WACANA KAMPANYE POLITIK PEMILIHAN WALIKOTA
DAN WAKIL WALIKOTA MEDAN, PERIODE 2010-2015
Oleh : Lidia Sianturi 06
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbitrer digunakan oleh masyarakat
untuk berhubungan dan bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri
(Harimurti Kridalaksana, 1994:24). Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai
peranan penting dalam interaksi manusia. Bahasa dapat digunakan manusia untuk
menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaaan dan pengalamannya kepada orang
lain. Tanpa bahasa manusia akan lumpuh dalam komunikasi maupun interaksi antara
individu maupun kelompok. Dengan demikian, manusia tidak dapat terlepas dari
bahasa karena pentingnya fungsi bahasa dalam kehidupannya.
Bahasa merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang-kadang
informasi yang dituturkan oleh komunikator memiliki maksud terselubung. Oleh
karena itu, setiap manusia harus memahami maksud dan makna tuturan yang
diucapkan oleh lawan tuturnya. Dalam hal ini tidak hanya sekedar mengerti apa
yang telah diujarkan oleh si penutur, tetapi juga konteks yang digunakan dalam
ujaran tersebut harus dipahami. Kegiatan semacam ini akan dapat dianalisis dan
dipelajari dengan pragmatik. Pragmatik merupakan subdisiplin linguistik
interdisipliner yang tidak hanya terbatas pada kerangka teori saja namun
merupakan ilmu yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Pragmatik cenderung
mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau strukturnya.
Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke arah
formalisme. Penerapan pragmatik dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui
dengan menganalisis bentuk-bentuk penggunaan bahasa baik secara lisan maupun
tulisan yang berwujud tuturan.
Dalam kajian ilmu pragmatik juga dibahas
tentang implikatur. Salah satu aplikasi bahasa sebagai alat komunikasi adalah
implikatur dalam wacana kampanye politik. Implikatur adalah ujaran atau
pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya
diucapkan. Dilihat dari sudut pandang pragmatik, dalam kampanye politik banyak
implikatur di balik janji-janji yang disampaikan kepada rakyat. Pada dasarnya
wacana kampanye politik ini lekat dengan situasi politik partai yang terkait
dengan dukung- mendukung. Hal ini dijumpai ketika adanya pemilihan umum baik
pemilihan presiden dan wakilnya, calon legislatif, dan pemilihan umum kepala
daerah. Tahun 2010 memiliki arti penting bagi seluruh masyarakat Medan karena
tahun tersebut diadakan pemilihan umum
calon walikota dan wakil walikota yang diadakan tanggal 9 Juli 2010 yang
diawali dengan kampanye yang sangat menarik. Nama-nama pasangan calon Walikota
dan wakil Walikota Medan yang terpilih adalah: no. urut 1 pasangan Dr. H. Sjahrial R.
Anas-Drs. H. Yahya Sumardi. No. urut 2 pasangan Sigit Pramono Asri, S.E.-Ir.
Hj. Nurlisa Ginting, M.Sc. No. urut 3 pasangan Indra Sakti Harahap, S.T.,
M.Sc.-Dr. Delyuzar, S.P., PA(K). No. urut 4 pasangan H. Bahdin Nur Tanjung,
S.E., M.M.-Drs. H. Kasim Siyo. No. urut 5 pasangan Drs. H. Joko Susilo-Amir Mirza
Hutagalung, S.E. No. urut 6 pasangan H. Rahudman Harahap-H. Djulmi Eldin. No.
urut 7 pasangan Prof. Dr. H.M. Arif Nasution, M.A.-H. Supratikno W.S., S.E. No.
urut 8 pasangan Ir. H. Maulana Pohan, M.M.-H. Ahmad Arif, S.E.,M.M. No. urut 9
pasangan H. Ajib Shah-Dr. Ir. Binsar Situmorang, M.Si. No. urut 10 pasangan dr.
Sofyan Tan-Nelly Armayanti, S.P., M.Sp.
Perubahan sistem pemilihan yang ditetapkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang berbasis pada
perolehan suara telah membuat para caleg mengubah strategi. Sistem perolehan
suara terbanyak mau tidak mau membawa atmosfer kompetisi yang semakin ketat.
Tidak hanya dengan partai lawan, tetapi juga dengan rekan separtai kekuatan
figur menjadi sangat penting. Salah satu cara memperkenalkan figur tersebut melalui
berbagai atribut kampanye yang dianggap simbol reprentasi calon legislatif. Meskipun
tidak memberikan pengaruh signifikan, nyatanya baliho digunakan para caleg
untuk mencitrakan dirinya dengan menggunakan kata-kata atau gambar yang unik. Strategi
berkomunikasi untuk menyampaikan pesan dan menarik perhatian rakyat menjadi
prioritas utama bagi para juru kampanye.
Kajian implikatur dianggap
penting karena terikat konteks untuk menjelaskan maksud implisit dari tindak
tutur penuturnya. Dengan demikian praanggapan lawan tutur bermacam-macam
bergantung pada referensi dan pemahaman
konteks yang dimilikinya untuk membuat inferensi terhadap implikatur dari
seseorang penutur. Untuk memahami bentuk-bentuk bahasa yang implikatif perlu
adanya pengkajian dan analisis yang mendalam. Selain itu, dalam mengkaji dan
menganalisis memerlukan kepekaan dengan konteks yang melingkupi peristiwa
kebahasaan itu, supaya maksud terselubung di balik wacana kampanye politik
benar-benar dimengerti oleh masyarakat.
Dengan melihat secara khusus
teks-teks yang digunakan dalam wacana kampanye politik saat ini, kita dapat
membangun kesimpulan tentang kedudukan bahasa dalam kampanye tersebut.
Bahasa-bahasa dalam wacana kampanye politik tersebut berdiri sebagai sesuatu
yang harus dibaca dan dilihat. Kata-kata tersebut memberi kita ide dan visi
baru yang mempengaruhi cara berpikir kita. Untuk dapat mempengaruhi pembaca,
wacana kampanye politik biasanya ditampilkan dengan suatu gaya pengungkapan yang khas. Kekhasan dari
wacana kampanye itu sangat menarik.
Dalam memahami implikatur
dalam wacana kampanye politik pemilihan
calon Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015 ini, pembaca sangat
terbantu dengan adanya ilustrasi gambar dengan berbagai karakter , ukuran dan
penguatan kata-kata. Kedudukan gambar cukup penting dalam menarik perhatian
khalayak karena lebih mudah diingat daripada kata-kata yang mempunyai banyak
maksud yang bisa digali didalamnya. Dan salah satu kekhasan gambar adalah
sebagai alat ungkap pesan secara visual menawarkan kesempatan luas untuk
didayagunakan sebagai alat memperjelas pesan, mudah dimengerti, menarik
perhatian dalam rangka mengajak sesuatu maksud atau gagasan kepada khalayak.
Dengan demikian, aspek desain
komunikasi visual dalam rangkaian wacana kampanye politik pemilihan calon Walikota dan
Wakil Walikota Medan periode 2010-2015 merupakan upaya persuasif bersifat
mengajak, menginformasikan, menegaskan, dan menyuruh atau memerintah. Sedangkan
tujuannya adalah untuk mempengaruhi pembaca, merangsang perhatian, menimbulkan
tindakan, merangsang tindakan, supaya memilih sesuai dengan kehendak khalayak.
Grice (1967 dalam Soemarmo, 1988:170)
mengemukakan bahwa untuk dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien
diperlukan kaidah penggunaan bahasa. Kaidah ini terdiri dari 2 pokok, yaitu:
(1) prinsip koperatif yang menyatakan “katakan apa yang diperlukan pada saat
terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu.” (2)
empat maksim percakapan yang terdiri dari maksim kuantitas, maksim kualitas,
maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Beliau juga menyatakan, apabila salah
satu dari empat maksim tersebut tidak dipatuhi berarti sipembaca bermaksud
menyatakan sesuatu dibalik yang diucapkannya. Dengan demikian, ucapan tersebut
mempunyai implikatur karena mempunyai maksud dibalik ucapan itu (Lubis, 1993:
74)
Wacana kampanye politik ini jelas
mengandung implikatur dan hal ini sangat menarik. Untuk menemukan implikatur
yang terdapat pada suatu ujaran dibutuhkan kaidah pertuturan. Kaidah tersebut
terdiri dari: (1) penentuan makna dasar dari ucapan itu, (2) penentuan
implikaturnya yang terdiri dari penganutan prinsip kooperatifnya, nilai
evaluatifnya dan kemungkinan kesimpulannya (Siregar, 1997:39)
Bentuk wacana kampanye politik
pemilihan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015 pada media
luar ruang seperti baliho juga tidak terlepas dari tindak tutur. Dalam menelaah
implikatur harus benar-benar disadari pentingnya konteks ucapan tuturan.
Tuturan wacana kampanye politik pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan,
periode 2010-2015 memiliki keunikan tersendiri dan sangat menarik untuk
diteliti karena banyak pesan-pesan yang dapat diungkapkan di dalamnya. Dengan
alasan inilah peneliti tertarik untuk mengangkat “Implikatur dalam Wacana Kampanye
Politik Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan Periode 2010-2015” sebagai judul penelitian.
1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian
ini adalah:
1.
Implikatur apa sajakah yang terdapat dalam wacana
kampanye politik pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan, periode
2010-2015?
2.
Tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam Wacana Kampanye
Politik Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan, periode 2010-2015?
1.2.1
Batasan
Masalah
Suatu penelitian harus dibatasi supaya
terarah dan tujuannya tercapai. Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada
analisis pragmatik yang meliputi implikatur dan tindak tutur yang terdapat
dalam wacana kampanye politik pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Medan, periode 2010-2015. Adapun yang menjadi objek
dalam penelitian ini adalah wacana kampanye politik yang penulis batasi hanya
pada media cetak khususnya baliho. Sedangkan data yang digunakan untuk
analisis, penulis batasi mulai rangkaian periode yaitu tahun 2010.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
- Menentukan implikatur yang terdapat dalam Wacana Kampanye Politik Pemilihan Walikota dan wakil Walikota Medan, periode 2010-2015.
- Menentukan dan menganalisis jenis-jenis tindak tutur dalam Wacana Kampanye Politik Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015.
1.4 Manfaat
Penelitian ini memiliki manfaat baik
untuk diri peneliti sendiri maupun orang lain, adapun manfaat yang akan
diperoleh dalam penelitian ini adalah :
- Memberikan pengalaman tersendiri bagi peneliti dengan mengetahui implikatur dalam wacana kampanye politik pemilihan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010 – 2015.
- Menambah sumber bacaan, memperkaya ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan kepada peneliti-peneliti lainnya yang ingin menganalisis tentang implikatur dalam sebuah wacana kampanye politik.
- Memberikan sumbangan pikiran untuk pengajaran Pragmatik Indonesia, khususnya bidang implikatur dalam sebuah wacana kampanye politik.
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah: 1 rancangan atau
buram surat, dsb. 2 ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa
konkret: satu istilah dapat mengandung dua – yang berbeda; 3 gambaran mental
dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh
akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 1988:546).
Untuk memahami hal-hal yang ada
dalam penelitian ini diperlukan beberapa konsep, yaitu konsep implikatur dan
konsep wacana kampanye politik.
2.1.1 Konsep Implikatur
Implikatur merupakan satu kajian bidang ilmu Pragmatik. Implikatur adalah
ujaran atau pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang
sebenarnya diucapkan atau dengan kata lain tuturan yang disampaikan itu dicakup
dalam dua bagian yaitu apa yang disampaikan (makna dasar) dan apa yang
diimplikasikan (makna lain/implikaturnya).
2.1.2 Konsep Wacana Kampanye Politik
Wacana
adalah kesatuan tutur yang merupakan; satuan bahasa terlengkap yang
direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh seperti novel, buku,
artikel, pidato atau kotbah (Alwi, dkk. 2003:1265). Wacana merupakan penggunan
bahasa dalam komunikasi baik lisan maupun tulisan (Yule, 1996:143). Wacana yang dimaksud
adalah satu kesatuan semantik bukan
kesatuan gramatikal. Kesatuannya dilihat dari kesatuan maknanya bukan dari
bentuknya (morfem, klausa, kata atau kalimat).
Kampanye politik merupakan proses
menyampaikan pesan-pesan politik yang salah satu fungsinya memberikan
pendidikan politik bagi masyarakat. Setiap partai politik selalu berusaha
menemukan cara-cara paling efektif untuk merekrut massa sebanyak-banyaknya.
Salah satu cara merekrut massa tersebut adalah melalui pesan-pesan politik dari
para kandidat. Pesan-pesan tersebut semakin bervariasi baik bentuknya maupun
media yang digunakan. Media iklanlah yang paling banyak dipilih oleh para
kandidat. Media iklan tersebut diantaranya media cetak, media elektronik, dan
media luar ruang seperti baliho, spanduk, poster, dll. Cara memperkenalkan
figur tersebut melalui berbagai atribut kampanye yang dianggap sebagai simbol
reprentasi caleg dengan menggunakan kata-kata atau gambar yang unik untuk
menarik perhatian masyarakat.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pragmatik
Menurut
Yule, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna yang
dikehendaki sipenutur (dalam Cahyono, 1955:213). Dalam pragmatik juga dilakukan
kajian tentang deiksis, praanggapan, implikatur, inferensi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana
(Levinson, 1983 dalam Soemarmo, 1988:169).
Dalam penelitian ini, pembicaraan
mengenai kajian pragmatik lebih dibatasi pada implikatur tindak tutur yang merupakan bagian dari suatu
tuturan, dan konteks yang mempunyai peranan penting dalam situasi tuturan.
2.2.2 Implikatur
Menurut
Gunpers (dalam Lubis, 1991:68), inferensi (implikatur) adalah proses
interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Selalu benar apa yang
dimaksud oleh sipembicara tidak sama dengan apa yang ditanggap oleh sipendengar
sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat atau sering juga terjadi si
pembicara mengulangi kembali ucapannya mungkin dengan cara atau kalimat yang
lain supaya dapat ditanggapi oleh si pendengar
Hal yang memungkinkan
berlangsungnya situasi percakapan seperti di atas dikuasai oleh satu hukum atau
kaidah pragmatik umum yang menurut H. Paul
grice (1967 dalam Soemarmo, 1988:171) disebut kaidah penggunaan bahasa.
Kaidah ini mencakup peraturan tentang bagaimana percakapan dapat dilakukan
secara efektif dan efisien. Kaidah
ini terdiri dari 2 pokok, yaitu: (1) prinsip koperatif yang menyatakan “katakan
apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan
dari percakapan itu.” (2) empat maksim percakapan yang terdiri dari maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.
Maksim
kualitas mewajibkan
setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Konstribusi peserta
percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seorang
harus mengatakan bahwa Indonesia adalah ibukota Jakarta, bukan kota-kota yang
lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan tetapi, bila terjadi hal yang
sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal demikian bisa terjadi.
Maksim
kuantitas menghendaki
setiap peserta pertuturan memberikan konstribusi yang secukupnya atau sebanyak
yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
Contoh:
(4) Tetangga saya hamil
(5) Tetangga saya yang perempuan
hamil
Ujaran (4) di atas lebih ringkas,
juga tidak menyimpang nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu
mengetahui bahwa wanitalah yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (5)
sifatnya berlebihan. Kata hamil dalam
(4) sudah menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang perempuan dalam (5) justru menerangkan hal-hal yang sudah
jelas. Hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas.
Maksim relevansi mengharuskan setiap
peserta percakapan memberikan konstribusi yang relevansi dengan masalah
pembicaraan.
Contoh:
(6) + Ani, ada telepon untuk
kamu.
- Saya lagi di belakang, Bu!
Jawaban (-) pada (6) di atas sipintas
tidak berhubungan, tetapi bila diamati, hubungan implikasionalnya dapat
diterangkan. Jawaban (-) pada (6) mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak
dapat menerima telepon itu. Fenomena (6) mengisyaratkan bahwa fenomena
relevansi tindak ucap peserta konstribusinya tidak selalu terletak pada makna
ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada apa yang diimplikasikan ujaran itu
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap
peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak takabur, tidak taksa, dan
tidak belebihan serta runtut.
Contoh:
(7) + let’s stop and get
something to eat!
- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S!
Dalam (7) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara langsung, yakni
dengan mengeja satu per satu kata Mc Donalds penyimpangan ini dilakukan karena
ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui
maksudnya.
Salah
satu pegangan atau kaidah percakapan ialah bahwa pendengarnya menganggap bahwa
pembicaraanya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas. Apabila terdapat
tanda-tanda bahwa salah satu dasar atau maksim tersebut tidak diikuti, maka
ucapan itu mempunyai implikatur (Siregar 1997:30)
Contoh:
A. Nasinya sudah masak.
Implikaturnya adalah silakan dimakan.
B. Saya punya sepeda.
Implikaturnya adalah sepeda saya boleh
Anda pakai.
Kalimat-kalimat
di atas mempunyai implikatur karena keduanya tidak sesuai dengan maksim
kuantitas (sesuatu yang jelas masih dinyatakan). Jadi, pendengarnya harus
memutuskan bahwa ada makna lain dibalik ucapan itu. Dan karena disetiap
percakapan kita harus menganggap bahwa prinsip kooperatifnya selalu diikuti,
maka tugas pendengarnya adalah menetapkan atau mengolah ucapan itu untuk
menentukan makna dibaliknya dengan mempergunakan kaidah-kaidah yang ada
2.2.3
Tindak Tutur
Menurut Searle, dalam komunikasi bahasa terdapat
tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekedar lambang,
kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil
dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku atau tindak tutur.
Lebih tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam
kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa.
Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan
perintah, tindak tutur dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah
(dalam Rani, 2004:158)
Teori
tindak tutur dikemukakan oleh John R. Searle (1983) dalam bukunya Speech Acts: An Essay in the Philosophy of
Language. Ia membagi praktik penggunaan bahasa menjadi tiga macam tindak
tutur, yaitu:
1.
Tindak
‘lokusi’ yang mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan dalam ungkapan,
serupa dengan hubungan ‘pokok’ dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan
dalam sintaksis. Dalam tindak ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi
tuturan yang disampaikan sipenutur, tetapi bermaksud untuk memberi tahu petutur
(dalam Lubis, 1991:9)
Contoh: Saya lapar, seseorang mengartikan Saya sebagai orang pertama tunggal (sipenutur), dan lapar mengacu ke ‘perut yang kosong dan
perlu diisi’, tanpa bermaksud untuk meminta makanan.
2.
Tindak
‘ilokusi’ yaitu tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu.
Pada tindak tutur ini, penutur mengucapkan kalimat bukan dimaksudkan untuk
memberi tahu penutur saja, tetapi ada keinginan petutur melakukan tindakan.
Contoh: Saya lapar yang maksudnya adalah meminta makanan merupakan suatu
tindak ilokusi. Begitu juga kalimat “ Saya
mohon bantuan Anda” bukan hanya suatu pernyataan saja, tetapi maksudnya
adalah si penutur benar-benar meminta bantuan.
3.
Tindak
‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada
pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu (Nababan,
1989:18, dalam Lubis, 1993:9)
Contoh: darikalimat Saya lapar yang dituturkan oleh
sipenutur menimbulkan efek kepada pendengar yaitu dengan memberikan atau
menawarkan makanan kepada penutur.
Dalam
ilmu bahasa dapat kita samakan tindak lokusi itu dengan “predikasi”, tindak
ilokusi dengan ‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan ‘akibat suatu
ungkapan’. Atau dengan kata lain dapat kita katakan bahwa lokusi adalah makna
dasar atau referensi kalimat itu, ilokusi sebagai daya yang ditimbulkan oleh
pemakainya sebagai perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan lain-lain. Perlokusi
adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya
Kalimat: Nilai raportmu bagus
sekali!
Dari segi lokusi, ini hanya
sebuah pernyataan bahwa nilai raport itu bagus (makna dasar). Dari segi
ilokusi, dapat berupa pujian atau ejekan. Pujian kalau nilai raportnya memang
bagus, dan ejekan kalau nilainya tidak bagus. Dari segi perlokusi dapat membuat
pendengar itu menjadi sedih (muram) dan sebaliknya dapat mengucapkan terima
kasih.
Ucapan
yang tidak langsung itu tidak menyatakan pujian atau ejekan, tetapi
mengharuskan si pedengar mengolahnya sehingga makna yang sebenarnya dapat
ditentukannya.
Jadi,
kalimat: nilai raportmu bagus sekali bermakna dasar sebuah raport bernilai
bagus. Prinsip kooperatifnya di sini dijalankan karena sipembicara menyatakan
sesuai dengan tujuan pembicara itu. Dari segi evaluatifnya dapat dikatakan
sebagai berikut: si pembicara menyatakan sesuatu dengan terang dan jelas dan
ini biasanya mempunyai makna dibalik ujaran tersebut.
Dalam
hal ini, konteks dan penuturnya memegang
peranan untuk menyatakan nilai evaluatifnya. Jika yang menyatakan itu adalah
orang tua kepada anaknya yang menunjukkan raportnya dan air muka orang tua itu
tidak jernih, maka jelas daya ilokusi pernyataan itu adalah kekesalan.
Kesimpulan ini menentukan bagaimana respon si pendengar atau anak yang
mempunyai raport tersebut. Ia mungkin akan menyatakan bahwa guru-gurunya tidak
jujur atau juga mungkin hanya merasa sedih atau mungkin juga dapat menangis,
atau ia menyatakan akan berusaha sekuat mungkin. Dan inilah nilai perlokusi.
Searle
mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori,
yakni:
1.
Representatif
atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan, mengusulkan, membual,
mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan.
2.
Direktif
yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang
dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut,
memberi nasihat
3.
Komisatif
yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya
menjanjikan, menawarkan.
4.
Ekspresif
yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis
penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan
terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, menuduh, memuji,
mengucapkan belasungkawa dan sebagainya.
5.
Deklaratif
yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan, misalnya
mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman,
mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.
2.2.4
Konteks
Konteks berasal dari bahasa latin ‘contexere’ yang berarti
‘menjalin bersama’. Kata konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar
belakang, atau lingkungan yang berhubungan dengan dirinya, yang terjalin
bersama.
Hymes
(1972, dalam Chaer, 1995:62), sorang pakar linguistik terkenal mengatakan bahwa
suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang bila huruf-huruf
pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu
adalah:
1.
S
(Setting and Scane).
2.
P
(Participants).
3.
E
(Ends), merujuk
pada maksud dan tujuan pertuturan.
4.
A
(Act sguence),
mengacu kepada bentuk ujaran dan isi
ujaran.
5.
K (Keys), mengacu pada nada, cara dan
semangat dimana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, serius, mengejek,
bergurau.
6.
I
(Instrumentalities),
7.
N
(Norm of
interaction and interpretation), mengacu pada tingkah laku yang khas dan sikap yang berkaitan dengan
peristiwa tutur.
8.
G
(Genres), mengacu pada jenis
penyampaian.
Setting berkenaan dengan tempat dan
waktu tuturan berlangsung, sedangkan scane
mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.
Waktu, tempat dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan
variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada
pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan
di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi.
Di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, tetapi di ruang
perpustakaan harus seperlahan mungkin.
Participants adalah pihak-pihak yang
terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa,
atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat
berganti peran sebagai pembicara dan pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid,
Khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar
peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan.
Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda
apabila berbicara dengan orang tua atau gurunya bila dibandingkan kalau ia
berbicara dengan teman sebayanya.
Ends
merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di
ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara, namun para
partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan
terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan
hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Dalam peristiwa tutur di ruang
kajian linguistik, dosen yang cantik itu berusaha menjelaskan materi kuliah
agar dapat dipahami mahasiswanya, namun mungkin ada diantara para mahasiswa
datang hanya untuk memandang wajah ibu dosen yang cantik itu.
Act
Sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini
berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan apa
hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran
dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda.
Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
Keys
mengacu pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaikan:
dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan
mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan
isyarat.
Instrumentalities
mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis,
melalui telegraf atau telepon. Instrumentatalities ini juga mengacu pada kode
ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek atau register.
Norms
of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam
berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan
sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan
bicara.
Genres
mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa
dan sebagainya.
2.3 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan tinjauan pustaka yang
dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang relevan untuk dikaji dalam penelitian
ini. Adapun sumber tersebut adalah seperti berikut.
Wijana (2001) meneliti implikatur
dalam wacana pojok. Dia menyimpulkan tentang fakta bahwa sebuah tuturan
khususnya tuturan yang diutarakan untuk maksud mengritik, mengecam, memberikan
cara-cara dengan sopan, seperti halnya wacana pojok dikreasikan sedemikian rupa
dengan tuturan-tuturan yang berimplikatur. Dalam hal ini kajian pragmatik harus
memberikan kepastian konteks agar semakin sempit atau terbatas kemungkinan
implikatur yang dapat ditimbulkan oleh sebuah tuturan.
Dewana (2001), dalam skripsinya Pasangan Bersesuaian dalam Wacana
Persidangan (Analisis Implikatur Percakapan). Dia menyimpulkan tentang
penerapan prinsip kerja sama serta empat maksim percakapan pasangaan
bersesuaian yang terdapat pada analisis implikatur percakapan dalam wacana
persidangan adalah pola panggilan-jawaban, pola permintaan
pemersilahan-penerimaan, pola permintaan informasi-pemberian, pola
penawaran-penerimaan, pola penawaran-penolakan.
Anina (2006) meneliti tentang
implikatur percakapan dalam wacana humor berbahasa Indonesia. Dia menyimpulkan bahwa
wacana humor berbahasa Indonesia memilki karakteristik wujud lingual
implikatur percakapan seperti kalimat deklaratif, interogatif, imperatif.
Selain itu, implikasi pragmatis implikatur percakapan dalam wacana humor
berbahasa Indonesia
memiliki fungsi menghibur, menyindir, memerintah, dan mengejek.
Dari uraian di atas, penelitian
terhadap implikatur dalam wacana khususnya wacana kampanye politik masih
sedikit. Oleh karena itu, pada kesempatan ini akan diteliti bagaimana bentuk
implikatur dalam Wacana Kampanye Politik Pemilihan Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota Medan periode 2010-2015 dan pesan-pesan apa yang tersirat dibalik
konteks yang dituturkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar