Melayani Tuhan setelah pensiun sampai hari ini.
Letjend (Purn) Dr. H.B.L. Mantiri.
MELAYANI BANGSAKU
Kami tinggal di sebuah rumah di Bogor. Di belakang
rumah kami ada sungai Cisadane. Pada usia + 10 tahun, saya bermain
layang-layang di belakang kompleks Asrama polisi tidak jauh dari rumah. Waktu
saya berusaha menerbangkan layang-layang itu dengan cara berlari mundur, lalu
saya 'freefall' ke sungai Cisadane yang airnya hanya sejengkal tapi
berbatu-batu. Tapi mujizat kembali terjadi, saya tidak mengalami cedera
apa-apa, tidak ada satupun tulang yang patah. Sekali lagi Tuhan menolong dan
menyelamatkan nyawa saya.
Saya seharusnya sudah mati dalam kandungan ibu saya,
atau sudah mati karena terjatuh dari dari sungai dengan ketinggian 10 meter. Tapi Tuhan terus menyelamatkan saya. Dia
punya rencana di dalam kehidupan saya. Saat itulah saya memutuskan untuk
menyerahkan seluruh hidup saya pada Kristus.
Keluarga kami tidak kaya. Ayah saya adalah seorang yang jujur, dan Tuhan memenuhi semua kebutuhannya. Bahkan Tuhan memampukan Ayah untuk menyekolahkan kami di sekolah yang sangat mahal pada waktu itu hanya sedikit orang yang bisa sekolah disana. Itu adalah sebuah sekolah Belanda yang sangat baik. Saya merasa sangat bersyukur akan hal itu. Setelah lulus SMA di tahun 1959, saya masuk ke akademi militer. Walau calon ayah mertua saya sangat menginginkan untuk menjadi pendeta dan masuk sekolah Theologi. Namun karena saya sudah terlebih dahulu lulus di ujian masuk Akademi Militer, maka saya meneruskan pendidikan saya di Militer.
Saya bertanya pada Tuhan, "Mengapa calon mertua
saya meminta saya untuk masuk sekolah theologi?” Kemudian saya baru mengerti,
seorang pendeta dari Taiwan yang memberi tahu saya, bahwa Tuhan membutuhkan
orang yang melayaninya dalam militer dan pemerintahan. Saya tidak punya tujuan
sedikitpun untuk menjadi Jenderal sejak awal saya masuk dalam kemiliteran.
Karena saya tidak mau menyusahkan mereka dengan memasukkan saya ke Universitas,
yang berarti biaya yang lebih besar lagi. Sejak saya masuk militer, saya tidak
butuh apa-apa lagi, bahkan saya tidak butuh
pakaian dari orang tua, karena militer dan pemerintahlah yang memenuhi semua kebutuhan harian saya. Hanya itulah yang ada dalam pikiran saya, tidak mau menyusahkan orangtua lagi. Ternyata Tuhan berencana lain, Dia menyertai dalam karir kemiliteran saya dari prajurit hingga Jenderal dengan 'Bintang Tiga'. Jabatan tertinggi saya dalam kemiliteran adalah Kepala Staf umum ABRI (1993-1995). Setelah pensiun dari militer aktif, saya lalu ditugaskan sebagai duta besar di Singapura.
Orang bertanya pada saya rahasia
kesuksesan sejauh ini, padahal sebagai minoritas hal tersebut hampir tidak
mungkin untuk dicapai. Tentu jawabannya adalah semua ini adalah rencana Tuhan
dalam hidup saya. Tapi saya juga punya tips dari ayah saya, tiga kata yang
terus diulang-ulangnya pada kami, yang begitu mendarah daging. Untuk berhasil
dalam hidup resepnya: 1. Jujur; 2. Setia; 3. Rajin. Menurutnya kalau kita konsentrasi
pada tiga kata ini, hidup kita akan berhasil. Sampai hari ini, saya terus
memegang tiga kata ini. Dan puji Tuhan, saya telah membuktikan bahwa perkataan
ayah saya ini benar. Saya yakin dan Percaya bahwa Tuhan telah menolong saya
dalam jenjang karir hingga menjabat sebagai KASUM ABRI dan Duta Besar Rl untuk
Singapura.
Saya memang sudah pensiun jadi praiurit, tapi sekarang
saya adalah prajurit Tuhan, dan tidak ada pensiun menjadi prajurit Tuhan. Saya
memang sudah berhenti jadi duta besar, tapi tidak pernah ada kata berhenti
menjadi duta nya Tuhan.
(Bob/LM/Pet/Rz)
----------------------
Catatan: Naskah ditulis oleh VOICE Senior
Editor Bob Armstrong dan diterjemahkan oleh Lucky Mamusung
(Bob/LM/Pet/Rz)
----------------------
Catatan: Naskah ditulis oleh VOICE Senior
Editor Bob Armstrong dan diterjemahkan oleh Lucky Mamusung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar