Sifat Antirayap Ekstrak Kulit Bawang
merah (Allium cepa L.)
(Antitermites
Properties of Onion Shell Extract)
Margaretha Uliartha Sari
Sitanggang, Rudi Hartono, Luthfi Hakim,
Arif Nuryawan
Program Studi
Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Dharma Ujung
No. 1 Kampus USU Medan 20155
Email:
margareth_galz@yahoo.com
Abstract
This research aims to find out rate of extract and Allium
cepa L. weight lost percentage test sample, to evaluated
the toxicity level of Allium cepa L. extracts based on mortality rates and to evaluated feeding rate value. Research
was done by extracting a sample with methanol and partitioning with n-Hexane. Extract
with concentration of 2%, 4%, and 6% was
used to test the toxicity of extract for Coptotermes curvignathus termites. The
results showed extracts content of Allium cepa L. is 16,62%. Termite mortality rate of
extract with concentration 2% and 4% on day
7th while the concentration of 6% on day 5th. So extract
with the large concentration had higher increasing mortality termite
percentage. The weight lost percentage of paper disc about 3,72%–11,04%, mortality rate on different concentration reach
100 % and feeding rate of termite about 0,25 mg–0,73 mg.
Keywords: extract of Allium
cepa L., termite mortality, weight lost percentage, C.
curvignathus
PENDAHULUAN
Masalah serangan rayap pada
bangunan gedung diperkirakan paling tinggi intensitasnya. Hal ini diperkuat
Nandika, dkk., (2003) yang menyatakan bahwa rayap tanah merupakan perusak kayu
bangunan yang paling banyak menyebabkan kerugian. Rata-rata persentase
intensitas kerusakan pada bangunan gedung akibat serangan rayap mencapai 70%
dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.
Upaya pengendalian telah dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain secara kimiawi dan secara hayati. Pengendalian secara kimiawi yaitu
usaha pengendalian dengan menggunakan bahan kimia (insektisida), penggunaan
pestisida kimia di Indonesia telah memusnahkan 55% jenis hama dan 72 % agen
pengendali hayati, misalnya dengan menggunakan
insektisida heptachlor, chlordane dan HCS (Natawiria, 1973).
Alternatif lain yakni secara hayati dengan memanfaatkan
bahan-bahan alamiah sebagai material dasar termisida.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya ekstrak kayu Sonokeling
dan Nyatoh (Suparjana, 2000), ekstrak kayu Tanjung dan kayu Sawo kecik (Anisah, 2001), resin damar mata kucing (Sari,
dkk., 2004), dan ekstrak kulit Pucung (Sari dan Hadikusumo, 2004). Bahan yang berasal dari tumbuhan dijamin aman bagi lingkungan
karena cepat terurai di tanah dan tidak membahayakan yang bukan sasaran
(Sastrodihardjo, 1999). Walau sudah banyak pemanfaatan bahan aktif tumbuhan,
perlu mengeksplorasi tumbuhan lain yang dapat digunakan sebagai bahan antirayap
seperti kulit bawang merah.
Penelitian ini bertujuan menentukan kadar ekstrak kulit bawang merah, mengevaluasi tingkat ketoksikan
ekstrak kulit bawang merah
berdasarkan nilai mortalitas rayap, mengetahui
persentase penurunan berat contoh uji, dan mengevaluasi
tingkat ketoksikan ekstrak kulit
bawang merah berdasarkan nilai tingkat konsumsi rayap.
BAHAN DAN METODE
Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Bahan Alam, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan,
Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Bahan
dan Alat
Bahan yang digunakan adalah serbuk kulit bawang merah,
tisu gulung, plester pipa, kain penutup, karet gelang, pasir, air aquades,
kertas selulosa, aluminium foil, pelarut methanol, n-heksana, dan rayap tanah.
Alat
yang digunakan adalah rotary evaporator, ember, tangga, palu, spraying,
blender, bak pengumpanan, pinset, saringan, cawan petri, erlenmeyer, penangas
air, ekstraktor, oven, timbangan analitik, gelas ukur, kamera digital, sarung
tangan, botol kaca, batang pengaduk, masker, sarung tangan, kalkulator,
software minitab 15 dan alat tulis.
Ekstraksi
Serbuk Kulit Bawang
Metode ekstraksi
mengacu pada metode yang digunakan (Hakim
L, dkk, 2008). Kadar ekstrak dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Kadar ekstrak (%):
Pengumpulan
Rayap
Dilakukan
dengan metode pengumpanan menggunakan tisu gulung. Tisu gulung dipasang di
sepuluh titik didalam gedung, dan diambil rayap setelah satu bulan. Kunci identifikasi berdasarkan Nandika, dkk.
(2003) termasuk jenis rayap Coptotermes curvignathus.
Metode
Pengumpanan Rayap
Pengujian terhadap rayap dilakukan dengan menggunakan
kertas selulosa yang telah diawetkan dengan ekstrak sampel pada berbagai taraf
konsentrasi, dimana sebelumnya kertas selulosa dioven pada suhu 103±2 ºC sampai
konstan sebelum perendaman.
Kertas
selulosa dimasukkan dalam botol kaca yang telah diisi pasir. Tiap contoh uji diberi 50 ekor rayap (45
ekor rayap pekerja dan 5 ekor rayap prajurit). Pengamatan mortalitas rayap
dilakukan setiap hari.
Perhitungan
Nilai Mortalitas
Nilai
mortalitas dihubungkan dengan LC50:
Mortalitas rayap (%) :
Perhitungan
Persentase Penurunan Berat Contoh Uji
Persentase penurunan berat contoh uji dihitung
dengan persamaan:
A = Bo – B1 x
100 %
Bo
Keterangan:
A = Persentase penurunan berat
(%)
Bo = Berat sebelum pengumpanan
(g)
B1 = Berat setelah
pengumpanan (g)
Perhitungan
Tingkat Konsumsi Rayap
Konsumsi makan per individu dihitung dengan
persamaan:
Tingkat (mg) =
(Bo - B1)
N
Keterangan
:
Bo
= Berat sebelum diumpankan rayap (mg)
B1 = Berat setelah diumpankan rayap (mg)
N =
Jumlah rayap pekerja awal
Analisis
data dan Skema penelitian
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan RAL
(Rancangan Acak Lengkap) sederhana. Pengaruh perlakuan
terhadap respon dilihat dari uji F menggunakan
software minitab 15 pada tingkat kepercayaan 95% (nyata) dan dengan uji lanjutan Tukey.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Kandungan Zat
Ekstraktif
Hasil ekstraksi kulit
bawang merah berupa ekstrak padat atau seperti pasta berwarna hitam kemerahan, berbau khas dan dapat larut dalam
metanol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lancaster dan Boland (1990) serta
Randle (1997), bahwa bawang merah memiliki karakteristik senyawa kimia yang
mengeluarkan bau khas yang bersifat volatile (mudah menguap).
Sampel menghasilkan ekstrak pasta sebanyak
332,32 g, sehingga didapat rendemen atau kadar
ekstrak sebesar 16,62%. Penelitian Adharini (2008),
dari 1000 g serbuk akar tuba (Derris
elliptica Benth) didapat kadar ekstrak sebesar 8,53% dengan perendaman
pelarut etanol. Hal ini menunjukkan perbedaan yang tidak jauh dari ekstrak
kulit bawang dan ekstrak akar tuba.
Menurut Bernasconi (1995),
ekstraksi cair-cair satu komponen bahan atau lebih dari suatu campuran dapat
dipisahkan dengan bantuan pelarut. Sehingga proses partisi membawa kandungan
yang non polar dari ekstrak yang akan diuji ketoksikannya.
Kandungan yang umumnya dikeluarkan oleh metanol adalah senyawa fenolik.
Hasil
skrining fitokimia oleh Soebagio, dkk. (2007), didapatkan hasil bahwa ekstrak
umbi bawang merah mengandung senyawa flavonoid selain senyawa alkaloid,
polifenol, seskuiterpenoid, monoterpenoid, steroid dan triterpenoid serta
kuinon dan Manullang (2010) menyatakan,
karakterisasi simplisia kulit bawang merah dengan etanol menghasilkan skrining
fitokimia berupa senyawa alkaloid, flavonoida, saponin, tanin, glikosida,
antrakuinon, dan triterpenoida.
Pengaruh Toksik Ekstrak Allium
cepa L. terhadap
Mortalitas Rayap
Faktor yang mempengaruhi kematian rayap pada perlakuan adalah
senyawa atau zat ekstraktif sampel kulit bawang merah yang bersifat toksik pada
rayap. Hasil penelitian persentase mortalitas rayap dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Persentase mortalitas rayap
Berdasarkan
Gambar 1 terlihat pemberian ekstrak kulit bawang merah pada konsentrasi 2% dan
4% mortalitas rayap pada hari ke-7 sebesar 100% sedangkan konsentrasi 6% mortalitasnya
100% pada hari ke-5, dan kontrol dapat bertahan
hingga pengamatan hari
ke-12. Agusta (2006) yang menguji efikasi ekstrak daun mimba (Azadirachta indica A.Juss) dan akar tuba
(Derris elliptica Benth) terhadap
serangan rayap tanah, kontrolnya dapat bertahan selama III minggu dengan
mortalitas mencapai 32,5% dalam pengamatan sekali seminggu. Pengamatan yang
dilakukan setiap hari mempengaruhi persentase mortalitas karena membuat rayap
terganggu dan stress.
Kondisi 50 % rayap mati dengan perlakuan konsentrasi 6% terjadi
pada hari ke-2 (LC50= 47,2%),
perlakuan konsentrasi 2% dan 4% terjadi pada hari ke-4 (LC50= 48,8% dan 56,6%).
Sementara pada kertas contoh uji kontrol terjadi di hari ke-7 (LC50=
54,2%). Terlihat bahwa kertas uji yang diberi perlakuan, kematian rayapnya
lebih cepat dibandingkan yang tidak diberi ekstrak kulit bawang merah.
Berdasarkan analisis sidik ragam, ditunjukkan bahwa perlakuan dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh
sangat nyata pada kematian atau mortalitas rayap. Sehingga perlakuan
konsentrasi disimpulkan mempengaruhi mortalitas rayap.
Uji lanjutan Tukey yang dilakukan
menunjukkan kulit bawang merah dengan konsentrasi 6% mempunyai nilai yang
signifikan atau efek toksik yang lebih kuat dibandingkan konsentrasi 2% dan 4%.
Hal ini disebabkan karena kandungan bahan aktif atau kepekatan yang lebih
tinggi terdapat pada konsentrasi ekstrak kulit bawang merah yang lebih besar
pula. Syafii dan Febrianto (1995)
menyatakan, mortalitas rayap pada kayu sonokeling, keranji dan tembesu semakin
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi zat ekstraktif. Konsentrasi yang
semakin tinggi menunjukkan keefektifan toksik yang tinggi dan
diperkuat Meyer (1982) yang menyatakan bahwa kandungan kimia aktif biologi dapat
bersifat racun jika digunakan pada dosis yang tinggi.
Selama pengamatan diketahui bahwa
mortalitas rayap semakin meningkat dari hari ke hari. Kematian rayap yang terjadi diduga karena adanya perubahan
kondisi lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan rayap dari koloninya dengan
perlakuan lingkungan yang diberikan pada contoh uji akan meningkatkan tekanan
terhadap daya tahan rayap tersebut.
Disamping itu Nandika
dan Tambunan (1990) menyatakan kematian rayap
diperberat oleh sifat yang necrofagi (memakan bangkai sesamanya) dan kanibalisme (memakan anggota
yang lemah atau sakit). Diperkuat Prasetiyo dan Yusuf (2005),
yang menyatakan sifat necrofagi
menyebabkan sering ditemukannya bangkai rayap dengan keadaan tubuh yang sudah
tidak utuh lagi setelah pembongkaran contoh uji. Hal ini dibuktikan dari data pengamatan setiap hari yang
menunjukkan adanya bangkai rayap yang tidak utuh, baik kasta prajurit maupun
pekerja yang badan atau kepalanya putus, padahal rayap yang mati atau dalam
keadaan lemah tersebut dapat diakibatkan karena terkena racun biotermitisida,
sehingga rayap yang memakan sesamanya tersebut akan mati.
Nandika dan Tambunan (1989) juga menyatakan bahwa sifat Trophalaxis,
yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta mengadakan pertukaran
bahan makanan mempengaruhi mortalitas. Dengan demikian adanya pertukaran
bahan makanan pada rayap pekerja dan prajurit sehingga mempercepat penyebaran ketoksikan
yang terdapat pada ekstrak dalam contoh uji sehingga rayap tersebut mati.
Faktor lainnya yang mempengaruhi mortalitas rayap adalah kerusakan
bagian tubuh rayap akibat kandungan zat ekstraktif. Hasil pengamatan menunjukkan rayap yang tidak bisa
beradaptasi dengan lingkungan dan sumber makanannya akan semakin lambat dan
terjadi pengempisan perut atau pantat bagian belakang. Menurut
Nandika dkk. (2003) rayap memiliki kemampuan untuk mensintesa selulosa tetapi
adanya zat ekstraktif dalam kayu tersebut mengakibatkan protozoa dalam tubuh
rayap menjadi rusak, sehingga mortalitas rayap makin meningkat. Protozoa berperan untuk merombak unit-unit anhidrid
glukosa yang dihubungkan dengan ikatan menjadi β gula sederhana. Kemungkinan
kandungan toksik mematikan protozoa yang merupakan simbion rayap melalui
gangguan terhadap aktivitas enzim yang bertuas mendekomposisikan selulosa.
Sehingga rayap akan mati karena tidak memperoleh makanan dan energi diakibatkan
protozoa yang mati dalam tubuhnya sendiri.
Findlay (1978) menjelaskan bahwa
zat ekstraktif yang bersifat racun, seperti alkaloid yang secara tetap
menyebabkan iritasi atau menyebabkan gatal-gatal bagi orang yang menyentuhnya
dan Sastrodihardjo
(1999) juga menyatakan bahwa pengaruh zat ekstraktif terhadap kematian rayap
dan serangga lainnya adalah sebagai pengambat sintesis protein (zat ekstraktif dari kelompok
tanin, stilben, quinon,
alkaloid, dan resin), sedangkan kelompok terpenoid dapat merusak fungsi sel
(integritas membran sel) rayap yang pada akhirnya menghambat proses ganti kulit
rayap (eksidisis).
Dari pernyataan diatas, penyebab tingginya mortalitas rayap dikarenakan
terhambatnya proses sintesa protein dan rusaknya fungsi sel yang menghambat
proses eksidisis pada rayap tanah yang dijadikan objek penelitian karena kandungan ekstrak
kulit bawang merah menurut Manullang (2010), yakni alkaloid, flavonoida, tanin
dan triterpenoida.
Pengaruh
Toksik Ekstrak terhadap
Penurunan Berat Contoh Uji
Selain mortalitas rayap, indikator
lain yang menunjukkan daya racun ekstrak kulit bawang merah ditunjukkan dengan
penghambatan aktifitas makan (antifeedant) yang diindikasikan oleh
adanya kehilangan berat kertas
uji. Berikut data persentase penurunan berat contoh uji dapat dilihat pada Gambar
2.
Gambar 2. Penurunan berat
contoh uji
Berdasarkan
Gambar 2 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kulit bawang merah
maka penurunan berat contoh uji yang dihasilkan semakin kecil. Penurunan berat
terkecil dihasilkan pada konsentrasi 6% yaitu sebesar 3,72%, sedangkan yang
terbesar pada kertas contoh uji kontrol yaitu sebesar 11,04%.
Terlihat
bahwa nilai kehilangan berat antara kontrol dengan perlakuan pada konsentrasi
2%, 4% dan 6% sangat berbeda dikarenakan rayap memilih untuk tidak memakan
kertas selulosa yang diberi ekstrak dibandingkan kertas selulosa kontrol yang
lebih banyak dimakan rayap. Hal ini ditunjukkan dengan kerusakan kertas contoh
uji atau adanya bekas gigitan yang lebih banyak pada kontrol dibandingkan
sampel yang diawetkan. Kertas contoh uji mengalami kerusakan baik dari luar
maupun dari bagian tengah kertas selulosa.
Kertas
uji yang diawetkan dengan ekstrak kulit bawang merah konsentrasi 6% paling
rendah penurunan beratnya dibandingkan dengan konsentrasi lainnya berturut
turut: 3,72%, 5,39%, dan 6,21%. Hal ini membuktikan apabila kehilangan berat kertas uji kecil berarti
penghambat aktifitas makannya tinggi. Harun dan Labosky (1985) memberi pernyataan bahwa
efektifitas ekstraktif kulit kayu dalam memperlambat aktivitas rayap dan pertumbuhan jamur tidak hanya
tergantung pada sifat racun yang ada pada ekstraktif tersebut tetapi juga
disebabkan oleh konsentrasinya, dan konsentrasi yang semakin
tinggi mempengaruhi aktivitas rayap.
Berdasarkan
analisis sidik ragam pada persentase penurunan berat contoh uji, perlakuan yang
diberi ekstrak dengan taraf konsentrasi berbeda berpengaruh nyata terhadap
persentase penurunan berat contoh uji. Kondisi ini berarti kandungan toksik
pada kertas uji yang telah diberi ekstrak mempengaruhi penurunan berat contoh
uji, karena sifat rayap yang memilih menolak memakan kertas uji membuat
penurunan berat semakin kecil.
Hasil
uji lanjut Tukey menunujukkan bahwa perlakuan konsentrasi 6% tidak berbeda
nyata dengan perlakuan konsentrasi 2% dan 4%. Tetapi konsentrasi 6% berbeda
nyata terhadap kontrol.
Mekanisme pola makan rayap dimulai dari penyesuaian diri dengan
lingkungan. Rayap yang mampu menyesuaikan diri maka akan tetap hidup dan mulai
memakan bahan makanan yang ada, dan akan terus memakannya bila bahan makanan
terasa cocok. Jika rayap tidak mendapat bahan makanan yang cocok, maka rayap
akan memilih untuk tidak makan sampai suatu saat akan dibunuh dan dimakan oleh
rayap-rayap yang lebih aktif, dengan sifat kanibalisme yang dimilikinya dengan
tujuan mengatur efektifitas koloninya, sehingga menghemat energi yang dipakai.
Semua
perlakuan pemberian ekstrak pada contoh uji menyebabkan penurunan berat nilai
contoh uji yang signifikan dibandingkan kontrol. Setelah
12 hari pengamatan, persentase penurunan berat contoh uji sangat bervariasi,
tergantung dari konsentrasi ekstraknya. Hal ini terlihat dari keampuhannya
mematikan 100% rayap dalam waktu seminggu, namun belum cukup cepat reaksi
toksik ekstrak dalam tubuh rayap pada konsentrasi 2% dan 4% dibandingkan 6%.
Pengaruh
Toksik Ekstrak terhadap Tingkat Konsumsi Rayap
Kematian rayap secara umum disebabkan oleh zat bioaktif yang
terdapat dalam ekstrak bersifat repellent (kemampuan untuk menolak rayap),
sehingga mempengaruhi tingkat konsumsi makan rayap per individu. Berikut grafik yang memperlihatkan data tingkat konsumsi
rayap (Gambar 4).
Pada
contoh uji kontrol konsumsi makan rayapnya lebih tinggi dibandingkan dengan
kertas contoh uji yang telah diberi perlakuan pengawetan ekstrak kulit bawang
merah. Contoh uji yang telah diberi ekstrak dengan konsentrasi berbeda,
berturut-turut 0,41 mg, 0,37 mg, dan 0,25 mg. Hal ini menunjukkan bahwa semua
perlakuan pemberian ekstrak pada contoh uji menyebabkan penurunan tingkat
konsumsi rayap yang signifikan dibandingkan kontrol. Setelah
12 hari pengamatan, persentase tingkat konsumsi rayap uji sangat bervariasi,
tergantung dari konsentrasi ekstraknya.
Grafik tingkat
konsumsi rayap pada Gambar 4, menunjukkan bahwa kertas uji yang diberi ekstrak
berpengaruh pada tingkat konsumsi rayap. Pada
ekstrak kulit bawang merah dengan konsentrasi 6% mempunyai efek bau ekstrak
sampel yang lebih kuat dibandingkan konsentrasi 2% dan 4%, sehingga diduga
rayap menolak untuk mengkonsumsi kertas uji yang diumpankan.
Berdasarkan
analisis sidik ragam pada tingkat konsumsi rayap, perlakuan kontrol berbeda
nyata terhadap perlakuan konsentrasi. Dapat diasumsikan bahwa zat
bioaktif yang terkandung dalam ekstrak yang diberikan pada kertas contoh uji merupakan
zat yang tidak disukai rayap atau mengandung racun. Rayap yang tidak memakan
kertas selulosa ini akan mengalami kematian karena tidak adanya bahan makanan
lain. Hal ini membuktikan apabila kehilangan berat kertas uji kecil maka penghambat
aktifitas makannya tinggi.
Hasil
uji lanjut Tukey menunujukkan bahwa perlakuan konsentrasi 6% tidak berbeda
nyata dengan perlakuan konsentrasi 2% dan 4%. Tetapi konsentrasi 6% berbeda
nyata terhadap kontrol pada tingkat konsumsi rayap.
Antifeedant rayap
dalam perlakuan juga dikoreksi dengan antifeedant kontrol dan dinilai
dari semakin tinggi antifeedant maka aktivitas antirayap semakin tinggi
(Ohmura et al., 2000). Hal ini terjadi karena daya racun yang terdapat
pada ekstrak yang diberikan pada contoh uji tersebut sehingga menyebabkan
mortalitas rayap meningkat dan semakin cepat. Karena zat ekstraktif tersebut
maka rayap menjadi bersifat repellent
atau anti feedant, sehingga rayap
kelaparan dan mati.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kandungan kadar
ekstrak atau rendemen kulit bawang merah (Allium cepa L.) adalah 16.62%. Pemberian
ekstrak kulit bawang merah pada konsentrasi 2% dan 4% mortalitas rayap sebesar
100% pada hari ke-7 sedangkan konsentrasi 6% pada hari ke-5, dan kontrol dapat
bertahan hingga pengamatan
hari ke-12, sehingga ekstrak konsentrasi 6%
lebih toksik dibandingkan konsentrasi 2% dan 4%. Penurunan berat contoh uji (3,72%–6,21%) berbanding lurus dengan tingkat konsumsi
rayap (0,25mg–0,41mg),
semakin tinggi konsentrasi maka penurunan berat contoh uji dan tingkat konsumsi
rayap semakin kecil.
Saran
Perlu
dilakukan penelitian lanjutan berupa aplikasi lapangan untuk mendeteksi lebih
teliti pengaruh ekstrak kulit bawang merah pada pengawetan kayu konstruksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Adharini,
G. 2008. Uji Keampuhan Ekstrak Akar Tuba (Derris
elliptica Benth) untuk Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren. IPB Press. Bogor.
Agusta,
A. 2006. Pengujian Efikasi Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A.Juss) dan Akar Tuba (Derris elliptica Benth) terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). IPB
Press. Bogor.
Bernasconi, G. 1995. Teknologi Kimia 2. Penerjemah: Handojo, L. PT. Prandya
Paramitha. Jakarta.
Findlay, W. P. K.
1978. Timber Properties and Uses.
Granada Publishing. London.
Hakim,
L., Azhar, I, Utomo B, dan Silaen, PC. 2009. Ekstrak Akar Tuba. Jurnal
Akademika. Jurnal Akademia. Vol. 13 No. 4.
Irawati,
A. 2006. Zat Ekstraktif Kulit Kayu Terap (Artocarpus
elasticus R.) dan Pengaruhnya Terhadap Rayap Tanah. USU Press. Medan.
Lancaster, J.E dan M.
J. Boland. 1990. Flavor Biochemistry dalam Brewster, J.L. Onions and
Aliied Crops, CRC Press.
Manullang,
L. 2010. Karakterisasi Simplisia, Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak Kulit
Umbi Bawang Merah (Alliicepaevar.
Ascalonicum ) dengan metode uji brine shrimp (bst). Universitas
Sumatera Utara Press. Medan.
Nandika,
D, Rismayadi Y. dan F. Diba. 2003. Rayap Biologi dan Pengendaliannya.
Muhammadiyah University Press. Surakarta.
Nandika,
D. dan B. Tambunan. 1990. Biodeteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Pusat Antar
Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Natawiria D. 1973. Percobaan Pencegahan Serangan Rayap
pada Tegakan Pinus merkusii. Laporan Lembaga Penelitian Hutan No. 176.
Bogor.
Ohmura, W., S. Doi,
M. Aoyama and S. Ohara. 2000. Antifeedant Activity of Flavonoids and Related
Compounds Against The Subterranean Termite Coptotermes formosanus Shiraki.
J. Wood Sci (2000) 46:149-153.
Prasetiyo,
K. W. dan S. Yusuf. 2005. Mencegah dan Membasmi Rayap Secara Ramah Lingkungan
dan Kimiawi. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Randle, M.H. 1997. Onion
Flavor Chemistry and Factors Influencing Flavor Intensity. J. Department of
Horticulture, University of Georgia, Athens.
Sastrodihardjo,
S. 1999. Arah Pengembangan dan Strategi Penggunaan Pestisida Nabati. Makalah
pada forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.
Sari, L. dan S.A. Hadikusumo. 2004. Daya Racun Estraktif Kulit
Pucung terhadap Rayap Kayu Kering (Cryptotermes
cynocephalus Light). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia. UPT Litbang
Biomaterial LIPI, Bogor.
Sari,
R.K, W. Syafii, K. Sofyan dan M. Hanafi. 2004. Sifat Antirayap Resin Damar Mata
Kucing dari Shorea javanica K. et L.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 2(1). Masyarakat
Peneliti Kayu Indonesia. UPT Litbang Biomaterial LIPI, Bogor.
Soebagio, B., Rusdiana, T. dan Khairudin. 2007. Pembuatan Gel Dengan Aqupec HV-505 dari Ekstrak Umbi Bawang
Merah (Allium cepa, L.)
sebagai Antioksidan. Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran. Bandung.
Suparjana,
T.B. 2000. Kajian Toksisitas beberapa Fraksi Estraktif Kayu Sonokembang (Ptrerocarpus
indicus Willd) dan Nyatoh
(Palaqiun gutta Boudi) terhadap Rayap Tanah dan Jamur Pelapuk
Kayu. Draft Tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syafii, W. dan F. Febrianto. 1995.
A Study on The Possibility of The Use of
Extractives from Tropical Hardwood as a Natural Preservatives. Part I: Antitermic Properties of
Extractives. Jurnal Teknologi Hasil Hutan.. Fakultas Kehutanan IPB. (VIII) :
1-6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar