*Perang terhadap stunting*
Dikutip dari media sosial Risang Rimbatmaja
Di medsos saya lihat postingan tentang stunting. Terbaca ada kerjasama beberapa pihak dan ditulis mereka siap perang terhadap stunting. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan perang atau memerangi tapi penggunaan kata perang jelas berbahaya.
Sekedar melihat pengalaman negeri lain. Amerika menggunakan terminologi perang dalam penanganan narkoba sejak jaman 1970an. Alih-alih menyelesaikan masalah, yang terjadi malah kriminalisasi, pemenjaraan, dan catatan kriminal seumur hidup jutaan orang di sana yang pada akhirnya justru mengganggu atau menghilangkan akses mereka pada sumber daya dan bantuan yang mendukung hidup sehat (Cohen, 2022).
Jangan jauh-jauh, negeri tetangga juga menggunakan istilah war on drugs sejak President Rodrigo Duterte berkuasa tahun 2016. Kabarnya, puluhan ribu orang tewas akibat terlibat atau sekedar dicurigai terlibat atau terkena peluru nyasar. War on drugs membuat puluhan ribu anak jadi yatim.
Istilah perang di dua kasus di atas memang menjadi branding dari skema kegiatan-kegiatan “keras”. Jadi, untuk stunting, bisa saja berdalih ini kan hanya istilah yang menggambarkan semangat juang.
Secara struktural mungkin tidak akan terjadi kekerasan tapi jangan lupa ada area kultural dalam kehidupan kita. Dengan kata perang, jangan-jangan di level akar rumput, yang maunya semangat jadi over lalu membuat stigma bahkan meng-opresi sesama warga.
Baru mau posting artikel ini, eh di WAG muncul poster webinar dengan judul Jangan Ada Stunting di Antara Kita.
Setali tiga uang ini.
Anak stunting itu kan banyak. Menurut SSGI terbaru ada 4,5 juta lebih. Bukan jumlah sedikit. Mau dikemanakan muka banyak orang tua anak stunting itu?
Seandainya saja kita punya program pencegahan jerawat dan orang-orang yang menelurkan istilah-istilah di atas berjerawat, bagaimana rasanya kalau kita bilang Perang Melawan Jerawat, Jangan Ada Jerawat di Antara Kita. Bagaiman rasanya?
Condet, 18 Februari 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar