Apakah Itu Dia?
Cinta merupakan hal yang tidak
bisa direncanakan ataupun dipaksakan. Semua orang tidak percaya ketika
menanyakan statusku dan aku berkata “masih jomblo” karena dilihat dari wajah
(puji Tuhan aku tidak jelek-jelek amat…ciiie), ketika mereka melihat pekerjaan
aku termasuk salah satu orang yang mapan. Mungkin nilai itulah yang diterapkan
ketika memandangku.
Aku seorang wanita biasa,
berumur 26 tahun yang menurut standar sudah pada usia menikah. Aku merupakan
pribadi yang unik, tidak mudah suka dengan orang namun bila aku sudah jatuh
hati padanya akan sangat sulit move on. Ketika aku membaca Renungan Harian
Kristen mengadakan lomba menulis pengalaman mencari cinta, aku sangat antusias.
Bukan hanya karena berorientasi menang namun aku seperti mendapat jalan terbuka
untuk menceritakan pengalamanku ke dalam media yang tepat. Karena pada
prinsipnya orang akan mencurahkan isi hati bila ia sudah merasa nyaman dengan
lawan ceritanya (tentunya dengan lebih spesifik lagi lawan bicara yang bisa
dipercaya). Dan aku setiap hari membaca renungan ini via online.
Ketika membicarakan
pengalamanku berpacaran, orang bilang pacar pertama sih susah dilupakan.
Benarkah? Aku tidak mengalaminya. Pacar pertamaku merupakan hamba Tuhan
(pendeta) berasal dari Medan yang kuliah di Jakarta. Kami bertemu saat ia
datang ke kotaku untuk praktek di gereja tempatku beribadah. Awalnya beliau
kenal dengan orang tuaku dan sering main ke rumah. Aku tidak menyukainya dalam
arti “cinta”. Usiaku saat itu masih 18 tahun dan ia 31 tahun aku bahkan merasa
aib ketika harus berpacaran dengan om-om. Namun motivasiku hanyalah untuk
menyenangkan ibuku, aku dengan terpaksa menjalani selama 30 hari. Aku
memutuskan untuk tidak terlalu jauh berhubungan dengannya karena aku merasa
egois memperalatnya demi kesenangan ibuku tanpa memikirkannya akan terluka.
Akhirnya aku memutuskannya dan menutup segala akses dengannya entah itu by
phone, massage, fb aku merasa ini akan lebih baik dari pada berpura-pura dengan
resiko mengecewakannya dan ibuku. Ia tidak terima dan masih menghubungiku dalam
beberapa tahun lalu, namun sekarang ia sudah berkeluarga dan aku turut
bergembira untuknya.
Mau tidak mau dia merupakan
orang yang mendorongku untuk sangat hati-hati menjaga hati. Aku memutuskan
tidak mau sembarangan lagi dalam berpacaran. Pada perjalanan setelahnya aku
bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang yang menyatakan cinta,
namun pertahananku terlalu tebal untuk ditembus. Baru pada usia 21 tahun aku
menemukan seseorang yang menurutku perfect. Ia tidak patah semangat
mendekatiku, walaupun respon awalku terhadapnya sama dengan mereka yang
menyukaiku sebelumnya dan tidak pernah berhasil jalan denganku.
Sebut saja MV, saat
kumengenalnya ia sedang dalam pendidikan, ingin bekerja di bidang pelayaran
akupun saat itu juga masih di bangku kuliah semester 2. Ia meyakinkanku bahwa
aku harus membuka hati dan menjalani hari dengan penuh cinta karena itu akan
lebih indah. Ia merubah banyak sekali pemikiranku. Aku merasa kedatangannya
seperti memberika air saat di gurun pasir. Akhirnya akupun menjalin cinta
dengannya, kesabarannya mampu memuluhkan tembok hatiku. Berjalan bersamanya
merupakan hari di mana aku tidak ingin mengakhirinya.
Dia selalu memberikan motivasi
dalam mengerjakan apapun termasuk saat ini aku merasa bisa sampai di posisiku
sekarang karena dukungannya. Jujur aku sangat mencintainya. Dalam
ketidaksempurnaannya sebagai manusia aku bisa menerimanya. Di usia pacaran 1,5
tahun dia sudah harus berangkat berlayar untuk pertama kalinya. Dia ikut dalam
pelayaran kapal pesiar ke wilayah Eropa dengan rute perjalanan yang memakan
waktu 9 bulan sekali jalan.
Kegundahan meliputi saat
keadaan memaksa Long Distance Relationship, namun kami berkomitmen untuk saling
menunggu. Di minggu awal, mungkin tahap adaptasi baginya, hampir setiap hari ia
menelepon, walaupun mungkin 3 menit telepon mati, kemudian mencoba telepon lagi
5 menit mati, seperti naik jet coaster rasanya ketika bisa berkomunikasi
dengannya karena bukan hanya perasaan yang main saat itu, termasuk adrenalin,
haha. Darinya aku belajar ‘cinta yang tak bersyarat’. Akhirnya kamipun bertahan
dan menang dalam keberangkatan yang pertama dan kedua.
Dalam kepulangannya setelah 9
bulan yang kedua, aku menyaksikannya cukup mapan secara ekomoni dan ia ingin
membawa hubungan kita lebih serius yaitu menikah. Ada perasaan senang dan
sangat antusias. Namun permasalahan terjadi, kami berbeda keyakinan. Sejak awal
kami menyadari bahwa kami berbeda namun kami tetap memaksakannya atas dasar
cinta yang mampu mengatasi segala perbedaan itu. Dia tidak permah meminta
banyak dariku selama ini selain kesetiaan, dan permintaan yang kedua adalah
mengikuti keyakinannya sebagai kepala keluarga.
Galau, sangat-sangat gundah
aku memikirkannya. Orang tuaku sudah memberi rambu-rambu untuk tidak menikah
denga orang yang berbeda keyakinan. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku
memutuskan untuk tetap mengikut Yesus. Sebelum keputusan itu kuambil, aku
banyak membaca buku tentang perbedan keyakinan, mendengar kotbah-kotbah tentang
itu sembari berharap ada ruang untuk kami. Namun ternyata tidak.
Aku harus tegas dan ini
pilihanku. Kukatakan kepadanya aku tidak bisa lagi melanjutkan semua ini.
Kecewa sudah pasti namun ia menunjukkan kerelaan hatinya berpisah secara
baik-baik setelah 4 tahun lebih bersama. Justru ending yang seperti itu yang
membuatku menangisinya hampir setiap malam walau ini sudah hampir 1 tahun kami
tidak berkomunikasi lagi.
Ia membatasi pertemuan dan
komunikasi denganku, memang hal ini akan lebih baik karena kupikir akan sangat
sulit mengendalikan perasaanku ketika kami masih sering mengobrol dan mencoba
mencari titik tengah dari semua permasalahan. Setelah aku memutuskannya, ia
berkata akan berangkat lagi untuk yang ketiga kali namun kali ini lebih lama
sampai ia bisa melupakan segalanya yang terjadi di Indonesia denganku.
Mungkin saat aku menulis ini
ia sudah kembali ke Indonesia, namun aku tidak pernah lagi melihatnya aktif
dalam media social sehingga tidak mengerti kabarnya. Sempat dalam kegundahan
aku berfikir “I never stop to love you, I just stop to show it. Even if I miss
you, I’ll hold it in. I’ll try to erase you. Even if you forget me, or even if
you have erased me, in my heart, still you.”
Saat ini untukku sendiri
merupakan tahap “rehabilitasi”. Banyak yang mendekatiku baik di gereja maupun
di tempat kerja, teman yang mereferensi bahkan perjodohan dari orang sekitar
dan aku masih belum bisa sepenuhnya lupa dengan sang mantan. Aku masih tetap
berdoa kepada Tuhan untuk memberikan pasangan yang sepadan denganku, aku yakin
Dia takkan terkecewakan karena aku tahu seperti apa Tuhanku yang kusembah
memelihara hidupku mekar seperti bunga.
Aku tetap memegang ‘dahulukan
kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya akan ditambahkan kepadamu’.
Orang boleh pesimis dan berkata dengan sikapku, aku akan menjadi perawan
tua/aku memutuskan selibat. Dalam hati aku hanya berserah, aku mengenal Tuhan.
Ia takkan merancangkan yang buruk bagiku. Dan aku sadari waktunya selalu tepat.
God Bless all readers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar