H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Kamis, 06 Agustus 2015

APAKAH ITU DIA ?



Apakah Itu Dia?

Cinta merupakan hal yang tidak bisa direncanakan ataupun dipaksakan. Semua orang tidak percaya ketika menanyakan statusku dan aku berkata “masih jomblo” karena dilihat dari wajah (puji Tuhan aku tidak jelek-jelek amat…ciiie), ketika mereka melihat pekerjaan aku termasuk salah satu orang yang mapan. Mungkin nilai itulah yang diterapkan ketika memandangku.
Aku seorang wanita biasa, berumur 26 tahun yang menurut standar sudah pada usia menikah. Aku merupakan pribadi yang unik, tidak mudah suka dengan orang namun bila aku sudah jatuh hati padanya akan sangat sulit move on. Ketika aku membaca Renungan Harian Kristen mengadakan lomba menulis pengalaman mencari cinta, aku sangat antusias. Bukan hanya karena berorientasi menang namun aku seperti mendapat jalan terbuka untuk menceritakan pengalamanku ke dalam media yang tepat. Karena pada prinsipnya orang akan mencurahkan isi hati bila ia sudah merasa nyaman dengan lawan ceritanya (tentunya dengan lebih spesifik lagi lawan bicara yang bisa dipercaya). Dan aku setiap hari membaca renungan ini via online.
Ketika membicarakan pengalamanku berpacaran, orang bilang pacar pertama sih susah dilupakan. Benarkah? Aku tidak mengalaminya. Pacar pertamaku merupakan hamba Tuhan (pendeta) berasal dari Medan yang kuliah di Jakarta. Kami bertemu saat ia datang ke kotaku untuk praktek di gereja tempatku beribadah. Awalnya beliau kenal dengan orang tuaku dan sering main ke rumah. Aku tidak menyukainya dalam arti “cinta”. Usiaku saat itu masih 18 tahun dan ia 31 tahun aku bahkan merasa aib ketika harus berpacaran dengan om-om. Namun motivasiku hanyalah untuk menyenangkan ibuku, aku dengan terpaksa menjalani selama 30 hari. Aku memutuskan untuk tidak terlalu jauh berhubungan dengannya karena aku merasa egois memperalatnya demi kesenangan ibuku tanpa memikirkannya akan terluka. Akhirnya aku memutuskannya dan menutup segala akses dengannya entah itu by phone, massage, fb aku merasa ini akan lebih baik dari pada berpura-pura dengan resiko mengecewakannya dan ibuku. Ia tidak terima dan masih menghubungiku dalam beberapa tahun lalu, namun sekarang ia sudah berkeluarga dan aku turut bergembira untuknya.
Mau tidak mau dia merupakan orang yang mendorongku untuk sangat hati-hati menjaga hati. Aku memutuskan tidak mau sembarangan lagi dalam berpacaran. Pada perjalanan setelahnya aku bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang yang menyatakan cinta, namun pertahananku terlalu tebal untuk ditembus. Baru pada usia 21 tahun aku menemukan seseorang yang menurutku perfect. Ia tidak patah semangat mendekatiku, walaupun respon awalku terhadapnya sama dengan mereka yang menyukaiku sebelumnya dan tidak pernah berhasil jalan denganku.
Sebut saja MV, saat kumengenalnya ia sedang dalam pendidikan, ingin bekerja di bidang pelayaran akupun saat itu juga masih di bangku kuliah semester 2. Ia meyakinkanku bahwa aku harus membuka hati dan menjalani hari dengan penuh cinta karena itu akan lebih indah. Ia merubah banyak sekali pemikiranku. Aku merasa kedatangannya seperti memberika air saat di gurun pasir. Akhirnya akupun menjalin cinta dengannya, kesabarannya mampu memuluhkan tembok hatiku. Berjalan bersamanya merupakan hari di mana aku tidak ingin mengakhirinya.
Dia selalu memberikan motivasi dalam mengerjakan apapun termasuk saat ini aku merasa bisa sampai di posisiku sekarang karena dukungannya. Jujur aku sangat mencintainya. Dalam ketidaksempurnaannya sebagai manusia aku bisa menerimanya. Di usia pacaran 1,5 tahun dia sudah harus berangkat berlayar untuk pertama kalinya. Dia ikut dalam pelayaran kapal pesiar ke wilayah Eropa dengan rute perjalanan yang memakan waktu 9 bulan sekali jalan.
Kegundahan meliputi saat keadaan memaksa Long Distance Relationship, namun kami berkomitmen untuk saling menunggu. Di minggu awal, mungkin tahap adaptasi baginya, hampir setiap hari ia menelepon, walaupun mungkin 3 menit telepon mati, kemudian mencoba telepon lagi 5 menit mati, seperti naik jet coaster rasanya ketika bisa berkomunikasi dengannya karena bukan hanya perasaan yang main saat itu, termasuk adrenalin, haha. Darinya aku belajar ‘cinta yang tak bersyarat’. Akhirnya kamipun bertahan dan menang dalam keberangkatan yang pertama dan kedua.
Dalam kepulangannya setelah 9 bulan yang kedua, aku menyaksikannya cukup mapan secara ekomoni dan ia ingin membawa hubungan kita lebih serius yaitu menikah. Ada perasaan senang dan sangat antusias. Namun permasalahan terjadi, kami berbeda keyakinan. Sejak awal kami menyadari bahwa kami berbeda namun kami tetap memaksakannya atas dasar cinta yang mampu mengatasi segala perbedaan itu. Dia tidak permah meminta banyak dariku selama ini selain kesetiaan, dan permintaan yang kedua adalah mengikuti keyakinannya sebagai kepala keluarga.
Galau, sangat-sangat gundah aku memikirkannya. Orang tuaku sudah memberi rambu-rambu untuk tidak menikah denga orang yang berbeda keyakinan. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku memutuskan untuk tetap mengikut Yesus. Sebelum keputusan itu kuambil, aku banyak membaca buku tentang perbedan keyakinan, mendengar kotbah-kotbah tentang itu sembari berharap ada ruang untuk kami. Namun ternyata tidak.
Aku harus tegas dan ini pilihanku. Kukatakan kepadanya aku tidak bisa lagi melanjutkan semua ini. Kecewa sudah pasti namun ia menunjukkan kerelaan hatinya berpisah secara baik-baik setelah 4 tahun lebih bersama. Justru ending yang seperti itu yang membuatku menangisinya hampir setiap malam walau ini sudah hampir 1 tahun kami tidak berkomunikasi lagi.
Ia membatasi pertemuan dan komunikasi denganku, memang hal ini akan lebih baik karena kupikir akan sangat sulit mengendalikan perasaanku ketika kami masih sering mengobrol dan mencoba mencari titik tengah dari semua permasalahan. Setelah aku memutuskannya, ia berkata akan berangkat lagi untuk yang ketiga kali namun kali ini lebih lama sampai ia bisa melupakan segalanya yang terjadi di Indonesia denganku.
Mungkin saat aku menulis ini ia sudah kembali ke Indonesia, namun aku tidak pernah lagi melihatnya aktif dalam media social sehingga tidak mengerti kabarnya. Sempat dalam kegundahan aku berfikir “I never stop to love you, I just stop to show it. Even if I miss you, I’ll hold it in. I’ll try to erase you. Even if you forget me, or even if you have erased me, in my heart, still you.”
Saat ini untukku sendiri merupakan tahap “rehabilitasi”. Banyak yang mendekatiku baik di gereja maupun di tempat kerja, teman yang mereferensi bahkan perjodohan dari orang sekitar dan aku masih belum bisa sepenuhnya lupa dengan sang mantan. Aku masih tetap berdoa kepada Tuhan untuk memberikan pasangan yang sepadan denganku, aku yakin Dia takkan terkecewakan karena aku tahu seperti apa Tuhanku yang kusembah memelihara hidupku mekar seperti bunga.
Aku tetap memegang ‘dahulukan kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya akan ditambahkan kepadamu’. Orang boleh pesimis dan berkata dengan sikapku, aku akan menjadi perawan tua/aku memutuskan selibat. Dalam hati aku hanya berserah, aku mengenal Tuhan. Ia takkan merancangkan yang buruk bagiku. Dan aku sadari waktunya selalu tepat. God Bless all readers.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar