Tulisan Andi Setiono Mangoenprasodjo
Menjelang Imlek tahun ini, universitas terbesar dan tertua di Indonesia harus mengalami duka mendalam. Sayang tak banyak yang tahu. Bagian menyedihkannya berita yang beredar lebih dikabarkan sebagai kematian yang biasa saja. Mungkin saking biasanya, tiap hari orang meninggal di zaman pandemik ini. Sehingga berita kematian, tak lagi terlalu mengharu biru.
Seorang mahasiswa, keturunan Tionghoa. Diterima di UGM dari jalur prestasi, seorang yang amat pantas dijadikan "mahasiswa". Bukan dari jalur apalan ini-itu, yang diskriminatif dan mengabaikan rasa keadilan itu. Kok bisa menghapal ayat suci agama mayoritas, lalu jadi istimewa di universitas terbuka? Di era dimana kemampuan menghapal sesungguhnya sudah amat kuno dan tak lagi dibutuhkan.
Anak pendiam ini, sebagaimana umumnya trend yang terjadi di lingkungan anak muda Tionghoa mendalami ilmu yang lagi trend: komputer. Bila banyak yang di luar sana, lebih bertumpu pada otodidak dan pergaulan komunitas. Ia lebih akademis dengan kuliah di Jurusan Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UGM. Jalur akademis inilah yang menuntunnya memiliki semangat idealisme yang tinggi.
Lagi2 ini sebuah pertanyaan, kenapa ilmu sepenting ini di UGM masih "dikoloni" di Fakultas MIPA sebagai hanya sebuah jurusan. Ketika di banyak lembaga pendidikan swasta lain, ia sudah menjadi universitas tersendiri. Kenapa kurang diapresiasi makna, arti, dan peran pentingnya, lalu diupgrade jadi "fakultas" misalnya. Hingga ia bisa lebih leluasa mengembangkan ilmunya, mengaplikasikan ilmu dan pengetahuannya ke dalam kehidupan nyata.
Bagi saya ini persoalan serius....
Stanley Prasetyo adalah seorang anak pendiam. Dan sebagaimana seorang kreatif dan jenius, tentu ia mudah gelisah. Sifatnya sangat penolong, tapi sangat tertutup. Ia menganggap institusinya tempat belajarnya, kurang mampu mewadahi ledakan pemikiran dan gairah kreatifitnya. Ketika ia ingin menghasilkan aplikasi ini-itu, tak banyak mendapat perhatian yang cukup. Klasik sih...
Untunglah, seorang yang saya pikir panutan dan anomalis lainnya hadir mengulurkan tangannya. Ia adalah Arif Nurcahyo, sahabat saya seorang Pamen Kepolisian yang lebih memilih resign dari institusinya. Dan kembali ke rumah lamanya, dengan melamar menjadi "Komandan Satpam Kampus". Hingga teman2 dekatnya, lebih akrab memanggilnya dengan "Pak Kumendan Satam" dan kantornya disebut Sataman.
Padahal ia memiliki predikat resmi yang mentereng Kepala Pusat Keamanan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) Universitas Gadjah Mada. Justru lembaga inilah, yang memberinya akses kepada Stanley dan teman2nya membuat start-up aplikasi Bantu dalam rangka menjamin keamanan dan keselamatan sivitas akademika serta masyarakat yang berada di lingkungan UGM.
Bantu merupakan aplikasi layanan kedaruratan yang berfungsi untuk menghubungkan pengguna yang sedang mengalami keadaan darurat dengan petugas PK4L terdekat secara realtime berbasis GPS. Tentu ini terobosan yang luar biasa: sederhana tapi migunani. Aplikasi ini memiliki empat layanan utama, yakni layanan keamanan, medis, pemadam kebakaran, dan otomotif.
Sukses yang akhirnya dibawa dan dipamerkan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Yang tiba2 jatuh cinta dan ingin mengaplikasikannnya secara lebih luas untuk mengontrol anak buahnya di lingkungan kedinasan Pemprow Jateng. Ia ingin "membajak" aplikasi ini dengan menawarkan sejumlah uang sebagai pengganti uang lelah.
Tapi apa jawab gank anak muda ini: silahkan diambil dan gratis. Kami akan membantu pengembangannya dengan cuma-cuma...
Ketika program ini makin populer dan berkembang, tiba2 saja dunia berputar 180 derajat. Stanley ditemukan meninggal di kamar kost-nya di lingkungan Pecinan Jogja: Beskalan. Secara tragis, ia ditemukan lima hari setelah kematiannya dengan kepala terbungkus plastik dengan di sampingnya terdapat alat bantu oksigen. Pihak Kepolisian memastikan tidak ada unsur kriminal dan delik pembunuhan di dalamnya.
Konon, lebih pada "rencana kematian yang telah dipersiapkan".
Saya tidak mau bilang ia menjalani ritual kematian sebagaimana musikus favorit saya Kurt Cobain. Yang mungkin bagi sebagian agama dinggap sebagai tindakan paling hina dan direndahkan. Tapi bagi sebagian kepercayaan, justru dianggap sebagai sebuah cara terakhir mempertahankan kehormatan. Dan bagi anak2 punk (juga grunge) dianggap sebagai "kuasa mensikapi kehidupan". Harus terus atau berakhir?
Bagi yang mengenal baik Stanley, apa yang dialaminya jelas adalah apa yang disebut jalan pedang para Samurai. Ia sedang mempertahankan kehormatan dirinya. Tersebab apa? Saya tak ingin menulis secara terbuka. Saya tak ingin terlibat terlalu jauh urusan keluarganya, yang alih2 membanggakan dan memberi jalan lurus. Tapi justru sangat membebaninya. Pun duka ini tak perlu ditambahi dengan spekulasi yang tak perlu...
Siang itu, kok ndilalah saya sedang main ke Sataman untuk menemui Pak Kumendan yang tentu saja dalam aura duka yang masih kuat menggelayut. Ia tak habis menyesal, kenapa Sabtu terakhir sebelumnya tak lagi mengadakan pertemuan rutin di Sataman. Kenapa sebagai psikolog, ia gagal mengendus fenomena ini. Ia sudah banyak membantu, tapi ternyata tidak juga cukup.
Sesuatu yang ia sebut sebagai potret generasi yang kesepian di tengah keramaian. Dimana yang tetap tinggal adalah kesunyian yang abadi....
Ia merasa masgul, kenapa SP tetap dalam kegelisahan hebat. Pun ketika ia merasa sudah memiliki "rumah baru, keluarga baru". Stanley berpulang, dengan tanpa disadari telah mempersiapkan teman2nya, menularkan seluruh ilmunya. Menyediakan dirinya dengan teladan baik, rasa sosial dan empati yang tinggi. Bahwa dunia digital juga tak melulu masalah untung-rugi, namun juga bisa bersifat cuma2 untuk menolong sesama.
Jumat bertepatan peringatan Imlek kemarin, ia dikremasi di Prambanan. Ia menyisakan duka, tetapi tidak sebagaimana kematian yang umum di hari ini. Juga kebanggaan, teladan, dan tentu saja banyak catatan.
Tentu catatan peringatan bahwa dunia pendidikan di Indonesia memang bukan untuk figur jenius, kreatif dan berdedikasi....