H.O.R.A.S

Selamat Datang buat anda yang mengunjungi blog ini, Segala informasi dalam blog ini merupakan bantuan dari buku-buku, majalah, dan lain-lain
Semoga blog ini bermanfaat bagi anda ^^.


Sabtu, 22 Oktober 2011

Gambaran Masyarakat Kehutanan


KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT DESA


Latar Belakang
            Pada umumnya interaksi masyarakat sekitar hutan di Indonesia dengan hutan sudah berlangsung lama bahkan berawal dari pertama kali mereka dilahirkan. Melalui proses adaptasi, masyarakat sekitar hutan mengembangkan pola pengelolaan hutan menurut kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungannya. Didik at al. (1998) menyatakan pola pengelolaan hutan yang diprakarsai dan dilakukan masyarakat tersebut dapat bertahan bahkan hingga ratusan tahun. Cara-cara pengelolaannya relatif menjamin keberadaan hutan dan sekaligus penting untuk mendukung dan mempertahankan kehidupan mereka.

Inti dari Panduan Kampung terletak pada bagian empat, yaitu permasalahan dan upaya yang diperlukan untuk mengatasinya. Bagian tersebut dibagi ke dalam “empat bidang permasalahan pokok”, yaitu keadaan hutan dan lahan hutan, perekonomian kampung, pranata kampung dan kebijakan pemerintah, sesuai dengan hasil kajian. Kalau permasalahan dari keempat bidang dapat diselesaikan dengan baik, cukup diyakini bahwa keadaan kampung, khususnya pengelolaan hutan akan menjadi lebih baik.


Gambar 1. hubungan kekeluargaan di DESA

Keadaan “hutan dan lahan hutan” menunjuk kepada permasalahan yang berkaitan dengan keadaan fisik hutan di wilayah kampung. “Perekonomian kampung” dikaitkan (dibatasi) secara khusus dengan pemanfaatan hutan. Jadi dalam Panduan ini tidak dibahas segi perekonomian dan matapencarian penduduk yang lain. “Kelembagaan kampung” membahas hal-hal yang menyangkut pengorganisasian kampung, yaitu sarana yang memungkin orang kampung dapat bekerjasama atau bergotong royong sebagai satu warga. Sedangkan dalam “kebijakan pemerintah” dibahas baik segi isi kebijakan sejauh berkaitan dengan kampung maupun dari segi pelaksanaan di kampung serta penyampaian informasi ke kampung. Untuk memahami permasalahan-permasalahan tersebut, dipaparkan keadaan umum kampung pada bagian pertama. Keadaan umum tersebut meliputi keadaan hutan dan lingkungan, keadaan ekonomi, dan keadaan sosial budaya.

“Keadaan yang diharapkan” mengenai hutan dan lingkungan ditampilkan sebagai cita-cita mengenai keadaan yang baik (idea l). Untuk mencapai keadaan yang baik (ideal) itu permasalahan perlu ditangani. Untuk menangani itu dilihat dukungan yang diperlukan dari pihak luar dan kekuatan atau modal dasar yang telah dimiliki warga kampung.

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan profil dan peran kelembagaan dalam melakukan upaya pengelolaan hutan masyarakat. Uraian tulisan telaah ini bersifat studi kasus yang mengambil lokasi di kawasan hutan masyarakat Desa Bukum, Kecamatan Sibolangit.



KELEMBAGAAN DALAM KEHUTANAN MASYARAKAT
Upaya pengelolaan hutan lindung di Pasaman sudah dimulai pada masa kolonial Belanda tahun 1596-1945 dan telah berhasil mempertahankan keberadaan hutan lindung sampai sekarang. Pada periode kolonial tersebut upaya pengelolaan hutan lindung relatif cukup efektif mengamankan hutan karena adanya tindakan keras terhadap pelaku pelanggaran (Bakhdal et al., 2004).

Pada masa Orde Baru sampai tahun 2000 kawasan hutan lindung di Pasaman dikelola oleh Dinas Provinsi dengan Cabang Dinas Kehutanan Pasaman sebagai pelaksana lapangan. Selanjutnya periode ini digantikan dengan periode Orde Reformasi dan upaya pengelolaan hutan lindung di Pasaman langsung berada dalam tanggung jawab pemda kabupaten yang dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan Pasaman. Dalam SK Bupati Pasaman No. 20 Tahun 2003 dijelaskan organisasi, tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan Pasaman.

Pengelolaan hutan lindung (pengamanan) secara struktural menjadi tugas dan wewenang Sub Dinas Perlindungan Hutan. Secara teknis operasional, pengamanan dilakukan dengan patroli dan penyuluhan. Akan tetapi, tenaga untuk melakukan pengamanan hutan belum terpenuhi. Selanjutnya, dalam Subdin Perlindungan Hutan hanya terdapat satu Eselon III dan tiga Eselon IV yang masing-masing hanya punya satu staf, kecuali Seksi Pengaman Hutan yang mempunyai tiga tenaga tambahan honorer. Di samping itu, cabang dinas di tingkat kecamatan ternyata tidak ada dalam kenyataannya (di lapangan). Hal ini mempersulit upaya pencegahan gangguan terhadap hutan lindung secara cepat. Sejalan dengan semangat otonomi, kekuasaan bupati menjadi lebih berpengaruh.

Pengaruh pemerintahan daerah kabupaten relatif lebih kuat dibandingkan Dinas Kehutanan Provinsi. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan Bupati Pasaman tahun 2003 adalah dihapuskannnya tenaga polisi khusus (polsus) di wilayah kerja Dinas Kehutanan Pasaman. Kebijakan ini dibuat karena adanya perbedaan sumber penggajian tenaga polsus hutan; sumber anggaran penggajian harus dari kabupaten, sementara pemda kabupaten menginginkan sebaliknya.

POTRET KELEMBAGAAN KEHUTANAN MASYARAKAT
1.    Organisasi
Untuk memungkinkan partisipasi yang penuh, modal sosial (social capital) dan pengorganisasian masyarakat perlu ditingkatkan. Modal sosial adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan bersama secara teratur dan terorganisir.

Permasalahan modal sosial menyangkut kondisi institusi Kampung. Institusi berarti perbuatan, perilaku atau kebiasaan (practices) yang melembaga (berpengaturan) berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sehingga memperlihatkan suatu keteraturan.Masalah ini tampil ke depan dalam kenyataan bahwa sejumlah Kampung tidak terorganisasi dengan baik terutama dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan.

2. Permasalahan
1) Lemahnya hukum adat dalam melindungi hutan, terutama hutan rimba. Banyak hutan rimba adalah hutan umum, di mana semua orang mempunyai hak yang sama untuk mengambil hasilnya, kecuali atas hasil hutan tertentu yang menjadi klaim atau hak perorangan dalam jumlah terbatas. Kelemahan hukum adat ini ditemukan pada semua Kampung yang dikaji.

2) Di semua Kampung tidak ada peraturan Kampung yang tertulis mengenai pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Padahal kebutuhan akan peraturan Kampung dirasakan oleh semua Kampung, bukan saja karena manfaatnya jelas, tapi juga karena hukum adat (yang
tidak tertulis) tidak menjamin pengelolaan hutan yang baik. Peraturan Kampung yang tidak tertulis cenderung dengan mudah diabaikan oleh masyarakat Kampung itu sendiri, apalagi orang luar. Tidak adanya peraturan tertulis ini menyebabkan dalam kasus tertentu
Kepala Kampung lemah dan diabaikan, terutama dalam soal eksploitasi hutan. Peraturan tidak tertulis juga menjadi masalah jika orang yang mengerti peraturan sendiri tidak dapat menjadi pelaksana atau mengabaikan peraturan tersebut.

3) Rendahnya perhatian Pimpinan Kampung terhadap persoalan pengelolaan hutan; belum ada upaya terorganisir pada tingkat Kampung, baik antar lembaga Pemerintahan Kampung maupun antara Pemerintahan Kampung dengan warga, untuk mengatasi persoalan seperti kebakaran dan eksploitasi hutan yang berlebihan. Hal ini cukup mengherankan, sebab kerusakan hutan telah menjadi keprihatinan banyak warga Kampung, termasuk Aparat Kampung sendiri, namun belum ada upaya yang berarti untuk mengatasi persoalannya.

Keadaan ini ditemukan pada semua Kampung. 4) Rendahnya tingkat partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan Kampung. Pada umumnya perempuan tidak ambil bagian atau bersifat pasif dalam rapat Kampung. Ada Kampung di mana perempuan cukup berani dan aktif, tetapi partisipasi mereka belum banyak. Sikap ini mempunyai dasar sebagian dalam budaya, di mana secara turun temurun perempuan kurang terlibat dalam ranah publik. Sebab dasar lainnya adalah rendahnya pendidikan rata-rata kaum perempuan dibanding dengan laki-laki. Keadaan seperti ini terdapat pada semua Kampung.

5) Lemahnya mekanisme pengawasan terhadap pengambilan keputusan tingkat Kampung. Masyarakat sedang dalam transisi menuju demokrasi. Sejumlah Pimpinan Kampung belum terbiasa dengan demokrasi dan masih mengambil keputusan dengan pola lama yang otokratis. Model parlemen Kampung (BPK) dapat menjadi sistem kontrol terhadap kebijakan Kepala Kampung. Namun pada umumnya model ini belum berjalan dengan baik.

6) Pemerintah Kabupaten tidak memiliki kapasitas atau kemampuan outreach (jangkauan) yang memadai untuk membantu memfasilitasi pengorganisasian masyarakat di semua Kampung di Kutai Barat yang berjumlah 210 buah. Ketidakmampuan tersebut mencakup pengetahuan dan teknik dasar pengorganisasian masyarakat, jumlah personel, dan pembiayaan yang terbatas.

3. Langkah-langkah awal penyelesaian masalah
1) Meningkatkan kegiatan pengorganisasian masyarakat (community organizing-CO) mulai dari Kampung- Kampung yang memiliki potensi permasalahan paling besar sampai ke Kampung-Kampung yang hampir tidak memiliki persoalan dalam pengelolaan sumber daya hutan.

2) Fasilitasi Kampung harus ditujukan untuk membenahi struktur dan mekanisme manajemen Kampung secara keseluruhan, meningkatkan kemampuan manajerial aparat Kampung, menyusun peraturan Kampung di bidang kehutanan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk meninjau kembali hukum Adat, dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan Kampung. Pengorganisasian juga hendaknya diarahkan untuk meningkatkan kerjasama yang baik, dalam Kampung dan antar Kampung, berdasarkan keprihatinan dan kepentingan bersama, menyelesaikan sengketa internal maupun eksternal, dan pengambilan keputusan yang demokratis dalam masyarakat Kampung.

3) Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan Aparat pemerintah, khususnya petugas lapangan dari DPM, Dishut, dan Dinas lain yang terkait dalam bidang pengorganisasian
masyarakat.

4) Pemerintah perlu mengalokasikan dana yang memadai untuk melakukan kegiatan fasilitasi pengorganisasian masyarakat di lapangan.

4. Dukungan yang diperlukan
Upaya pengorganisasian masyarakat perlu mendapat dukungan dari LSM. LSM mempunyai kelebihan khusus dalam hal ini karena memiliki kedekatan dan pengalaman langsung dengan masyarakat di Kampung-Kampung. Program IFAD (International Funds for Agricultural Development) yang baru mulai di Kutai Barat juga perlu mendukung upaya ini. IFAD berkepentingan dengan pengorganisasian masyarakat sehubungan dengan upaya peningkatan status sosial ekonomi masyarakat pedalaman yang dijalankannya.

Kepemimpinan
a)      Pimpinan kampung, termasuk Kepala Adat, dengan dukungan seluruh warga perlu menyusun peraturan pengelolaan hutan, baik menyangkut penghijauan dan reboisasi maupun hutan lindung. Aturan dan hukum adat mengenai hutan perlu dipelajari kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan. Pengembangan hukum adat harus memperhatikan kemungkinan jangkauan penerapannya, mengingat penduduk kampung yang terdiri dari berbagai suku bangsa.

b)      Lembaga-lembaga pemerintahan kampung perlu memperluas dan memperkuat peran mereka dalam pengelolaan hutan. Peningkatan kemampuan manajemen kampung bagi aparat Pemerintah Kampung perlu menjadi perhatian.


c) Pimpinan kampung perlu meningkatkan peran semua unsur dalam masyarakat, termasuk perempuan dan kaum muda. Meningkatkan peran perempuan dan kaum muda dalam proses pengambilan keputusan tingkat kampung. Kaum perempuan perlu dijadikan
pengambil keputusan, bukan hanya pelaksana belaka.

d)     Pimpinan kampung perlu mencari bentuk pengkoordinasian warga yang lebih sederhana dan berdaya guna, sehingga kerjasama dan kekompakan seluruh warga dapat tercapai guna mendukung pembangunan kampung, termasuk dalam hal pengelolaan hutan.

3) Dukungan yang diperlukan
Upaya penguatan instituasi kampung bertumpu pada kegiatan peorganisasian masyarakat. Bantuan untuk kegiatan semacam itu sangat diharapkan dari LSM, DPM, Kecamatan Muara Pahu, dan lembaga lain yang bergerak dalam bidang pembangunan
masyarakat pedesaan.

Pengembangan Kelembagaan
Di Indonesia, semua hutan dikuasai oleh negara. Berdasarkan UUD 1945, hanya Negara yang berwenang menentukan untuk apa dan oleh siapa hutan dikelola. Akibatnya, banyak konglomerat raksasa, pejabat-pejabat militer dan rekan-rekan bisnis mantan Presiden Soeharto beserta keluarganya mendominasi sebagian terbesar dari kekayaan hutan Indonesia. Hak-hak atas bidang-bidang tanah hutan yang luas diberikan kepada perusahaan-perusahaan penebangan kayu, perkebunan dan pertambangan. Perusahaan-perusahaan ini kemudian mengeksploitasi kawasan-kawasan tersebut secara membabi buta hanya demi kepentingan jangka pendek. Berjuta-juta hektar hutan telah ditetapkan untuk dibuka dan diubah menjadi lahan pertanian dan pemukiman transmigran. Sedikit sekali wilayah ini ‘kosong’. Sebaliknya, sebagian besar wilayah yang dulu dan sampai sekarang diatur oleh adat.









KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
  1. Secara yuridis terdapat dua lembaga yang berperan dalam upaya pengelolaan hutan lindung di Kabupaten Pasaman, yaitu Lembaga Kenagarian dan Dinas Kehutanan Pasaman. Meskipun secara yuridis lembaga nagari mempunyai wewenang dalam mengelola hutan karena tergolong sebagai harta nagari, tetapi dalam implementasinya kewenangan tersebut tidak dapat digunakan sehingga peran lembaga nagari dalam upaya pengamanan hutan lindung tidak menunjukkan hasil yang nyata.
  2. Kewenangan Dinas Kehutanan Pasaman sangat besar dalam upaya pengelolaan hutan lindung. Sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap hutan lindung harusnya lembaga ini sangat memerlukan aparat polsus dalam organisasinya. Tetapi, sebaliknya ternyata lembaga ini tidak mempunyai polisi hutan sehingga lembaga ini menjadi lebih sulit untuk mencegah dan menanggulangi gangguan yang terjadi pada hutan lindung.
  3. Faktor-faktor yang didapati berpengaruh terhadap kinerja lembaga adalah sumber kekuatan hukum, ketersediaan anggaran, kualitas moral tenaga, dan tanda batas kawasan.
  4. Kelembagaan alternatif kedua lembaga pengelola hutan lindung tersebut perlu disatukan dalam kelembagaan tersendiri yang secara fungsional bertanggung jawab kepada Dinas Kehutanan dan secara struktural kepada Wali Nagari.

Saran
Sesuai dengan tradisi lembaga kenagarian maka perlu dibentuk kembali unit dubalang atau polisi khusus nagari yang berfungsi sebagai tenaga pengamanan nagari dan secara fungsional mempunyai hubungan dengan Dinas Kehutanan Pasaman. Di samping itu, tenaga polisi kehutanan perlu kembali dilibatkan dalam organisasi Dinas Kehutanan. Jika tenaga dubalang dalam jangka pendek tidak dapat dipenuhi maka tenaga polhut dapat ditempatkan di dalam lembaga kenagarian.
Semangat Menanam Tanaman



DAFTAR PUSTAKA
Kasim, B dan Aji, D. 2006. Problematik Lembaga Pengelolaan Hutan Lindung Di Pasaman, Sumatera Barat. Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli. Padang.

Nanang, M dan Devung, S. 2002. Panduan Pengembangan Peran dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan. Institute for Global Environmental Strategies. Japan.

Anonim. 2002. Bagian I : Hutan, Masyarakat, dan Hak. Edisi Bahasa Indonesia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar