Resensi
Buku kehidupan
The
Emotionally Healthy Woman
Penulis
: Geri Scazzero dan Peter Scazzero
Ini tentang buku yang sedang aku baca, dan aku berhara
agar dapat menyelesaikannya, sambil membaca, yups.. mari kita buat resensi atau
resume atau kata kata mutiara yang bisa kita ingat.
Buku ini terdiri dari 8 bab dan ada 205 Halaman. Buku ini sangat bagus
dan baik untuk kita baca lo teman-teman. Ada 8 perkara yang harus anda hentikan
untuk mengubah hidup anda.
Apakah kamu pernah juga
membaca buku ini ? bagaimana menurut kamu isinya ? pasti bagus dan bermakna kan
? atau kamu belum selesai membacanya ? tidak apa apa, yang penting kamu tetap
semangat membacanya .
BAB
1
Berhenti
Mencemaskan Apa yang Orang Lain Pikirkan ?
Dalam bab ini, paragraf awal sudah menceritakan langsung
perdebatan antara sang suami dan istri. Inilah perasaan istri pendeta :
Saya tidak peduli lagi. Saya
sudah sampai di titik dasar. Karena suami mencurahkan hidupnya begitu banyak
bagi gereja, saya sebagai istri merasa seperti orangtua tunggal yang
membesarkan empat anak perempuan sendirian.
Sementara istri adalah seorang Kristen yang berkomitmen
selama bertahun-tahun, namun identitas utama istri pendeta didefenisikan bukan
saja oleh kasih Tuhan bagi istri, melainkan oleh apa yang orang lain pikirkan
tentang seorang istri pendeta. Hal ini secara negatif berdampak pada setiap
bidang kehidupan si istri . mulai dari pernikahan, pola mengasuh anak,
persahabatan, kepemimpinan, bahkan harapan dan impian istri.
Sekarang istri sudah kehilangan rasa takut tentang apa
yang mungkin dipikirkan atau dikatakan orang lain. Istri tidak akan rugi
apapun. Istri sudah memberi diri begitu besar sampai-sampai istri tidak lagi
mengenali dirinya sendiri. Hilang sudah sang istri yang dikenal sebagai
perempuan kreatif, ramah, menyenangkan, dan tegas. Sekarang sang istri adalah
seorang ibu yang cemberut, depresi, letih dan marah.
Saat ini gereja sebagai tempat pelayanan mereka sedang
bertumbuh dan berbagai perkara ajaib sedang terjadi dalam kehidupan banyak orang,
tapi ini terwujud dengan harga yang terlalu mahal, harga yang tak ingin lagi
sang istri bayar. Ada sesuatu yang sangat salah dengan memenangkan seluruh
dunia bagi Kristus dengan harga kehilangan jiwa seorang istri, jiwanya sendiri.
Sang istri mengeluhkan kepada sang suami kesengsaraan
yang dialami istri. Sang istri mulai menyalahkan sang suami atas
penderitaannya. Untuk membuat segala sesuatunya lebih buruk, sang istri merasa
malu dan bersalah tentang semua ini. Ada pernyataan bahwa seseorang yang tidak
takut kehilangan apa-apa akan menjadi orang yang paling kuat di muka bumi .
sekarang kondisi ini dialami oleh si istri.
Saat melihat ke belakang, sang istri sangat sedih dan
malu karena perlu waktu begitu lama sampai akhirnya si istri mengambil tindakan.
Kecemasan tentang apa yang orang lain pikirkan telah melumpuhkan sang istri
selama bertahun-tahun.
Mengharapkan
Orang Lain Untuk Berkata Bahwa “Saya baik-baik saja”
Tanpa sadar , sang suami dan istri bersikap emosional
seperti pasangan kembar siam. Keduanya saling terikat, tapi dengan cara yang
tidak sehat. Saya ingin suami memikirkan apa yang dipikirkan istri dan
merasakan apa yang dirasakan istri; sebaliknya sang suami ingin memikirkan apa
yang dia pikirkan dan merasakan apa yang dia rasakan. Suami berpikir bahwa saya
harus merasakan kesukaran dan semangat yang dirasakannya demi menanam gereja di New York City. Saya pikir dia
seharusnya merasakan tekanan saya atas kesukaran yang terjadi dalam hidup kami,
jam-jam panjang, tidak cukup uang, tidak ada waktu jeda, dan orang orang sulit.
Kami juga saling terikat dalam merasa bertanggung jawab
atas kesedihan, kemarahan dan kegelisahan masing-masing. Sebagai akibatnya,
kami hidup dalam reaksi terhadap satu sama lain, saling meremehkan,
mempersalahkan, mengingkari, dan mempertahankan diri terhadap emosi yang lain.
Operasi bedah radikal sangat dibutuhkan untuk memisahkan dunia emosional kami.
Sebagai individu, kami tidak cukup terpisah untuk menikmati koneksi dan
kebersamaan sejati.
Selama 9 tahun pernikahan sang suami dan istri, istri
menyesuaikan diri dan mengakomodasi diri terhadap keinginan suami. Saya segera
melepas keinginan untuk melanjutkan sekolah karena jadwalnya bertabrakan dengan
jadwal suami yang sudah terlalu padat. Sang istri menghindari topik-topik panas
yang diduga membangkitkan ketegangan dalam pernikahan kami. Saya tidak mampu
mentoleransi ketidaknyamanan dan penderitaan dari kejengkelan, atau bahkan
lebih buruk, kemarahannya terhadap istri. Apa yang harus saya lakukan ?
tidakkah dia akan merasa kacau jika sang istri mulai menjadi dirinya sendiri ?
Namun, saya segera menyadari bahwa persoalan ini
bersumber lebih dalam dan lebih luas daripada hubungan saya dengan suami.
Pola-pola tak sehat dari sikap mengorbankan diri dan mengakomodasi orang lain
sangat menguasai setiap bidang kehidupan saya, dalam persahabatan, gereja, pola
mengasuh anak, dan akar keluarga saya.
Seperti kebanyakan orang, saya menikmati ketika orang
berkata kepada saya, baik verbal maupun non verbal, bahwa saya baik-baik saja.
Ini adalah hal yang baik. Saya senang didukung dan diterima oleh suami serta
orang lain. Masalah muncul ketika pengesahan dari orang lain menjadi sesuatu
yang wajib dimiliki seseorang. Sedihnya, saya membutuhkah hal ini. Saya harus
memilikinya demi merasa nyaman dengan diri saya sendiri. Dengan kata lain, saya
merasa nyaman dengan diri saya sepanjang saya merasa bahwa orang lain merasa
nyaman dengan diri saya.
Kita
yang “baik-baik” saja
Mengandalkan pengakuan orang lain demi merasa bahwa diri
berharga sangat bertentangan dengan kebenaran Alkitab. Tingkat “baik-baik” saja
kita yakni kemampuan kita untuk patut dicintai orang lain, perasaan bahwa kita
sudah cukup baik, pada puncaknya harus berasal bukan dari orang lain, tapi dari
dua kenyataan fondasional.
Kita diciptakan menurut gambar Tuhan. Diciptakan menurut
gambar Tuhan artinya kita memiliki nilai berharga secara inheren. Kita adalah
harta suci. Nilai kita sebagai manusia sungguh tak terbatas, terlepas dari
apapun yang kita lakukan.
Kita memiliki identitas baru didalam Kristus. Ketika
kita memulai hubungan dengan Kristus, kita menemukan identitas baru di dalam
Dia. Kini, kita bersandar pada catatan ketidakberdosaan Yesus dalam berhubungan
dengan Tuhan. Kita patut dicintai, “baik-baik” saja dan cukup baik, karena
Kristus. Tidak ada lagi perlu dibuktikan.
Dengan cara yang sama, identitas istri di dalam Yesus
tidak berjangkar sebagaimana yang saya bayangkan sebelumnya. Meskipun
pernikahan dan gereja adalah sumber signifikan dari kepedihan si istri selama
bertahun-tahun. Sang istri mulai mengakui bahwa rintangan terbesar sang istri
dalam membuat perubahan yang sehat adalah rasa takut pada apa yang orang lain
pikirkan tentang istri.
Kebenaran yang mengejutkan ini menggoncang saya sampai
kedasar hati. Seperti Petrus, saya hidup dalam ilusi. Saya percaya kepada Yesus
sebagai Tuhan dan Kristus. Saya menikmati kasih Tuhan hingga tingkat tertentu,
tapi kasihNya tidak menembus cukup dalam sehingga mampu membebaskan saya dari
rasa takut pada apa yang orang lain pikirkan.
(Bersambung...)
Kiranya kita semua tetap bersukacita dalam nama Tuhan Yesus . Amin |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar