Share dari wakil ketua Komisi IX DPRRI;
*Patriot Militan di Tengah Pandemi*
SAAT bangsa gelisah dirundung wabah, kabar cerah muncrat dari Ranah Minang. Bumi yang banyak melahirkan “Sang Pencerah”, mulai dari Tuanku Imam Bonjol, Hatta, Hamka, Sjahrir hingga Rasuna Said. Di era kekinian, nama Andani, layak dicatat sebagai salah satu “patriot” Covid-19.
Jika ditulis lengkap, nama pria berkumis dan berjenggot tebal ini adalah Dr dr Andani Eka Putra, MSc. “Kalau belum kenal, banyak yang mengira saya perempuan, karena nama depan saya,” ujar Andani, mengawali percakapan via telepon, tadi malam (6/6/2020).
Di Sumatera Barat, dokter berkacamata minus ini bukanlah nama yang asing. Selain sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand) Padang, juga menjabat Direksi RS Universitas Unand. Tapi kali ini, kita tempatkan dia dalam kedudukannya sebagai Kepala Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Dia memang banyak berkecimpung di ranah virus, mulai dari rotavirus, hepatitis, HIV dan lain-lain. "Alhasil, ketika virus corona menyerang, saya tidak mungkin berpangku tangan,” ujarnya.
Dengan sepasukan pekerja laboratorium yang berstatus mahasiswa, Andani menorehkan prestasi, dalam hal kapasitas pemeriksaan sampel darah untuk mendeteksi Covid-19. Ketika laboratorium lain hanya bisa menyelesaikan pemeriksaan 100 hingga 200 sampel per hari, laboratorium FK Unand rata-rarta bisa menyelesaikan 800 sampel.
“Angka tertinggi mencapai 1.570 sampel dalam satu hari selesai,” ujar lulusan FK Unand 1996 itu.
Bagaimana Andani bisa bekerja dengan hasil yang begitu fantastis? Bahkan melampaui pencapaian hasil tiga laboratorium besar di Indonesia yang dimiliki Kementerian Kesehatan, Pemprov DKI Jakarta, dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
“Laboratorium yang kami pakai, awalnya adalah labotarorium riset milik saya pribadi. Hampir semua barang dan peralatan laboratorium milik saya. Sebagian saya beli sendiri, sebagian pengadaan hasil kerjasama dengan perusahaan untuk sebuah pengembangan produk,” tuturnya.
Nah, ketika virus corona mulai masuk Indonesia, ia pun bersiap-siap terlibat di dalamnya. Untuk membantu pemeriksaan di laboratorium, ia meminta kesediaan para mahasiswa kedokteran Universitas Andalah, baik yang S1 maupun S2. “Alhamdulillah, mereka bersedia. Meski dari sorot matanya, saya bisa membaca binar-binar cemas, bahkan takut,” kata lulusan master Kedokteran Tropis UGM Yogyakarta tahun 2009 itu.
Untuk keperluan pemeriksaan sampel Covid-19, Andani diberi tempat lebih luas oleh Dekan FK Unand. Sementara, Rektor Unand pun mendukung dan memberi bantuan untuk memperbaiki ruangan labotatorium. Izin lab turun tanggal 19 Maret 2020, dan pertama kali pemeriksaan sampel Covid-19 tanggal 25 Maret 2020.
Saat awal menerima sampel darah, para “pekerja lab” dadakan tadi tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir dan ketakutannya. Bahkan Andani menjumpai, ada beberapa yang sampai menangis. Andani memakluminya. Spontan, ia menjelaskan cara kerjanya dan turun tangan mengerjakannya. Memulai pemeriksaan sampel darah dan memberi contoh.
Lama-lama, para mahasiswa mulai terbiasa. Bahkan Andani memuji loyalitas mereka yang sangat tinggi. Andani bahkan memasang target bisa memeriksa 300 sampel per hari. “Sama seperti di bidang lain, maka laboratorium juga akan berjalan bagus kalau pemimpinnya strong,” kata doktor lulusan UGM Yogyakarta tahun 2016 itu
Tak lupa, Andani mengisahkan riwayat labotatorium miliknya. Bahwa, sebelum digunakan untuk memeriksa virus corona, semua peralatan lab dihibahkan ke FK Unand. Jika dirupiahkan, tak kurang dari Rp 2 miliar. “Saya hibahkan semua ke fakultas dengan harapaan bisa lebih produktif,” tambah dokter yang mengaku memiliki passion di bidang riset itu.
Dalam proses, datanglah bantuan alat PCR (Polymerase Chain Reaction) dari Walikota Padang. Juga bantuan lain dari Pemprov Sumatera Barat, Paragon, dan banyak pihak lain yang mendukung. Untuk mempercepat pemeriksaan sampel, serta meningkatkan kapasitas, Andani pun mengajukan permohonan pengadaan mesin ekstraksi.
“Di luar dugaan. Dari target 300 sampel per hari, saat itu kami sudah bisa menyelesaikan 700 sampai 800 sampel per hari. Maka, jika kami dilengkapi mesin ekstraksi hasilnya bisa 1.500 sampel per hari,” kata Andani.
Apa yang terjadi? Selagi permohonannya diproses, Andani dan anak buahnya sudah berhasil menyentuh hasil pemeriksaan 1.500 sampel per hari. “Itu karena kami bekerja 22 jam sehari. Mulai bekerja habis shubuh pukul 05.30 dan baru selesa pukul 03.30 setiap hari,” kisahnya.
Alhasil, ketika mesin ekstraksi datang, labotatorium FK Unand bisa menyelesaikan 2.500 sampel per hari. “Sampai hari ini, tidak ada satu pun labotatorium di Indonesia yang bisa melampaui hasil 1.100 per hari. Baik laboratorium Litbang Kemenkeas, Litbangkes DKI Jakarta, dan LBM Eijkman. Sebab, di luar laboratorium kami di FK Unand, ya tiga itu saja yang terbilang besar,” katanya melaporkan hasil kerjanya kepada Ketua Gugas Letjen Doni Monardo beberapa hari lalu.
Sampai di titik ini, kita menangkap adanya kesamaan frekuensi antara Dr dr Andani Eka Putra MSc dengan Letjen TNI Doni Monardo. *Bukan karena keduanya sama-sama berdarah Minang, tetapi ada satu benang merah di antara keduanya: Sama-sama militan dan spartan.*
Jika Dr Andani dan tim laboratoriumnya bekerja 22 jam sehari, demikian pula Doni Monardo dan sejumlah staf Gugus Tugas Covid-19 lainnya.
Jika Dr Andani dan tim bermukim di laboratorium Komplek FK Unand kawasan Limau Manis, Pauh - Padang, Doni dan tim sudah hampir tiga bulan tidur di markas Graha BNPB, Jl Pramuka, Jakarta Timur.
*Inilah teladan yang bisa menginspirasi kita. Wabah tidak untuk diratapi atau dicaci-maki. Wabah harus dihadapi dengan jiwa patriot sejati.*
Jiwa Andani dan Doni, adalah jiwa yang dibutuhkan bangsa ini melawan wabah yang entah kapan bakal enyah.
*Wujud Nasionalisme*
Totalitas bekerja Andani dan timnya, tak bisa diragukan, adalah wujud nasionalisme tertinggi. Seperti yang ia kemukakan, bahwa sejak awal kepada anggota lab, Andani sudah tegas mengatakan bahwa yang mereka kerjakan semata-mata untuk bangsa dan negara, atas nama kemanusiaan.
Tidak peduli soal honor, bahkan tidak peduli bagaimana mereka bisa hidup sehari-hari. “Bahkan, untuk makan sehari-hari kami dibantu oleh para donatur. Selalu saya tekankan, bekerjalah dengan ikhlas. Ada atau tidak ada imbalan, jangan sekali-kali dipikirkan. Ini saatnya berjuang,” tegas Andani semangat.
Kini, mereka bahkan tidak saja bisa bekerja untuk Sumatera Barat, tetapi juga bisa membantu daerah-daerah lain. Surabaya yang sedang diguncang besarnya angka korban yang terpapar, pun mendapat tawaran untuk memeriksakan sampelnya ke Padang.
Sebelumnya, ia sudah membantu permintaan tolong pemeriksaan sampel Covid-19 dari Palembang, Kabupaten Sambas Kalbar Bengkulu, dan beberapa daerah lain.
Tanpa disadari, hadirnya Andani dan tim laboratoriumnya, melahirkan satu pola penanganan Covid-19 tersendiri, yang bisa ditiru bahkan diterapkan di daerah lain. Sebagai contoh, statistik nasional, pasien positif yang dirawat di RS sebesar 66 persen. Sedangkan di Sumatera Barat, persentase yang dirawat di RS hanya 16 persen.
“Nasional terjebak pada pemeriksaan PDP sedangkan kita langsung ke OTG,” katanya. Tentang itu, Andani punya analogi yang menarik, yakni mana lebih baik, menangkap harimau di dalam kandang atau menangkap harimau yang berkeliaran di rimba. OTG adalah ibarat harimau yang berkeliaran dan bisa memangsa siapa saja.
Atas analogi itu, Andani menjawabnya sendiri, “Jelas lebih baik menangkap harimau di rimba, kan?” Ia menambahkan, yang dilakukan adalah pemeriksaan PCR, bukan rapid test. “Sudahlah, kalau boleh saran, tinggalkan pola rapid test, yang bahkan WHO sendiri tidak merekomendasikannya,” tandas Andani.
Ada contoh nyata. Dua hari lalu (4/6/2020), seseorang lolos dari rapid test di bandara Soekarno Hatta menuju Padang. Di bandara internasional Minangkabau, dilakukan test dan hasilnya positif. Sebelumnya lagi, kami memeriksa 20 anggota Polri yang sudah rapid test dan negatif, hasilnya dua di antaranya ternyata positif. “Berhati-hatilah dengan rapid test,” tandasnya.
Yang perlu kita lakukan saat ini adalah meningkatkan kapasitas laboratorium. Sebab, hanya dengan cara itu kita bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Ingat, perang menghentikan Covid-19 itu adanya di lapangan, bukan di rumah sakit. “Perang sesungguhnya itu ya di pasar-pasar, di stasiun-stasiun, di terminal-terminal, di kantor-kantor, bahkan di rumah-rumah penduduk. Bukan di rumah sakit. Rumah sakit itu benteng terakhir untuk mencegah dan mengurangi angka kematian,” papar Andani.
Karenanya, Andani prihatin ketika koleganya sesama dokter di Jakarta bercerita, bahwa ketika ada pasien masuk, yang dirawat hanya pasien, sementara keluarganya tidak diperiksa. “Ini terjadi karena memang kapasitas labotarotium di Jakarta juga terbatas,” ujarnya.
Sedangkan kepada teman-teman di Dinas Kesehatan di mana pun berada, termasuk di Kementerian Kesehatan, Andani berharap bisa bekerjasama, menghentikan ego sektoral. Harus dibangun komitmen bersama. “Sederhananya, jangan ada yang merasa paling hebat, tapi pekerjaannya sedikit. Jangan diperbanyak publikasi di media massa, tetapi faktanya hasil kerjanya tidak seberapa,” ucap Andani kritis.
Apa yang ia kerjakan di Sumatera Barat, setidaknya sudah menunjukkan indikator positif. Dengan kapasitas lab yang ada, ia mampu menorehkan angka perbandingan 0,43 persen dari jumlah penduduk Sumbar yang dilakukan tes PCR. Bandingkan dengan angka nasional yang masih 0,08 persen.
“Kami telah memeriksa 24.000 penduduk dari 5 juta penduduk, sekitar 0,43 persen. Sementara di Korea Selatan, 1,3 persen. Setidaknya di Indonesia, Sumbar adalah yang tertinggi. Harusnya semua provinsi berlomba-lomba memperbanyak jumlah pendduk yang dites,” katanya.
Mengingat belum ditemukannya vaksin, dan belum adanya kepastian kapan Covid-19 akan hilang, maka Andani pun belum akan berhenti. Ia masih akan memacu diri dan timnya untuk bekerja ekstra keras memeprbanyak kapasitas. Bahkan, jika labnya diberi perlengkapan tambahan, ia optimis mampu menyelesaikan pemeriksaan hingga 4.000 sampel par hari. “Toh lab ini tidak akan hilang, meski misalnya, corona sudah hilang. Lab ini akan selalu ada dan bermanfaat ke depan,” imbunya.
*Tiga Kunci Sukses*
Berbicara kunci suksesnya mengembangkan laboratorium Covid-19 di Sumbar, Andani menyebut adanya tiga kunci. Pertama, berkat dukungan Gubernur Sumatera Barat, serta dukungan berbagai pihak. Ini terkait dengan posisinya di Unand dan pengalamannya sebagai direksu RS Unand.
Kunci kedua adalah nasionalisme. Ia dan tim bekerja untuk bangsa dan negara. Kunci ketiga adalah inovasi. Andani mengembangkan inovasi pemeriksaan sampel yang disebut Pool Test. “Tapi untuk menghindari kesalahpahaman, persoalan pool test harus dikupas dalam satu penjelasan tersendiri,” katanya.
Terakhir, apakah dengan demikian Sumatera Barat sudah siap untuk memasuki fase new normal? Jujur Andani mengatakan, belum ada satu daerah pun di Indonesia yang bisa mengatakan aman seratus persen.
Akan tetapi, melihat perkembangan yang ada, maka Sumbar relatif menjadi salah satu daerah yang paling siap memasuki fase new normal. Bahkan, Sumbar sudah berani mempromosikan pariwisata. Penginap di hotel akan mendapatkan voucher untuk test swab secara gratis.
Bagaimana jika hasilnya reaktif positif? Jangan khawatir. Pihak Dinas Pariwisata kan mengirim wisatawan tadi ke pulau-pulau indah yang ada di Sumatera Barat (sepeti Kepulauan Mentawai). Di sana mereka bisa karantina mandiri selama 14 hari. “Setelah negatif, boleh pulang. Enak kan? Bahkan positif pun masih bisa berwisata di pulau-pulau indah yang ada di Sumatera Barat,” kata Andani.*** (Egy-Roso)
*Patriot Militan di Tengah Pandemi*
SAAT bangsa gelisah dirundung wabah, kabar cerah muncrat dari Ranah Minang. Bumi yang banyak melahirkan “Sang Pencerah”, mulai dari Tuanku Imam Bonjol, Hatta, Hamka, Sjahrir hingga Rasuna Said. Di era kekinian, nama Andani, layak dicatat sebagai salah satu “patriot” Covid-19.
Jika ditulis lengkap, nama pria berkumis dan berjenggot tebal ini adalah Dr dr Andani Eka Putra, MSc. “Kalau belum kenal, banyak yang mengira saya perempuan, karena nama depan saya,” ujar Andani, mengawali percakapan via telepon, tadi malam (6/6/2020).
Di Sumatera Barat, dokter berkacamata minus ini bukanlah nama yang asing. Selain sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand) Padang, juga menjabat Direksi RS Universitas Unand. Tapi kali ini, kita tempatkan dia dalam kedudukannya sebagai Kepala Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Dia memang banyak berkecimpung di ranah virus, mulai dari rotavirus, hepatitis, HIV dan lain-lain. "Alhasil, ketika virus corona menyerang, saya tidak mungkin berpangku tangan,” ujarnya.
Dengan sepasukan pekerja laboratorium yang berstatus mahasiswa, Andani menorehkan prestasi, dalam hal kapasitas pemeriksaan sampel darah untuk mendeteksi Covid-19. Ketika laboratorium lain hanya bisa menyelesaikan pemeriksaan 100 hingga 200 sampel per hari, laboratorium FK Unand rata-rarta bisa menyelesaikan 800 sampel.
“Angka tertinggi mencapai 1.570 sampel dalam satu hari selesai,” ujar lulusan FK Unand 1996 itu.
Bagaimana Andani bisa bekerja dengan hasil yang begitu fantastis? Bahkan melampaui pencapaian hasil tiga laboratorium besar di Indonesia yang dimiliki Kementerian Kesehatan, Pemprov DKI Jakarta, dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
“Laboratorium yang kami pakai, awalnya adalah labotarorium riset milik saya pribadi. Hampir semua barang dan peralatan laboratorium milik saya. Sebagian saya beli sendiri, sebagian pengadaan hasil kerjasama dengan perusahaan untuk sebuah pengembangan produk,” tuturnya.
Nah, ketika virus corona mulai masuk Indonesia, ia pun bersiap-siap terlibat di dalamnya. Untuk membantu pemeriksaan di laboratorium, ia meminta kesediaan para mahasiswa kedokteran Universitas Andalah, baik yang S1 maupun S2. “Alhamdulillah, mereka bersedia. Meski dari sorot matanya, saya bisa membaca binar-binar cemas, bahkan takut,” kata lulusan master Kedokteran Tropis UGM Yogyakarta tahun 2009 itu.
Untuk keperluan pemeriksaan sampel Covid-19, Andani diberi tempat lebih luas oleh Dekan FK Unand. Sementara, Rektor Unand pun mendukung dan memberi bantuan untuk memperbaiki ruangan labotatorium. Izin lab turun tanggal 19 Maret 2020, dan pertama kali pemeriksaan sampel Covid-19 tanggal 25 Maret 2020.
Saat awal menerima sampel darah, para “pekerja lab” dadakan tadi tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir dan ketakutannya. Bahkan Andani menjumpai, ada beberapa yang sampai menangis. Andani memakluminya. Spontan, ia menjelaskan cara kerjanya dan turun tangan mengerjakannya. Memulai pemeriksaan sampel darah dan memberi contoh.
Lama-lama, para mahasiswa mulai terbiasa. Bahkan Andani memuji loyalitas mereka yang sangat tinggi. Andani bahkan memasang target bisa memeriksa 300 sampel per hari. “Sama seperti di bidang lain, maka laboratorium juga akan berjalan bagus kalau pemimpinnya strong,” kata doktor lulusan UGM Yogyakarta tahun 2016 itu
Tak lupa, Andani mengisahkan riwayat labotatorium miliknya. Bahwa, sebelum digunakan untuk memeriksa virus corona, semua peralatan lab dihibahkan ke FK Unand. Jika dirupiahkan, tak kurang dari Rp 2 miliar. “Saya hibahkan semua ke fakultas dengan harapaan bisa lebih produktif,” tambah dokter yang mengaku memiliki passion di bidang riset itu.
Dalam proses, datanglah bantuan alat PCR (Polymerase Chain Reaction) dari Walikota Padang. Juga bantuan lain dari Pemprov Sumatera Barat, Paragon, dan banyak pihak lain yang mendukung. Untuk mempercepat pemeriksaan sampel, serta meningkatkan kapasitas, Andani pun mengajukan permohonan pengadaan mesin ekstraksi.
“Di luar dugaan. Dari target 300 sampel per hari, saat itu kami sudah bisa menyelesaikan 700 sampai 800 sampel per hari. Maka, jika kami dilengkapi mesin ekstraksi hasilnya bisa 1.500 sampel per hari,” kata Andani.
Apa yang terjadi? Selagi permohonannya diproses, Andani dan anak buahnya sudah berhasil menyentuh hasil pemeriksaan 1.500 sampel per hari. “Itu karena kami bekerja 22 jam sehari. Mulai bekerja habis shubuh pukul 05.30 dan baru selesa pukul 03.30 setiap hari,” kisahnya.
Alhasil, ketika mesin ekstraksi datang, labotatorium FK Unand bisa menyelesaikan 2.500 sampel per hari. “Sampai hari ini, tidak ada satu pun labotatorium di Indonesia yang bisa melampaui hasil 1.100 per hari. Baik laboratorium Litbang Kemenkeas, Litbangkes DKI Jakarta, dan LBM Eijkman. Sebab, di luar laboratorium kami di FK Unand, ya tiga itu saja yang terbilang besar,” katanya melaporkan hasil kerjanya kepada Ketua Gugas Letjen Doni Monardo beberapa hari lalu.
Sampai di titik ini, kita menangkap adanya kesamaan frekuensi antara Dr dr Andani Eka Putra MSc dengan Letjen TNI Doni Monardo. *Bukan karena keduanya sama-sama berdarah Minang, tetapi ada satu benang merah di antara keduanya: Sama-sama militan dan spartan.*
Jika Dr Andani dan tim laboratoriumnya bekerja 22 jam sehari, demikian pula Doni Monardo dan sejumlah staf Gugus Tugas Covid-19 lainnya.
Jika Dr Andani dan tim bermukim di laboratorium Komplek FK Unand kawasan Limau Manis, Pauh - Padang, Doni dan tim sudah hampir tiga bulan tidur di markas Graha BNPB, Jl Pramuka, Jakarta Timur.
*Inilah teladan yang bisa menginspirasi kita. Wabah tidak untuk diratapi atau dicaci-maki. Wabah harus dihadapi dengan jiwa patriot sejati.*
Jiwa Andani dan Doni, adalah jiwa yang dibutuhkan bangsa ini melawan wabah yang entah kapan bakal enyah.
*Wujud Nasionalisme*
Totalitas bekerja Andani dan timnya, tak bisa diragukan, adalah wujud nasionalisme tertinggi. Seperti yang ia kemukakan, bahwa sejak awal kepada anggota lab, Andani sudah tegas mengatakan bahwa yang mereka kerjakan semata-mata untuk bangsa dan negara, atas nama kemanusiaan.
Tidak peduli soal honor, bahkan tidak peduli bagaimana mereka bisa hidup sehari-hari. “Bahkan, untuk makan sehari-hari kami dibantu oleh para donatur. Selalu saya tekankan, bekerjalah dengan ikhlas. Ada atau tidak ada imbalan, jangan sekali-kali dipikirkan. Ini saatnya berjuang,” tegas Andani semangat.
Kini, mereka bahkan tidak saja bisa bekerja untuk Sumatera Barat, tetapi juga bisa membantu daerah-daerah lain. Surabaya yang sedang diguncang besarnya angka korban yang terpapar, pun mendapat tawaran untuk memeriksakan sampelnya ke Padang.
Sebelumnya, ia sudah membantu permintaan tolong pemeriksaan sampel Covid-19 dari Palembang, Kabupaten Sambas Kalbar Bengkulu, dan beberapa daerah lain.
Tanpa disadari, hadirnya Andani dan tim laboratoriumnya, melahirkan satu pola penanganan Covid-19 tersendiri, yang bisa ditiru bahkan diterapkan di daerah lain. Sebagai contoh, statistik nasional, pasien positif yang dirawat di RS sebesar 66 persen. Sedangkan di Sumatera Barat, persentase yang dirawat di RS hanya 16 persen.
“Nasional terjebak pada pemeriksaan PDP sedangkan kita langsung ke OTG,” katanya. Tentang itu, Andani punya analogi yang menarik, yakni mana lebih baik, menangkap harimau di dalam kandang atau menangkap harimau yang berkeliaran di rimba. OTG adalah ibarat harimau yang berkeliaran dan bisa memangsa siapa saja.
Atas analogi itu, Andani menjawabnya sendiri, “Jelas lebih baik menangkap harimau di rimba, kan?” Ia menambahkan, yang dilakukan adalah pemeriksaan PCR, bukan rapid test. “Sudahlah, kalau boleh saran, tinggalkan pola rapid test, yang bahkan WHO sendiri tidak merekomendasikannya,” tandas Andani.
Ada contoh nyata. Dua hari lalu (4/6/2020), seseorang lolos dari rapid test di bandara Soekarno Hatta menuju Padang. Di bandara internasional Minangkabau, dilakukan test dan hasilnya positif. Sebelumnya lagi, kami memeriksa 20 anggota Polri yang sudah rapid test dan negatif, hasilnya dua di antaranya ternyata positif. “Berhati-hatilah dengan rapid test,” tandasnya.
Yang perlu kita lakukan saat ini adalah meningkatkan kapasitas laboratorium. Sebab, hanya dengan cara itu kita bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Ingat, perang menghentikan Covid-19 itu adanya di lapangan, bukan di rumah sakit. “Perang sesungguhnya itu ya di pasar-pasar, di stasiun-stasiun, di terminal-terminal, di kantor-kantor, bahkan di rumah-rumah penduduk. Bukan di rumah sakit. Rumah sakit itu benteng terakhir untuk mencegah dan mengurangi angka kematian,” papar Andani.
Karenanya, Andani prihatin ketika koleganya sesama dokter di Jakarta bercerita, bahwa ketika ada pasien masuk, yang dirawat hanya pasien, sementara keluarganya tidak diperiksa. “Ini terjadi karena memang kapasitas labotarotium di Jakarta juga terbatas,” ujarnya.
Sedangkan kepada teman-teman di Dinas Kesehatan di mana pun berada, termasuk di Kementerian Kesehatan, Andani berharap bisa bekerjasama, menghentikan ego sektoral. Harus dibangun komitmen bersama. “Sederhananya, jangan ada yang merasa paling hebat, tapi pekerjaannya sedikit. Jangan diperbanyak publikasi di media massa, tetapi faktanya hasil kerjanya tidak seberapa,” ucap Andani kritis.
Apa yang ia kerjakan di Sumatera Barat, setidaknya sudah menunjukkan indikator positif. Dengan kapasitas lab yang ada, ia mampu menorehkan angka perbandingan 0,43 persen dari jumlah penduduk Sumbar yang dilakukan tes PCR. Bandingkan dengan angka nasional yang masih 0,08 persen.
“Kami telah memeriksa 24.000 penduduk dari 5 juta penduduk, sekitar 0,43 persen. Sementara di Korea Selatan, 1,3 persen. Setidaknya di Indonesia, Sumbar adalah yang tertinggi. Harusnya semua provinsi berlomba-lomba memperbanyak jumlah pendduk yang dites,” katanya.
Mengingat belum ditemukannya vaksin, dan belum adanya kepastian kapan Covid-19 akan hilang, maka Andani pun belum akan berhenti. Ia masih akan memacu diri dan timnya untuk bekerja ekstra keras memeprbanyak kapasitas. Bahkan, jika labnya diberi perlengkapan tambahan, ia optimis mampu menyelesaikan pemeriksaan hingga 4.000 sampel par hari. “Toh lab ini tidak akan hilang, meski misalnya, corona sudah hilang. Lab ini akan selalu ada dan bermanfaat ke depan,” imbunya.
*Tiga Kunci Sukses*
Berbicara kunci suksesnya mengembangkan laboratorium Covid-19 di Sumbar, Andani menyebut adanya tiga kunci. Pertama, berkat dukungan Gubernur Sumatera Barat, serta dukungan berbagai pihak. Ini terkait dengan posisinya di Unand dan pengalamannya sebagai direksu RS Unand.
Kunci kedua adalah nasionalisme. Ia dan tim bekerja untuk bangsa dan negara. Kunci ketiga adalah inovasi. Andani mengembangkan inovasi pemeriksaan sampel yang disebut Pool Test. “Tapi untuk menghindari kesalahpahaman, persoalan pool test harus dikupas dalam satu penjelasan tersendiri,” katanya.
Terakhir, apakah dengan demikian Sumatera Barat sudah siap untuk memasuki fase new normal? Jujur Andani mengatakan, belum ada satu daerah pun di Indonesia yang bisa mengatakan aman seratus persen.
Akan tetapi, melihat perkembangan yang ada, maka Sumbar relatif menjadi salah satu daerah yang paling siap memasuki fase new normal. Bahkan, Sumbar sudah berani mempromosikan pariwisata. Penginap di hotel akan mendapatkan voucher untuk test swab secara gratis.
Bagaimana jika hasilnya reaktif positif? Jangan khawatir. Pihak Dinas Pariwisata kan mengirim wisatawan tadi ke pulau-pulau indah yang ada di Sumatera Barat (sepeti Kepulauan Mentawai). Di sana mereka bisa karantina mandiri selama 14 hari. “Setelah negatif, boleh pulang. Enak kan? Bahkan positif pun masih bisa berwisata di pulau-pulau indah yang ada di Sumatera Barat,” kata Andani.*** (Egy-Roso)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar