu waktu mereka datang, dan kasi selimut dan menyeduh kopi untuk mereka?” kataku. “Ah… itu kewajibanku. Hanya itu yang bisa aku lakukan, untuk pelayan Tuhan. Mereka sudah datang jauh jauh untuk melayani kampung kita”.
Aku merenung….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar