KETULUSAN KASIH
Mencintai seseorang bukan hal yang mudah bagi sebagian orang termasuk aku
tentunya. Mencintai orang merupakan proses yang panjang dan melelahkan. Lelah
ketika kita dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak seimbang antara akal sehat
dan perasaan. Lelah ketika kita harus menuruti akal sehat untuk berlaku normal meski
semuanya menjadi abnormal. Lelah ketika pikiran menjadi galau oleh harapan yang
tidak pasti. Lelah untuk mencari suatu alasan yang tepat untuk sekedar melempar
sesimpul senyum atau sebuah sapaan “apa kabar…”. Lelah untuk secuil kesempatan
akan sebuah moment kebersamaan. Lelah untuk menahan keinginan untuk melihatnya.
Lelah untuk mencari sejengkal kesempatan menyentuh atau memeluknya.
Hanya sebuah sikap diam dan keheningan yang lebih aku pilih. Diam menunggu
sang waktu memberi sebuah moment. Diam untuk mencatat segala yang terjadi. Diam
untuk memberi kesempatan otak kembali dalam keadaan normal. Diam untuk mencari
sebuah jalan keluar yang mustahil. Diam untuk berkaca pada diri sendiri dan
bertanya “apakah aku cukup pantas?” Diam untuk menimbang sebuah konsekuensi
dari rasa yang harus dipendam. Diam dan dalam diam kadang semuanya tetap
menjadi tak terarah. Dan dalam diam itu pula, aku menjadi gila karena sebuah
rasa dan pesona tetap mengalir.
Sayangnya, dalam keheningan dan diam yang aku rasakan, lebih banyak rasa
bimbang daripada sebuah usaha untuk mengembalikan pola pikir yang lebih logis.
Galau ketika mata terus meronta untuk sebuah sekelibat pandangan. Galau ketika
mulut harus terkatup rapat meski sebuah kesempatan sedikit terbuka. Galau
ketika mencintai menjadi sebuah pilihan yang menyakitkan. Galau ketika
mencintai hanya akan menambah beban hidup. Galau ketika menyadari bahwa
segalanya tidak akan pernah terjadi. Galau ketika tanpa disadari harapan
terlanjur membumbung tinggi. Galau ketika semua bahasa tubuh seperti digerakan
untuk bertindak bodoh.
Apakah mencintai seseorang senantiasa membuat orang bodoh? Tentu tidak.
Namun itu pula yang aku rasakan selama hampir lebih dari satu minggu ini. Dalam
kelelahan, diam dan kegalauan yang aku rasakan selama ini, ada rasa syukur atas
berkat dari Sang Maha Kuasa atas fenomena ini. Syukur ketika rasa pahit menjadi
bagian dari mencintai seseorang. Syukur ketika berhasil memendam semua rasa
untuk tetap berada pada zona diam. Syukur untuk sebuah pikiran abnormal namun
tetap bertingkah normal. Syukur ketika rasa galau merajalela tak terbendung.
Syukur ketika rasa perih tak terhingga datang menyapa. Syukur karena tak
ditemukannya sebuah nyali untuk mengatakan “Aku mencintaimu”. Syukur ketika
perasaan hancur lebur menjadi bagian dari mencintai. Syukur ketika harus
menyembunyikan rasa sakit dan cemburu dalam sebaris ucapan “aku baik-baik
saja”. Syukur atas rahmat hari yang berantakan akibat rasa pedih yang teramat
dalam.
Akhirnya, keputusan untuk mencintai melalui sebaris doa menjadi pilihan
yang paling pantas. Setidaknya, mencintai secara tulus melalui doa menjadi
lebih bermakna, karena diteguhkan dan menjadi berkat atas segala rasa perih
yang senantiasa ada di dalam diri. Dalam doa, akhirnya, semuanya kita
kembalikan kepada Sang Maha Kuasa. Bahwa mencintai seseorang itu seperti
memanggul sebuah salib. Bahwa terkadang akal dan perasaan campur aduk tak tentu
arah. Bahwa aku juga tidak bisa berlaku pintar sepanjang waktu, setiap hari.
Bahwa aku juga punya kebodohan yang kadang susah untuk diterima akal sehat.
Bahwa dengan segala kekurangan yang ada, aku berani mencintai. Bahwa aku
bersedia menanggung rasa sakit yang luar biasa. Bahwa aku mampu untuk tetap
hidup meski rasa perih terus menjalar. Bahwa aku masih memiliki rasa takut akan
kehilangan dalam hidup.
Dan hari ini, dari semua pembelajaran yang aku terima, berkembang menjadi
sebuah bentuk Pengorbanan. Sebuah Zona yang terbentuk karena aku merasa tidak
berdaya. Dimana aku merasa tidak memiliki kemampuan untuk membuat segalanya
menjadi mungkin. Dimana aku belum berani untuk membangun sebuah harapan, karena
keadaan memaksa untuk mengalir kesana. Semoga aku bisa. Dan hingga hari ini,
aku masih mencintainya. Aku sadar hal itu akan memberi rasa perih yg teramat
dalam walau bagiku lebih susah untuk mencintai daripada kita dicintai. Aku
sadar ini adalah sebuah perjalanan hidup normal menjadi abnormal dan abnormal
menjadi normal. Dan dalam perjalanan yang melelahkan tentu diam dan keheningan
menjadi moment penting serta terkandung hikmah bahwa cinta itu pengorbanan yang
tulus.
look at around.. you'll find us |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar