KRITIK
DALAM KRITIK SASTRA INDONESIA MODERN
1. Teori Kritik dalam Kritik Sastra Indonesia Modern
Sejak terbitnya roman Azab dan sengsara
karya Merari Siregar pada tahun 1921, maka mulailah tradisi baru dalam sejarah
kesusasatraan Indonesia. Mulai tradisi baru yang coraknya berlainan dengan
kesuasastraan lama (kesusastraan melayu), baik dalam persoalannya, pandangan
hidup, latar belakang, maupun gayanya. Sejak roman Indonesia pertama terbitan
balai pustaka itu, maka tak putus-putusnya mengalir karya-karya sastra
Indonesia dari tangan para sastrawan Indonesia, baik dalam bentuk prosa maupun
puisi. Juga dengar bertambahnya, gaya, corak, serta persoalannya berkembang
sesuai dengan pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal itu disebabkan oleh
karya sastra itu merupakan pancaran jiwa pengarangnya. Pengarang sebagai
anggota masyarakat yang melingkunginya. Persoalan itu menyangkut bidang perekonomian,
kemasyarakatan maupun politik, cita-cita, dan sebagainya.
Dalam hal ini timbullah pandangan-pandangan dan
aliran-aliran dalam kesusastraan Indonesia yang hendak memberi corak
perkembangan kesusastraan Indonesia berdasar paham-paham tersebut. Dengan adanya
aliran-aliran dan paham-paham itu, maka terjadilah perdebatan-perdebatan,
pertentangan-pertentangan pendapat, bahkan sering meruncing menjadikan
permusuhan yang mengakibatkan tidak sehatnya perkembangan kesusastraan
Indonesia. Yang disebabkan karena mementingkan fahamnya, maka mereka lupa atau
melupakan hakikat sastra sendiri dan melihat sastra berdasarkan paham-pahamnya
itu.
Kalau diingat bahwa seseorang sastrawan itu juga
seorang ” kritikus” , maka dapatlah dari karya –karyanya itu disimpulkan bagaimana
ia menilai karya sastra, Kalau kita baca roman-roman Indonesia dalam masa
permulaan pertumbuhannya, maka akan tampak bahwa di dalamnya sangat diutamakan
pemberian didikan kepada pembaca, bahkan para penulis roman itu secara langsung
memberi nasehat dan didikan kepada pembaca tentang berbagai masalah, tentang
sikap baik dan buruk, tentang budi pekerti yang pantas dan yang tidak pantas
dan sebagainya. Para pengarang tidak tidak hanya cukup menyimpulkan
peristiwa-peristiwa yang dialami para pelaku ceritanya, mereka merasa haruslah
setgal masalah diberikan komentar panjang lebar dan secara langsung ditujukan
kepada pembaca supaya jelas. Para pengarang dalam masa permulaan kesusastraan
Indonesia modern memandang bahwa karya sastra yang baik adalah suatu karya yang
langsung memberi didikan kepada para pembaca.
Suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung
memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral
hingga dengan demikian, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum
karya sastra sebagai karya seni dan menjadikan karya sastra sebagai alat
pendidikan yang langsung, sedangkan nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan
nomor dua.
Teori tentang kritik sastra taraf kedua sudahlah
lebih jelas dan tegas dari taraf yang pertama, yaitu ketika timbulnya
sastrawan-sastrawan yang tergolong Angkatan Pujangga Baru. Para sastrawan sudah
mengemukakan pahamnya tentang kesusastraan yang ditulisnya dalam bentuk esai
dan kritik sastra. Dalam masa Pujangga Baru itu sudah bergema pertentangan
paham tentang karya sastra, yang berupa paham ”seni untuk seni” dan ”seni
bertendens”. Tokoh sastrawan yang gigih bertahan pada semboyan ”seni untuk
seni” dengan tegas diwakili oleh Sanusi Pane.
Pendirian ”seni untuk seni” itu segera mendapat
tantangan dari Sutan Takdir Alisjahbana, yang menghendaki ”seni bertendens” ,
seni diciptakan untuk tujuan, yaituuntuk kepentingan masyarakat, untuk membawa
bangsa Indonesia ketaraf penghidupan yang lebih tinggi. Seniman harus
memelopori bangsanya, ia harus memimpin bangsanya dalam perjuangan untuk
memperoleh kemerdekaan dan kehidupan. Dikatakannya bahwa ”seni untuk seni” itu
kosong, tak berisi. Dengan pendiriannya yang demikian itu, Sitan Takdir
Alisjahbana menganjurkan kepada para seniman untuk memutusakan sejarah dengan
masa lampau. Dengan kata lain ia menginginkan karya sastra hendaknya bermain
dalam masyarakat modern, dengan persoalan-persoalan masyarakat masa kini.
Dengan pecahnya Perang Dunia II, datanglah
perubahan yang besar. Masuknya kekuasaan Jepang ke Indinesia membawa perubahan
susunan politik, kemasyarakatan, dan perekonomian. Segala ini mempengaruhi
sikap hidup bangsa Indonesia, tidak ketinggalan pula sastrawannya. Mereka
membawa pembaharuan dalam kesusastraan Indonesia, mereka memperbarui teori
penilaian pujangga Baru dengan karya-karya mereka yang revolusioner. Mereka ini
dipelopori oleh Chairil Anwar dalam bentuk puisi dan Idrus dalam bidang prosa.
Garis-garis pendirian para sastrawan ini makin jelas sesudah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Para sastrawan baru inilah yang kemudian disebut
sastrawan Angkatan ’45.
Selam perang karena agresi belanda, masuklah paham
baru yang diperkenalkan oleh Van Nieuwenhuyze kepada para sastrawan Indonesia
di Jkarta, ialah paham ”humanisme” . yang pada akhirnya terkenal dengan nama
”humanisme universal” . Baru sesudah pemulihan kekuasaan ke tangan pemerintah
Republik Indonesia 27 Desember 1949, Perumusan mengenai paham, dan penilaian
terhadap kesusastraan dibuat oleh para sastrawan Angkatan ’45. Perumusan itu
termuat dalam ”Surat Kepercayaan Gelenggang” bertanggal 18 Pebruari 1950 dan
dimuat dalam majalah siasat tanggal 22 Oktober 1950.
Para sastrawan baru itu menghendaki kebudayaan
Indonesia baru, yang terjadi dari ramuan kebudayaan dunia dan dilontarkan
kembali dalam bentuk suara sendiri. Oleh karena itu, mereka menghendaki
penilaian yang baru untuk mengganti penilaian yang usang. Tentunya disini
dimaksudkan dengan penilain usang yaitu pada bidang sastra. Terutama dalam
penilaian Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Dalam mencari dan menemukan, yang
pokok ditemui ialah manusia. Ini sesuai dengan paham humanisme universal
tersebut, yaitu paham yang mementingkan hakikat manusia universal, yang umum,
tanpa membeda-bedakan golongan dan bangsa. Disini para sastrawan Angkatan ’45
menghendaki kesusastraan yang universal, yang dapat diterima oleh segala
manusia.
Sememtara itu karena adanya bermacam-macam
golongan di Indonesia, yang pada tanggal 17 Agustus 1950 berdirilah Lembaga
Kebudayaan Rakyat, disingkat LEKRA. Dalam LEKRA ini berkumpullah
karyawan-karyawan seni dan buday. Lekra menghendaki seni yang mengabdi kepada
rakyat. Para sastrawan Lekra mengingkan kesusastraan yang berpaham kesusastraan
sosialis, yaitu yang mengabdi kepada rakyat.
Begitulah paham-paham tentang kesuasatraan dalam
sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia secara singkat, dari awal timbulnya
hingga sekarang. Paham-paham itu sedikit banyak berpengaruh kepada pelaksanaan
kritik sastra di Indonesia, bersangkut-paut dengan penilaian karya sastra.
Pada masa permulaan kesusasteraan Indonesia
(sekitar tahun 20-an) belumlah dikemukakan teori ntentang penilaian, kecuali
hanya dapat kita simpulkan dari karya-karya sastrawan, yaitu bahwa kesusastraan
harus memberi didikan kepada masyarakat. Karena itu secara objektif karya-karya
mereka ditinjau dari hakikat seni sastra kurang mutu seninya.
Taraf kedua, dengan munculnya sastrawan-sastrawan
Pujangga baru, maka timbul pula paham-paham tentang seni pada umumnya dan pada
sastra khususnya. Tokohnya antara lain, Sutan takdir Alisyahbana, Amir Hamzah,
sanusi Pane dan Arminj Pane.
St. Alisjahbana mengkritik karya sastra yamg
bertendens kemajuan sebagai karya sastra yang lemah sedangkan penyatuan seninya
dijatuhkan pada nomor dua. Filsafat membuat mausia merasa dirinya asing dari
dunia.
Arminj Pane berkata untuk menilai suatu kesenian,
sebaiknya pujangga itu sendiri yang jadi ukuran. Yang kita utamakan ialah sajak
pujangga itu benar-benarlah menyatakan sukmanya atau tindakan yang mencerminkan
sukmanya itu secara tepat.
Dala mengkriti St. Alisjahbana tampak berat
sebelah karena hanya mementingkan idenya sendiri bahwa masyarakat dan bangsalah
yang terpenting meskipun ini memang ide yang positif. Penilaiannya adalah
absolute. Beliau kurang menunjau hakikat karya sastra secara metode melainkan
berdasarkan idenya sendiri.
Tokoh utama Pujangga Baru yang kedua ialah Sanusi
Pane, yang sangat bertentangan pendapatnya dengan Takdir mengenai kebudayaan
pada umumnyadan mengenai kesusastraan pada khususnya. Sanusi Pane, selain
mementingkan ide dan persoalannya, perlulah ia kembali kepada hakikat seni
karena kesusastraan adalah pernyataan seeni sehingga dengan demikian,
kesusasteraan tidak hanya turun nilainya hanya menjadi alat propaganda saja.
Sanusi dikecam karena ia memakai semboyan “Seni untuk Seni” itu. Padahal jika
dilihat perkembangan karyanya Sanusi berkeras hati hendak mencipta seni sastra
yang tinggi dan berguna bagi masyarakat.
Jadi jelas bahwa kembalinya Sanusi Pane pada seni
untuk seni meskipun ia menolak L’art Pour L’art, ia ingin agar tidak ada
pemaksaan id eke dalam karya sastra sehingga menyebabkan karya sastra tidak
wajar dan berat sebelah yang akibatnya dapat merendahkan nilainya.
Menurut Arminj Pane, penilaian kesusastraan
berdasar hakikatnya: karya sastra harus dinilai berdasar bentuk dan isinya.
Begitu juga dalam menilai karya sastra harus dinikai berdasar bentuk dan
isinya. Begitu juga dalam menilai karya sastra harus objektif, jangan hanya
berdasar perasaan sendiri, tetapi harus sastrawansendiri yang jadi ukurannya,
karyanya dapat mencerminkan pengalaman jiwanya atau tidak, itulah yang harus
menjadi pertimbangan dalam menilai karya sastra. Pendiriannya tentang adanya
persatuan bentuk dan isi serupa dengan pendapat Sanusi Pane. Menurut metode
literer, suatu karya sastra tidak dapat diukur dengan ukuran subjektif, menurut
paham pribadi si penimbang sendiri ataupun sastrawan sendiri, melainkan harus
diukur dengan ukuran objektif berdasarkan hakikat sastra. Dengan pandangan
Arminj pane yang subjektif itu maka penilaiannya cenderung kepada relativisme.
Pada Angkatan ’45, orang yang pertama kali dengan
tegas mengemukakan teori penilaian ialah Chairil Anwar yang diucapkan pada
pidatonya tahun 1946. Ia berpendapat bahwa sebuah sajak yang menjadi ialah
suatu dunia-dunia penyair. Dunia itu diciptakan dari bahan-bahan yang berupa
pikiran, keadaan alam, keadaan sekeliling, pengaruh-pengaruh seni lain, segala
pengaruh dan pikiran-pikiran yang kemudian disatukan, hingga menjadi suatu
dunia baru.
Suatu sajak menjadi penting bila karya tersebut
dapat menjilmakn segala pengalaman jiwa yang luas, jauh dan dalam ke dalam
karya tersebut. Jadi dalam menimbang karya sastra ini, Chairil Anwar
mempergunakan kriteria estetis dan ekstra estetis. Ia menilai karya sastra
berdasarkan hakikat sastra sebagai karya seni.
HB Jassin, penilaiannya dapat dilihat dalam
buku-bukunya, beliau menimbang, menilai karya sastra itu berdasarkan pada karya
sastra sendiri, tidak berdasarkan paham dan aliran H.b Jassin mengemukakan
bahwa kekurangan seni tendens dan propaganda ialah soal-soal terlalu dilihat
dari sudut cita-cita dan keyakinan sendiri sehingga kadang-kadang jadi
bertentangan dengan logika, akal, dan budi. Dalam menilai karya sastra harus
tidak memandang semboyan seni untuk seni bertendens , orang harus mengutamakan
karya sastra sebagai pernyataan seni, jadi berhubungan engan criteria estetis.
Begitulah paham-paham dalam kesusasteraan dan
teori penilaian dalam sejarah kesusasteraan Indonesia modern. Pada umumnya
dalam teori-teori penilaian ada persamaan antara kritikan dengan seniman
meskipun tidak seluruhnya, hanya cara merumuskan yang berlainan. Pada umumnya
mereka berpendapat bahwa menilai karya sastra haruslah pertama kali melihat
pada karya sastra sendiri, berhasil mencapai tingkat seni atau tidak, sedangkan
mengenai aliran-aliran jatuh pada nomor dua.
PELAKSANAAN KRITIK DALAM KRITIK SASTRA
INDONESIA MODERN
Menganalisis karya
sastra harus sampai kepada penilaian yang menyeluruh pada norma-normanya dan
kemudian menyatukan kembali, menilai karya sastra sebagai keseluruhan yang
utuh. Kritik sastra dalam kesusteraan Indonesia belum memuaskan, belum memenuhi
kritik sastra menurut metode literer secara semestinya. Seperti pernah
dikemukakan oleh Asrul Sani bahwa kerapkali kritikus lebih mementingkan tokoh
daripada karya sastranya sendiri.
Mengenai pelaksanaan
kritik sastra ini, terutama dipergunakan hasil kritik yang berupa buku atau
yang sudah dibukukan, hal ini supaya mudah diikuti, berhubung sukarnya mendapat
bahan-bahan dari majalah-majalah yang tersebar, yang tiada tentu hingga sukar
diikuti.
Hasil-hasil kritik sastra itu berupa
pidato radio, timbangan buku, esai-esai dalam majalah, ceramah dan seminar, dan
studi yang berbentuk buku. Kebanyakan berupa fragmen-fragmen, artinya hanya
mengenai seorang pengarang, itu pun baru mengenai satu bukunya, atau beberapa
bukunya saja; atau apabila sudah berupa buku, itu hanya berbicara tentang
pengarang-pengarang tertentu, atau hanya meninjau genre sastra tertentu,
misalnya hanya cerita pendek saja, atau hanya roman atau novel saja .
Pada umumnya timbangan buku, gunanya
untuk menarik perhatian pembaca terhadap buku baru tersebut. Jadi, fungsinya
terutama fungsi komersial. Namun, suatu resensi atau timbangan buku yang baik
dapat pula memberikan penerangan kepada pembaca betapapun ringkasnya, berhubung
kesempitan ruang timbangan buku itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar