H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Rabu, 22 Juni 2022

The Emotionally Healthy Woman 1

 

Resensi Buku kehidupan

The Emotionally Healthy Woman

Penulis : Geri Scazzero dan Peter Scazzero

 

             Ini tentang buku yang sedang aku baca, dan aku berhara agar dapat menyelesaikannya, sambil membaca, yups.. mari kita buat resensi atau resume atau kata kata mutiara yang bisa kita ingat.

             Buku ini terdiri dari 8 bab  dan ada 205 Halaman. Buku ini sangat bagus dan baik untuk kita baca lo teman-teman. Ada 8 perkara yang harus anda hentikan untuk mengubah hidup anda.

Apakah kamu pernah juga membaca buku ini ? bagaimana menurut kamu isinya ? pasti bagus dan bermakna kan ? atau kamu belum selesai membacanya ? tidak apa apa, yang penting kamu tetap semangat membacanya .

            

BAB 1

Berhenti Mencemaskan Apa yang Orang Lain Pikirkan ?

             Dalam bab ini, paragraf awal sudah menceritakan langsung perdebatan antara sang suami dan istri. Inilah perasaan istri pendeta :

Saya tidak peduli lagi. Saya sudah sampai di titik dasar. Karena suami mencurahkan hidupnya begitu banyak bagi gereja, saya sebagai istri merasa seperti orangtua tunggal yang membesarkan empat anak perempuan sendirian.

             Sementara istri adalah seorang Kristen yang berkomitmen selama bertahun-tahun, namun identitas utama istri pendeta didefenisikan bukan saja oleh kasih Tuhan bagi istri, melainkan oleh apa yang orang lain pikirkan tentang seorang istri pendeta. Hal ini secara negatif berdampak pada setiap bidang kehidupan si istri . mulai dari pernikahan, pola mengasuh anak, persahabatan, kepemimpinan, bahkan harapan dan impian istri.

             Sekarang istri sudah kehilangan rasa takut tentang apa yang mungkin dipikirkan atau dikatakan orang lain. Istri tidak akan rugi apapun. Istri sudah memberi diri begitu besar sampai-sampai istri tidak lagi mengenali dirinya sendiri. Hilang sudah sang istri yang dikenal sebagai perempuan kreatif, ramah, menyenangkan, dan tegas. Sekarang sang istri adalah seorang ibu yang cemberut, depresi, letih dan marah.

             Saat ini gereja sebagai tempat pelayanan mereka sedang bertumbuh dan berbagai perkara ajaib sedang terjadi dalam kehidupan banyak orang, tapi ini terwujud dengan harga yang terlalu mahal, harga yang tak ingin lagi sang istri bayar. Ada sesuatu yang sangat salah dengan memenangkan seluruh dunia bagi Kristus dengan harga kehilangan jiwa seorang istri, jiwanya sendiri.

             Sang istri mengeluhkan kepada sang suami kesengsaraan yang dialami istri. Sang istri mulai menyalahkan sang suami atas penderitaannya. Untuk membuat segala sesuatunya lebih buruk, sang istri merasa malu dan bersalah tentang semua ini. Ada pernyataan bahwa seseorang yang tidak takut kehilangan apa-apa akan menjadi orang yang paling kuat di muka bumi . sekarang kondisi ini dialami oleh si istri.

             Saat melihat ke belakang, sang istri sangat sedih dan malu karena perlu waktu begitu lama sampai akhirnya si istri mengambil tindakan. Kecemasan tentang apa yang orang lain pikirkan telah melumpuhkan sang istri selama bertahun-tahun.

 

Mengharapkan Orang Lain Untuk Berkata Bahwa “Saya baik-baik saja”

             Tanpa sadar , sang suami dan istri bersikap emosional seperti pasangan kembar siam. Keduanya saling terikat, tapi dengan cara yang tidak sehat. Saya ingin suami memikirkan apa yang dipikirkan istri dan merasakan apa yang dirasakan istri; sebaliknya sang suami ingin memikirkan apa yang dia pikirkan dan merasakan apa yang dia rasakan. Suami berpikir bahwa saya harus merasakan kesukaran dan semangat yang dirasakannya demi menanam  gereja di New York City. Saya pikir dia seharusnya merasakan tekanan saya atas kesukaran yang terjadi dalam hidup kami, jam-jam panjang, tidak cukup uang, tidak ada waktu jeda, dan orang orang sulit.

             Kami juga saling terikat dalam merasa bertanggung jawab atas kesedihan, kemarahan dan kegelisahan masing-masing. Sebagai akibatnya, kami hidup dalam reaksi terhadap satu sama lain, saling meremehkan, mempersalahkan, mengingkari, dan mempertahankan diri terhadap emosi yang lain. Operasi bedah radikal sangat dibutuhkan untuk memisahkan dunia emosional kami. Sebagai individu, kami tidak cukup terpisah untuk menikmati koneksi dan kebersamaan sejati.

             Selama 9 tahun pernikahan sang suami dan istri, istri menyesuaikan diri dan mengakomodasi diri terhadap keinginan suami. Saya segera melepas keinginan untuk melanjutkan sekolah karena jadwalnya bertabrakan dengan jadwal suami yang sudah terlalu padat. Sang istri menghindari topik-topik panas yang diduga membangkitkan ketegangan dalam pernikahan kami. Saya tidak mampu mentoleransi ketidaknyamanan dan penderitaan dari kejengkelan, atau bahkan lebih buruk, kemarahannya terhadap istri. Apa yang harus saya lakukan ? tidakkah dia akan merasa kacau jika sang istri mulai menjadi dirinya sendiri ?

             Namun, saya segera menyadari bahwa persoalan ini bersumber lebih dalam dan lebih luas daripada hubungan saya dengan suami. Pola-pola tak sehat dari sikap mengorbankan diri dan mengakomodasi orang lain sangat menguasai setiap bidang kehidupan saya, dalam persahabatan, gereja, pola mengasuh anak, dan akar keluarga saya.

             Seperti kebanyakan orang, saya menikmati ketika orang berkata kepada saya, baik verbal maupun non verbal, bahwa saya baik-baik saja. Ini adalah hal yang baik. Saya senang didukung dan diterima oleh suami serta orang lain. Masalah muncul ketika pengesahan dari orang lain menjadi sesuatu yang wajib dimiliki seseorang. Sedihnya, saya membutuhkah hal ini. Saya harus memilikinya demi merasa nyaman dengan diri saya sendiri. Dengan kata lain, saya merasa nyaman dengan diri saya sepanjang saya merasa bahwa orang lain merasa nyaman dengan diri saya.

 

Kita yang “baik-baik” saja

             Mengandalkan pengakuan orang lain demi merasa bahwa diri berharga sangat bertentangan dengan kebenaran Alkitab. Tingkat “baik-baik” saja kita yakni kemampuan kita untuk patut dicintai orang lain, perasaan bahwa kita sudah cukup baik, pada puncaknya harus berasal bukan dari orang lain, tapi dari dua kenyataan fondasional.

             Kita diciptakan menurut gambar Tuhan. Diciptakan menurut gambar Tuhan artinya kita memiliki nilai berharga secara inheren. Kita adalah harta suci. Nilai kita sebagai manusia sungguh tak terbatas, terlepas dari apapun yang kita lakukan.

             Kita memiliki identitas baru didalam Kristus. Ketika kita memulai hubungan dengan Kristus, kita menemukan identitas baru di dalam Dia. Kini, kita bersandar pada catatan ketidakberdosaan Yesus dalam berhubungan dengan Tuhan. Kita patut dicintai, “baik-baik” saja dan cukup baik, karena Kristus. Tidak ada lagi perlu dibuktikan.

             Dengan cara yang sama, identitas istri di dalam Yesus tidak berjangkar sebagaimana yang saya bayangkan sebelumnya. Meskipun pernikahan dan gereja adalah sumber signifikan dari kepedihan si istri selama bertahun-tahun. Sang istri mulai mengakui bahwa rintangan terbesar sang istri dalam membuat perubahan yang sehat adalah rasa takut pada apa yang orang lain pikirkan tentang istri.

             Kebenaran yang mengejutkan ini menggoncang saya sampai kedasar hati. Seperti Petrus, saya hidup dalam ilusi. Saya percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Kristus. Saya menikmati kasih Tuhan hingga tingkat tertentu, tapi kasihNya tidak menembus cukup dalam sehingga mampu membebaskan saya dari rasa takut pada apa yang orang lain pikirkan.

(Bersambung...)


Kiranya kita semua tetap bersukacita dalam nama Tuhan Yesus . Amin


Tidak ada komentar:

Posting Komentar