PENDAHULUAN
Kayu adalah hasil yang diambil
dari pohon, sedangkan pohon merupakan anggota dari komunitas lingkungan yang
kita kenal sebagai hutan. Dengan perkataan lain, kayu merupakan hasil hutan
yang diekstraksi atau dipungut dari hutan. Deteriorasi hasil hutan adalah semua
proses dan akibat yang menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas hasil
hutan. Terjadinya deteriorasi hasil hutan diakibatkan oleh berbagai penyebab (causing agents) yaitu karena
faktor-faktor biologis (hama, penyakit) dan faktor-faktor fisik.
1. Faktor
Biologis
Dalam keadaan alami yang tidak ada
interferensi manusia terhadap hutan, kayu tidak diambil atau dikeluarkan dari
hutan. Dalam keadaan demikian, pohon yang mati karena akibat usia tua, tumbang
karena pengaruh alam seperti angin, dahan atau cabang patah atau sebab-sebab
lainnya, akan menyebabkan kayu mengalami dekomposisi akibat pembusukan oleh
organisme fungi (jamur/cendawan), bakteri, dan/atau dikonsumsi oleh hewan
xylofag (pemakan kayu) seperti serangga, sehingga sisa-sisa kayu akan menjadi
humus sebagai bagian dari lapisan tanah. Keadaan seperti ini merupakan contoh
dari apa yang terjadi pada hutan yang tidak dimanfaatkan hasilnya secara
langsung (diambil kayu atau hasil hutan lainnya). Dengan perkataan lain, hutan
tersebut tidak diusahakan untuk produksi dalam bentuk materi yang nyata
(tangible) yang dikeluarkan dari hutan sehingga dari segi ekonomis nilai hutan
menjadi berkurang karena kayu sebagi salah satu hasil utama dari hutan tidak
dipungut (exploited) untuk suatu
jangka waktu.
Hutan lindung dan hutan konservasi
merupakan contoh hutan yang tidak boleh dipungut hasilnya secara langsung
karena fungsinya memang bukan sebagai hutan produksi. Kita memaklumi bahwa
manfaat hutan tidaklah semata-mata dilihat dari segi produksi kayu atau hasil
hutan lainnya yang dapat dikeluarkan dari hutan, karena masih banyak
manfaat-manfaat lain dari hutan, seperti pelindung tata air dan tanah,
pembersih udara, sebagai habitat hewan langkah yang dilindungi atau sebagai
lingkungan konservasi plasma nutfah. Tinjauan terhadap hutan yang idle seperti
dikemukakan di muka adalah terhadap hutan yang diperuntukkan bagi produksi
yaitu hutan yang diklasifikasikan sebagai hutan produksi, bukan pada hutan yang
berfungsi konservasi.
Secara holistik (menyeluruh) kita
menilik hutan sebagai bagian dari lingkungan hidup. Dari segi hutan sebagai
sumber daya yang bernilai bagi kehidupan manusia di satu pihak dan manusia
sebagai titik sentral pengelola dan sekaligus berkepentingan dalam lingkungan
hidup ini, kita
menggambarkan adanya dua sistem lingkungan, yaitu
lingkungan hutan (atau ekosistem hutan) dan lingkungan pemukiman manusia
(ekosistem manusia).
Kayu dan bagian-bagian dari unsur
komunitas hutan baru dapat dianggap sebagai hasil hutan bila manusia menganggap
bahwa bahan-bahan itu berguna bagi keperluan hidupnya sehingga dilakukan
eksploatasi atau usaha pemungutan hasil. Komoditi hasil hutan ini kemudian di
ekstrak
(dipungut) dan dikeluarkan dari hutan lalu diangkut
ke luar dari lingkungan hutan dan biasanya lalu masuk ke dalam lingkungan
pemukiman manusia untuk diolah (processing) melalui proses industri ataupun
langsung digunakan.
Sejak kayu masih merupakan bagian
dari ekosistem hutan, ia telah mengalami gangguan-gangguan dari berbagai
faktor. Demikian pula setelah kayu ditebang, gangguan akan lebih banyak lagi,
karena keadaan menjadi tidak berimbang (unbalanced). Keadaan lingkungan yang
tidak seimbang ini disebabkan oleh gangguan (disturbances) yang disebabkan oleh
penebangan, gangguan hutan yang timbul akibat kegiatan pemungutan hasil hutan
(misalnya logging). Demikian pula setelah hasil hutan diangkut keluar
lingkungan hutan, hasil hutan akan masuk dalam lingkungan pemukiman manusia,
yang merupakan lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan hutan, akan
mengalami lebih banyak lagi gangguan perusakan yang mengakibatkan deteriorasi.
Hasil hutan yang telah diangkut ke
lingkungan pemukiman biasanya mengalami pengolahan melalui industri untuk
diolah menjadi barang-barang yang sesuai dengan keperluan manusia, baik untuk
penggunaan di dalam maupun di luar negeri. Dengan pengolahan ini dicapai pula
nilai tambah. Dengan terjadinya berbagai gangguan terhadap kayu dan hasil hutan
lainnya yang menyebabkan deteriorasi maka nilai hasil hutan akan menurun baik
dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada Gambar 1 disajikan tata aliran
sederhana pengolahan jhasil hutan sejak di hutan sampai proses pengawetan (jika
tindakan pengawetan diperlukan).
2. Konteks
Deteriorasi Hasil Hutan
Untuk lebih menjelaskan konsepsi
penyebab deteriorasi hasil hutan ditinjau dari berbagai faktor yang berkaitan
dengan lingkungan dan manusia, di bawah ini diberikan ilustrasi dengan menggunakan
hama sebagai contoh penyebab deteriorasi hutan dan hasil hutan. Pada Gambar 2
diberikan dua buah bidang lingkaran yang berpotongan yaitu lingkaran A sebagai
lingkungan hutan dan lingkaran B sebagai lingkungan pemukiman manusia. Kedua
lingkaran ini terdapat dalam sebuah bidang segi empat yang diibaratkan sebagai
lingkungan hidup (environment). Hasil hutan yang ditebang merupakan bagian dari
sebuah lingkaran kecil di dalam lingkaran A.
Selanjutnya hasil hutan
dikeluarkan dari hutan, diangkut ke lingkungan pemukiman (lingkaran B) untuk
dimanfaatkan yaitu digunakan secara langsung (misalnya untuk kayu bakar) atau
diolah (dikeringkan, diawetkan, digergaji, dan selanjutnya diolah menjadi
barang-barang untuk dipasarkan bagi keperluan manusia. Hasil hutan yang telah
mengalami proses pengolahan ini merupakan hasil industri dan kita sebut hasil
hutan olahan. Tiga lingkaran kecil yang menggambarkan ketiga macam hasil hutan
sejak ditebang sampai menjadi hasil olahan, dapat diserang oleh hama (P2, P3,
dan P4). P1 merupakan hama hutan yang menyerang tegakan. Tindakan pengendalian
untuk menekan kerusakan dan kerugian terhadap hasil hutan adalah menekan P2, P3
dan P4. yang tidak terlepas dari konsepsi pengendalian/manajemen hama hutan
(P1). Dengan demikian maka tindakan pengendalian perlu dilakukan secara terpadu
mulai dari P1, (hama hutan), P2 (hama hasil hutan di hutan), P3 (hama hasil
hutan yang telah diangkut ke tempat pengumpulan kayu atau di tempat industri)
dan P4 (hama yang menyerang hasil hutan yang telah diolah). Seluruh tindakan
pengendalian hama untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh hama P1, P2,
P3 dan P4 adalah seluruh tindakan manajemen (pengendalian) hama tersebut.
3. Pengenalan
Penyebab Kerusakan
Tanda-tanda kerusakan yang terjadi
pada kayu oleh faktor-faktor perusak dapat terlihat dari adanya cacat-cacat
berupa lobang gerek (bore holes), pewarnaan (staining), pelapukan (decay),
rekahan (brittles), pelembekan (softing), dan lain-lain perubahan yang semuanya
merupakan penurunan kualitas dan bahkan kuantitas karena ada juga yang
benar-benar memakan habis kayu. Setiap tanda-tanda kerusakan yang terlihat
merupakan gejala spesifik dari salah satu faktor penyebab. Sedangkan adanya
tanda serangan itu sendiri sekaligus merupakan kriteria bahwa kayu atau hasil
hutan yang bersangkutan telah terserang hama, penyakit atau penyebab lainnya.
Dalam praktek kita sering mengabaikan adanya
cacat-cacat dan kerusakankerusakan lain ditimbulkan oleh faktor-faktor perusak
ini. Hanya bila secara ekonomis nilai kerugian telah mencapai ambang tertentu (economic threshold) barulah mulai dicari
upaya untuk melakukan tindakan pengendalian tertentu agar kerugian dapat
dikurangi sampai minimum dan tidak berlanjut kepada bahan-bahan lain yang belum
terserang. Sebagaimana telah diutarakan di muka, deteriorasi hasil hutan
disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu penyebab utama adalah hama. Hama
merupakan istilah umum yang diberikan bagi berbagai hewan penyebab kerusakan
dalam bidang pertanian (termasuk kehutanan). Hewan-hewan ini adalah serangga,
binatang pengerat, moluska, krustasea dan lain lain. Di antara hewan-hewan
penyebab kerusakan kayu, yang paling banyak adalah jenis-jenis serangga.
Penyebab utama deteriorasi hasil
hutan/kayu dapat dibagi dalam dua bagian yaitu :
1. Penyebab yang berasal dari unsur-unsur hayati
(faktor biologis)
2. Penyebab yang berasal dari unsur-unsur alami
(faktor fisik).
Di antara berbagai penyebab
biologis hewani, serangga atau insekta (atau Hexapoda) merupakan yang paling
banyak jenis-jenis perusaknya. Di samping serangga, terdapat juga beberapa
jenis moluska dan krustasea yang merupakan penggerek kayu di laut (marine
borers). Penyebab dari faktor biologis nabati (fungi dan bakteria) yang juga
disebut penyebab mikrobial merupakan faktor perusak penting di samping
serangga. Ketiga golongan perusak ini yaitu serangga, penggerek kayu di laut
dan penyebab mikrobial diberikan di bawah ini.
4. Konsep
Pengendalian
Pengintegrasian berbagai cara dan
teknik untuk mengendalikan hama disebut pengendalian (pengelolaan/manajemen)
hama terpadu atau Integrated Pest Management (IPM). Cara dan teknik yang
dilakukan dalam IPM adalah berbagai kegiatan dalam aspek silvikultur,
eksploatasi, pengeringan kayu, pengawetan kayu dan pengendalian hama dan
penyakit dengan pestisida. Pada prinsipnya hama tidak dapat diberantas
(dieliminasi) atau dihilangkan seluruhnya. Tujuan utama IPM adalah menekan
populasi organisme penyebab kerusakan sehingga kerugian yang diakibatkannya
dapat ditekan seminimum mungkin dan secara ekonomis hasil optimum dapat
tercapai. telah diberikan tata-aliran tahap-tahap proses produksi hasil hutan
dalam hubungan dengan event bilamana hasil hutan mengalami deteriorasi dan
dianalisis penyebabnya kemudian ditentukan teknik-teknik pengendaliannya.
Setiap tahapan dari rangkaian
proses (1 s/d 7 pada Gambar 1) merupakan sub-proses yang dapat dianggap sebagai
event (kejadian).atau kegiatan. Pada setiap kegiatan bila perlu yaitu bila
terdapat kerugian yang disebabkan oleh hama atau penyakit atau penyebab lain, dan
secara ekonomis merugikan dapat dilakukan tindakan pengendalian. Tentu saja
sebelum dilakukan tindakan pengendalian perlu lebih dahulu diadakan analisis
apakah tindakan ini secara ekonomis menguntungkan. Bila tindakan pengendalian
dilakukan secara serentak terhadap seluruh atau sebagian kegiatan atau tahapan
di atas dengan berbagai metoda, maka tindakan ini merupakan IPM.
Pengendalian secara terpadu (IPM)
berlaku pula bila beberapa teknik dilakukan secara terpadu bagi salah satu
kegiatan. Bila pengendalian dilakukan pada kegiatan hulu (misalnya di hutan)
volume / nilai produksi akan lebih besar. Makin hilir nilai kerugian yang
disebabkan oleh hama-penyakit per satuan volume semakin besar karena nilai kayu
semakin tinggi. Tingginya nilai kayu di tahap hilir di samping disebabkan oleh
besarnya biaya eksploitasi dan pengolahan juga karena terjadinya
kerugian-kerugian oleh kerusakan mekanis dan limbah pada kegiatan-kegiatan yang
dilalui hasil hutan.
Tindakan pengendalian seperti
pengawetan dengan tekanan merupakan tindakan pada tahap hilir. Pengeringan kayu
merupakan salah satu teknik pengendalian karena kayu kering akan mengurangi
serangan kumbang ambrosia dan berbagai serangan mikrobia. Kerugian Rk pada
kegiatan ke k merupakan jumlah kerugian karena kerusakan yang disebabkan oleh
hama/penyakit dan faktor-faktor penyebab deteriorasi lainnya (Pk) dan jumlah
limbah yang timbul pada kegiatan yang bersangkutan (Lk) :
Rk = Pk + Lk
Dengan demikian maka jumlah
kerugian yang dialami pada seluruh proses produksi hasil hutan adalah : (n = 1
… k , banyaknya kegiatan/event).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar