ROH KUDUS MEMAMPUKAN KITA UNTUK
BERSAKSI
Kis. 2:1-21, Mzm. 104:24-34, Rom.
8:4-17, Yoh. 14:8-17, 25-27
By
: Pdt.
Yohanes Bambang Mulyono
Pengantar
Peringatan hari raya Pentakosta sering kita pahami sebagai hari pencurahan Roh Kudus. Pandangan tersebut sangatlah tepat. Tetapi bagi umat Israel Perjanjian Lama, hari raya Pentakosta yang mereka sebut dengan istilah “Shavuot” lebih dihayati sebagai hari turunnya Taurat di gunung Sinai, dan juga “Shavuot” merupakan hari pengucapan syukur atas hasil panen sebagai bukti pemeliharaan Allah di dalam hidup mereka. Semua ide tersebut menyatakan satu prinsip teologis, yaitu pencurahan berkat-berkat Allah yang rohaniah dan jasmaniah dalam kehidupan umatNya. Pewahyuan Taurat merupakan karunia rohaniah, dan hasil panen merupakan karunia pemeliharaan Allah kepada umatNya. Pada sisi lain umat Israel di Perjanjian Lama sebenarnya juga mengenal pencurahan roh. Namun makna pencurahan roh dalam kehidupan umat Israel di Perjanjian Lama masih terbatas dalam peristiwa pengurapan seorang Raja, Imam dan Nabi. Jadi sangat menarik kitab nabi Yoel yang dijadikan sumber kitab Kisah Para Rasul justru menyatakan, yaitu: “Akan terjadi pada hari-hari terakhir – demikianlah firman Allah – bahwa Aku akan mencurahkan RohKu ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat, dan teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi” (Kis. 2:17). Nubuat nabi Yoel tersebut menjadi suatu kenyataan pada hari Pentakosta. Di Kis. 2:1 menyaksikan bagaimana semua orang percaya kepada Kristus mendapat pencurahan Roh Kudus. Yang mana pencurahan Roh Kudus yang dahulu di zaman Perjanjian Lama masih terbatas pada kalangan “elit” tertentu, kini pada hari Pentakosta di Perjanjian Baru meluas dalam lingkup “setiap orang percaya”. Bahkan anak-anak perempuan dan orang-orang muda pada hari Pentakosta tersebut juga memperoleh pencurahan Roh Kudus.
Peringatan hari raya Pentakosta sering kita pahami sebagai hari pencurahan Roh Kudus. Pandangan tersebut sangatlah tepat. Tetapi bagi umat Israel Perjanjian Lama, hari raya Pentakosta yang mereka sebut dengan istilah “Shavuot” lebih dihayati sebagai hari turunnya Taurat di gunung Sinai, dan juga “Shavuot” merupakan hari pengucapan syukur atas hasil panen sebagai bukti pemeliharaan Allah di dalam hidup mereka. Semua ide tersebut menyatakan satu prinsip teologis, yaitu pencurahan berkat-berkat Allah yang rohaniah dan jasmaniah dalam kehidupan umatNya. Pewahyuan Taurat merupakan karunia rohaniah, dan hasil panen merupakan karunia pemeliharaan Allah kepada umatNya. Pada sisi lain umat Israel di Perjanjian Lama sebenarnya juga mengenal pencurahan roh. Namun makna pencurahan roh dalam kehidupan umat Israel di Perjanjian Lama masih terbatas dalam peristiwa pengurapan seorang Raja, Imam dan Nabi. Jadi sangat menarik kitab nabi Yoel yang dijadikan sumber kitab Kisah Para Rasul justru menyatakan, yaitu: “Akan terjadi pada hari-hari terakhir – demikianlah firman Allah – bahwa Aku akan mencurahkan RohKu ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat, dan teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi” (Kis. 2:17). Nubuat nabi Yoel tersebut menjadi suatu kenyataan pada hari Pentakosta. Di Kis. 2:1 menyaksikan bagaimana semua orang percaya kepada Kristus mendapat pencurahan Roh Kudus. Yang mana pencurahan Roh Kudus yang dahulu di zaman Perjanjian Lama masih terbatas pada kalangan “elit” tertentu, kini pada hari Pentakosta di Perjanjian Baru meluas dalam lingkup “setiap orang percaya”. Bahkan anak-anak perempuan dan orang-orang muda pada hari Pentakosta tersebut juga memperoleh pencurahan Roh Kudus.
Jangkauan Roh Yang Lintas Batas
Dalam tradisi umat Israel, wanita dan
anak-anak sebenarnya tidak diperbolehkan berbicara dan menyampaikan firman.
Tetapi pada hari Pentakosta, mereka juga dipenuhi oleh Kudus untuk menyampaikan
kesaksian firman Tuhan. Mereka diberi karunia Roh untuk menyampaikan firman
sesuai dengan bahasa dan pengertian orang-orang di sekitarnya, sehingga
para pendengar menjadi mengerti dan memahami apa yang mereka maksudkan.
Pencurahan Roh pada hari Pentakosta memampukan mereka untuk mengkomunikasikan
berita Injil Kristus kepada setiap orang sesuai “world-view” (pandangan dunianya).
Firman yang menyaksikan tentang Kristus adalah firman yang hadir di
tengah-tengah realitas kehidupan umat. Karena itu firman dari sang Kristus
adalah firman yang kontekstual. Firman Kristus tersebut bukanlah firman yang
asing bagi para pendengar atau firman yang jauh dari kenyataan pergumulan riel
umat percaya. Itu sebabnya pada hari Pentakosta, Roh Kudus memberi kemampuan
kepada para murid untuk menyampaikan firman yang dapat dimengerti oleh semua
orang yang hadir saat itu. Di Kis. 2:9-10 mendiskripsikan orang-orang yang
hadir dari berbagai suku bangsa, yaitu: Partia, Media, Elam, penduduk
Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir
dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari
Roma. Di tengah-tengah pluralisme suku bangsa, budaya, bahasa dan adat-istiadat
tersebut, Roh Kudus berkarya menyatukan mereka dengan kabar baik yang satu dan
sama. Sehingga mereka yang semula dipisahkan oleh berbagai latar-belakang
dimampukan untuk mengerti dan menerima kabar baik dari Injil Kristus.
Kondisi umat yang semula hidup
beraneka-ragam latar-belakangnya, namun pada hari Pentakosta disatukan oleh Roh
Kudus. Yang mana kondisi umat pada hari Pentakosta tersebut sangat berbeda
dengan kondisi umat yang semula memiliki satu bahasa dan logatnya. Di
Kej. 11 menyaksikan bagaimana umat yang satu bahasa dan logatnya tersebut
akhirnya dikacau-balaukan oleh berbagai perbedaan. Tiba-tiba mereka tidak
saling mengerti apa yang dimaksudkan oleh orang-orang di sekitarnya. Penyebab
utama kekacau-balauan tersebut adalah suatu sikap sombong untuk mempermuliakan
diri dengan membuat menara yang puncaknya sampai ke langit. Ketika
kita saling tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh orang-orang di
sekitar, bukankah akan terjadi kesalahpahaman dan konflik? Dalam
kenyataan hidup kita menyadari bahwa tidaklah mudah untuk mengkomunikasikan
maksud hati atau pikiran kepada sesama khususnya ketika kita berhadapan dengan
“world-view” atau perspektif yang berbeda. Bahkan suatu istilah yang sama
tetapi disampaikan dalam konteks yang berbeda akan menghasilkan arti atau
pengertian yang berbeda. Makna suatu kata atau pengertian juga ditentukan oleh
cara pengucapan dan sikap tubuh kita. Apalagi ketika ucapan tersebut
disampaikan dengan sikap yang sombong, maka suatu istilah yang semula baik
menjadi sangat menyakitkan hati oleh orang yang mendengar atau
melihatnya. Namun pada hari Pentakosta Roh Kudus berkenan menguduskan
semua perbedaan dan penghalang komunikasi yang ada, sehingga terciptalah suatu
pemahaman yang benar dan utuh bagi setiap orang yang mendengar berita Injil
Kristus.
Karunia Bahasa Lidah?
Karunia Bahasa Lidah?
Dalam peristiwa hari Pentakosta sama
sekali tidak terjadi glosolalia (karunia berbahasa lidah) sebagaimana
sering dinyatakan oleh kalangan tertentu. Sebab dalam bahasa lidah bukan
dimaksudkan sebagai bahasa komunikasi dengan sesama, tetapi secara pribadi
kepada Allah. Di surat I Kor. 14:2 rasul Paulus berkata: “Siapa yang
berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi
kepada Allah. Sebab tidak ada seorangpun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia
mengucapkan hal-hal yang rahasia”. Tetapi pada hari Pentakosta justru
terjadi “xenolalia” (karunia yang mampu untuk berbahasa asing). Perbedaannya
adalah umat yang berbicara dengan bahasa lidah akan menggunakan kata-kata yang
asing dan tidak dapat dipahami oleh para pendengarnya. Tetapi mengkomunikasikan
Injil dengan karunia “xenolalia” justru akan memampukan si penyampai untuk
berbahasa “asing” sesuai dengan pemahaman para pendengarnya, sehingga para
pendengar mampu mengerti dengan jelas berita yang disampaikan. Sehingga
orang-orang Yahudi, orang-orang asing yang menjadi penganut agama Yahudi, orang
Kreta dan orang Arab dari beberapa tempat seperti: Partia, Media, Elam,
penduduk Mesopotamia, Yudea, Kapadokia, Pontus, Asia, Frigia, Pamfilia, Mesir,
daerah-daerah Libia, dan pendatang-pendatang dari Roma dapat mengerti seluruh
maksud dari firman yang disampaikan oleh rasul Petrus (Kis. 2:8-11). Ini
berarti pencurahan Roh Kudus pada prinsipnya bertujuan untuk menjembatani
suatu jarak yang terbentang di antara berbagai pihak, sehingga setiap pihak
dapat mengalami karya keselamatan Allah yang telah dinyatakan di dalam
pengorbanan Tuhan Yesus Kristus di kayu salib.
Walaupun kehidupan kita di antara
sesama saat ini telah dilengkapi dengan peralatan komunikasi yang canggih,
namun dalam prakteknya masih sering ditandai oleh kegagalan dalam
berkomunikasi. Kesalahpahaman yang terjadi selain menimbulkan berbagai
konflik dan pertikaian, juga tidak jarang terjadi pertumpahan darah. Walaupun
kita seiman, namun tidak jarang kita mengalami kesulitan dan kegagalan untuk
memahami “world-view” (pandangan dunia) sesama anggota jemaat kita. Apalagi
komunikasi yang kita lakukan dengan orang yang tidak seiman, tidak satu
suku/etnis, tidak sama tingkat pendidikan dan tingkat sosialnya akan berada
dalam jarak yang lebih lebar dan sulit. Akibatnya hidup kita saat ini sering
terkotak-kotak, saling mengucilkan dan mencurigai sesama. Bahkan yang lebih
memprihatinkan hubungan di tengah-tengah keluarga juga terkotak-kotak, sehingga
hubungan antara suami-isteri sering ditandai oleh kesalahpahaman, pertikaian
dan perceraian. Selain itu pada zaman yang modern ini kita masih menghadapi
masalah diskriminasi gender kepada kaum wanita, yang mana kaum wanita masih
sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Demikian pula
hubungan antara orang-tua dan anak mengalami masalah yang makin kompleks.
Setiap kita gagal dalam komunikasi sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan
konflik dengan sesama, maka saat itu juga kita kehilangan perasaan
damai-sejahtera. Sebenarnya pengalaman kehilangan perasaan damai-sejahtera
merupakan suatu sinyal rohani yang dikaruniakan oleh Tuhan untuk mengingatkan
bahwa hidup kita tidak bahagia karena kita telah gagal dalam memahami dan
mengasihi sesama kita.
Pemulihan Untuk Saling Mengasihi
Janji Tuhan Yesus yang akan mengutus
Roh Kudus pada prinsipnya bertujuan agar hubungan antara sesama dalam kehidupan
umat manusia ditandai oleh kemampuan untuk mengasihi. Itu sebabnya di Yoh.
14:15-16, Tuhan Yesus berkata: “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti
segala perintahKu. Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu
seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu, yaitu Roh Kebenaran”.
Karya Roh Kudus yang utama adalah memulihkan kemampuan umat percaya untuk
saling mengasihi, sehingga hubungan dan komunikasi yang terputus dapat terjalin
kembali. Sehingga dalam keluarga atau rumah-tangga umat percaya diharapkan tidak
ada lagi yang melakukan kekerasan dalam berbagai bentuk, baik kekerasan secara
fisik maupun kekerasan secara emosional. Tetapi kenyataan justru berbicara
lain. Keluarga orang-orang Kristen justru sering terlibat dalam kekerasan fisik
dan emosi kepada anggota keluarganya. Para pelaku kekerasan tersebut
sesungguhnya orang-orang yang belum mampu berdamai dengan masa lalunya yang
buruk. Mereka membutuhkan pencurahan Roh sehingga luka-luka batin mereka
disembuhkan. Karya Roh Kudus bertujuan untuk mendamaikan diri kita dengan Allah
dan sesama kita. Itu sebabnya Roh Kudus yang adalah Penghibur dikaruniakan
kepada umat percaya agar mereka mengalami damai-sejahtera Kristus yang tidak
dapat diberikan oleh dunia ini. Di Yoh. 14:27 Tuhan Yesus berkata: “Damai-sejahtera
Kutinggalkan bagimu. Damai-sejahteraKu Kuberikan kepadamu, dan apa yang
Kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan
gentar hatimu”. Dengan demikian karya Roh Kudus dikaruniakan kepada kita agar
Dia membalut dan menyembuhkan semua luka-luka batin atau luka-luka dalam emosi
kita, sehingga kita dapat mengalami damai-sejahtera dan pengampunan dari
Kristus. Pemulihan dan penyembuhan dari Kristus tersebut memungkinkan kita
untuk menjadi saksi yang menyalurkan damai-sejahteraNya.
Karena itu kehidupan jemaat dapat
menjadi potret diri dari para keluarga yang menjadi anggotanya. Jika para
keluarga dalam anggota jemaat tersebut dipenuhi oleh kasih dan pengampunan,
maka jemaat secara keseluruhan akan cenderung mempraktekkan damai-sejahtera
Kristus. Sebaliknya ketika para keluarga dalam anggota jemaat tersebut dipenuhi
oleh luka-luka batin dan perasaan sakit hati, maka umummya mereka akan
cenderung untuk saling mengembangkan sikap curiga, bermusuhan, iri-hati dan
saling melukai. Karya Roh Kudus pada hari Pentakosta tidak sekedar berkarya
dalam lingkup yang luas seperti gereja atau masyarakat, tetapi dimulai dari
kehidupan keluarga dan komunitas inti lainnya. Bila setiap komunitas inti atau
keluarga memperoleh pencurahan Roh Kudus yang menyebabkan mereka mengalami
pembaharuan hidup, maka pembaharuan hidup tersebut akan membawa pengaruh yang
sangat besar dalam lingkup yang lebih luas. Karya Roh Kudus yang utama adalah
menghadirkan kasih dan pengampunan, sehingga terciptalah suatu syaloom yang
menyeluruh dalam kehidupan umat.
Roh Yang Memerdekakan
Di Rom. 8:1-13, pada prinsipnya rasul
Paulus mengingatkan kepada umat percaya bahwa setiap orang yang hidup dalam
kuasa Roh tidak akan hidup lagi dalam keinginan daging. Sebab kuasa Roh
memberi kita hidup setelah kita dimerdekakan oleh Kristus dari hukum dosa dan
hukum maut. Rasul Paulus berkata: “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman
bagi mereka yang ada di dalam Kristus, Roh, yang memberi hidup telah
memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut”. Ini
berarti pencurahan Roh Kudus yang telah diterima oleh setiap orang percaya
ketika dia dibaptis dan mengaku percaya sesungguhnya diberi karunia untuk hidup
menurut Roh. Dengan karunia Roh tersebut mereka telah diberi kemampuan untuk
menolak dan melawan kehidupan menurut daging. Namun seringkali karunia Roh yang
sebenarnya telah memerdekakan setiap orang percaya dari keinginan daging
tersebut tidak diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Justru kita
membiarkan keinginan daging menguasai seluruh aspek kepribadian kita. Sehingga
arah dan orientasi hidup kita tertuju kepada keinginan daging dan hawa-nafsu
dunia ini. Kita menjadi budak dan hamba dari hawa nafsu seperti misalnya:
hawa-nafsu amarah, serakah, bersikap sewenang-wenang, nafsu seksuil yang liar,
sikap konsumerisme, dan sebagainya. Di Rom. 8:6 merupakan gambaran bagaimana
perbedaan orientasi antara mereka yang hidup menurut daging dan mereka yang
hidup menurut Roh, yaitu: “Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan
hal-hal yang dari daging; mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal
yang dari Roh”. Karena itu karya Pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta ini
bertujuan untuk memulihkan kembali arah dan orientasi hidup kita agar tertuju
kepada keinginan Roh belaka. Kita semua dipanggil untuk tidak bersikap toleran
dan tidak berkompromi sedikitpun dengan berbagai keinginan daging. Karena
keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan
damai-sejahtera (Rom. 8:6).
Manakala kita dibebaskan dari keinginan
daging, maka oleh kuasa Roh Kudus kita diberi karunia damai-sejahtera. Dalam
hal ini makna damai-sejahtera merupakan lawan dari roh ketakutan dan kecemasan.
Firman Tuhan di Rom. 8:14-15 berkata: “Semua orang yang dipimpin Roh Allah,
adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu
takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah.
Oleh Roh itu kita berseru: ya Abba, ya Bapa”. Ketika kita hidup menurut
keinginan daging maka kita terbelenggu oleh hawa-nafsu dan kuasa dosa sehingga
membuat kita terpisah dari persekutuan dengan Allah. Kita dikuasai oleh roh
perbudakan yang membuat kita hidup dalam ketakutan (Rom. 8:14). Kita kehilangan
damai-sejahtera di dalam hati kita karena hidup kita menjadi telah seteru
Allah. Padahal damai-sejahtera merupakan suatu kebutuhan rohaniah yang paling
mendasar. Tanpa damai-sejahtera dari Allah, maka hidup kita tidak dapat
mengenyam makna bahagia dalam hidup ini. Tepatnya tanpa damai-sejahtera dari
Allah, kita tidak bahagia. Namun kita sering membungkam perasaan tidak bahagia
ini dengan melakukan berbagai keinginan daging. Untuk jangka waktu sementara
hati kita memang terhibur. Tetapi perasaan tidak bahagia yang ditutupi oleh
berbagai keinginan daging sesungguhnya makin memperdalam penderitaan batin
kita. Keadaan tersebut seperti seseorang yang sedang kehausan dengan meminum
banyak air laut. Dia akan makin haus ketika minum air laut, tetapi tak lama
lagi dia akan mati. Di tengah-tengah dunia yang berdosa ini Kristus tidak
membiarkan diri kita seperti yatim-piatu (Yoh. 14:18), yaitu orang-orang yang
kehilangan kedua orang-tuanya. Karena itu Dia mencurahkan Roh KudusNya agar
hubungan kita dengan Allah dipulihkan. Kuasa Roh Kudus memampukan kita untuk
hidup sebagai anak-anak Allah sehingga dalam hidup kita sehari-hari terjalin
hubungan yang mesra dengan Allah. Di dalam kuasa kasih Kristus, kita
diperkenankan untuk memanggil Dia yang kudus dengan “ya Abba, ya Bapa”.
Kesaksian Untuk Pembangunan Jemaat
Karya pencurahan Roh Kudus sering
dikaitkan dengan pemberian berbagai karunia kepada setiap orang percaya.
Sehingga ketika gereja-gereja Tuhan yang tidak terlalu menonjolkan berbagai
karunia Roh dianggap sebagai gereja yang hidup tanpa roh. Bagaimana kita harus
menjawab permasalahan ini? Selaku gereja Tuhan, kita tidak menyangkal bahwa
karya Roh Kudus juga mengaruniakan berbagai macam karunia seperti karunia
hikmat, pengetahuan, menyembuhkan orang sakit, membuat mukjizat, bernubuat,
membedakan bermacam-macam roh, karunia bahasa roh dan menafsirkan bahasa roh (I
Kor. 12:8-10). Namun yang ditonjolkan oleh kalangan tertentu ternyata bukan
karunia hikmat, pengetahuan, bernubuat dan membedakan bermacam-macam roh;
melainkan yang sangat ditonjolkan justru karunia menyembuhkan orang sakit,
membuat mukjizat dan karunia bahasa roh. Mengapa karunia-karunia tersebut yang
ditonjolkan bahkan sering dijadikan ukuran untuk menentukan tingkat dan
kualitas iman? Mengapa gereja-gereja atau kelompok-kelompok persekutuan
tersebut juga tidak menonjolkan pula karunia-karunia Roh seperti: karunia
hikmat, pengetahuan, bernubuat dan karunia untuk membeda bermacam-mcam roh?
Keadaan tersebut menunjukkan bahwa ternyata kita tidak mampu menempatkan
karunia-karunia Roh secara proporsional dan bertanggungjawab sesuai dengan
panggilan hidup kita selaku umat pecaya. Padahal seluruh karunia tersebut
ditempatkan oleh rasul Paulus untuk membangun jemaat dalam kesatuan tubuh (I
Kor. 12:13, 24-25). Ini berarti karunia Roh yang utama adalah kasih. Sebab
kasih senantiasa dapat menjembatani suatu jarak yang semula terputus, dan
memampukan setiap pihak yang berbeda untuk hidup dalam rasa hormat dan sikap
saling menghargai. Ketika kita mampu untuk saling mengasihi dan membangun
kehidupan persekutuan, maka kita juga mengalami makna damai-sejahtera
sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yesus.
Dengan demikian inti dari seluruh
kesaksian iman Kristen yang secara hakiki memberitakan Kristus pada hakikatnya
terkait dengan teologi pembangunan jemaat. Suatu pelayanan atau kesaksian yang
menyebabkan anggota jemaat tidak dapat mengalami proses pertumbuhan rohani yang
seharusnya, maka kesaksian iman yang demikian tidak berhasil mencapai sasaran.
Jika suatu pelayanan atau kesaksian tidak berhasil mencapai sasaran, mengapa kita
tetap melakukannya dengan pola dan metode yang selalu sama? Teologi pembangunan
jemaat senantiasa terbuka terhadap berbagai perubahan yang positif dan
konstruktif asalkan secara hakiki mempermuliakan Kristus dan memberdayakan
jemaat. Karunia Roh memampukan setiap umat percaya untuk mengalami perubahan
dan pembaharuan. Karena itu kita dapat memohon agar Roh Kudus memberikan kita
hikmat dan pengetahuan yang tepat untuk menyelenggarakan suatu pelayanan dan
kesaksian yang membangun jemaat. Sehingga yang ditawarkan oleh gereja
bukan sekedar suatu pelayanan yang berbau “supra-natural”, tetapi suatu
pelayanan yang memberdayakan setiap anggota jemaat dalam menghadapi realita
kehidupan yang keras dan terbelenggu oleh kuasa dosa. Jemaat perlu diajar
bagaimana mereka harus menerapkan karunia hikmat Allah di tengah-tengah
kelicikan dunia ini. Selain itu anggota jemaat juga mampu menerapkan karunia
pengetahuan agar mereka mampu memiliki wawasan iman yang kritis dalam menyikapi
berbagai “kesesatan” yang terselubung. Semakin anggota jemaat memiliki wawasan
iman yang luas, seimbang dan kritis maka mereka akan menjadi para saksi Kristus
yang tangguh dalam menghadapi terpaan dan tantangan dunia ini.
Panggilan
Jika demikian, karya pencurahan Roh
Kudus pada hakikatnya merupakan karunia Allah bagi setiap orang percaya agar
kita mengalami transformasi dalam spiritualitas iman kita. Setiap orang percaya
yang hidup menurut Roh senantiasa ditandai oleh perubahan hidup yang
terus-menerus, dan pada saat yang sama setiap orang percaya hidup berdamai
dengan Allah. Karya Roh Kudus bersifat transformatif sekaligus menciptakan
rekonsiliasi dengan Allah, sesama dan dengan diri kita sendiri. Ketika
spiritualitas dan kepribadian kita ditransformasi oleh Roh Kudus, sehingga kita
juga dapat mengalami rekonsiliasi dengan Allah, sesama dan diri sendiri;
bukankah kita juga dimampukan menjadi para pribadi yang dapat mengalami
damai-sejahtera Allah? Tanda-tanda pencurahan Roh Kudus dapat terlihat
pada kenyataan yang terjadi dalam spiritualitas dan kepribadian kita, yaitu
apakah kita telah berdamai dengan Allah, sesama dan diri kita sendiri. Ketika
kita telah diperdamaikan oleh kuasa Roh Kudus, maka kita juga dimampukan untuk
mengasihi Allah, sesama dan diri kita sendiri. Bagaimana dengan kehidupan
saudara saat ini? Apakah saudara telah mengalami damai-sejahtera? Juga apakah
hidup saudara sungguh-sungguh bahagia dan penuh makna? Bila belum, maka pada
saat ini Allah menawarkan kasih-karuniaNya kepada kita. Kristus menawarkan Roh
KudusNya yang mampu membebaskan diri kita dari roh perbudakan, yaitu kuasa dosa
yang mengikat dan membelenggu diri kita. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar